Ming Mei segera mengayunkan pedangnya, memotong angin dengan kekuatan penuh. Du Fei bergerak zigzag, mengelak dari serangan demi serangan. Gerakan mereka secepat bayangan, saling berbalas tanpa jeda. Setiap sabetan pedang murid Hoa Mei itu ditepis tepat oleh Du Fei, yang kini memegang tongkatnya dengan kedua tangan, menciptakan ritme seperti tarian mematikan di tengah aula."Sebaiknya kau menyerah, Ming Mei!" seru Du Fei, sambil menyarangkan pukulan keras yang membuat gadis itu terdorong ke belakang.Akan tetapi Ming Mei tak menyerah. la kembali melesat, mengayunkan pedangnya dalam gerakan memutar,nyaris membelah tubuh Du Fei. Dengan satu lompatan tinggi, pemuda itu berhasil menghindar, balas menyerang menghantamkan tongkat yang membuat Ming Mei sempat kehilangan keseimbangan saat menghindar.Murid ke-dua Hoa Mei itu menggeram, matanya penuh dendam, "Kau pikir ini permainan? Kau tak lebih dari anak bodoh yang tak mengerti apa-apa!"Du Fei hanya tersenyum tipis. "Permainan? Ini lebih
Lin Mo tertegun sejenak, perlahan ia melepaskan pelukan Ming Mei dengan mendorong kedua bahunya. Sentuhan gadis itu terasa seperti beban berat di pundaknya.“Aku baik-baik saja, Ming Mei,” ujar kekasih gadis itu, lalu melayangkan pandangan ke atas gunung sambil mendengus kesal, "tetapi aku menyayangkan kau terlalu ceroboh. Bagaimana bisa dirimu begitu mudah terpancing oleh ucapan orang seperti Du Fei?"Ming Mei terdiam, kecewa merasakan sikap Lin Mo yang terlihat dingin. Air mata mengalir di pipinya, namun ia hanya bisa terisak pelan, menahan emosi.Lin Mo menghela napas, nadanya masih kesal, "Sekarang kita jadi pelarian, tak memiliki tempat bernaung lagi. Semuanya gara-gara kau tak bisa menahan diri untuk melawan Du Fei."Ming Mei mengusap air matanya, kemudian berkata dengan suara pelan namun mantap, "Asalkan aku bersamamu, Lin Mo, aku tak peduli harus hidup sederhana dan meninggalkan dunia persilatan. Aku rela."Lin Mo menggeleng pelan, matanya memandang jauh ke langit, "Tidak, aku
Ketika Ming Mei terbangun, kesadarannya perlahan merayap kembali. Ia menemukan dirinya berada di sebuah kamar tidur yang dipenuhi nuansa merah yang mencolok. Selimut tebal bersulam bunga persik, tirai tempat tidur berbahan sutra halus, kain gorden pemisah ruangan yang diikat dengan tali rumbai, hingga hiasan dinding bergaya klasik, semuanya didominasi warna merah.Wangi dupa beraroma bunga dan minyak wangi yang terlalu kental, membuat kepalanya semakin pening."Di mana aku?" Ming Mei memegangi kepalanya yang masih berdenyut seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dengan tangan gemetar, ia menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya lalu bangkit dari tempat tidur yang terasa asing. Kaki telanjangnya menyentuh lantai yang dingin, membuat seluruh tubuh menggigil karenanya. “Ke mana Lin Mo? Apakah ia sedang pergi membeli makanan untuk bekal perjalanan kami?” batin Ming Mei setengah berharap. Begitu ia membuka pintu, jantungnya seketika serasa berhenti berdetak, kakinya
Matahari sudah tinggi di atas gunung Ermei, ketika A Cu, seorang biksuni muda berusia tujuh belas tahun berwajah bulat menggemaskan, dengan cemas menuju kamar Xiao Lin. Hari sudah siang tetapi kakak seperguruan yang sangat dekat dengannya itu belum juga keluar dari kamar. Gadis muda itu mengetuk pintu dengan ragu, lalu melongokkan kepalanya ke dalam. “Kakak Xiao Lin, aku A Cu … apakah kau baik-baik saja?” tanyanya dengan suara cempreng.Du Fei yang sedang tertidur seketika tersentak kaget, buru-buru menarik selimut ke atas hingga menutupi kepalanya. "A-A Cu?" ia berusaha menirukan suara lembut Xiao Lin, "Aku ... uhuk ... masih sedikit demam."A Cu yang mengerti sedikit ilmu medis, mengerutkan dahi, “Kalau begitu, biarkan aku memeriksa nadimu, Kak Xiao Lin!”Du Fei menelan ludah dengan gugup, "Ti-tidak perlu, aku hanya ...." Namun A Cu sudah keburu menyambar tangan yang tersembunyi di balik selimut. Seketika mata bundarnya membelalak lebar begitu melihat bentuk tangan yang kekar d
Dengan lembut, Yao Pang mengusap kepala Yao Chen, “Sekarang Yao Chen makan ya, demi Ayah?”Yao Chen mengangguk patuh, Yao Pang tersenyum lega lalu mulai menyuapkan bubur dengan penuh perhatian. Dari balik tirai bambu, Xiao Lin terenyuh menyaksikan pengorbanan cinta Yao Pang yang begitu besar untuk putri mereka. Takdir memang telah memisahkan mereka, tapi cinta seorang ayah tak akan pernah pudar.Setelah memastikan Yao Chen terlelap dalam tidurnya, Yao Pang melangkah keluar dari kamar. Keheningan malam menelan suara langkahnya yang menjauh, meninggalkan ruangan dalam temaram cahaya lilin.Xiao Lin perlahan keluar dari persembunyian di balik tirai bambu, gerakannya halus dan sangat berhati-hati agar tak membangunkan Yao Chen. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini mengalir tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik jubah biksuninya. Di dalam bungkusan kecil itu terdapat sebuah tusuk konde berbentuk bunga dihias
"I-ini..." A Cu tergagap, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Hanya nasi sayur untuk Kak Xiao Lin yang masih belum sehat, Guru."Tetapi hidung Yun Hui yang tajam mampu membedakan aroma daging dengan aroma sayuran. "Ini bukan aroma sayuran," ujarnya dingin, "buka keranjangmu!""Maaf tidak bisa, Guru," A Cu berusaha berkelit, "nasi ini sudah dicampur obat herbal. Kalau dibuka, harus segera dimakan. Murid harus segera menyerahkannya pada Kak Xiao Lin."Setelah berkata demikian,A Cu segera melesat melewati gurunya. Namun Yun Hui lebih cepat, dengan satu kibasan tangan yang mengalirkan energi chi, keranjang bambu itu seketika melayang dari genggaman A Cu ke tangannya."Guru, jangan!" teriak A Cu panik, wajahnya pucat pasi.Sambil tersenyum sinis, Yun Hui membuka tutup keranjang. Matanya langsung membelalak melihat bebek panggang keemasan di dalamnya. "Jelaskan padaku," desisnya marah sambil memelototi A Cu, "bagaimana Xiao Lin yang vegetarian membutuhkan daging bebek?"Dengan terbat
Iblis Gelang Besi terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan, "Akan kuturunkan semua jurus milik keluargaku supaya kau bisa menjaga diri dari orang-orang yang berniat jahat. Lagipula sejak kematian Cao Lie karena menggantikan hukuman mati Qing Ning, aku sudah tak memiliki siapa-siapa lagi."“Benarkah?” Mata Du Fei membeliak karena antusias, ia segera berlutut menghormat pada neneknya, “terimalah hormat Murid, Guru!”Dengan telaten, Jin She mulai mengajarkan jurus demi jurus kepada Du Fei. Menggunakan ranting kering sebagai pengganti senjata pedang, ia memperagakan gerakan-gerakan Ilmu Pedang Bayangan Bulan, teknik legendaris yang hanya dikuasai oleh leluhurnya. Jin She sendiri lebih menyukai gelang besi menjadi senjata andalan, tetapi ia masih mengingat dengan baik jurus-jurus Pedang Bayangan Bulan peninggalan kakek buyutnya."Delapan puluh jurus Ilmu Pedang Bayangan Bulan," Jin She menjelaskan, "adalah manifestasi dari kekuatan yin dalam semesta. Setiap gerakan mengandung filosofi
Du Fei mengangguk paham, menggenggam erat ranting di tangan. Ilmu Pedang Bayangan Bulan kini telah menjadi bagian dari dirinya, mengalir dalam setiap tarikan nafas dan denyut nadinya. Bahkan sang nenek, Jin She, tak dapat menyembunyikan kekaguman melihat cucunya menguasai hampir seluruh teknik legendaris itu dalam waktu singkat.Meski hanya menggunakan ranting kering sebagai pengganti pedang, Du Fei mampu merasakan betapa dahsyatnya jurus-jurus yang baru ia pelajari. Dalam benak cucu Jin She mulai membayangkan betapa mengerikan jurus-jurus ini bila dipadukan dengan Pedang Naga Api yang hendak dicarinya di Gunung Huolong."Du Fei," suara lembut Jin She memecah lamunan sang cucu. Wanita tua itu menghampiri sang cucu, ia memegang sesuatu, langkahnya ringan menyiratkan puluhan tahun pengalaman dalam dunia persilatan. "Sebelum kau memulai perjalanan, Nenek ingin memberimu sesuatu."Sebuah kotak kayu kecil berukir naga emas pun berpindah tangan. Du Fei membukanya dengan hati-hati, mendapati
Suara yang tadinya tenang dan anggun itu mendadak bergetar. Du Fei menoleh dan tertegun melihat mata jernih itu kini berkaca-kaca, seperti menyimpan kerinduan yang lama terpendam.Sebelum Du Fei sempat bereaksi, Nona Xin telah bergerak secepat kilat ke arahnya. Jemari lentiknya yang halus meraih tangan Du Fei, menggenggamnya erat seolah takut kehilangan."Eeh, Nona Xin …," Du Fei menjadi salah tingkah, wajahnya memanas saat wanita cantik itu mengusap pipinya dengan lembut. Tatapan mesra yang diberikan Nona Xin membuatnya membeku di tempat, tak mampu bergerak ataupun berpikir jernih."Apakah Nona Xin jatuh cinta kepadaku pada pandangan pertama?" batinnya dengan jantung berdebar kencang. "Nona ... bu-bukan aku tak su-suka, tapi ini terlalu ... cepat!" Du Fei tergagap, berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila.Seulas senyum lembut tersungging di bibir Nona Xin. "Kau sudah besar sekarang, Keponakanku sayang!""Ke-keponakan?" Du Fei mengerjap beber
Empat siluman itu melompat bersamaan ke arah Du Fei. Pemuda itu memejamkan mata, mengerahkan seluruh energi di kedua tangannya, siap bertarung sampai mati. Jika ini saat terakhirnya, setidaknya ia akan mati dengan gagah.Namun raungan yang ditunggunya tak kunjung mendekat. Suasana mendadak sunyi senyap, bahkan suara angin pun seolah ikut tenggelam. Du Fei membuka mata perlahan, penasaran dengan apa yang terjadi.Di hadapannya, keempat siluman berdiri membeku dengan wajah pucat pasi. Lushe Yao yang tadi begitu congkak kini gemetar, sisik-sisiknya bergetar menciptakan bunyi gemerisik aneh. Sha Zhang yang biasanya garang kini mundur perlahan dengan lutut bergetar. Bahkan Xie Gua yang bisa menumbuhkan kepala baru pun kini menelan ludah berkali-kali."Ha!" Du Fei tertawa puas, dadanya membusung penuh percaya diri. "Rupanya kalian ini hanyalah siluman-siluman jelek pembual! Lihat, menghadapiku saja sudah gemetar seperti itu!"Ia mengacungkan ranting di tangannya dengan gaya heroik. "Bagaima
"Apa maksudmu?" Xie Gua mendengus tak sabar."Aku memiliki energi api dan kekuatan dewa naga dalam diriku," Du Fei membual dengan mengeraskan suaranya, memastikan gaungnya terdengar ke seluruh hutan. "Siluman manapun yang memangsaku pasti akan mendapatkan kekuatan berlipat seperti dewa!""Aku tak ingin kematianku sia-sia bila hanya dimangsa siluman kelas rendah," tambahnya dengan nada merendahkan.Xie Gua menyipitkan matanya yang berkilat berbahaya. "Kau berkata keras-keras karena ingin membangkitkan siluman-siluman lain agar kami saling bunuh, begitu bukan?"Du Fei tersenyum misterius, "Aku tidak sedang membual. Kau pun tahu seberapa besar energi api yang kumiliki.""Baik!” Xie Gua menghentakkan kakinya dengan tak sabar, “akan kucabut nyawamu seka—" BRAKK!Sebuah batu sebesar gajah menghantam kepala Xie Gua dari atas hingga amblas ke dalam tanah, menghancurkan tengkoraknya dalam sekejap. Darah hitam menggenangi tanah di sekitar batu, membuat Du Fei berg
Malam semakin larut, di dalam gua hanya terdengar suara derak kayu bakar yang terbakar perlahan. Xie Gua menatap sosok Du Fei yang berbaring miring menghadap dinding batu, nafasnya teratur seperti orang terlelap."Du Fei?" panggilnya pelan, tak ada jawaban kecuali suara dengkuran halus."Du Fei?" sekali lagi ia memanggil, lebih keras. Masih sunyi.Seringai kejam tersungging di bibir Xie Gua yang mulai berubah. Wajah ramah sang pertapa lenyap, digantikan sosok mengerikan yang selama ini tersembunyi. Kulit tangannya mengeras, bersisik seperti ular. Kuku-kukunya memanjang dan menghitam, tajam bagai belati beracun."He he he, dasar Bocah bodoh!" tawanya menggelegar hingga menggema dalam gua. Transformasinya semakin lengkap, gigi-gigi berubah menjadi taring-taring panjang yang mencuat dari mulut yang kini tersenyum semakin lebar. Hidung memanjang dan membengkok seperti paruh burung pemangsa, dan sepasang mata berkilat merah dalam kegelapan.Du Fei merasakan jant
Kabut tebal mendadak tersibak. Dari balik kegelapan, muncul sesosok nenek tua dengan rambut putih kusut dan pakaian compang-camping. Kulitnya pucat kebiruan seperti mayat, keriput-keriput di wajahnya membentuk pola mengerikan. Namun yang paling menakutkan adalah matanya, merah menyala dengan pupil vertikal seperti mata ular."Sudah lama aku tidak mencicipi daging manusia muda," suaranya serak dan dalam, tidak seperti suara manusia. "Kau pasti lezat, anak muda."Du Fei memasang kuda-kuda, tangan kanannya mencengkeram ranting. "Kau pasti siluman Sha Zhang yang haus darah manusia?"Nenek itu menyeringai, memamerkan deretan gigi tajam bernoda darah. "Oh, kau mengenalku? Aku tersanjung." Ia melompat dengan kecepatan yang mustahil untuk tubuh setuanya, cakar-cakar panjang teracung ke arah Du Fei.Trakk!Ranting kokoh Du Fei berbenturan dengan cakar Sha Zhang. Benturan itu menimbulkan percikan api ungu. Du Fei terkejut merasakan kekuatan di balik serangan itu, jauh melampaui kekuatan manus
Panglima Liu terpojok, punggungnya membentur batang pohon besar. Keringat dingin mengucur deras di dahinya saat Du Fei semakin mendekat. Namun tiba-tiba matanya berbinar. Dari kejauhan, terdengar derap puluhan kaki kuda yang bergemuruh."Ha! Kau dalam masalah besar sekarang, Du Fei!" Panglima Liu mendadak kembali percaya diri, membusungkan dada menantang pemuda yang sempat membuatnya gentar.Du Fei menoleh ke arah suara. Di bawah awan debu yang membumbung, pasukan berkuda dalam jumlah besar bergerak cepat ke arah mereka. Mereka dilengkapi tameng di bagian dada, tombak dan pedang pun terhunus siap bertarung."Pasukan elit!" seru salah satu prajurit yang terluka.Du Fei menggertakkan gigi. Ia bisa saja menghadapi mereka, tapi pertarungan panjang hanya akan membuang waktu dan tenaga. Pikirannya melayang pada tujuan utamanya, Gunung Kunlun yang menjulang di kejauhan, tempat ia harus menyempurnakan ilmu Pedang Bayangan Bulan."Maaf mengecewakan kalian," Du Fei tersenyum mengejek, "tapi ak
Debu beterbangan saat Du Fei dan Liu Heng menerobos kerumunan pasar yang padat. Teriakan "Tangkap buronan!" bergema di belakang mereka, diikuti derap langkah puluhan prajurit yang mengejar.Begitu melampaui gerbang kota, Du Fei menghentikan langkahnya. "Kakek, kita berpencar!" ia berkata cepat.,"aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kakek pergilah sejauh mungkin!""Tapi, Du Fei ….""Cepat pergi!" Du Fei mendorong Liu Heng ke arah hutan. "Aku bisa mengatasi mereka.”Setelah memastikan Liu Heng menghilang di balik pepohonan, Du Fei berbalik menghadapi para pengejarnya. Ia berdiri tegak di tengah jalan, berkacak pinggang dengan sikap menantang. Angin semilir bertiup, menggoyangkan jubahnya yang berwarna coklat muda .Panglima Liu menghentikan pasukannya beberapa langkah dari Du Fei. Matanya berkilat penuh kebencian ke arah lawan. "Dasar pembunuh!" seru sang Panglima dengan nada bengis. "Kau telah membunuh orang-orangku. Kau harus dihukum mati!"Senyum sinis tersungging di bibir Du Fei
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik pepohonan saat Du Fei dan Liu Heng menyelesaikan pemakaman terakhir. Sepuluh gundukan tanah berjajar rapi, menjadi saksi bisu tragedi semalam. Du Fei memadatkan timbunan tanah dengan cangkul, keringat mengalir di dahi segera ia hapus dengan lengan bajunya.Liu Heng mengamati teman seperjalanannya dengan seksama. Sejak fajar menyingsing, pemuda itu nyaris tak bersuara, sangat tidak biasa untuk seorang Du Fei yang biasanya sering bercanda dan menjahilinya."Anak Nakal, mengapa dari semalam tidak banyak bicara?" Liu Heng bertanya sambil meneliti raut wajah Du Fei yang terlihat muram. Yang ditanya hanya menggeleng pelan, tangannya terus bekerja memadatkan tanah seolah berusaha mengubur sesuatu lebih dari sekedar jenazah."Kakek, mari lanjutkan perjalanan!" Du Fei bangkit setel
"Wanita ini sangat kejam dan berbahaya," batin Du Fei. Meski begitu, gerakannya yang mematikan terlihat anggun dan indah, seperti bunga azalea yang cantik meski beracun.Sadar bahwa pertarungan ini harus segera diakhiri, Du Fei meraih sebatang ranting pohon. Jemarinya bergerak cepat, mengalirkan energi chi hingga ranting itu sekokoh pedang pusaka."Maafkan aku, Nona … tapi ini saatnya kau menyerah!" Du Fei memasang kuda-kuda yang berbeda. "Bayangan Bulan Menari!"Tubuhnya seolah terbelah menjadi delapan, bergerak dalam formasi yang membingungkan. Ranting di tangannya menari dalam gerakan spiral, menciptakan ilusi bulan purnama yang berputar. Setiap gerakan mengandung serangan mematikan, namun Du Fei dengan cermat mengendalikan tenaganya, cukup untuk melumpuhkan, tidak untuk membunuh.