"Hiaaat!"
Dina menatap sangat serius, tajam penuh dendam. Tangannya mengepal, giginya bergemerutuk. Ia sudah sangat kesal harus tiap hari dimarahi bocah-bocah nakal di hadapannya itu. Kali ini, dia tidak mau berdiam diri lagi.Sejujurnya, Dina bukan anak yang pandai berkelahi. Tetapi, perudungan dan sikap keras kedua orang tuanya membuat ia bisa bertahan saat harus berhadapan dengan orang. Seperti kali ini, dia pun nekat ingin melawan 4 anak laki-laki sendirian.Keempat anak laki-laki itu maju menyerang Dina. Dan bocah perempuan itu bersiap untuk melawan. Namun,"BERHENTI!" Suara teriakkan seorang wanita terdengar melengking. Dina menoleh, dan keempat anak laki-laki itu berhenti. Wanita itu menghampiri Dina dan kelima bocah-bocah laki-laki itu. "Tino, Dede, Azhar, Ryan dan Fadil, sedang apa kalian?" Wanita itu lalu menoleh pada Dina. "Kalian mengganggu Dina lagi?" tanya wanita berseragam guru itu dengan mata melotot."Tidak bu, kami hanya ingin beli kuenya, tapi dia malah marah-marah!""BOHONG!" sergah Dian cepat. "Kalian mengganggu aku, kalian juga sengaja menjatuhkan baskom jualan aku sampai kue-kue daganganku jatuh semua!" cerita Dina, matanya berbinar sedih. Ia takut ibunya akan marah besar padanya. Ia juga tidak bisa membayangkan kemarahan ibunya yang akan dilampiaskan padanya. Tangannya pun mengusap lengannya, rasa sakit itu masih ada dan terus ada tak akan pernah hilang setiap dia melakukan atau tidak melakukan kesalahan."Kalian tau, Mamahku pasti akan sangat marah! Dia akan memukuli aku bila tau kue-kue dagangannya tidak laku dan kotor kayak gini!" kata Dina tiba-tiba melunak."Alaaah ... lebay. Gitu aja--""Diam kamu, Tino! Seharusnya kamu minta maaf sama Dina, bukan ngatain dia!" bentak wanita itu. "Kalian tau kan ini masih jam pelajaran? Kenapa kalian bisa ada di luar? Mau bolos sekolah?""Gak Bu!""Kalau gitu cepat masuk!" perintah wanita itu. Kelima anak laki-laki itu masuk dengan wajah cemberut. Dan Tino masih belum terima selagi belum bisa memukul Dina sekali saja. Ia sengaja menabrakan tubuhnya ke Dina, dan menginjak kue-kue itu untuk melampiaskan rasa kesalnya.Wanita itu melihat dengan iba, kue-kue berjumlah lumayan banyak itu berserakkan di tanah. "Nah, Dina. Sekarang kita ambilin kue kamu, yuk!" ajak wanita itu. Namun Dina diam mematung. Wanita itu memaklumi dan mulai membantu memunguti kue-kue itu."Sudah biarkan saja, Bu! Percuma dipunguti juga, kue itu juga gak akan ada yang beli!" ujar Dina kesal bercampur rasa sedih. Dia duduk di bangku terbuat dari semen di depan sekolahan.Wanita itu menghela napas. Ia tidak tega dengan gadis itu. Wanita yang berprofesi sebagai guru itu menghentikan kegiatannya, ia menyadari Dina gadis yang tidak bersekolah, namun ia sangat kagum padanya sedari kecil sudah bekerja membantu ibunya. Wanita itu duduk di samping Dina. "Dina kenapa gak sekolah?""Gak punya biaya. Kata mamah, orang miskin gak perlu sekolah," sahutnya ketus."Dina mau sekolah?""Aku kan sudah bilang, aku gak punya biaya, Bu! Gimana aku bisa sekolah kalau gak ada biaya?" Nada suaranya semakin meninggi disinggung prihal sekolah. Telinganya terlalu sensitif."Gimana kalau kamu ikut belajar di kelas Ibu? Masalah biaya biar ibu yang bayarin?""Benaran itu, Bu?" Ekspresinya cepat berubah. Ia sangat senang dengan ucapan wanita itu."Iya. Kamu mau?" Dina langsung mengangguk tanpa di suruh. Ia ingin sekali bisa menulis dan membaca setiap huruf yang terpampang di mana saja."Ya sudah, ayo ikut Ibu!" ajak wanita itu. Dina pun mulai belajar dan membaca di bantu wanita itu. Dia sangat senang, ternyata Dina lebih cepat tanggap apa yang diajarkan wanita itu.Ya, gadis itu tidak melupakan apa yang diberikan wanita itu. Dia bagaikan ibu kedua untuknya. Namun, perubahan pun terjadi saat hari sudah menjelang sore. Ketika ia selesai belajar membaca, menulis dan berhitung. Dina sedikit melupakan kelima anak laki-laki yang mengganggunya. Mereka berlima masih menaruh rasa kesal dan amarah pada Dina. Mereka juga sangat hafal ke mana arah jalan pulang Dina setiap hari."Akhirnya datang juga kau!" kata Tino."Kalian?" Dina cukup kaget melihat mereka berada di jalan yang biasa ia lalui. "Mau apa kalian?""Masih tanya kita mau apa?" ujar Tino. "Serang dia!" Keempat lainnya berlari dan bersiap menghajar Dina.Dia berbalik arah dan kabur. Keempat anak laki-laki itu mengejarnya. Kaki Dina terus melangkah, tetapi sayang ia tidak cukup cepat untuk menghindari para anak laki-laki itu. Dina tertangkap, lalu satu persatu pukulan demi pukulan mendarat di wajah dan badannya. Hal yang sudah pernah ia rasakan, bahkan hampir tiap hari ia terima perlakuan seperti ini.Keempat anak laki-laki itu berhenti setelah puas. Dan ke datangan Tino membuat keempat anak laki-laki itu menyingkir. "Rasakan ini!" Tino menendang sangat keras di bagian perut dan dadanya berkali-kali. Rasanya sangat menyakitkan.Dina terdiam, dibiarkan tubuhnya meringkuk di jalan bertanah itu. Tak terasa buliran bening menetes tanpa diminta, rasa sakit itu ada, tapi ia bisa menahannya. Tangisan terdengar dikarenakan ia tidak pernah berharap seperti ini. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak untuk melawan lawan-lawannya atau orang yang telah menyakitinya.Lalu ia bangun, berdiri dengan wajah yang kuyu dan lelah. Kepala itu menunduk, kakinya mulai melangkah gontai, lemah tak berdaya. Hendak pulang. Akan tetapi, langkah itu terhenti kembali. Matanya menyisir tempat di sekitarnya. Mencari sesuatu, kemudian ia mendapati jejak anak-anak nakal itu. Ia mengikuti jejak kemana kelima anak-anak laki-laki itu pergi.Apa yang Dina lakukan? Dia tampak berbeda, tatapan kosong dan dingin. Ekspresinya pun berubah, terlihat lebih kejam dari sebelumnya.Langkahnya pun terhenti, ia melihat anak-anak laki-laki itu tidak langsung pulang walau hari sudah sangat sore. Mereka asik bermain petak umpet di sebuah bangunan kosong setengah jadi. Senyum menyeringai itu mengembang di antara dua bibir Dina, gadis itu pun menghampir salah satu dari lima anak laki-laki itu yang sedang bersembunyi.Azhar akan menjadi target pertamanya. Anak laki-laki itu bersembunyi agar jauh dari tempat teman-temannya bersembunyi dan jauh juga dari Tino yang berjaga. Dina membungkukkan tubuhnya, lalu mencondongkan kepalanya. "Boleh aku ikutan?" tanya Dina, nada suara bocah perempuan itu membuat Azhar berteriak.Dina bergegas membekap mulutnya. "Ssst! Jangan berisi, nanti ketauan!" seru Dina. Azhar ketakutan. Ia melihat teman-temannya sudah bersembunyi. Sendirian, tidak di sedang bersama Dina. Ekspresinya membuat Azhar kian ketakutan.Anak laki-laki itu melepaskan tangan Dina dari mulutnya buru-buru. "M-mau a-apa kau?" tanya Azhar gelagapan. Ia sangat gugup berbicara dengan Dina."Tidak, aku hanya ingin ikut bermain!" sahut Dina sambil melirik ke arah Tino. "Kau mau tau tempat paling aman untuk bersembunyi?" tanya Dina. Azhar diam, aura yang ada dalam diri Dina sangat berbeda. Bocah perempuan di hadapannya tidak seperti Dina biasanya."Hei ... gak usah takut. Aku akan membuat kamu jadi pemenang di permainan ini," sambut Dina, ia menyadari Azhar sedang ketakutan. "Bagaimana? Kau mau tau tempat bersembunyi paling aman?"Azhar mengangguk ragu. Kali ini dia ingin sekali jadi pemenang di permainan ini. Dia juga tidak mau disebut "Bodoh" oleh Tino.Bocah perempuan itu beranjak bangun. "Ayo, ikuti aku!" Azhar pun ikut berdiri. Ia melangkah di belakang Dina, mengikuti ke mana kaki Dina melangkah.Hingga di sebuah bagian dari gedung kosong itu. Kaki Dina dan Azhar berhenti. Senyum menyeringai Dina kembali berkembang. Seperti orang yang sudah sangat hafal dengan gedung itu, ia membuka pintu itu dengan sangat mudah.Azhar celingukan. Rasa takut menghantuinya. Tetapi, keinginannya menjadi seorang pemenamg membuat ia membuang rasa takut itu."Ayo masuk!" ajak Dina. Bocah itu menurut saja layaknya kerbau dicocok hidungnya.Lalu,Krieeeet.Blaaam.Pintu tertutup rapat.****Bersambung."Ayo masuk!" ajak Dina. Bocah itu menurut saja layaknya kerbau dicocok hidungnya. Lalu, Krieeeet. Blaaam. Pintu tertutup rapat. Azhar celingukkan, tidak ada curiga sedikitpun. Ia mengamati sekelilingnya, ruangan gelap dan pengap di bumbuhi aroma bau busuk menyeruak ke dalam rongga hidungnya. "Tempat apa ini? Kenapa kita harus bersembunyi di tempat ini?" "Supaya tidak ketahuan!" Lagi-lagi senyuman mengerikan itu tampak di bibirnya. Dina menyambar besi yang tergeletak di dekat tembok. Lalu ia mengangkatnya tinggi-tinggi. Sialnya, Azhar menoleh ke arahnya. "Aaargh!" teriak Azhar, ia terjatuh karena kaget. "Mau apa kamu?" "Ssst!" henti Dina, tangannya berada di mulutnya sendiri. Ia jalan mendekati Azhar sambil, "Jangan berisik!" Berkata pelan. Gedebuk. Namun pukulan Dina meleset. Azhar bergegas bangun dan berlari. "Larilah sampai jauh. Aku akan terus mengejarmu!" gumam Dina sangat menakutkan. Kaki kecil itu berlari namun sayangnya, Gubrak. Azhar terjatuh. Kakinya tersandung k
"Darah!" bisik batin Dede. "Jangan-jangan ...." bibirnya berhenti berkata, lalu ia bergegas menoleh. "Kamu?" Dina hanya tersenyum menyeringai sambil mengangkat tongkat besi tinggi-tinggi yang dia ambil di dekat pintu masuk, dan .... Buk. Pukulan Dina bisa di tahan Dede dengan tasnya. "Apa-apaan ini? Dasar perempuan gila!" teriak Dede. Ia kemudian mendorong besi yang tertahan oleh Dina sekuat tenaga. Dede berlari, Dina mulai melangkah mengejar bocah laki-laki. Anak perempuan itu sengaja menyeret besinya dan dibiarkan berbunyi hingga menimbulkan ketakutan tersendiri buat Dede. "Larilah, De. Lari dan bersembunyilah. Aku akan menemukanmu, dan bersiap-siap untuk mati, Dede!" kata Dina. Dede terus berlari dan kemudian. Gedebuk. Kakinya tersandung sesuatu. "A-apa itu?" bisik Dede, dia jauh lebih pemberani dibandingkan Azhar. "Dan ini b-bau darah!" Rasa penasarannya pun membuat ia mendekati sesuatu yang membuatnya terjatuh. "A-A-AZHAR?" Dia bergegas menutup hidung dan mulutnya. Dirinya
Dina berjalan di depan. Fadil melihat sekelilingnya, sama seperti Dede dan Azhar, dia sedikit heran melihat lokasi persembunyian Fadil dan Dede itu. "Apa benar, Dede dan Azhar bersembunyi di sini?" tanya Fadil penasaran. Bocah perempuan itu hanya mengangguk. "Tapi di mana?" tanya Fadil rada cerewet. "Sebelah situ!" sahut Dina menunjuk bangunan tempat mayat Dede dan Azhar berada. "Ayo cepat, nanti Tino akan menemukanmu!" ujar Dina berjalan lebih cepat lagi, sebab, hari sudah semakin sore. Dia harus bisa menghabisi satu persatu kelima anak pengganggu dirinya. Dina membukakan pintu. Fadil tidak langsung masuk, ia melihat ruangan gelap tanpa cahaya. Bau busuk menyeruak keluar hingga memenuhi rongga hidungnya. "Tempat ini bau banget! Gak mungkin Azhar dan Dede bersembunyi di sini!" Bocah jangkung itu tak lantas percaya begitu saja ucapan Dina. "Atau jangan-jangan kau ...." Dia menoleh dan, Buk. Pukulan keras menghantam kepala Fadil hingga jatuh pingsan. Darah bocah laki-laki itu kelu
Tubuh Dina terdorong oleh Tino hingga terjatuh. Besi di tangannya terlepas, menggelinding dan berhenti tepat di dekat kaki Tino. "Ngapain kamu di sini?" tanya Tino tak bersahabat, tangannya bertelak pinggang dan tatapan matanya terlihat sinis. "Kau ingin balas dendam pada kami, huh?" Dina diam, tidak menghiraukan apa yang di tanyakan Tino. "Bodoh, kau tuli, huh!" Ia menendang lengan Dina. Bocah itu tersungkur di tanah. "Gak punya mulut sampai-sampai kamu cuekin pertanyaanku?" Senyuman khas Dina terlihat mengerikan. Ia mendongak dan sengaja memperlihatkannya pada Tino dan Ryan. "Kalian ingin tau?" tanya Dina bangun dari tersungkurnya. Berdiri tegap tanpa ada mimik rasa takut menghadapi dua anak laki-laki bertubuh dua kali lebih besar darinya. Tangannya mengangkat, "Aku mau membunuh kalian berdua!" Menunjuk bergantian ke arah Tino dan Ryan. Ryan, wajah bocah berkulit putih itu semakin pucat, bukan takut akan ancaman Dina, melainkan dia takut akan mimik wajah bocah berusia 7 tahun y
Nasib sialnya tidak berpihak padanya. Dina sudah berada di depannya dan memukul keras wajah Tino. Bocah laki-laki itu cukup kuat, masih saja tersadar terkena besi berkarat itu. Dina bergegas menghampiri Tino sebelum kesadaran bocah laki-laki itu pulih sepenuhnya. Tangan bergerak cepat, berayun sambil mengarahkan tangannya ke kepala Tino. Bocah itu mengabaikan kepalanya yang berlumur darah, tidak peduli darah itu mengalir di wajahnya. Tino berusaha berdiri sambil berpegangan di tembok. Napasnya terengah-engah, ketakutannya semakin menjadi. Tubuhnya gemetaran saat ia menegakkan kakinya. "JANGAN LAKUKAN ITU PADAKU!" teriak Tino menutupi kepalanya dengan tangan. Ia benar-benar putus asa saat terdesak seperti ini. Takut akan kematian, takut darah keluar lagi dari celah mata, hidung dan mulut seperti Ryan. Dina menghentikan tangannya, melirik ke arah Tino yang mendadak menjadi seorang pengecut. Keberaniannya sesaat tadi menyiksa bocah perempuan itu seolah-olah menghilang. Napas Tino tak
Perlahan-lahan ingatan tentang masa lalunya yang kelam terbuka sedikit-sedikit. Ia merasa ada yang aneh pada dirinya sendiri, tapi apa? Dina pun tidak mengerti itu, dia merasa dikendalikan di setiap gerakkan bahkan tubuhnya seakan dikuasai oleh seuatu yang tidak pernah dia ketahui bentuknya. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit sekali. Dia memaksakan diri untuk mengingat semua kejadian demi kejadian yang membuat dia seperti seorang psikopat tak berperasaan. Pembunuh berdarah dingin yang ketagihan membunuh, menyukai lihat orang merintih kesakitan, memelas dan memohon ampun padanya. "Aaargh!" pekiknya mengagetkan petugas penjara dan kedua polisi. "Hei, kenapa denganmu?" tanya petugas penjara berwajah kuatir. Dina menunduk dengan tangan yang terus menjenggut rambutnya sendiri. Kepalanya semakin sakit, begitu dia tersiksa oleh ingatan yang tidak pernah ada namun ia sudah melakukan di luar kesadarannya. "Kamu baik-baik saja, nona?" Pertanyaan petugas itu tidak dipedulikan oleh Dina,
Winda langsung terbawa emosi dari hasutan Randy, laki-laki pengangguran bermulut iblis seperti perempuan. Lalu, ia beranjak bangun. Sementara Dina duduk diam di pinggiran kasur, Winda mendobrak masuk tanpa mengetuk pintu. Gadis kecil itu terperangah, wajahnya ketakutan melihat ibu yang telah melahirkannya berdiri dengan wajah menyeramkan. Jari-jarinya memainkan ujung baju, gelisah. "M-mamah?" Winda bergegas menghampiri, menyeret Dina untuk berdiri dan menyuruh untuk mengikutinya. Kejadian yang terus berulang-ulang. "Ikut Mamah sekarang!" "K-kita mau kemana, Mah?" Dina tak mengerti. Saat ini wajah bocah itu benar-benar terlihat polos seperti bocah pada umumnya. "Mamah akan beri kamu hukuman atas tingkahmu hari ini!" imbuhnya. Dina merasa tak bersalah, dia sudah menuruti apa yang ibunya perintahnya. Apapun itu, gadis kecil itu tidak pernah membantahnya. "T-tapi salah Dina apa, Mah? B-bukankah Dina sudah membawakan uang hasil jualan hingga habis. Tapi kenapa Mamah masih menghukum
Lalu, Debuaaar. Tabung gas meledak. Meluapkan api menjadi sangat besar dan membakar semuanya. merambat cepat. "Aaargh!" teriak Winda dan Randy kepanasan. Pakaiannya mulai ikut terbakar, lalu menjalar dengan sangat cepat. Gas dari tabung gas itulah yang membuat api itu cepat merambat ke tubuh ibu dan ayah tiri Dina. Mereka berdua menggeliat, lalu berguling-guling di lantai. Berusaha memadamkan api yang terus membakar tubuh mereka. Sayangnya, gas dari tabung gas sudah memenuhi tubuh Winda dan Randy, api tidak mudah padam."Aarh ... panas! Tolong ... tolong aku!" teriak Winda dan Randy. Winda menghampiri Dina, meminta tolong pada bocah itu. "Dina ... tolong Mamah, Nak! Tolong padamkan api di tubuh mamah!" pinta Winda, tangannya menggapai, berusaha meraih kaki bocah kecil itu.Akan tetapi, Dina justru menginjak kaki Winda. "Aaargh!" pekiknya. Saat ini, bocah perempuan itu sedang tak ingin memberi belas kasih pada ibu dan ayah tirinya yang sudah sering menyiksa. "Lebih baik, mamah nik