"Rahasia besar?" Kening Yun Hui berkerut dalam. Jantungnya mulai berdebar tak beraturan, perasaannya tiba-tiba saja tak enak."Benar. Guru menyimpan rahasia yang hanya diketahui olehku. Beliau berpesan aku hanya boleh memberitahumu setelah aku meninggalkan Hoa Mei," Feng Huang menarik nafas panjang, "baru beberapa hari lalu aku ingat akan janji itu.""Rahasia apa yang Guru sembunyikan dariku?" Yun Hui mencengkeram cangkir tehnya erat-erat. Berusaha menenangkan diri, ia menghirup dalam-dalam aroma teh yang menguar dari cangkir tersebut."Tiga puluh tahun yang lalu …," Feng Huang memulai dengan suara bergetar, "ketika aku menemani Guru mencari daun obat di Jurang Hitam, kami menemukanmu tersangkut di antara dahan pohon. Kau hamil tua dan terluka parah." Bayangan masa lalu melintas di benak Yun Hui. Rasa sakit yang membakar dan keputusasaan yang mencekik tiba-tiba datang kembali. Pengkhianatan kekasih yang berjanji akan menikahinya namun berujung melemparkan tubuhnya ke dalam jurang hing
Di luar gedung, Feng Huang sudah menunggu bersama dua ekor kuda. Yun Hui menghampirinya, mengenakan jubah perjalanan dan membawa buntalan pakaian serta bekal di pundak."Kau sudah siap?" tanya Feng Huang begitu Yun Hui duduk di atas pelana.Yun Hui mengangguk, matanya menatap jauh ke arah matahari yang mulai terbenam. "Ya, sudah waktunya aku mencari keberadaan putraku."Mereka mulai memacu kuda masing-masing meninggalkan perguruan Hoa Mei. Di belakang mereka, Xiao Lin dan para murid membungkuk hormat, mengantar kepergian guru mereka dalam diam. Tak ada yang tahu bahwa pencarian ini akan membuka tabir rahasia yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.Desir angin mengiringi derap langkah kuda yang semakin kencang, menyusuri jalan berliku dan menuruni perbukitan terjal. Biarawati Yun Hui memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan hati yang dipenuhi harap. Empat hari empat malam mereka berkuda tanpa henti, hanya berhenti sejenak untuk memberi minum kuda dan melepas lelah. Akhirn
Matahari telah kembali ke peraduan digantikan bulan purnama dan bintang-bintang yang berserakan di langit. Malam semakin pekat, menyelimuti sebuah kota kecil. Lentera-lentera berkelap-kelip menyinari jalan-jalan sempit, sementara penduduk mulai menutup pintu dan jendela rapat-rapat, bersiap menyambut istirahat malam mereka. Di antara bayang-bayang, dua sosok wanita terlihat mengendarai kuda dengan perlahan memasuki kota. Dua sosok tersebut tak lain dan tak bukan adalah Feng Huang dan Biarawati Yun Hui. Mereka berdua telah berkuda beberapa jam lamanya setelah meninggalkan Desa Jurang Hitam, kuda-kuda mereka mulai lelah."Hari sudah mulai larut, bagaimana kalau kita bermalam di sini?" kata Feng Huang, menunjuk sebuah penginapan sederhana yang masih tampak buka dan merupakan satu-satunya penginapan di kota kecil itu.Yun Hui mengangguk setuju tanpa banyak bicara, sejak dari Desa Jurang Hitam, ia lebih banyak diam dan melamun. Setelah menambatkan kuda mereka, keduanya berjalan memasuk
Feng Huang mengamati perubahan raut wajah mantan adik seperguruannya dengan sorot mata khawatir. Beberapa tahun bersama di perguruan memberinya kepekaan untuk membaca gejolak batin Yun Hui. Sebelum ia sempat membalas gertakan si Kepala Pengawal, gedebak-gedebuk keras terdengar dari lantai atas, disusul suara benda-benda pecah dan teriakan tertahan."Heh," pengawal kurus terkekeh, memamerkan gigi-giginya yang kekuningan. "Dengar itu? Tiga anak buahku sedang memberi pelajaran pada tamu-tamu keras kepala di atas. Kalau kalian tidak ingin bernasib sama, dipukuli sampai mati … lebih baik angkat kaki dari sini sekarang juga!"Sudut bibir Feng Huang terangkat membentuk senyuman sinis, tangannya sudah gatal ingin menghajar kepala pengawal arogan ini. Namun sebelum ia sempat melayangkan tangan tiba-tiba terdengar suara benturan keras di atas mereka."BRAKK!" Disusul tiga sosok tubuh terlempar dari lantai dua, berguling-guling di tangga sebelum mendarat dengan suara berdebum di lantai. Ketiga
"Yao Chen, awas!" Teriak Yao Pang panik. Untuk pertama kalinya, topeng ketenangan sang pendekar retak oleh ketakutan murni seorang ayah.Seringai kejam tersungging di wajah pucat Bian Fu. Dalam sekejap mata, tangannya yang terlatih menangkap tubuh mungil Yao Chen. Jemarinya yang panjang mencengkeram leher gadis kecil itu, membuat Yao Chen menjerit tertahan."Jangan mendekat, atau kepala anak ini akan terpisah dari tubuhnya!"Ancaman itu menggantung di udara bagai pedang yang siap menebas. Yao Pang membeku di tempatnya berdiri, seluruh otot tubuhnya menegang dipenuhi kemarahan dan juga kecemasan. Jin She dan Lian Xi secara naluriah mengambil posisi menyerang, namun tak berani bergerak lebih jauh."A … yah …," Yao Chen terisak, air mata mulai mengalir di pipinya yang kemerahan. Jemari Bian Fu semakin dalam mencengkeram leher mungilnya."Lepaskan putriku, Bian Fu!" suara Yao Pang berubah sedingin es, setiap kata yang ia ucapkan mengandung ancaman mematikan. "Atau kau akan merasakan kemati
Bian Fu berputar cepat, tertegun ketika berhadapan dengan Feng Huang dan Yun Hui yang entah bagaimana berhasil mengikuti jejaknya. Mata Yun Hui berkilat dingin, pedangnya terhunus lurus ke arah Bian Fu."Lepaskan mereka!" perintah Yun Hui, suaranya sedingin es.Tawa melengking Bian Fu memecah kesunyian hutan. "Lepaskan? Oh tidak, tidak ... gadis cantik ini," ia mengedikkan kepala ke arah gadis muda tawanannya, "akan menjadi hadiah istimewa untuk Pejabat Yuan. Setelah beliau bosan menjadikannya gundik, ia akan dibuang ke wisma bunga untuk menghasilkan uang dengan menjadi wanita penghibur.""Bedebah!" Yun Hui melesat maju, pedangnya menari dalam gerakan 'Sembilan Naga Mengejar Mutiara'. Ujung pedangnya berkilat-kilat membentuk lingkaran cahaya yang mematikan. Namun Bian Fu bukan petarung sembarangan, ia menghindar dengan gerakan meliuk seperti kelelawar, kunai di tangannya berdesing membelah udara."Trang! Trang!" Suara logam beradu memenuhi udara malam ketika pedang Yun Hui berhasil m
Lilin-lilin menyala redup di dalam kamar penginapan, Jin She membungkuk di sisi tempat tidur, memastikan selimut menutupi tubuh mungil Yao Chen yang terlelap. Jemarinya menyibakkan helaian rambut yang jatuh di wajah gadis kecil itu, sebelum menutup tirai tempat tidur.Matanya beralih pada sosok Yao Pang yang berdiri membisu di depan jendela, cahaya rembulan menyinari wajahnya yang dingin tanpa ekspresi. Atap-atap rumah penduduk tampak seperti lukisan tinta hitam di bawah langit malam."Nona kecil sudah tertidur pulas," lapor Jin She dengan hati-hati, ia tak ingin mengejutkan sang Ketua."Bagaimana dengan gadis itu?" Yao Pang bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan malam di depannya.Jin She mengambil posisi beberapa langkah di belakang Yao Pang, "Gadis itu sudah sadar. Menurutnya, ia sedang menikmati festival di kotanya ketika seseorang berjubah hitam dengan wajah dicat putih seperti hantu menyerangnya. Setelah itu, semuanya gelap dan gadis malang itu tak ingat apa-ap
Jin She masih mengawasi kamar yang ditempati Yun Hui, ketua Sekte Hoa Mei, ketika Feng Huang melangkah keluar dari kamarnya. Wanita bergelar Iblis Gelang Besi itu bergegas menjauh dan menghilang dalam kegelapan. Mata Feng Huang yang tajam menangkap gerak-gerik Jin She, ia mulai mengkhawatirkan keadaan Yun Hui. Setelah memastikan Jin She pergi, ia melangkah ke pintu kamar mantan adik seperguruannya.Pintu kayu berderit pelan. Yun Hui berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, matanya sembab dan berkaca-kaca. Tanpa kata-kata, ia membuka pintu lebih lebar, membiarkan Feng Huang masuk.Kedua wanita itu duduk berhadapan dalam keheningan yang menyesakkan. Feng Huang mengamati sahabatnya yang biasanya angkuh dan tegar kini tampak begitu rapuh."Sepertinya aku telah menemukan putraku yang hilang," Yun Hui akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik."Benarkah?" Mata Feng Huang melebar.Yun Hui mengangguk lemah, jemarinya saling bertaut menunjukkan kegelisahan yang dalam. "Aku mendengarkan
Suara yang tadinya tenang dan anggun itu mendadak bergetar. Du Fei menoleh dan tertegun melihat mata jernih itu kini berkaca-kaca, seperti menyimpan kerinduan yang lama terpendam.Sebelum Du Fei sempat bereaksi, Nona Xin telah bergerak secepat kilat ke arahnya. Jemari lentiknya yang halus meraih tangan Du Fei, menggenggamnya erat seolah takut kehilangan."Eeh, Nona Xin …," Du Fei menjadi salah tingkah, wajahnya memanas saat wanita cantik itu mengusap pipinya dengan lembut. Tatapan mesra yang diberikan Nona Xin membuatnya membeku di tempat, tak mampu bergerak ataupun berpikir jernih."Apakah Nona Xin jatuh cinta kepadaku pada pandangan pertama?" batinnya dengan jantung berdebar kencang. "Nona ... bu-bukan aku tak su-suka, tapi ini terlalu ... cepat!" Du Fei tergagap, berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila.Seulas senyum lembut tersungging di bibir Nona Xin. "Kau sudah besar sekarang, Keponakanku sayang!""Ke-keponakan?" Du Fei mengerjap beber
Empat siluman itu melompat bersamaan ke arah Du Fei. Pemuda itu memejamkan mata, mengerahkan seluruh energi di kedua tangannya, siap bertarung sampai mati. Jika ini saat terakhirnya, setidaknya ia akan mati dengan gagah.Namun raungan yang ditunggunya tak kunjung mendekat. Suasana mendadak sunyi senyap, bahkan suara angin pun seolah ikut tenggelam. Du Fei membuka mata perlahan, penasaran dengan apa yang terjadi.Di hadapannya, keempat siluman berdiri membeku dengan wajah pucat pasi. Lushe Yao yang tadi begitu congkak kini gemetar, sisik-sisiknya bergetar menciptakan bunyi gemerisik aneh. Sha Zhang yang biasanya garang kini mundur perlahan dengan lutut bergetar. Bahkan Xie Gua yang bisa menumbuhkan kepala baru pun kini menelan ludah berkali-kali."Ha!" Du Fei tertawa puas, dadanya membusung penuh percaya diri. "Rupanya kalian ini hanyalah siluman-siluman jelek pembual! Lihat, menghadapiku saja sudah gemetar seperti itu!"Ia mengacungkan ranting di tangannya dengan gaya heroik. "Bagaima
"Apa maksudmu?" Xie Gua mendengus tak sabar."Aku memiliki energi api dan kekuatan dewa naga dalam diriku," Du Fei membual dengan mengeraskan suaranya, memastikan gaungnya terdengar ke seluruh hutan. "Siluman manapun yang memangsaku pasti akan mendapatkan kekuatan berlipat seperti dewa!""Aku tak ingin kematianku sia-sia bila hanya dimangsa siluman kelas rendah," tambahnya dengan nada merendahkan.Xie Gua menyipitkan matanya yang berkilat berbahaya. "Kau berkata keras-keras karena ingin membangkitkan siluman-siluman lain agar kami saling bunuh, begitu bukan?"Du Fei tersenyum misterius, "Aku tidak sedang membual. Kau pun tahu seberapa besar energi api yang kumiliki.""Baik!” Xie Gua menghentakkan kakinya dengan tak sabar, “akan kucabut nyawamu seka—" BRAKK!Sebuah batu sebesar gajah menghantam kepala Xie Gua dari atas hingga amblas ke dalam tanah, menghancurkan tengkoraknya dalam sekejap. Darah hitam menggenangi tanah di sekitar batu, membuat Du Fei berg
Malam semakin larut, di dalam gua hanya terdengar suara derak kayu bakar yang terbakar perlahan. Xie Gua menatap sosok Du Fei yang berbaring miring menghadap dinding batu, nafasnya teratur seperti orang terlelap."Du Fei?" panggilnya pelan, tak ada jawaban kecuali suara dengkuran halus."Du Fei?" sekali lagi ia memanggil, lebih keras. Masih sunyi.Seringai kejam tersungging di bibir Xie Gua yang mulai berubah. Wajah ramah sang pertapa lenyap, digantikan sosok mengerikan yang selama ini tersembunyi. Kulit tangannya mengeras, bersisik seperti ular. Kuku-kukunya memanjang dan menghitam, tajam bagai belati beracun."He he he, dasar Bocah bodoh!" tawanya menggelegar hingga menggema dalam gua. Transformasinya semakin lengkap, gigi-gigi berubah menjadi taring-taring panjang yang mencuat dari mulut yang kini tersenyum semakin lebar. Hidung memanjang dan membengkok seperti paruh burung pemangsa, dan sepasang mata berkilat merah dalam kegelapan.Du Fei merasakan jant
Kabut tebal mendadak tersibak. Dari balik kegelapan, muncul sesosok nenek tua dengan rambut putih kusut dan pakaian compang-camping. Kulitnya pucat kebiruan seperti mayat, keriput-keriput di wajahnya membentuk pola mengerikan. Namun yang paling menakutkan adalah matanya, merah menyala dengan pupil vertikal seperti mata ular."Sudah lama aku tidak mencicipi daging manusia muda," suaranya serak dan dalam, tidak seperti suara manusia. "Kau pasti lezat, anak muda."Du Fei memasang kuda-kuda, tangan kanannya mencengkeram ranting. "Kau pasti siluman Sha Zhang yang haus darah manusia?"Nenek itu menyeringai, memamerkan deretan gigi tajam bernoda darah. "Oh, kau mengenalku? Aku tersanjung." Ia melompat dengan kecepatan yang mustahil untuk tubuh setuanya, cakar-cakar panjang teracung ke arah Du Fei.Trakk!Ranting kokoh Du Fei berbenturan dengan cakar Sha Zhang. Benturan itu menimbulkan percikan api ungu. Du Fei terkejut merasakan kekuatan di balik serangan itu, jauh melampaui kekuatan manus
Panglima Liu terpojok, punggungnya membentur batang pohon besar. Keringat dingin mengucur deras di dahinya saat Du Fei semakin mendekat. Namun tiba-tiba matanya berbinar. Dari kejauhan, terdengar derap puluhan kaki kuda yang bergemuruh."Ha! Kau dalam masalah besar sekarang, Du Fei!" Panglima Liu mendadak kembali percaya diri, membusungkan dada menantang pemuda yang sempat membuatnya gentar.Du Fei menoleh ke arah suara. Di bawah awan debu yang membumbung, pasukan berkuda dalam jumlah besar bergerak cepat ke arah mereka. Mereka dilengkapi tameng di bagian dada, tombak dan pedang pun terhunus siap bertarung."Pasukan elit!" seru salah satu prajurit yang terluka.Du Fei menggertakkan gigi. Ia bisa saja menghadapi mereka, tapi pertarungan panjang hanya akan membuang waktu dan tenaga. Pikirannya melayang pada tujuan utamanya, Gunung Kunlun yang menjulang di kejauhan, tempat ia harus menyempurnakan ilmu Pedang Bayangan Bulan."Maaf mengecewakan kalian," Du Fei tersenyum mengejek, "tapi ak
Debu beterbangan saat Du Fei dan Liu Heng menerobos kerumunan pasar yang padat. Teriakan "Tangkap buronan!" bergema di belakang mereka, diikuti derap langkah puluhan prajurit yang mengejar.Begitu melampaui gerbang kota, Du Fei menghentikan langkahnya. "Kakek, kita berpencar!" ia berkata cepat.,"aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kakek pergilah sejauh mungkin!""Tapi, Du Fei ….""Cepat pergi!" Du Fei mendorong Liu Heng ke arah hutan. "Aku bisa mengatasi mereka.”Setelah memastikan Liu Heng menghilang di balik pepohonan, Du Fei berbalik menghadapi para pengejarnya. Ia berdiri tegak di tengah jalan, berkacak pinggang dengan sikap menantang. Angin semilir bertiup, menggoyangkan jubahnya yang berwarna coklat muda .Panglima Liu menghentikan pasukannya beberapa langkah dari Du Fei. Matanya berkilat penuh kebencian ke arah lawan. "Dasar pembunuh!" seru sang Panglima dengan nada bengis. "Kau telah membunuh orang-orangku. Kau harus dihukum mati!"Senyum sinis tersungging di bibir Du Fei
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik pepohonan saat Du Fei dan Liu Heng menyelesaikan pemakaman terakhir. Sepuluh gundukan tanah berjajar rapi, menjadi saksi bisu tragedi semalam. Du Fei memadatkan timbunan tanah dengan cangkul, keringat mengalir di dahi segera ia hapus dengan lengan bajunya.Liu Heng mengamati teman seperjalanannya dengan seksama. Sejak fajar menyingsing, pemuda itu nyaris tak bersuara, sangat tidak biasa untuk seorang Du Fei yang biasanya sering bercanda dan menjahilinya."Anak Nakal, mengapa dari semalam tidak banyak bicara?" Liu Heng bertanya sambil meneliti raut wajah Du Fei yang terlihat muram. Yang ditanya hanya menggeleng pelan, tangannya terus bekerja memadatkan tanah seolah berusaha mengubur sesuatu lebih dari sekedar jenazah."Kakek, mari lanjutkan perjalanan!" Du Fei bangkit setel
"Wanita ini sangat kejam dan berbahaya," batin Du Fei. Meski begitu, gerakannya yang mematikan terlihat anggun dan indah, seperti bunga azalea yang cantik meski beracun.Sadar bahwa pertarungan ini harus segera diakhiri, Du Fei meraih sebatang ranting pohon. Jemarinya bergerak cepat, mengalirkan energi chi hingga ranting itu sekokoh pedang pusaka."Maafkan aku, Nona … tapi ini saatnya kau menyerah!" Du Fei memasang kuda-kuda yang berbeda. "Bayangan Bulan Menari!"Tubuhnya seolah terbelah menjadi delapan, bergerak dalam formasi yang membingungkan. Ranting di tangannya menari dalam gerakan spiral, menciptakan ilusi bulan purnama yang berputar. Setiap gerakan mengandung serangan mematikan, namun Du Fei dengan cermat mengendalikan tenaganya, cukup untuk melumpuhkan, tidak untuk membunuh.