Dina berjalan di depan. Fadil melihat sekelilingnya, sama seperti Dede dan Azhar, dia sedikit heran melihat lokasi persembunyian Fadil dan Dede itu. "Apa benar, Dede dan Azhar bersembunyi di sini?" tanya Fadil penasaran.
Bocah perempuan itu hanya mengangguk."Tapi di mana?" tanya Fadil rada cerewet."Sebelah situ!" sahut Dina menunjuk bangunan tempat mayat Dede dan Azhar berada. "Ayo cepat, nanti Tino akan menemukanmu!" ujar Dina berjalan lebih cepat lagi, sebab, hari sudah semakin sore. Dia harus bisa menghabisi satu persatu kelima anak pengganggu dirinya.Dina membukakan pintu. Fadil tidak langsung masuk, ia melihat ruangan gelap tanpa cahaya. Bau busuk menyeruak keluar hingga memenuhi rongga hidungnya. "Tempat ini bau banget! Gak mungkin Azhar dan Dede bersembunyi di sini!" Bocah jangkung itu tak lantas percaya begitu saja ucapan Dina. "Atau jangan-jangan kau ...." Dia menoleh dan,Buk.Pukulan keras menghantam kepala Fadil hingga jatuh pingsan. Darah bocah laki-laki itu keluar dari telinga, pelipis dan bibirnya. Dina melihat dengan tatapan sangat dingin, tak ada senyuman. "Dasar bocah bodoh, hampir saja kamu membuat kita ketauan!" kata Dina. Ia kemudian menyeret tubuh Fadil ke dalam dengan sekuat tenaga. "Lebih baik, kamu ikut bergabung bersama teman-temanmu!"Tubuh Fadil dibiarkan tergeletak di samping mayat Dede dan Azhar. Lalu ia mengamati wajah Fadil yang terlihat hancur. Rahangnya sedikit miring ke kanan. "Ternyata, menaklukan kamu semudah ini, tanpa ada perlawanan," katanya sambil menepuk-nepuk pipi Fadil. Ia juga memeriksa denyut nadinya.Dina tersenyum senang. "Untuk sementara, aku akan biarkan kamu tertidur dulu. Tidak seru kalau aku menghabisi nyawamu tanpa ada perlawanan." Dina beranjak bangun, lalu mulai melangkah.Tapi, tiba-tiba mata Fadil terbuka. Rupanya dia masih bisa tersadar setelah terkena pukulan keras dari Dina. Dia bangun dan kemudian, "DASAR BOCAH IBLIS!" teriaknya, berlari sempoyongan dan sengaja menabrak tubuh anak perempuan itu hingga keduanya terjatuh bersama-sama."Akan kubunuh kau ... akan kubuat kau mampus, bocah sialan!" teriak Fadil memukuli Dina sampai puas. Napasnya terengah-engah kala ia kelelahan memukuli Dina. Ia menatap nanar ke wajah tenang bocah perempuan itu."Ciuh!" Dia meludahinya. Lalu beranjak bangun. "Aku harus melaporkan ini pada Tino dan melaporkan pada polisi. Biar bocah ini dipenjara!" gumam Fadil. Lalu,Gedebuk.Dina menarik kaki Fadil hingga dagu bocah itu terbentur keras dengan lantai. Darah keluar kembali dari dalam mulutnya. "Aaargh!" pekik Fadil merasakan sakit.Dina bergegas bangun. Pukulan Fadil seolah tidak berasa sakit sama sekali di wajahnya. Lalu ia menyambar tongkat besi andalannya untuk membunuh pelan-pelan kelima bocah laki-laki itu. Bocah jangkung itu sudah sangat kelelahan, wajah takutnya mulai terlihat jelas. Keringat mengucur, darah keluar tanpa henti-hentinya. Bocah itu kian bergidik saat melihat darah di telapak tangannya.Pengelihatan Fadil mulai memudar, sudah tidak punya kekuatan serta tenaga untuk melawan Dina. Ia biarkan tubuhnya menyandar di tembok."Kau pikir bisa semudah itu mau melaporkanku! Kamu tau, aku akan buat kamu menyusul teman-temanmu terlebih dahulu sebelum kamu melangkah keluar dari sini!" ujar Dina mulai mengayunkan tongkat besi itu. "Kau harus mampus!" Teriak Dina mengarahkan tongkat besi itu."Ayo bunuh saja aku, bunuh aku kalau memang ini membuatmu puas!" pekik Fadil. Antara pasrah dan ketakutan. Bibirnya bergetar, tubuhnya pun sama. Kian tak terkendali. "Aku tau kami semua salah. Tapi aku mohon, tolong ampuni aku dan teman-teman lainnya yang masih hidup, Din. Aku masih mau hidup!"Dina tidak bersimpatik, gadis itu justru tertawa terbahak-bahak. "Kau ingin aku mengampunimu? Lucu sekali, bila seorang anak laki-laki yang suka mem-bully-ku harus meminta ampun pada korbannya sendiri!" imbuh Dina penuh penekanan. "Di mana nyalimu saat kalian menghajarku tadi. Menendang, memukuli tanpa ampu walau aku sudah kepayahan. Kalian tidak memberi belas kasih pada seorang bocah perempuan yang jauh lebih lemah daripada kalian!" lanjutnya."Jangan pernah bermimpi aku akan membebaskanmu, Fadil!" Lalu ia mengayunkan tongkatnya dan,Buk.Buk.Buk.Pukulan keras menghantam di beberapa bagian vital Fadil. Bocah itupun tergeletak, kali ini bocah itu benar-benar sudah tak sadarkan diri, mati. Darah pun mengalir di celah mata, hidung dan mulutnya. Bau amis pun ikut tercium di rongga hidung Dina.Blentang.Dina membuang tongkat itu tak jauh darinya. Ia memastikan napas Fadil benar-benar lenyap dari tubuhnya, ia juga berharap tidak ada lagi detak jantung yang berdenyut di dadanya.Kemudian, bocah itupun menarik rambut Fadil dan menyeretnya. Ia tumpuk mayat Fadil di atas mayat Azhar. Tangannya menyeka peluh yang menetes di dahinya. Dia menatap sinis sebentar, lalu melangkah keluar menuju target selanjutnya.Dina berjalan tanpa bersalah, bahkan raut wajahnya amat senang saat ia berhasil membuat ketiga bocah laki-laki pengganggunya mati pelan-pelan olehnya. Baginya, itu sangat menyenangkan. Namun, tidak ada waktu lagi buat dia membawa dua korban tersisa ke dalam bangunan itu. Dia harus merencanakan sesuatu agar bisa dengan mudah menghabisi nyawa Ryan dan Tino. Tapi sepertinya, Dina akan menemukan kesulitan menghadapi dua bocah laki-laki yang tersisa, sebab, Tino dan Ryan mengikuti ekskul karate di sekolahnya.Senyum itu lagi-lagi mengembang. Dia tersenyum senang kala target selanjutnya sedang bersembunyi di antara drum-drum kosong yang berjajar. Dina bergegas mendekati, tidak ingin membuang waktu terlalu banyak lagi. Dia langsung mengayunkan tongkat besinya,Sayangnya, Ryan melihat bayangan Dina dan melemparkan batu ke wajahnya.Pletak.Tepat terkena jidat Dina. "Aaargh!" pekiknya."Kau ... mau apa kau membawa besi itu?" tanya Ryan berdiri. Dina menegapkan badannya dan dia tersenyum, ia seperti bocah yang punya nyawa 9. Luka itu tidak tampak sama sekali di jidatnya."Kamu mau tau aku mau ngapain?" Dina melangkah maju sambil menyambar tongkat besi yang sempat terlepas dari tangannya, dan Ryan bergidik ngeri melihat tingkah Dina yang benar-benar berbeda dari biasanya. Bocah laki-laki itu melangkah mundur, ketakutan. "Tentu saja membunuhmu, membalaskan dendam atas apa yang kalian lakukan padaku!""Gila! Gak waras kamu, Din! Kita hanya bercanda, jangan kamu anggap serius!" pekiknya.Dina tertawa terbahak-bahak. "Iya, benar. Aku memang gila, Ryan. Kamu tau kenapa, itu semua karena ulah kalian yang membuat aku selalu di siksa oleh kedua orang tuaku!""A-apa?"Tongkat besi itu terangkat setinggi mungkin, kemudian diayunkan dan di arahkan ke kepala Ryan dengan sangat cepat. Lalu,Buk.****Bersambung.Tubuh Dina terdorong oleh Tino hingga terjatuh. Besi di tangannya terlepas, menggelinding dan berhenti tepat di dekat kaki Tino. "Ngapain kamu di sini?" tanya Tino tak bersahabat, tangannya bertelak pinggang dan tatapan matanya terlihat sinis. "Kau ingin balas dendam pada kami, huh?" Dina diam, tidak menghiraukan apa yang di tanyakan Tino. "Bodoh, kau tuli, huh!" Ia menendang lengan Dina. Bocah itu tersungkur di tanah. "Gak punya mulut sampai-sampai kamu cuekin pertanyaanku?" Senyuman khas Dina terlihat mengerikan. Ia mendongak dan sengaja memperlihatkannya pada Tino dan Ryan. "Kalian ingin tau?" tanya Dina bangun dari tersungkurnya. Berdiri tegap tanpa ada mimik rasa takut menghadapi dua anak laki-laki bertubuh dua kali lebih besar darinya. Tangannya mengangkat, "Aku mau membunuh kalian berdua!" Menunjuk bergantian ke arah Tino dan Ryan. Ryan, wajah bocah berkulit putih itu semakin pucat, bukan takut akan ancaman Dina, melainkan dia takut akan mimik wajah bocah berusia 7 tahun y
Nasib sialnya tidak berpihak padanya. Dina sudah berada di depannya dan memukul keras wajah Tino. Bocah laki-laki itu cukup kuat, masih saja tersadar terkena besi berkarat itu. Dina bergegas menghampiri Tino sebelum kesadaran bocah laki-laki itu pulih sepenuhnya. Tangan bergerak cepat, berayun sambil mengarahkan tangannya ke kepala Tino. Bocah itu mengabaikan kepalanya yang berlumur darah, tidak peduli darah itu mengalir di wajahnya. Tino berusaha berdiri sambil berpegangan di tembok. Napasnya terengah-engah, ketakutannya semakin menjadi. Tubuhnya gemetaran saat ia menegakkan kakinya. "JANGAN LAKUKAN ITU PADAKU!" teriak Tino menutupi kepalanya dengan tangan. Ia benar-benar putus asa saat terdesak seperti ini. Takut akan kematian, takut darah keluar lagi dari celah mata, hidung dan mulut seperti Ryan. Dina menghentikan tangannya, melirik ke arah Tino yang mendadak menjadi seorang pengecut. Keberaniannya sesaat tadi menyiksa bocah perempuan itu seolah-olah menghilang. Napas Tino tak
Perlahan-lahan ingatan tentang masa lalunya yang kelam terbuka sedikit-sedikit. Ia merasa ada yang aneh pada dirinya sendiri, tapi apa? Dina pun tidak mengerti itu, dia merasa dikendalikan di setiap gerakkan bahkan tubuhnya seakan dikuasai oleh seuatu yang tidak pernah dia ketahui bentuknya. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit sekali. Dia memaksakan diri untuk mengingat semua kejadian demi kejadian yang membuat dia seperti seorang psikopat tak berperasaan. Pembunuh berdarah dingin yang ketagihan membunuh, menyukai lihat orang merintih kesakitan, memelas dan memohon ampun padanya. "Aaargh!" pekiknya mengagetkan petugas penjara dan kedua polisi. "Hei, kenapa denganmu?" tanya petugas penjara berwajah kuatir. Dina menunduk dengan tangan yang terus menjenggut rambutnya sendiri. Kepalanya semakin sakit, begitu dia tersiksa oleh ingatan yang tidak pernah ada namun ia sudah melakukan di luar kesadarannya. "Kamu baik-baik saja, nona?" Pertanyaan petugas itu tidak dipedulikan oleh Dina,
Winda langsung terbawa emosi dari hasutan Randy, laki-laki pengangguran bermulut iblis seperti perempuan. Lalu, ia beranjak bangun. Sementara Dina duduk diam di pinggiran kasur, Winda mendobrak masuk tanpa mengetuk pintu. Gadis kecil itu terperangah, wajahnya ketakutan melihat ibu yang telah melahirkannya berdiri dengan wajah menyeramkan. Jari-jarinya memainkan ujung baju, gelisah. "M-mamah?" Winda bergegas menghampiri, menyeret Dina untuk berdiri dan menyuruh untuk mengikutinya. Kejadian yang terus berulang-ulang. "Ikut Mamah sekarang!" "K-kita mau kemana, Mah?" Dina tak mengerti. Saat ini wajah bocah itu benar-benar terlihat polos seperti bocah pada umumnya. "Mamah akan beri kamu hukuman atas tingkahmu hari ini!" imbuhnya. Dina merasa tak bersalah, dia sudah menuruti apa yang ibunya perintahnya. Apapun itu, gadis kecil itu tidak pernah membantahnya. "T-tapi salah Dina apa, Mah? B-bukankah Dina sudah membawakan uang hasil jualan hingga habis. Tapi kenapa Mamah masih menghukum
Lalu, Debuaaar. Tabung gas meledak. Meluapkan api menjadi sangat besar dan membakar semuanya. merambat cepat. "Aaargh!" teriak Winda dan Randy kepanasan. Pakaiannya mulai ikut terbakar, lalu menjalar dengan sangat cepat. Gas dari tabung gas itulah yang membuat api itu cepat merambat ke tubuh ibu dan ayah tiri Dina. Mereka berdua menggeliat, lalu berguling-guling di lantai. Berusaha memadamkan api yang terus membakar tubuh mereka. Sayangnya, gas dari tabung gas sudah memenuhi tubuh Winda dan Randy, api tidak mudah padam."Aarh ... panas! Tolong ... tolong aku!" teriak Winda dan Randy. Winda menghampiri Dina, meminta tolong pada bocah itu. "Dina ... tolong Mamah, Nak! Tolong padamkan api di tubuh mamah!" pinta Winda, tangannya menggapai, berusaha meraih kaki bocah kecil itu.Akan tetapi, Dina justru menginjak kaki Winda. "Aaargh!" pekiknya. Saat ini, bocah perempuan itu sedang tak ingin memberi belas kasih pada ibu dan ayah tirinya yang sudah sering menyiksa. "Lebih baik, mamah nik
Sementara itu, di tempat berbeda. Tepatnya di sebuah rumah kecil, di mana seorang wanita yang selalu menolong Dina saat dibully anak-anak nakal di sekolah. Dia bergegas mengambil ponsel yang tergeletak di meja walau dirinya sibuk mencuci pakaian di kamar mandi. "Hallo Bu Zahra!" Suara itu terdengar lantang tanpa memberi salam. "Waalaikum salam, Bu Santi. Ada apa menelepon saya malam-malam?" tanya wanita itu yang ternyata bernama Zahra. Dia duduk di kursi. "Begini Bu Zahra, saya mau tanya ... apakah Fadil sudah pulang sekolah?" "Fadil?" tanya Zahra sedikit heran. "Dia sudah pulang, Ibu, bersama teman-temannya tadi jam 5 sore. Memangnya kenapa, Bu?" "Iya Bu, Fadil sampai sekarang belum pulang. Biasanya jam 6 juga sudah pulang!" "Masa sih, Bu! Tapi tadi aku lihat Fadil, Tino, Ryan, Dede dan Azhar pulang bareng-bareng, Bu!" sahut Zahra. Ia merasa yakin bahwa kelima anak itu, termasuk Fadil sudah pulang dari sekolah. Sebab, dia melihat sendiri kelima anak itu jalan beriringan. "Apakah
"Baik, data ini akan saya pegang. Nanti saya akan beritahu ke tim untuk siapkan mobil untuk mencari mereka!" Imbuh polisi itu membaca ulang nama-nama anak yang hilang. "Dan saya minta, Bu Zahra jangan pulang dulu. Anda harus memberitahu lokasi saat ibu melihat kelima anak tersebut!" "Baik, Pak!" sahut Zahra. Kemudian polisi itu berjalan ke dalam membawa kertas itu beserta keterangan dari Zahra. "Bu Zahra, memangnya benar si Dina anak tukang kue itu pulang bareng anak-anak kami?" tanya Bu Sinta penasaran, ia duduk mendekati Zahra yang duduk di luar. Ibu-ibu yang lain ikut mengerubungi Zahra. Zahra hanya terdenyum melihat keingintahuan kelima ibu-ibu tentang pernyataannya pada polisi tadi. "Tidak bareng Bu, tapi saya melihat Dina jauh di belakang anak-anak ibu semua!" "Sukurlah, saya pikir bareng. Menjijikan banget anak saya bergaul dengan anak tukang kue itu!" Bu Gita merasa jijik menyebut nama gadis kecil itu. Zahra tidak bisa berbuat banyak, dan merasa tidak ada hak mengomentari
Kemudian, tak seberapa jauh dari pintu gudang, kaki mereka berhenti di sebuah tumpukan. Namun tumpukan itu tidak terlalu jelas terlihat oleh mereka. Terlalu gelap untuk mendapati pemandangan jelas dan apa yang ada di depan mereka. Letnan Dani menyalakan senter dari ponselnya. "Ya Tuhan! Tino?" Bu Gita terpekik, menutup mulutnya. Tino berada persis di atas Ryan, Fadil, Dede dan Azhar. Begitu terlihat nyata mayat anak Ibu Gita, kepalanya penuh luka, bajunya dipenuhi darah kering. Tubuhnya sudah membiru, binatang-binatang kecil mulai menggerogoti tubuh gemuknya. Pemandangan yang sangat mengerikan. Bukan hanya bu Gita saja, bu Harum, bu Santi, bu Yuni dan bu Fitra juga bereaksi sama. Antara ingin memeluk dan enggan karena bau busuk yang menyengat. Mengurungkan niat untuk memeluk tubuh anaknya. Ia memeluk Bu Santi, ibunya Azhar sama syoknya dengan apa yang dia lihat. Bu Yuni, Bu Harum dan Bu Fitra pun sama syoknya. Ketakutan dan tidak percaya anak-anak mereka sudah dalam keadaan mati me