Iblis Gelang Besi terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan, "Akan kuturunkan semua jurus milik keluargaku supaya kau bisa menjaga diri dari orang-orang yang berniat jahat. Lagipula sejak kematian Cao Lie karena menggantikan hukuman mati Qing Ning, aku sudah tak memiliki siapa-siapa lagi."“Benarkah?” Mata Du Fei membeliak karena antusias, ia segera berlutut menghormat pada neneknya, “terimalah hormat Murid, Guru!”Dengan telaten, Jin She mulai mengajarkan jurus demi jurus kepada Du Fei. Menggunakan ranting kering sebagai pengganti senjata pedang, ia memperagakan gerakan-gerakan Ilmu Pedang Bayangan Bulan, teknik legendaris yang hanya dikuasai oleh leluhurnya. Jin She sendiri lebih menyukai gelang besi menjadi senjata andalan, tetapi ia masih mengingat dengan baik jurus-jurus Pedang Bayangan Bulan peninggalan kakek buyutnya."Delapan puluh jurus Ilmu Pedang Bayangan Bulan," Jin She menjelaskan, "adalah manifestasi dari kekuatan yin dalam semesta. Setiap gerakan mengandung filosofi
Du Fei mengangguk paham, menggenggam erat ranting di tangan. Ilmu Pedang Bayangan Bulan kini telah menjadi bagian dari dirinya, mengalir dalam setiap tarikan nafas dan denyut nadinya. Bahkan sang nenek, Jin She, tak dapat menyembunyikan kekaguman melihat cucunya menguasai hampir seluruh teknik legendaris itu dalam waktu singkat.Meski hanya menggunakan ranting kering sebagai pengganti pedang, Du Fei mampu merasakan betapa dahsyatnya jurus-jurus yang baru ia pelajari. Dalam benak cucu Jin She mulai membayangkan betapa mengerikan jurus-jurus ini bila dipadukan dengan Pedang Naga Api yang hendak dicarinya di Gunung Huolong."Du Fei," suara lembut Jin She memecah lamunan sang cucu. Wanita tua itu menghampiri sang cucu, ia memegang sesuatu, langkahnya ringan menyiratkan puluhan tahun pengalaman dalam dunia persilatan. "Sebelum kau memulai perjalanan, Nenek ingin memberimu sesuatu."Sebuah kotak kayu kecil berukir naga emas pun berpindah tangan. Du Fei membukanya dengan hati-hati, mendapati
Suara tawa riang Liu Heng yang masih asyik berperan sebagai babi hutan terdengar sayup-sayup, sementara Du Fei melesat makin jauh. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa si kakek bukanlah orang biasa melainkan seorang pendekar hebat dan mantan tetua Kunlun Pai. Hanya karena serakah ingin menjadi pendekar nomor satu dan menguasai jurus pamungkas yang hanya boleh dipelajari oleh ketua Kunlun, ia mencuri sebagian kitab dan mencoba mempelajarinya. Karena penguasaan tak sempurna itu, Liu Heng berakhir menjadi tak waras dan bertingkah seperti anak kecil. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan Liu Heng lewat udara, api unggun yang ditinggalkan Du Fei berkobar semakin besar. Dalam sekejap, tali yang menggantung kaki si Pendekar Sinting terputus, tubuh kakek tua itu melesat turun. Berkat ilmu meringankan tubuh yang nyaris sempurna, Pendekar Sinting itu mendarat dengan ringan seperti gumpalan kapas.“Kucing Nakal, jangan lari … tunggu aku!” Liu Heng terkekeh, melesat menyusul teman bermainn
Pria bertudung itu dengan sigap berbalik, teriakan Liu Heng membelah udara bersamaan dengan tubuhnya yang melesat bagai anak panah. Tangannya bergerak cepat membentuk pusaran energi, menerapkan jurus Tangan Dewa Memukul Arwah. Sosok bertudung hitam itu berputar menghindar, jubahnya berkibar, pedangnya berkilat tajam di bawah sinar matahari."Liu Heng, kau masih hidup rupanya," desis sosok misterius itu. Pedangnya menari dengan gerakan aneh, menusuk dengan ganas dan bertubi-tubi ke arah titik-titik vital. Liu Heng mengelak dengan lincah, "Hehehe ... tentu saja! Mana mungkin Liu Heng mati semudah itu?" Tangan kanannya bergerak dalam lingkaran sempurna, menciptakan gelombang tenaga dalam yang mampu meruntuhkan batu karang.Sosok bertudung itu melompat ke udara, menghindar dengan cepat. Pedangnya kembali menyerang dalam serangkaian tusukan mematikan. Liu Heng menangkis setiap serangan dengan telapak tangannya yang dialiri tenaga dalam, menciptakan denting nyaring setiap kali telapak tan
"Rahasia besar?" Kening Yun Hui berkerut dalam. Jantungnya mulai berdebar tak beraturan, perasaannya tiba-tiba saja tak enak."Benar. Guru menyimpan rahasia yang hanya diketahui olehku. Beliau berpesan aku hanya boleh memberitahumu setelah aku meninggalkan Hoa Mei," Feng Huang menarik nafas panjang, "baru beberapa hari lalu aku ingat akan janji itu.""Rahasia apa yang Guru sembunyikan dariku?" Yun Hui mencengkeram cangkir tehnya erat-erat. Berusaha menenangkan diri, ia menghirup dalam-dalam aroma teh yang menguar dari cangkir tersebut."Tiga puluh tahun yang lalu …," Feng Huang memulai dengan suara bergetar, "ketika aku menemani Guru mencari daun obat di Jurang Hitam, kami menemukanmu tersangkut di antara dahan pohon. Kau hamil tua dan terluka parah." Bayangan masa lalu melintas di benak Yun Hui. Rasa sakit yang membakar dan keputusasaan yang mencekik tiba-tiba datang kembali. Pengkhianatan kekasih yang berjanji akan menikahinya namun berujung melemparkan tubuhnya ke dalam jurang hing
Di luar gedung, Feng Huang sudah menunggu bersama dua ekor kuda. Yun Hui menghampirinya, mengenakan jubah perjalanan dan membawa buntalan pakaian serta bekal di pundak."Kau sudah siap?" tanya Feng Huang begitu Yun Hui duduk di atas pelana.Yun Hui mengangguk, matanya menatap jauh ke arah matahari yang mulai terbenam. "Ya, sudah waktunya aku mencari keberadaan putraku."Mereka mulai memacu kuda masing-masing meninggalkan perguruan Hoa Mei. Di belakang mereka, Xiao Lin dan para murid membungkuk hormat, mengantar kepergian guru mereka dalam diam. Tak ada yang tahu bahwa pencarian ini akan membuka tabir rahasia yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.Desir angin mengiringi derap langkah kuda yang semakin kencang, menyusuri jalan berliku dan menuruni perbukitan terjal. Biarawati Yun Hui memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan hati yang dipenuhi harap. Empat hari empat malam mereka berkuda tanpa henti, hanya berhenti sejenak untuk memberi minum kuda dan melepas lelah. Akhirn
Matahari telah kembali ke peraduan digantikan bulan purnama dan bintang-bintang yang berserakan di langit. Malam semakin pekat, menyelimuti sebuah kota kecil. Lentera-lentera berkelap-kelip menyinari jalan-jalan sempit, sementara penduduk mulai menutup pintu dan jendela rapat-rapat, bersiap menyambut istirahat malam mereka. Di antara bayang-bayang, dua sosok wanita terlihat mengendarai kuda dengan perlahan memasuki kota. Dua sosok tersebut tak lain dan tak bukan adalah Feng Huang dan Biarawati Yun Hui. Mereka berdua telah berkuda beberapa jam lamanya setelah meninggalkan Desa Jurang Hitam, kuda-kuda mereka mulai lelah."Hari sudah mulai larut, bagaimana kalau kita bermalam di sini?" kata Feng Huang, menunjuk sebuah penginapan sederhana yang masih tampak buka dan merupakan satu-satunya penginapan di kota kecil itu.Yun Hui mengangguk setuju tanpa banyak bicara, sejak dari Desa Jurang Hitam, ia lebih banyak diam dan melamun. Setelah menambatkan kuda mereka, keduanya berjalan memasuk
Feng Huang mengamati perubahan raut wajah mantan adik seperguruannya dengan sorot mata khawatir. Beberapa tahun bersama di perguruan memberinya kepekaan untuk membaca gejolak batin Yun Hui. Sebelum ia sempat membalas gertakan si Kepala Pengawal, gedebak-gedebuk keras terdengar dari lantai atas, disusul suara benda-benda pecah dan teriakan tertahan."Heh," pengawal kurus terkekeh, memamerkan gigi-giginya yang kekuningan. "Dengar itu? Tiga anak buahku sedang memberi pelajaran pada tamu-tamu keras kepala di atas. Kalau kalian tidak ingin bernasib sama, dipukuli sampai mati … lebih baik angkat kaki dari sini sekarang juga!"Sudut bibir Feng Huang terangkat membentuk senyuman sinis, tangannya sudah gatal ingin menghajar kepala pengawal arogan ini. Namun sebelum ia sempat melayangkan tangan tiba-tiba terdengar suara benturan keras di atas mereka."BRAKK!" Disusul tiga sosok tubuh terlempar dari lantai dua, berguling-guling di tangga sebelum mendarat dengan suara berdebum di lantai. Ketiga
"Ssst!" Du Fei mendadak menghentikan pembicaraan, telinganya menangkap derap langkah dan suara-suara di luar. Kedua pemuda itu segera melompati jendela dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk bersembunyi di atas tembok pembatas. Dedaunan rimbun melindungi mereka dari pandangan mata orang-orang di bawahnya.Ratapan pilu terdengar nyaring di pagi hari itu. Istri Hakim Yang terhuyung memasuki halaman, wajahnya pucat pasi dengan bekas air mata yang belum mengering. Di kanan kirinya, dua putra sang Hakim memapah tubuh ringkih ibunya yang gemetar hebat."Suamiku ... suamiku …," Nyonya Yang terisak sebelum tubuhnya limbung tak sadarkan diri untuk kesekian kalinya."Ibu!" Kedua putranya dengan sigap menangkap dan membawanya duduk di bangku taman. Wajah mereka memancarkan duka yang dalam, bercampur dengan amarah yang siap meledak.Yang Jin, putra sulung Hakim Yang, melangkah dengan tangan terkepal ke arah Jenderal Lo yang menyambut kedatangan mereka. Matanya merah, suaranya bergetar menah
"Menyerahlah, Topeng Hantu!" Yun Hao mendesis dingin, meski jauh di lubuk hati masih tersisa kekaguman pada penyelamat nyawa bocah kecil itu.Dalam kegelapan, senyum tipis tersungging di bibir Du Fei. "Kau pandai memilih waktu, Anak Muda.""Sebaiknya kau bekerja sama denganku kalau tak ingin kepalamu terpisah!" Pedang di tangan Yun Hao menekan sedikit lebih dalam ke kulit leher buronan kerajaan. Bergerak sedikit saja maka kulit Du Fei akan tergores."Lucu sekali!" Du Fei terkekeh, suaranya ringan seolah tak merasa terancam sama sekali. "Kau jelas-jelas tak ingin membunuhku. Kalau kau ingin melakukannya, pasti tak akan menolongku tadi. Benar bukan?"Yun Hao terdiam, genggamannya pada pedang sedikit mengendur. Dalam sekejap mata, Du Fei memanfaatkan kelengahan ini. Tubuhnya berputar bagai angin puyuh, tangannya menepis pedang dengan gerakan kilat.TRANG!Pedang terlempar, namun Yun Hao tak kalah cepat. Kakinya bergerak dalam tendangan beruntun yang membuat Du Fei terpaksa melompat mundu
Tangan kanannya mengacungkan selembar kertas pengumuman sambil menunjuk ke arah Du Fei, "Dia si Topeng Hantu!"Kertas berwarna kuning di tangan si prajurit memperlihatkan sketsa wajah buronan bertopeng yang begitu mirip dengan pemuda itu. Du Fei terpaku sejenak melihat kertas kusut yang melambai di udara. Sedetik kelengahan itu sudah cukup memberi kesempatan bagi si Pembunuh misterius untuk kabur. Sosoknya lenyap begitu memasuki lorong-lorong kota yang berliku."Kepung dia!" A Lung mengeluarkan komando, "jangan biarkan Topeng Hantu lolos!"Dua puluh empat prajurit bergerak cepat membentuk lingkaran, mata tombak dan pedang mereka teracung mengancam ke arah Du Fei. Si Topeng Hantu tetap berdiri tenang di tengah lingkaran, meski hanya bertangan kosong namun postur tubuhnya menyiratkan bahaya yang siap meledak.Sementara itu Yun Hao mengamati dengan nafas tertahan. Ia sungguh tak menyangka sosok penyelamat yang membuatnya kagum karena keahlian luar biasa saat menyelamatkan bocah kecil it
Yun Hao cepat menyarungkan pedang, tak ingin memicu kepanikan di antara orang banyak. Ia berusaha mengatur nafas dan langkah agar tampak biasa. Matanya bergerak waspada di antara kerumunan, mencari kilasan putih yang bisa menjadi petunjuk keberadaan si pembunuh. Aroma makanan dan asap dari tungku pedagang makanan bercampur dengan suara-suara keramaian.Sekilas Yun Hao menangkap sosok berpakaian putih tak jauh di depannya. Tanpa pikir panjang, Yun Hao mempercepat langkah dan mencengkeram bahu orang itu dengan kuat. "Berhenti kau!""Aduh!" Orang itu menoleh kesakitan, memperlihatkan wajah seorang pedagang tua yang kebingungan. "Ada apa, Anak Muda?""Maaf, saya salah orang!" Yun Hao buru-buru melepaskan cengkeramannya. Tiba-tiba dari sudut mata, ia menangkap sosok berpakaian putih yang lain, si pembunuh misterius sedang mengawasinya dari balik pilar gazebo, mengenakan kain penutup wajah berwarna senada sehingga sulit melihat seperti apa wajahnya.Merasa ketahuan, sosok itu melesat pergi.
Jenderal Lo sedang berdiskusi dengan Hakim Yang di ruang tamu, sementara A Lung dan dua prajurit berjaga di teras.Tiba-tiba terdengar derap langkah tergesa memecah keheningan. Yun Hao berlari ke arah mereka, wajahnya tegang seperti ingin menyampaikan kabar penting. Namun langkahnya terhenti mendadak saat A Lung menghadang di depan pintu, lengannya terentang menghalangi jalan."Hey-hey, mau apa kau buru-buru begitu?" hardik A Lung, matanya menyipit curiga."Aku harus bertemu Jenderal Lo dan Hakim Yang!" Yun Hao berusaha menahan nada tak sabar dalam suaranya. Bayangan putih yang baru saja ia lihat berkelebat di kegelapan malam masih membayang di benaknya."Mereka sedang sibuk dan tak mau diganggu," ujar A Lung ketus, bibirnya mencibir meremehkan, "kau sampaikan saja padaku, nanti aku yang beritahu Jenderal!"Kening Yun Hao berkerut menahan kesal, akan tetapi mengingat situasi genting ini, ia memilih untuk mengalah, "Aku melihat sekilas ada bayangan putih melintas di antara pepohonan di
"Qing Ning …," nama itu meluncur dari bibir Hakim Yang seperti bisikan hantu.Jenderal Lo mencondongkan tubuh ke depan, menangkap perubahan drastis pada raut wajah sahabatnya, "Siapa Qing Ning? Apakah dia memiliki kaitan dengan Dewa Golok Putih?"Hakim Yang menghela nafas berat, tangannya yang gemetar menutup kitab tua itu. "Aku tidak yakin mereka memiliki hubungan dekat, tetapi yang kutahu, Qing Ning adalah istri mendiang Pendekar Iblis yang kala itu menjabat sebagai Kepala Pasukan Khusus. Dan Dewa Golok Putih mengabdi pada suaminya.""Hmm," Jenderal Lo mengusap jenggotnya, matanya menyipit menunjukkan ia sedang berpikir keras. "Mungkinkah Dewa Golok Putih berencana membalaskan dendam kematian istri tuannya?"Hakim Yang menggeleng lemah. Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela yang menghadap ke taman belakang. Bunga-bunga persik bermekaran dengan indah menghiasi taman, namun tak mampu menghilangkan kegelisahan di hati pemiliknya."Aku rasa tidak mungkin, dia justru sangat memb
Setelah berpisah dengan para prajuritnya, Jenderal Lo melangkah memasuki kediaman Hakim Yang. Rumah mewah bergaya kuno itu dikelilingi tembok tinggi dan penjaga bersenjata yang mondar-mandir dengan waspada. Hakim Yang, pria berusia 60 tahun dengan jenggot tipis yang terawat, menyambut sahabatnya dengan pelukan hangat."Sahabatku, sudah tiga tahun lebih kita tidak bertemu!" Hakim Yang menepuk punggung Jenderal Lo, "malam ini kau harus bermalam di sini, tidak ada penolakan!"Sambil berbincang dan sesekali tertawa, mereka duduk di ruang tamu yang diterangi lentera giok, ditemani teh dan kudapan. Namun Jenderal Lo menangkap kegelisahan di balik senyum sahabatnya. Gurat-gurat lelah menghiasi wajah yang biasanya berseri itu."Ada apa, Saudaraku? Wajahmu seperti awan mendung di musim hujan.”Hakim Yang menghela nafas berat, "Sepertinya ada yang mengincar nyawaku, Lo." Ia menyesap teh dengan tangan sedikit bergetar, "Semua dimulai dengan ditemukannya bangkai tikus di depan pintu, disertai sel
Aroma bunga dahlia menyelimuti kamar yang dihiasi nuansa merah muda. Ming Mei duduk bagai lukisan hidup, tangannya yang putih nan halus bergerak anggun menuangkan teh ke dalam cawan keramik berwarna hijau. Uap hangat mengepul, membawa wangi yang membuat suasana menjadi lebih rileks dan nyaman."Tuan Muda sepertinya belum pernah berdekatan dengan wanita." Senyum Ming Mei mengembang bagai bunga mekar, matanya berkilat jenaka. "Jangan takut, Ming Mei tak akan menggigitmu. Hanya ingin mentraktir Anda minum teh wangi yang terkenal di Wisma Harum ini."Yun Hao menelan ludah, perlahan duduk di hadapan Ming Mei. Degup jantungnya yang tak beraturan seolah mengkhianati ketenangannya yang dipaksakan."Rekan-rekanku mengatakan kalau Tuan Muda datang kemari mencariku, boleh kutahu mengapa?" Suara Ming Mei mengalun bagai petikan kecapi, lembut dan manis."Nona telah menolongku dengan memberitahukan ada pencopet yang berusaha mencuri kantung uangku saat di pasar tadi," Yun Hao menjawab, untuk pertam
"Lihat, ada pemuda tampan datang!" Seorang gadis berbaju kuning cerah memekik girang, memamerkan lesung pipit di pipi saat melihat Yun Hao berdiri sembari celingukan mencari seseorang."Wah, masih muda sekali!" Gadis lain menimpali, matanya berbinar nakal."Kulitnya putih seperti susu!" Gadis ketiga menyahut diiringi tawa genit."Pasti anak orang kaya!" Suara bisik-bisik terdengar di setiap sudut ruang.Dalam sekejap, Yun Hao dikelilingi gadis-gadis berpakaian warna-warni dengan riasan wajah yang mencolok. Wangi bedak dan minyak wangi membuat kepalanya pening. Beberapa gadis mulai berani menyentuh pipi dan menjawil dagu sang pangeran, dan ada juga yang bergelayut manja di lengannya. Tubuh Yun Hao membeku seketika seperti balok es."A-aku mencari gadis berbaju merah muda yang baru masuk," ujarnya tergagap, berusaha mundur namun terhalang oleh gadis-gadis yang semakin mendekat."Oh, kau mencari Nona Ming Mei?" Seorang gadis berbaju hijau terkikik sambil menutup mulutnya dengan lengan ba