Lin Mo tertegun sejenak, perlahan ia melepaskan pelukan Ming Mei dengan mendorong kedua bahunya. Sentuhan gadis itu terasa seperti beban berat di pundaknya.“Aku baik-baik saja, Ming Mei,” ujar kekasih gadis itu, lalu melayangkan pandangan ke atas gunung sambil mendengus kesal, "tetapi aku menyayangkan kau terlalu ceroboh. Bagaimana bisa dirimu begitu mudah terpancing oleh ucapan orang seperti Du Fei?"Ming Mei terdiam, kecewa merasakan sikap Lin Mo yang terlihat dingin. Air mata mengalir di pipinya, namun ia hanya bisa terisak pelan, menahan emosi.Lin Mo menghela napas, nadanya masih kesal, "Sekarang kita jadi pelarian, tak memiliki tempat bernaung lagi. Semuanya gara-gara kau tak bisa menahan diri untuk melawan Du Fei."Ming Mei mengusap air matanya, kemudian berkata dengan suara pelan namun mantap, "Asalkan aku bersamamu, Lin Mo, aku tak peduli harus hidup sederhana dan meninggalkan dunia persilatan. Aku rela."Lin Mo menggeleng pelan, matanya memandang jauh ke langit, "Tidak, aku
Ketika Ming Mei terbangun, kesadarannya perlahan merayap kembali. Ia menemukan dirinya berada di sebuah kamar tidur yang dipenuhi nuansa merah yang mencolok. Selimut tebal bersulam bunga persik, tirai tempat tidur berbahan sutra halus, kain gorden pemisah ruangan yang diikat dengan tali rumbai, hingga hiasan dinding bergaya klasik, semuanya didominasi warna merah.Wangi dupa beraroma bunga dan minyak wangi yang terlalu kental, membuat kepalanya semakin pening."Di mana aku?" Ming Mei memegangi kepalanya yang masih berdenyut seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dengan tangan gemetar, ia menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya lalu bangkit dari tempat tidur yang terasa asing. Kaki telanjangnya menyentuh lantai yang dingin, membuat seluruh tubuh menggigil karenanya. “Ke mana Lin Mo? Apakah ia sedang pergi membeli makanan untuk bekal perjalanan kami?” batin Ming Mei setengah berharap. Begitu ia membuka pintu, jantungnya seketika serasa berhenti berdetak, kakinya
Matahari sudah tinggi di atas gunung Ermei, ketika A Cu, seorang biksuni muda berusia tujuh belas tahun berwajah bulat menggemaskan, dengan cemas menuju kamar Xiao Lin. Hari sudah siang tetapi kakak seperguruan yang sangat dekat dengannya itu belum juga keluar dari kamar. Gadis muda itu mengetuk pintu dengan ragu, lalu melongokkan kepalanya ke dalam. “Kakak Xiao Lin, aku A Cu … apakah kau baik-baik saja?” tanyanya dengan suara cempreng.Du Fei yang sedang tertidur seketika tersentak kaget, buru-buru menarik selimut ke atas hingga menutupi kepalanya. "A-A Cu?" ia berusaha menirukan suara lembut Xiao Lin, "Aku ... uhuk ... masih sedikit demam."A Cu yang mengerti sedikit ilmu medis, mengerutkan dahi, “Kalau begitu, biarkan aku memeriksa nadimu, Kak Xiao Lin!”Du Fei menelan ludah dengan gugup, "Ti-tidak perlu, aku hanya ...." Namun A Cu sudah keburu menyambar tangan yang tersembunyi di balik selimut. Seketika mata bundarnya membelalak lebar begitu melihat bentuk tangan yang kekar d
Dengan lembut, Yao Pang mengusap kepala Yao Chen, “Sekarang Yao Chen makan ya, demi Ayah?”Yao Chen mengangguk patuh, Yao Pang tersenyum lega lalu mulai menyuapkan bubur dengan penuh perhatian. Dari balik tirai bambu, Xiao Lin terenyuh menyaksikan pengorbanan cinta Yao Pang yang begitu besar untuk putri mereka. Takdir memang telah memisahkan mereka, tapi cinta seorang ayah tak akan pernah pudar.Setelah memastikan Yao Chen terlelap dalam tidurnya, Yao Pang melangkah keluar dari kamar. Keheningan malam menelan suara langkahnya yang menjauh, meninggalkan ruangan dalam temaram cahaya lilin.Xiao Lin perlahan keluar dari persembunyian di balik tirai bambu, gerakannya halus dan sangat berhati-hati agar tak membangunkan Yao Chen. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini mengalir tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik jubah biksuninya. Di dalam bungkusan kecil itu terdapat sebuah tusuk konde berbentuk bunga dihias
"I-ini..." A Cu tergagap, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Hanya nasi sayur untuk Kak Xiao Lin yang masih belum sehat, Guru."Tetapi hidung Yun Hui yang tajam mampu membedakan aroma daging dengan aroma sayuran. "Ini bukan aroma sayuran," ujarnya dingin, "buka keranjangmu!""Maaf tidak bisa, Guru," A Cu berusaha berkelit, "nasi ini sudah dicampur obat herbal. Kalau dibuka, harus segera dimakan. Murid harus segera menyerahkannya pada Kak Xiao Lin."Setelah berkata demikian,A Cu segera melesat melewati gurunya. Namun Yun Hui lebih cepat, dengan satu kibasan tangan yang mengalirkan energi chi, keranjang bambu itu seketika melayang dari genggaman A Cu ke tangannya."Guru, jangan!" teriak A Cu panik, wajahnya pucat pasi.Sambil tersenyum sinis, Yun Hui membuka tutup keranjang. Matanya langsung membelalak melihat bebek panggang keemasan di dalamnya. "Jelaskan padaku," desisnya marah sambil memelototi A Cu, "bagaimana Xiao Lin yang vegetarian membutuhkan daging bebek?"Dengan terbat
Iblis Gelang Besi terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan, "Akan kuturunkan semua jurus milik keluargaku supaya kau bisa menjaga diri dari orang-orang yang berniat jahat. Lagipula sejak kematian Cao Lie karena menggantikan hukuman mati Qing Ning, aku sudah tak memiliki siapa-siapa lagi."“Benarkah?” Mata Du Fei membeliak karena antusias, ia segera berlutut menghormat pada neneknya, “terimalah hormat Murid, Guru!”Dengan telaten, Jin She mulai mengajarkan jurus demi jurus kepada Du Fei. Menggunakan ranting kering sebagai pengganti senjata pedang, ia memperagakan gerakan-gerakan Ilmu Pedang Bayangan Bulan, teknik legendaris yang hanya dikuasai oleh leluhurnya. Jin She sendiri lebih menyukai gelang besi menjadi senjata andalan, tetapi ia masih mengingat dengan baik jurus-jurus Pedang Bayangan Bulan peninggalan kakek buyutnya."Delapan puluh jurus Ilmu Pedang Bayangan Bulan," Jin She menjelaskan, "adalah manifestasi dari kekuatan yin dalam semesta. Setiap gerakan mengandung filosofi
Du Fei mengangguk paham, menggenggam erat ranting di tangan. Ilmu Pedang Bayangan Bulan kini telah menjadi bagian dari dirinya, mengalir dalam setiap tarikan nafas dan denyut nadinya. Bahkan sang nenek, Jin She, tak dapat menyembunyikan kekaguman melihat cucunya menguasai hampir seluruh teknik legendaris itu dalam waktu singkat.Meski hanya menggunakan ranting kering sebagai pengganti pedang, Du Fei mampu merasakan betapa dahsyatnya jurus-jurus yang baru ia pelajari. Dalam benak cucu Jin She mulai membayangkan betapa mengerikan jurus-jurus ini bila dipadukan dengan Pedang Naga Api yang hendak dicarinya di Gunung Huolong."Du Fei," suara lembut Jin She memecah lamunan sang cucu. Wanita tua itu menghampiri sang cucu, ia memegang sesuatu, langkahnya ringan menyiratkan puluhan tahun pengalaman dalam dunia persilatan. "Sebelum kau memulai perjalanan, Nenek ingin memberimu sesuatu."Sebuah kotak kayu kecil berukir naga emas pun berpindah tangan. Du Fei membukanya dengan hati-hati, mendapati
Suara tawa riang Liu Heng yang masih asyik berperan sebagai babi hutan terdengar sayup-sayup, sementara Du Fei melesat makin jauh. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa si kakek bukanlah orang biasa melainkan seorang pendekar hebat dan mantan tetua Kunlun Pai. Hanya karena serakah ingin menjadi pendekar nomor satu dan menguasai jurus pamungkas yang hanya boleh dipelajari oleh ketua Kunlun, ia mencuri sebagian kitab dan mencoba mempelajarinya. Karena penguasaan tak sempurna itu, Liu Heng berakhir menjadi tak waras dan bertingkah seperti anak kecil. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan Liu Heng lewat udara, api unggun yang ditinggalkan Du Fei berkobar semakin besar. Dalam sekejap, tali yang menggantung kaki si Pendekar Sinting terputus, tubuh kakek tua itu melesat turun. Berkat ilmu meringankan tubuh yang nyaris sempurna, Pendekar Sinting itu mendarat dengan ringan seperti gumpalan kapas.“Kucing Nakal, jangan lari … tunggu aku!” Liu Heng terkekeh, melesat menyusul teman bermainn
"Anak tidak tahu diri! Padahal aku sudah berbaik hati memberimu mimpi indah sebelum mati!" desis Hu Mei murka.Siluman itu berputar di udara. Keenam ekornya yang tersisa membentuk lingkaran, menciptakan pusaran energi hitam yang menarik segala sesuatu ke dalamnya seperti lubang hitam raksasa."Yun Hao, berpegangan!" Chang Kong menancapkan pedangnya ke tanah. Yun Hao mengikuti, namun kekuatan hisapan itu terlalu kuat. Beberapa pepohonan di sekitar mereka mulai tercabut dari akarnya dan terseret beberapa meter.Sosok Siluman Rubah Hitam raksasa itu melayang di atas rerumputan, ekor-ekornya yang tersisa bergerak mengancam. Darah hitam masih mengucur dari ekor yang terputus, menciptakan kabut beracun yang membuat pepohonan di sekitarnya mengering.Ketika pusaran energi semakin kuat, Yun Hao tak mampu bertahan. Pegangan tangan pada gagang pedang terlepas dan ia terseret arus. Chang Kong dengan cepat menangkap tangan Yun Hao, berusaha menyelamatkannya dari pusaran energi Siluman Rubah Hita
Yun Hao terbangun mendadak, entah berapa lama ia tertidur. Matanya mengerjap membiasakan diri dengan cahaya api unggun tak jauh darinya."Yun Hao, putraku! Di mana kau, Nak?" Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil namanya. Jantung Yun Hao seakan berhenti berdetak. Suara itu, suara yang selalu ia rindukan bahkan saat masih sangat kecil. Yun Hao menoleh ke arah Chang Kong yang bersandar pada dinding pohon. Dengkuran halus terdengar dari pendekar itu, kepalanya terkulai ke samping.Karena tak ingin membangunkan Paman Penolong, Yun Hao berjingkat mendekati mulut gua dan mengintip keluar. Kabut mulai menipis, menampakkan bayangan pepohonan yang rapat. Di kejauhan, ia melihat sosok wanita bergaun sutra merah dengan hiasan rambut giok hijau - busana khas yang selalu dikenakan ibunya di istana."Ibu?" Yun Hao mengucek matanya, tak percaya pada penglihatannya sendiri. Sosok itu melambaikan tangan ke arahnya dengan gerakan anggun, "Ibu merindukanmu, Yun Hao ... kemarilah, Nak!"Tenggo
"Terima kasih telah menyelamatkan nyawa saya," Yun Hao membungkuk dalam. "Saya Yun Hao, prajurit dari kota Xianfeng.""Chang Kong," pria itu mengangguk. "Orang-orang mengenalku sebagai Pendekar Pedang Halilintar.""Apakah Pendekar Chang juga mencari Pedang Naga Api?" tanya Yun Hao penasaran.Seulas senyum misterius tersungging di bibir Chang Kong. Matanya menatap Yun Hao dengan pandangan yang sulit diartikan. ‘Betapa miripnya pemuda ini dengan ibunya, Putri Qi Yue’ batin Chang Kong. Kalau saja tidak diingatkan oleh sang putri untuk menjaga rahasia, ia pasti sudah memberitahukan dirinya diutus untuk melindungi Yun Hao selama berada di luar istana."Kita harus segera menemukan rombonganmu," Chang Kong mengalihkan pembicaraan. "Hutan ini menyimpan bahaya yang lebih mengerikan dari yang kau kira. Sebaiknya tetap bersama kelompokmu!"Dalam hati ia bersyukur telah mengikuti jejak Yun Hao sejak awal perjalanan. Meski harus tetap menyembunyikan identitas aslinya sesuai pesan Putri Qi Yue, se
"Pulang saja kalian!” lanjut sang biksu. "Atau tunggu di sini bersamaku, saksikan sendiri berapa banyak lagi mayat yang akan mengotori kesucian gunung ini."Jenderal Lo menaikkan alisnya, terlihat ia sangat kesal dengan sikap biksu tua yang acuh tak acuh bahkan berkesan tak sopan. Mengajak bicara orang tanpa membuka mata, dan dalam posisi miring seperti sikap Budha tidur.“Sudahlah, Yun Hao … mari kita pergi mencari jalan sendiri!” Jenderal Lo menoleh sekilas ke arah Yun Hao sebelum berbalik kembali pada pasukannya yang menunggu dengan tegang."Terima kasih atas peringatannya, Tuan Biksu," Yun Hao membungkuk hormat pada Biksu tua.Ia mengeluarkan bungkusan dari kantong kainnya, “Mohon terima bakpao ini sebagai tanda terima kasihku."Kakek itu tersenyum tipis, matanya masih terpejam. "Hmm ... aroma bakpao yang wangi. Sudah lama tidak mencium wangi selezat ini."Yun Hao meletakkan bakpao yang dibungkus kertas di depan sang biksu, lalu berbalik menyusul Jenderal Lo yang sudah lebih dulu
Asap putih mengepul dari celah-celah bebatuan Gunung Huolong. Aroma belerang yang menyengat menyeruak di udara, bercampur dengan kabut tipis yang menyelimuti lereng-lerengnya. Pohon-pohon pinus yang menjulang tampak seperti sosok-sosok gelap di balik kabut.Rombongan berkuda Jenderal Lo muncul dari balik tikungan, Rambut mereka bergoyang tertiup angin pegunungan yang dingin.Mendadak Jenderal Lo mengangkat tangannya, memberi isyarat pada pasukannya untuk memperlambat laju."Kita sudah memasuki wilayah Huolong. Buka mata kalian lebar-lebar!” perintahnya dengan suara dalam.“Siap, Jenderal!” Sahut seluruh pasukan serempak. Sebenarnya sebagian dari mereka sudah merasakan hawa yang berbeda begitu berada di kaki gunung itu. Tak sedikit dari mereka yang merasakan bulu kuduk meremang, seperti ada hawa siluman yang kuat di sekitarnya.Mereka menyusuri jalan setapak berbatu ketika salah seorang prajurit menunjuk ke arah pohon oak tua di tepi jalan. Di bawahnya, sesosok pria berpakaian biksu te
"Lin Mo," Chung Ming berbisik cepat begitu melihat kepanikan di wajah temannya, "Pakai saja surat kelulusanku! Tunjukkan pada mereka seolah ini milikmu, niscaya Li dan teman-temannya tak akan mengganggumu lagi. Kau bisa mengembalikannya padaku setelah mereka pergi.""Tapi …," Lin Mo ragu-ragu."Cepat!" Chung Ming menyelipkan kertas berharga itu ke tangan Lin Mo tepat saat Li muncul dari balik pepohonan."Ah, di sini rupanya tikus kecil kita!" Li menyeringai, melangkah mendekati mereka berdua dengan angkuh. "Mengapa kau bersembunyi di pinggir sungai seperti seekor tikus? Oh, jangan-jangan kau tidak lulus ujian lalu mau kabur dariku?"Li dan teman-temannya tertawa bersahut-sahutan, apalagi melihat wajah pucat Lin Mo, mereka yakin pemuda miskin itu pasti tidak lulus ujian.“Ayo tunjukkan pada kami hasil ujianmu!” Li menodongkan tangan, matanya menyipit penuh ancaman.Dengan ketenangan yang dipaksakan, Lin Mo mengangkat surat Chung Ming. Sinar matahari memantulkan kilau tinta merah keemas
Halaman istana membentang luas bagai lautan manusia. Ratusan meja kayu berjajar rapi di bawah naungan pohon willow, sementara bendera-bendera kerajaan berkibar megah di tiang-tiang tinggi. Para pengawas berbaju resmi bergerak di antara barisan, wajah mereka serius penuh wibawa.Lin Mo melangkah dengan dagu terangkat, jubah sutra yang dikenakan menambah kegagahannya. Di belakangnya, Chung Ming berjalan sambil terus bergumam, "... ajaran Mencius tentang kebajikan ada empat : ren, yi, li, zhi ....""Apakah kau tidak gugup, Saudara Lin?" Chung Ming menggosok telapak tangannya yang basah pada tepi bajunya yang sederhana. Wajahnya pucat tapi matanya berbinar penuh semangat."Tentu saja tidak!" Lin Mo mendengus angkuh. "Ujian seperti ini pasti mudah."'Lihat dia,' batin Lin Mo mengejek. 'Belajar seperti orang kesetanan tapi tetap saja penampilannya seperti pemuda idiot. Memalukan!'Mereka mengambil tempat duduk sesuai nomor peserta. Lin Mo duduk di deretan belakang ujung kiri, mengagumi kuas
"Lin Mo!" sapa Chung Ming yang menunggu di luar, wajahnya yang polos berseri-seri menggenggam kartu peserta. "Mari kita belajar bersama! Aku membawa beberapa ringkasan yang kubuat sendiri. Dua kepala lebih baik dari satu, bukan?"Lin Mo tersenyum tipis, matanya berkilat licik untuk sepersekian detik. "Tentu saja, Teman." Dalam hati ia tertawa. Orang polos seperti Chung Ming suatu saat akan berguna baginya."Bagus!" Chung Ming menepuk pundak Lin Mo dengan hangat. "Aku yakin kita akan menjadi teman baik!"'Ya,' batin Lin Mo sinis, 'sampai aku tidak membutuhkanmu lagi.' Kedua pemuda itu segera menjadi akrab, bahkan mendaftar di asrama yang sama."Kamar nomor lima belas," Chung Ming menunjuk sebuah kamar yang terletak di ujung dengan mata berbinar. "Kita sekamar, Lin Mo! Bukankah ini pertanda baik?"Mereka melangkah menyusuri koridor asrama yang berlantai kayu. Aroma masakan dari dapur terdekat merebak di udara, membuat perut Lin Mo dan Chung Ming mulai keroncongan."Hei, tunggu!" Suara
Berita kematian Yung menyebar seperti api di padang rumput kering. Putra tunggal Pejabat Yuan itu ditemukan tewas di tempat tidurnya sendiri, lehernya terdapat luka tusukan. Uangnya raib, dan yang lebih mengejutkan - Wei, putra pejabat kota Song adalah tersangka utama pelaku pembunuhan.Hakim pengadilan hampir menjatuhkan hukuman mati pada Wei. Namun berkat nama baik ayahnya yang dikenal sebagai pejabat senior yang jujur, hukumannya diringankan menjadi kerja paksa seumur hidup di Gunung Kapur.Pagi itu, setelah divonis bersalah, Wei digiring bersama sepuluh tahanan lainnya menuju tempat pengasingan mereka. Rantai besi yang mengikat kaki dan tangan mereka bergemerincing dalam irama menyedihkan. Pasukan pengawal berbaris di kiri-kanan rombongan, mempersempit kemungkinan untuk kabur."Lihat, itu tuan muda Wei!" bisik-bisik terdengar dari kerumunan yang memadati pinggir jalan. "Siapa sangka anak pejabat bisa jadi pembunuh?""Kasihan, ayahnya pasti sangat malu," sahut yang lain.Di antara