Pagi setelah serangan di gudang, Keira terbangun dengan kepala yang berat. Malam itu terus membayangi pikirannya, terutama ketika ia melihat Adrian terluka saat melindunginya.
Namun, perhatian Keira langsung teralihkan ketika seorang pelayan mengetuk pintu kamarnya dengan surat di tangan. "Surat ini baru saja dikirimkan, Nona Keira," kata pelayan itu dengan wajah bingung. Keira mengambil surat itu. Kertasnya tampak biasa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ketika ia membukanya, sebuah tulisan tangan rapi tertulis di atasnya: "Kami tahu apa yang kau lakukan. Berhentilah, atau kau akan kehilangan lebih banyak dari yang pernah kau bayangkan." Tangannya gemetar saat membaca surat itu. Ia segera berlari ke ruang tamu, di mana Adrian sedang duduk sambil memeriksa lukanya. "Adrian!" serunya, melemparkan surat itu ke atas meja. Adrian membaca surat itu dengan tenang, tetapi Keira bisa melihat ketegangan di rahangnya. "Mereka mulai mengawasi kita," katanya akhirnya. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Mereka tahu tentang kita!" Keira merasa panik. Adrian berdiri, tatapannya penuh keyakinan. "Kita tidak akan mundur. Ini hanya ancaman kosong untuk membuat Anda takut. Tapi kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang." Adrian segera menghubungi Lina untuk membahas ancaman itu. Ketika mereka bertemu di apartemen Lina, wanita itu sudah menunggu dengan sebuah laptop terbuka di depannya. "Aku sedang menyelidiki dokumen-dokumen itu lebih jauh," katanya tanpa basa-basi. "Dan aku menemukan sesuatu yang menarik. Salah satu nama di daftar ini, 'Michael Salim,' tampaknya adalah kontak utama Lama Hitam di kota ini." Adrian mengerutkan kening. "Michael Salim? Bukankah dia seorang filantropis terkenal?" Lina mengangguk. "Tepat. Dia menggunakan kegiatan amalnya sebagai kedok untuk mencuci uang dan mendanai operasi mereka." Keira menatap layar laptop dengan ngeri. "Bagaimana seseorang seperti dia bisa begitu berbahaya?" Lina menatapnya tajam. "Karena orang-orang seperti dia tahu bagaimana menyembunyikan niat mereka di balik senyuman dan pidato indah. Kita harus bertemu dengannya, tetapi ini sangat berisiko." Keira mengangguk pelan. "Jika itu bisa membawa kita lebih dekat untuk menghentikan mereka, aku siap." Michael Salim dijadwalkan menghadiri pesta amal besar di sebuah hotel mewah malam itu. Adrian dan Keira menyusun rencana untuk menghadiri acara tersebut dengan identitas palsu. Ketika mereka tiba, suasana mewah menyambut mereka. Gaun panjang berkilauan, pria-pria dalam jas rapi, dan lampu kristal yang berkilauan menciptakan suasana yang tampak seperti dongeng. Namun, di balik kemewahan itu, Keira merasa suasana tegang. "Kita harus tetap waspada," bisik Adrian saat mereka memasuki aula utama. "Orang-orang ini tahu cara membaca gerak-gerik kita." Keira mengangguk. Ia berusaha terlihat tenang, meskipun hatinya berdebar kencang. Saat mereka berjalan di antara tamu-tamu, mereka akhirnya menemukan Michael Salim. Pria itu tampak ramah, tertawa dan berbincang dengan para tamu lainnya. Adrian memberi isyarat kepada Keira untuk mendekati Michael sementara ia sendiri mengamati dari kejauhan. Dengan hati-hati, Keira mendekati pria itu. "Pak Michael, senang sekali akhirnya bisa bertemu dengan Anda," katanya dengan senyum lemah. Michael menoleh, tersenyum hangat. "Oh, nona muda. Senang bertemu dengan Anda juga. Dan Anda adalah…?" Keira berpura-pura menjadi seorang investor muda yang ingin tahu lebih banyak tentang proyek amal Michael. Percakapan mereka berlangsung lancar, tetapi Keira merasa bahwa pria itu memperhatikannya dengan cermat, seperti mencoba membaca niatnya. Namun, momen itu tiba-tiba terganggu ketika seorang pria besar dengan wajah keras mendekati Michael dan berbisik di telinganya. Wajah Michael berubah serius, dan ia melirik ke arah Adrian yang berdiri di seberang ruangan. "Aku rasa kita akan bertemu lagi, Nona," kata Michael sebelum pergi dengan pria itu. Keira kembali ke sisi Adrian, wajahnya pucat. "Dia tahu siapa kita," bisiknya. Adrian mengangguk, matanya penuh kekhawatiran. "Kita harus keluar sekarang." Ketika mereka menuju pintu keluar, dua pria bertubuh besar menghadang jalan mereka. Wajah mereka dingin, mata mereka penuh ancaman. "Ke mana kalian ingin pergi?" salah satu dari mereka bertanya, suaranya kasar. Adrian segera berdiri di depan Keira, melindunginya. "Kami tidak ingin masalah," katanya tenang. Namun, pria itu tersenyum dingin. "Terlambat untuk itu." Pertarungan pun dimulai. Adrian melawan dengan keahlian luar biasa, tetapi dua lawannya bukanlah orang biasa. Mereka tampaknya dilatih khusus untuk menghadapi situasi seperti ini. Keira merasa tubuhnya gemetar saat melihat Adrian terluka oleh pukulan keras. Namun, ia mengingat latihan yang telah diajarkan Adrian padanya. Dengan keberanian yang mendadak muncul, ia meraih botol anggur dari meja terdekat dan memukul salah satu pria itu di kepala. Pria itu terjatuh, memberi Adrian waktu untuk melumpuhkan lawan lainnya. "Keira, cepat! Kita harus pergi!" seru Adrian sambil menarik tangannya. Mereka berhasil keluar dari hotel dengan susah payah, melarikan diri ke mobil mereka. Keira merasa napasnya tersengal-sengal, dan air mata mengalir di pipinya. "Adrian… ini semakin berbahaya. Aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan ini," katanya dengan suara bergetar. Adrian menatapnya, matanya lembut meskipun wajahnya penuh luka. "Saya tahu ini sulit. Tapi Anda lebih kuat dari yang Anda pikirkan, Keira. Anda telah membuktikannya malam ini." Setelah kembali ke rumah, Adrian mendapat panggilan dari Lina. "Kita punya masalah besar," kata Lina dengan nada tegang. "Apa yang terjadi?" tanya Adrian. "Aku memeriksa lebih lanjut tentang orang-orang yang hadir di pesta tadi. Ada satu nama yang mencurigakan, dan ternyata... dia salah satu dari anggota dewan perusahaan Hartono Group." Keira yang mendengar percakapan itu merasa terkejut. "Maksudmu, ada pengkhianat di antara orang-orang ayahku?" Lina mengangguk di layar. "Dan aku yakin dia adalah mata-mata utama Lama Hitam di dalam perusahaanmu. Mereka sudah lebih dekat dari yang kita duga." Keira merasa dunianya semakin kacau. Tidak hanya ia harus menghadapi ancaman dari luar, tetapi juga pengkhianatan dari orang-orang yang seharusnya ia percayai. Namun, dalam kekacauan itu, ia menemukan tekad baru. Ia tidak akan membiarkan musuh-musuhnya menang, bahkan jika ia harus melawan dari dalam keluarganya sendiri. Adrian, di sisi lain, mulai merasa waktu mereka semakin sempit. Dengan musuh yang terus mengintai dan pengkhianat di dalam lingkaran mereka, ia tahu bahwa setiap langkah berikutnya harus diambil dengan hati-hati.Malam itu, Keira duduk sendirian di kamarnya. Surat ancaman, luka-luka Adrian, dan pengkhianatan di perusahaan ayahnya bercampur menjadi satu di pikirannya. Ia merasa dikhianati oleh dunia yang selama ini dianggap aman. Dulu, rumahnya adalah tempat berlindung. Kini, setiap sudut rumah tampak seperti jebakan. Setiap wajah, bahkan yang paling ramah sekalipun, terasa penuh dengan kebohongan. Ketika Adrian mengetuk pintu dan masuk, ia melihat Keira duduk di lantai, memeluk lututnya. Wajah gadis itu terlihat lelah dan putus asa. "Keira," panggil Adrian dengan lembut. Namun, Keira tidak menoleh. "Semua ini terlalu banyak, Adrian." Suaranya pelan, nyaris berbisik, tetapi penuh dengan rasa sakit. Adrian mendekat dan duduk di sampingnya. "Saya tahu ini sulit. Tapi kita harus tetap kuat." Keira mendongak, matanya penuh air mata. "Kuat? Bagaimana aku bisa kuat, Adrian? Keluargaku sedang dihancurkan. Orang-orang yang aku percayai mungkin pengkhianat. Dan aku… aku hanya seorang gadis ya
Keira terbangun di tengah malam dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Dalam mimpinya, ia terus mendengar suara tembakan dan melihat wajah pria yang hampir ia tembak di jalan tadi. Meski ia tahu itu tindakan untuk bertahan hidup, rasa bersalah terus menghantui dirinya. Ia memeluk lutut di tempat tidur, menatap jendela kamar yang gelap. “Apa aku benar-benar berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenal?” gumamnya pelan. Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. “Keira, ini saya, Adrian,” suara Adrian terdengar dari luar. Keira mengusap air matanya dan mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. "Masuk." Adrian membuka pintu dan menatap Keira dengan ekspresi khawatir. "Saya mendengar sesuatu. Anda baik-baik saja?" Keira berusaha tersenyum, tetapi gagal. "Aku hanya tidak bisa tidur. Semua yang terjadi hari ini... terlalu banyak untukku." Adrian duduk di kursi dekat tempat tidur, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Apa yang Anda rasakan itu normal. A
Keesokan harinya, suasana di rumah keluarga Hartono terasa semakin serius. Keira, Adrian, dan Lina berkumpul di ruang kerja untuk menyusun rencana besar: menyusup ke kantor pribadi Raymond Setiawan. Di atas meja besar, cetak biru gedung milik Raymond terbentang. Lina, dengan wajah serius, menjelaskan rencana mereka. “Raymond memiliki sistem keamanan sangat ketat,” katanya sambil menunjuk detail di peta. “Ada pengawasan ketat, akses biometrik, dan penjagaan penuh. Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan tanpa persiapan matang.” Keira menatap peta itu dengan rahang terkatup. “Apa pun yang diperlukan, kita harus melakukannya. Dia harus dihentikan.” Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menatap Keira dengan pandangan tajam. “Kamu tidak tahu seberapa berbahaya ini. Kalau kamu tidak siap mental, lebih baik jangan ikut.” Keira menatap Adrian, suaranya tegas meski sedikit bergetar. “Ini keluargaku. Aku tidak akan mundur.” Ketegangan di ruangan itu membuat Lina merasa tidak nyaman. I
Di ruang tamu yang gelap dan sunyi, Keira duduk di sofa dengan pandangan kosong. Di tangannya, sebuah dokumen penting yang berhasil mereka curi dari kantor Raymond. Namun, matanya tidak tertuju pada tulisan itu. Ia tenggelam dalam pikirannya, memutar ulang kejadian malam sebelumnya. “Aku benar-benar hampir kehilangan semuanya,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Adrian, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan cemas. “Keira, kamu tidak bisa terus menyalahkan dirimu. Kamu sudah melakukan yang terbaik.” Keira mendongak, matanya yang basah bertemu dengan tatapan Adrian. “Benarkah? Aku hampir membuat semuanya berantakan. Kalau aku tidak terdiam tadi...” Suara Keira pecah di tengah kalimat. Ia memejamkan matanya, mencoba menahan tangis yang mulai menguasainya. Adrian mendekat, duduk di sampingnya. Ia berbicara dengan nada lembut, tapi tegas. “Kamu menghadapi situasi yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Itu wajar. Kita semua punya kelemahan, Keira. Yang
Keira memandang layar komputer di depan mereka, tampak gelisah. Di balik tumpukan dokumen yang tersebar di meja, ada satu pesan yang mengganggu pikirannya. Raymond telah menggandakan upayanya untuk memindahkan aset-asetnya, dan mereka hampir tidak punya waktu lagi. Jika mereka gagal menyusup ke sistem yang aman, mereka akan kehilangan bukti penting yang bisa menggulingkan Raymond. Adrian berdiri di dekat jendela, matanya tajam memandang malam yang gelap. Suasana di ruang kerja mereka tegang. Keira tidak bisa menahan kegelisahannya, tapi Adrian tetap tenang, hampir seolah dia sudah mengetahui langkah berikutnya. "Keira," kata Adrian dengan suara yang penuh keyakinan, "Jika kita menyerang sekarang, kita akan kehabisan kesempatan. Kamu harus percaya padaku. Kita punya satu kesempatan lagi, dan kita harus memanfaatkan sepenuhnya." Keira menatapnya, tak bisa menutupi perasaan campur aduk di dalam hatinya. "Aku... aku sudah hampir tidak tahan, Adrian. Semua ini... membuatku takut." A
Keira duduk di sudut ruang kerja kecil mereka. Suasana terasa mencekam setelah pertemuan dengan Raymond tadi malam. Tatapannya kosong, seperti sedang menatap ruang hampa. Dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan tak terjawab mulai menyeruak. Apakah aku bisa bertahan di tengah kekacauan ini? Mengapa semua terasa begitu rumit? Adrian berdiri di dekat jendela, tampak memeriksa rencana cadangan yang ia buat semalam. Wajahnya tenang seperti biasa, namun Keira tahu ada banyak hal yang bergemuruh di dalam pikirannya. Bagaimanapun, Adrian bukanlah tipe orang yang membiarkan dirinya terlihat rapuh, apalagi di depan orang lain. “Adrian,” Keira memanggilnya dengan suara pelan namun gemetar. Adrian menoleh, pandangannya tajam namun lembut. “Ya?” “Aku... aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk melanjutkan ini,” kata Keira jujur. Air mata mulai menggenang di matanya. “Semua ini terasa seperti mimpi buruk. Kita dikelilingi bahaya, dan aku takut kalau aku akan menjadi beban untukmu.” Adrian m
Pagi itu, udara dingin menyelimuti kota. Adrian dan Keira bergerak dengan langkah penuh kehati-hatian menuju lokasi target mereka: sebuah gudang tua yang menyimpan dokumen penting milik Raymond. Tangan Keira bergetar halus saat ia memegang jaketnya, berusaha menahan rasa gugup yang menyelimuti pikirannya. “Adrian,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Kamu yakin kita bisa melakukannya?” Adrian meliriknya sekilas, matanya dingin namun sarat keyakinan. “Tidak ada pilihan lain,” katanya tegas. “Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.” Keira ingin memercayai kata-katanya, tetapi rasa takut terus menggeliat di dadanya. Ia tidak sekuat Adrian, dan ia tahu itu. Namun, ia menahan keraguannya, memilih untuk mengikuti jejak Adrian. Gudang itu gelap dan sepi, hanya dihiasi suara samar dari tetesan air di kejauhan. Adrian memimpin, gerakannya cepat namun senyap. Alat pemindai di tangannya memancarkan cahaya redup, mencari jejak dokumen yang mereka incar. “Di sana,” kata Adrian a
Malam itu, Keira duduk di apartemen kecil yang kini menjadi tempat persembunyian mereka. Ia memeluk lututnya, pandangannya terpaku pada jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Hujan turun deras di luar, seperti mencerminkan kekacauan yang baru saja terjadi. Adrian berdiri di dapur kecil, tangannya sibuk membersihkan luka kecil di lengannya. Meski tidak serius, luka itu cukup untuk mengingatkannya betapa tipis batas antara hidup dan mati dalam misi mereka tadi. Keira mengalihkan pandangannya ke arah Adrian. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya lirih. Adrian berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan mata yang tajam namun lembut. “Aku baik,” jawabnya singkat. Namun, Keira tahu itu bohong. Ia bisa melihat kelelahan di wajah Adrian, sesuatu yang jarang ia tunjukkan. “Adrian,” katanya, suaranya sedikit lebih keras. “Kamu tidak harus pura-pura kuat di depanku. Aku tahu semua ini melelahkan untukmu.” Adrian tersenyum tipis, senyum yang tidak benar-benar menyentuh matanya. “Aku
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasi
Adrian dan timnya berlari melewati jalan setapak yang tersembunyi di tengah hutan. Nafas mereka memburu, tetapi mereka tidak bisa berhenti. Ledakan di pabrik tua tadi masih menggema di kejauhan, sementara Viktor dan pasukannya pasti sudah mulai memburu mereka. “Terus maju! Jangan berhenti!” seru Adrian. Keira membantu Alexander yang hampir tersandung akar pohon. “Kita harus cepat! Mereka pasti sudah mengepung jalan keluar utama!” Natasha memeriksa peta digital di perangkatnya. “Ada jalur ke arah barat yang bisa kita gunakan, tapi…” “Tapi apa?” tanya Gabriel dari belakang. Natasha menghela napas. “Jalur itu melewati reruntuhan laboratorium lama. Tidak ada yang tahu kondisinya sekarang.” Adrian langsung mengambil keputusan. “Kita ke sana. Setidaknya Viktor tidak akan menduga kita memilih jalur yang paling berbahaya.” Mereka bergegas menuju reruntuhan laboratorium yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun. Saat mereka tiba di lokasi, suasana berubah drastis. Bangunan b
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasis
Suara alarm bergema di seluruh ruangan, memantul di dinding logam dan menciptakan suasana tegang. Lampu merah darurat berkedip-kedip, memberikan efek bayangan yang berubah-ubah. Di tengah ruangan, Alexander berdiri diam, dikelilingi oleh cahaya biru yang berputar perlahan di sekitarnya. Adrian melangkah mendekat dengan hati-hati. “Alexander... kau bisa mendengarku?” Mata Alexander yang bersinar biru tajam menatap Adrian, sorotannya bercampur kebingungan dan keheranan. Namun, sebelum ia sempat menjawab, pintu ruangan terbuka dengan cepat. Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan, membawa alat pertahanan canggih. “Jangan bergerak!” suara perintah terdengar tegas. Gabriel segera menarik Keira ke balik meja untuk perlindungan. Natasha, yang sejak awal bersiaga, mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, siap menghadapi situasi yang lebih buruk. Namun, sebelum situasi memanas, Alexander tiba-tiba mengangkat tangannya. Energi biru di sekelilingnya bergetar, lalu dal
Mobil melaju melewati jalan bersalju, menuju pegunungan yang tersembunyi. Adrian duduk di kursi belakang bersama Keira, sementara Natasha mengemudikan dengan penuh konsentrasi. Gabriel, yang duduk di sampingnya, terus memperhatikan peta digital. “Laboratorium K-17 hanya beberapa kilometer lagi,” kata Gabriel, suaranya tegang. Adrian memandang ke luar jendela. Kabut tebal menyelimuti pegunungan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Hawa dingin masuk melalui celah kecil di jendela, menusuk kulit. Keira menarik mantel lebih erat. “Bagaimana kita bisa masuk ke dalam tanpa ketahuan?” Natasha tersenyum tipis sambil tetap fokus mengemudi. “Aku punya cara.” Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah titik di mana jalan aspal berubah menjadi jalur berbatu yang tertutup salju. Natasha menghentikan mobil, lalu mengeluarkan teropong dari tasnya. Di kejauhan, di antara pepohonan yang tertutup salju, tampak bangunan besar dengan tembok beton tebal. Lampu sorot sesek
Adrian menatap Gabriel dengan tatapan penuh kebingungan dan kemarahan. Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. "Kau bukan hanya anak Nathaniel Alvaro. Kau adalah bagian dari eksperimen yang dia biayai." Dada Adrian naik turun, napasnya memburu. Keira yang duduk di sampingnya, bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuhnya. “Apa maksudmu dengan ‘eksperimen’?” suara Adrian terdengar rendah, nyaris seperti desisan. Gabriel menghela napas panjang sebelum menjawab. “Nathaniel tidak hanya membangun kerajaan bisnis. Dia juga terlibat dalam proyek rahasia. Sebuah penelitian yang melibatkan manipulasi genetik, peningkatan kognitif, dan peningkatan fisik.” Adrian mengerutkan dahi. “Itu terdengar seperti fiksi ilmiah.” “Tapi ini nyata.” Gabriel mendorong sebuah flash drive ke atas meja. “Di dalamnya ada data dari proyek itu. Aku mencurinya bertahun-tahun lalu sebelum semua bukti dihapus.” Keira menatap flash drive itu dengan ragu. “Jadi kau ingin mengatakan bahwa
Malam terus beranjak larut, tetapi hati Adrian dan Keira masih belum menemukan ketenangan. Gedung tua yang berdiri kokoh di belakang mereka seolah menjadi saksi bisu atas pergulatan batin yang mereka alami. Dokumen yang tadi ditemukan Adrian bukan hanya sekadar kertas bertuliskan nama dan angka, tetapi sebuah kenyataan yang mengubah segalanya. "Aku harus menemui ibuku," suara Adrian terdengar dalam keheningan. Keira menoleh, mencoba membaca ekspresi lelaki itu. "Sekarang?" Adrian mengangguk. "Aku butuh jawaban. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semuanya." Mereka pun masuk ke dalam mobil, melaju melewati jalanan kota yang lengang. Di sepanjang perjalanan, Keira bisa merasakan ketegangan di udara. Tangan Adrian mencengkeram kemudi lebih erat dari biasanya, rahangnya mengeras menahan emosi yang berkecamuk. "Kau yakin siap untuk ini?" tanya Keira pelan. Adrian menoleh sekilas. "Aku harus siap." Sesampainya di rumah keluarga Adrian, suasana terasa lebi
Langit sore mulai meredup saat Adrian berdiri di depan sebuah bangunan tua yang tertutup debu. Cahaya jingga matahari yang hampir tenggelam menyorot kaca jendela yang retak, memantulkan bayangan samar-samar wajahnya. Hatinya berdebar. Ini adalah tempat yang selama ini hanya ada dalam potongan-potongan ingatannya. Keira berdiri di sampingnya, menggenggam tangan Adrian erat. Tatapannya tajam, penuh tanya. “Kau yakin ini tempatnya?” Adrian mengangguk perlahan. “Aku ingat setiap detailnya. Pintu kayu dengan ukiran ini… jendela yang sedikit miring… Bahkan bau tanah yang lembap ini. Tempat ini pernah menjadi saksi sesuatu yang penting.” Keira menghela napas panjang. “Kalau begitu, mari kita masuk.” Mereka mendorong pintu kayu yang berderit keras. Ruangan di dalamnya gelap dan berdebu. Cahaya matahari yang tersisa masuk melalui celah di atap, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak pelan di dinding. Adrian melangkah ke tengah ruangan, matanya menyapu setiap s
Kilatan cahaya dari lampu jalan berpendar di genangan air hujan yang masih tersisa di trotoar. Malam ini, udara dingin menggigit, tapi bagi Adrian, Keira, dan Zane, ini adalah waktu yang tepat untuk bergerak. Mereka berdiri di seberang gedung target—pusat keuangan organisasi bayangan yang selama ini mereka buru. Bangunan itu tinggi dengan kaca hitam mengilap, dikelilingi pengamanan ketat. Zane mengetik sesuatu di tablet kecilnya, lalu menoleh ke Adrian. "Sistem keamanan utama ada di lantai 15. Kita harus masuk dari sisi utara, ada jalur ventilasi yang bisa kita manfaatkan." Adrian mengangguk. "Keira, kau tetap di luar untuk memantau. Jika ada pergerakan mencurigakan, beri kami sinyal." Keira tidak langsung menjawab. Ia menatap gedung itu, lalu menoleh ke Adrian dengan ekspresi serius. "Kau yakin ini tidak terlalu berisiko? Jika kita ketahuan, kita bisa kehilangan semua yang sudah kita kumpulkan." Adrian tersenyum tipis. "Justru karena itu kita harus melakukannya