Home / Romansa / SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER / Bab 9: Bayangan masa Lalu

Share

Bab 9: Bayangan masa Lalu

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-12-01 15:44:59

Keira terbangun di tengah malam dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Dalam mimpinya, ia terus mendengar suara tembakan dan melihat wajah pria yang hampir ia tembak di jalan tadi. Meski ia tahu itu tindakan untuk bertahan hidup, rasa bersalah terus menghantui dirinya.

Ia memeluk lutut di tempat tidur, menatap jendela kamar yang gelap. “Apa aku benar-benar berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenal?” gumamnya pelan.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya.

“Keira, ini saya, Adrian,” suara Adrian terdengar dari luar.

Keira mengusap air matanya dan mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. "Masuk."

Adrian membuka pintu dan menatap Keira dengan ekspresi khawatir. "Saya mendengar sesuatu. Anda baik-baik saja?"

Keira berusaha tersenyum, tetapi gagal. "Aku hanya tidak bisa tidur. Semua yang terjadi hari ini... terlalu banyak untukku."

Adrian duduk di kursi dekat tempat tidur, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Apa yang Anda rasakan itu normal. Anda dipaksa menghadapi situasi yang tidak pernah Anda bayangkan sebelumnya."

Keira memeluk dirinya sendiri. "Aku hampir membunuh seseorang, Adrian. Bagaimana itu bisa normal? Aku tidak pernah membayangkan diriku memegang pistol, apalagi menembakkannya."

Adrian terdiam sejenak, seperti sedang memilih kata-kata yang tepat. "Saya pernah berada di posisi Anda, Keira. Ketika pertama kali saya harus menarik pelatuk, saya juga merasa hancur. Tapi satu hal yang selalu saya pegang adalah, saya melakukannya untuk melindungi orang yang penting bagi saya."

Keira menatap Adrian, matanya penuh emosi. "Apakah aku benar-benar layak dilindungi, Adrian? Aku hanya membawa masalah untuk semua orang."

Adrian mendekat, menatapnya dengan intens. "Keira, Anda lebih dari layak. Dan bukan hanya karena Anda anak pemilik Hartono Group. Anda punya hati yang besar, keberanian yang jarang saya temui pada siapa pun. Itu sebabnya saya tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Anda."

Air mata mengalir di pipi Keira. "Terima kasih, Adrian. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku tanpa kamu di sini."

---

Setelah Keira tertidur, Adrian keluar dari kamarnya. Ia berjalan ke ruang tamu, tetapi langkahnya terasa berat. Ia merasakan tekanan yang semakin besar di dadanya.

Kenangan masa lalu mulai menyeruak ke permukaan—kenangan tentang misinya yang gagal bertahun-tahun lalu. Ia melihat bayangan rekan-rekannya yang gugur, wajah mereka yang dipenuhi rasa sakit. Ia mendengar suara mereka memanggil namanya, menyalahkan dirinya karena tidak bisa melindungi mereka.

Adrian meninju dinding dengan keras, mencoba mengusir bayangan itu. Namun, rasa bersalah itu tetap ada, menghantuinya seperti duri di dalam hatinya.

"Adrian?" Suara Lina memecah keheningan.

Adrian menoleh dan melihat Lina berdiri di pintu, menatapnya dengan wajah prihatin. "Apa yang terjadi?"

Adrian menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Hanya kenangan lama yang kembali. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Lina melangkah mendekat, tatapannya tajam. "Kau tidak bisa terus menyembunyikan ini, Adrian. Aku tahu kau masih merasa bersalah atas apa yang terjadi di misi itu. Tapi ini bukan tentang mereka lagi. Ini tentang Keira. Dia butuh kamu sekarang."

Adrian mengalihkan pandangannya, rahangnya mengeras. "Aku tahu. Tapi bagaimana jika aku gagal lagi? Bagaimana jika aku tidak bisa melindunginya seperti yang seharusnya?"

Lina menyentuh bahunya dengan lembut. "Kau bukan dewa, Adrian. Kau tidak bisa mengendalikan segalanya. Tapi satu hal yang aku tahu, kau akan melakukan segalanya untuk memastikan Keira aman. Itu yang membuatmu berbeda."

Adrian terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Aku hanya tidak ingin kehilangan orang lain."

----

Keesokan harinya, Keira memutuskan untuk menghadapi keluarganya. Ia merasa sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang dan kebohongan.

Ketika ia memasuki ruang makan, ayahnya, Bapak Hartono, sedang duduk di sana, menikmati sarapan. Wajahnya tenang seperti biasa, tetapi Keira melihat sesuatu yang berbeda—keletihan yang tersembunyi di balik senyum ramahnya.

"Ayah, kita perlu bicara," kata Keira, duduk di seberang meja.

Bapak Hartono meletakkan cangkir kopinya. "Ada apa, nak?"

Keira mengambil napas dalam-dalam. "Aku tahu tentang Lama Hitam. Aku tahu tentang ancaman yang mereka bawa untuk perusahaan kita."

Wajah ayahnya berubah serius. "Keira, dari mana kamu tahu tentang itu?"

"Adrian memberitahuku. Dan aku juga melihat sendiri apa yang terjadi. Mereka mencoba menghancurkan kita, Ayah. Tapi kenapa kamu tidak pernah memberitahuku apa-apa?"

Bapak Hartono menghela napas panjang. "Aku tidak ingin kamu terlibat, Keira. Dunia ini terlalu berbahaya untukmu."

"Aku sudah terlibat, Ayah!" seru Keira dengan suara yang pecah. Air mata mulai membasahi pipinya, tapi ia tidak peduli. "Mereka mengancamku, mengejarku, dan aku hampir kehilangan nyawaku! Kenapa Ayah tidak pernah mempercayai aku untuk menghadapi kenyataan ini bersama?"

Bapak Hartono menundukkan kepalanya. Untuk pertama kalinya, Keira melihat ayahnya tampak rapuh—pria yang selama ini ia anggap kuat dan tak tergoyahkan.

"Ayah tidak ingin kamu merasakan beban ini, Keira. Dunia bisnis bukan hanya soal angka dan kesepakatan. Di baliknya ada permainan yang kotor, penuh pengkhianatan, dan darah. Ayah ingin melindungimu dari semua itu," jawabnya dengan suara pelan.

Keira menggenggam meja dengan erat, matanya membara. "Ayah tidak bisa melindungiku dengan cara menyembunyikan semuanya dariku. Aku bukan anak kecil lagi. Aku punya hak untuk tahu dan berjuang untuk keluarga kita."

Suasana hening. Ketegangan memenuhi udara di antara mereka.

Akhirnya, Bapak Hartono mengangguk perlahan. "Kamu benar, Keira. Ayah salah. Ayah terlalu meremehkan kekuatanmu. Jika ini pilihanmu, maka Ayah akan memberitahumu segalanya."

---

Bapak Hartono mengisahkan masa lalu yang selama ini disembunyikan rapat-rapat.

"Dua puluh tahun lalu, sebelum kamu lahir, Ayah membangun Hartono Group dari nol bersama beberapa teman dekat. Tapi tidak semua dari mereka setia. Salah satunya adalah Raymond Setiawan, orang yang kini menjadi pengkhianat."

Keira mendengarkan dengan seksama, wajahnya menegang saat mendengar nama itu lagi.

"Raymond dulu adalah sahabat Ayah. Kami berjuang bersama melalui banyak kesulitan. Tapi keserakahan mengubahnya. Dia mulai memanipulasi laporan keuangan perusahaan untuk keuntungan pribadi. Ketika Ayah mengetahuinya, Ayah tidak melaporkannya ke polisi. Sebagai gantinya, Ayah memberinya kesempatan untuk pergi dengan tenang. Ayah pikir itu akan menyelesaikan masalah."

Keira memandang ayahnya dengan ekspresi tak percaya. "Tapi itu tidak menyelesaikan apa pun. Dia kembali, dan sekarang dia mencoba menghancurkan kita."

Bapak Hartono mengangguk, matanya penuh penyesalan. "Ayah tahu. Itu kesalahan Ayah. Dan sekarang, Raymond telah bersekutu dengan kelompok kriminal seperti Lama Hitam. Mereka ingin mengambil semuanya dari kita."

Keira merasa dadanya sesak. Amarah, rasa kecewa, dan kesedihan bercampur menjadi satu. "Kenapa Ayah tidak melawan mereka sejak awal? Kenapa Ayah membiarkan mereka tumbuh sebesar ini?"

"Ayah pikir Ayah bisa menangani semuanya sendiri," jawab Bapak Hartono dengan suara berat. "Tapi sekarang Ayah sadar, Ayah butuh bantuan. Kamu, Adrian, dan Lina adalah harapan Ayah untuk memperbaiki ini."

---

Setelah percakapan itu, Keira berjalan keluar ke taman belakang rumah. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berkecamuk. Ia merasa bingung, marah, dan sekaligus termotivasi.

Adrian menunggunya di sana, seperti tahu bahwa ia membutuhkan seseorang untuk diajak bicara.

"Jadi, bagaimana?" tanya Adrian pelan.

Keira menatapnya dengan mata yang berkilat. "Aku tidak akan lari, Adrian. Aku akan melawan mereka. Jika mereka berpikir bisa menghancurkan keluargaku, mereka salah besar."

Adrian mengangguk, tetapi ekspresinya tetap serius. "Keputusan ini tidak mudah, Keira. Semakin jauh kita melangkah, semakin berbahaya semuanya."

Keira melipat tangannya, mencoba menahan ketakutan yang masih ada di sudut hatinya. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa hanya duduk diam. Ini adalah keluargaku. Hidupku. Aku tidak akan membiarkan mereka merebutnya dariku."

Adrian menatapnya dengan penuh rasa hormat. "Baiklah. Kalau begitu, kita akan melawan mereka bersama."

Keira merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu. Meski situasinya masih penuh ketidakpastian, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.

Malam itu, Keira, Adrian, dan Lina berkumpul untuk menyusun strategi. Lina membawa dokumen-dokumen tambahan yang berhasil ia dapatkan dari jaringan informannya.

"Raymond punya rencana besar untuk mengambil alih Hartono Group," kata Lina sambil menunjukkan beberapa dokumen di atas meja. "Dia berencana membuat perusahaan ini bangkrut melalui manipulasi aset. Setelah itu, dia akan membelinya dengan harga murah menggunakan dana dari Lama Hitam."

Keira mengepalkan tangannya. "Dia benar-benar tidak punya hati. Kita harus menghentikannya."

Adrian menyela. "Kita tidak bisa hanya menghentikannya. Kita harus memastikan dia tidak punya jalan untuk kembali. Kita perlu bukti kuat untuk menjatuhkannya secara hukum, sekaligus memutus koneksinya dengan Lama Hitam."

Lina mengangguk. "Ada cara untuk itu. Tapi kita butuh akses ke kantor pribadi Raymond. Semua dokumen penting ada di sana."

Keira menatap mereka dengan tekad. "Kalau begitu, kita akan masuk ke kantornya. Aku akan melakukannya."

Adrian langsung memprotes. "Tunggu, Keira. Ini terlalu berbahaya untukmu. Biarkan saya dan Lina yang mengurusnya."

Keira menatap Adrian dengan tajam. "Ini adalah pertempuran keluargaku, Adrian. Aku tidak bisa hanya berdiri di pinggir dan menunggu. Aku harus menjadi bagian dari ini."

Adrian terdiam. Ia tahu ia tidak bisa menghentikan Keira jika gadis itu sudah mengambil keputusan.

---

Saat malam semakin larut, Adrian kembali ke kamarnya. Ia duduk sendirian di tepi tempat tidur, menatap ke luar jendela. Ada rasa cemas yang tidak bisa ia hilangkan.

Bayangan masa lalu terus menghantuinya. Ia teringat akan misi terakhirnya sebelum menjadi sopir Keira—misi yang berakhir dengan kehancuran timnya. Ia merasa déjà vu, seperti tragedi itu akan terulang lagi.

Adrian mengepalkan tinjunya. "Kali ini, aku tidak akan gagal. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Keira."

Namun, di sudut hatinya, ia tidak bisa menghilangkan rasa takut. Bagaimana jika ia tidak cukup kuat? Bagaimana jika ia harus memilih antara menyelamatkan Keira atau dirinya sendiri?

Adrian memejamkan matanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. Tetapi ia tahu, pertempuran ini bukan hanya melawan musuh di luar sana. Ia juga harus melawan ketakutan dan bayangan dari dalam dirinya sendiri.

---

Di tengah kegelapan malam, Keira berdiri di balkon kamarnya, memandang kota yang gemerlap. Di balik keindahan itu, ia tahu ada banyak bahaya yang menanti.

Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa ia siap menghadapi semuanya.

“Aku tidak akan lari. Ini adalah hidupku, dan aku akan berjuang untuk itu.”

Related chapters

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Ban 10: Keberanian dalan Kegelapan

    Keesokan harinya, suasana di rumah keluarga Hartono terasa semakin serius. Keira, Adrian, dan Lina berkumpul di ruang kerja untuk menyusun rencana besar: menyusup ke kantor pribadi Raymond Setiawan. Di atas meja besar, cetak biru gedung milik Raymond terbentang. Lina, dengan wajah serius, menjelaskan rencana mereka. “Raymond memiliki sistem keamanan sangat ketat,” katanya sambil menunjuk detail di peta. “Ada pengawasan ketat, akses biometrik, dan penjagaan penuh. Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan tanpa persiapan matang.” Keira menatap peta itu dengan rahang terkatup. “Apa pun yang diperlukan, kita harus melakukannya. Dia harus dihentikan.” Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menatap Keira dengan pandangan tajam. “Kamu tidak tahu seberapa berbahaya ini. Kalau kamu tidak siap mental, lebih baik jangan ikut.” Keira menatap Adrian, suaranya tegas meski sedikit bergetar. “Ini keluargaku. Aku tidak akan mundur.” Ketegangan di ruangan itu membuat Lina merasa tidak nyaman. Ia me

    Last Updated : 2024-12-01
  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 11: Pilihan yang Menentukan

    Di ruang tamu yang gelap dan sunyi, Keira duduk di sofa dengan pandangan kosong. Di tangannya, sebuah dokumen penting yang berhasil mereka curi dari kantor Raymond. Namun, matanya tidak tertuju pada tulisan itu. Ia tenggelam dalam pikirannya, memutar ulang kejadian malam sebelumnya.“Aku benar-benar hampir kehilangan semuanya,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.Adrian, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan cemas. “Keira, kamu tidak bisa terus menyalahkan dirimu. Kamu sudah melakukan yang terbaik.”Keira mendongak, matanya yang basah bertemu dengan tatapan Adrian. “Benarkah? Aku hampir membuat semuanya berantakan. Kalau aku tidak terdiam tadi...”Suara Keira pecah di tengah kalimat. Ia memejamkan matanya, mencoba menahan tangis yang mulai menguasainya.Adrian mendekat, duduk di sampingnya. Ia berbicara dengan nada lembut, tapi tegas. “Kamu menghadapi situasi yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Itu wajar. Kita semua punya kelemahan, Keira. Yang penting a

    Last Updated : 2024-12-02
  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 12: Menghadapi Labirin Kebenaran

    Keira memandang layar komputer di depan mereka, tampak gelisah. Di balik tumpukan dokumen yang tersebar di meja, ada satu pesan yang mengganggu pikirannya. Raymond telah menggandakan upayanya untuk memindahkan aset-asetnya, dan mereka hampir tidak punya waktu lagi. Jika mereka gagal menyusup ke sistem yang aman, mereka akan kehilangan bukti penting yang bisa menggulingkan Raymond. Adrian berdiri di dekat jendela, matanya tajam memandang malam yang gelap. Suasana di ruang kerja mereka tegang. Keira tidak bisa menahan kegelisahannya, tapi Adrian tetap tenang, hampir seolah dia sudah mengetahui langkah berikutnya. "Keira," kata Adrian dengan suara yang penuh keyakinan, "Jika kita menyerang sekarang, kita akan kehabisan kesempatan. Kamu harus percaya padaku. Kita punya satu kesempatan lagi, dan kita harus memanfaatkan sepenuhnya." Keira menatapnya, tak bisa menutupi perasaan campur aduk di dalam hatinya. "Aku... aku sudah hampir tidak tahan, Adrian. Semua ini... membuatku takut." Adr

    Last Updated : 2024-12-02
  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 13: Harga Sebuah Pilihan

    Keira duduk di sudut ruang kerja kecil mereka. Suasana terasa mencekam setelah pertemuan dengan Raymond tadi malam. Tatapannya kosong, seperti sedang menatap ruang hampa. Dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan tak terjawab mulai menyeruak. Apakah aku bisa bertahan di tengah kekacauan ini? Mengapa semua terasa begitu rumit?Adrian berdiri di dekat jendela, tampak memeriksa rencana cadangan yang ia buat semalam. Wajahnya tenang seperti biasa, namun Keira tahu ada banyak hal yang bergemuruh di dalam pikirannya. Bagaimanapun, Adrian bukanlah tipe orang yang membiarkan dirinya terlihat rapuh, apalagi di depan orang lain.“Adrian,” Keira memanggilnya dengan suara pelan namun gemetar.Adrian menoleh, pandangannya tajam namun lembut. “Ya?”“Aku... aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk melanjutkan ini,” kata Keira jujur. Air mata mulai menggenang di matanya. “Semua ini terasa seperti mimpi buruk. Kita dikelilingi bahaya, dan aku takut kalau aku akan menjadi beban untukmu.”Adrian mendekatin

    Last Updated : 2024-12-03
  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 14: Benturan Takdir

    Pagi itu, udara dingin menyelimuti kota. Adrian dan Keira bergerak dengan langkah penuh kehati-hatian menuju lokasi target mereka: sebuah gudang tua yang menyimpan dokumen penting milik Raymond. Tangan Keira bergetar halus saat ia memegang jaketnya, berusaha menahan rasa gugup yang menyelimuti pikirannya.“Adrian,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Kamu yakin kita bisa melakukannya?”Adrian meliriknya sekilas, matanya dingin namun sarat keyakinan. “Tidak ada pilihan lain,” katanya tegas. “Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.”Keira ingin memercayai kata-katanya, tetapi rasa takut terus menggeliat di dadanya. Ia tidak sekuat Adrian, dan ia tahu itu. Namun, ia menahan keraguannya, memilih untuk mengikuti jejak Adrian.Gudang itu gelap dan sepi, hanya dihiasi suara samar dari tetesan air di kejauhan. Adrian memimpin, gerakannya cepat namun senyap. Alat pemindai di tangannya memancarkan cahaya redup, mencari jejak dokumen yang mereka incar.“Di sana,” kata Adrian akhirnya,

    Last Updated : 2024-12-03
  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 15: Perang dalam Bayangan

    Malam itu, Keira duduk di apartemen kecil yang kini menjadi tempat persembunyian mereka. Ia memeluk lututnya, pandangannya terpaku pada jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Hujan turun deras di luar, seperti mencerminkan kekacauan yang baru saja terjadi.Adrian berdiri di dapur kecil, tangannya sibuk membersihkan luka kecil di lengannya. Meski tidak serius, luka itu cukup untuk mengingatkannya betapa tipis batas antara hidup dan mati dalam misi mereka tadi.Keira mengalihkan pandangannya ke arah Adrian. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya lirih.Adrian berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan mata yang tajam namun lembut. “Aku baik,” jawabnya singkat.Namun, Keira tahu itu bohong. Ia bisa melihat kelelahan di wajah Adrian, sesuatu yang jarang ia tunjukkan. “Adrian,” katanya, suaranya sedikit lebih keras. “Kamu tidak harus pura-pura kuat di depanku. Aku tahu semua ini melelahkan untukmu.”Adrian tersenyum tipis, senyum yang tidak benar-benar menyentuh matanya. “Aku tidak pu

    Last Updated : 2024-12-04
  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 16: Perang Tanpa Batas

    Dua hari berlalu dengan ketegangan yang tak berkurang. Keira memandangi Adrian yang berdiri di dekat jendela apartemen mereka, memeriksa informasi yang baru saja dikirimkan Mia. Cahaya layar holografik memantul di wajahnya, memberikan kesan dingin yang semakin menegaskan betapa dalam pikirannya tenggelam dalam masalah ini.Keira mengambil napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara. “Adrian,” katanya, suaranya sedikit bergetar, “apa kita benar-benar bisa menang melawan Leon?”Adrian menoleh perlahan, matanya penuh dengan keyakinan, tetapi juga ada kilatan kelelahan di sana. “Keira, kita tidak punya pilihan selain menang. Jika dokumen itu jatuh ke tangan orang seperti Leon, kerusakan yang dia sebabkan akan jauh lebih besar daripada Raymond.”Keira mengangguk, meskipun rasa takut masih menguasainya. Ia tahu Adrian sudah terlalu jauh masuk ke dalam dunia ini untuk mundur, dan sekarang, ia juga terikat di dalamnya.---Mia berhasil melacak keberadaan Leon di sebuah gedung

    Last Updated : 2024-12-04
  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 17: Strategi di Balik Bayangan

    Di tempat persembunyian mereka, Keira duduk diam di sofa kecil dengan napas tersengal. Adrian berdiri di depan jendela, melihat keluar dengan mata tajam. Di tangannya, sebuah tablet holografik memproyeksikan peta gedung milik Leon Carter, yang kini menjadi pusat perhatian mereka. “Aku tidak mengerti,” kata Keira, suaranya bergetar. “Bagaimana kita bisa keluar dari sana tanpa tertangkap? Itu terlalu berisiko, Adrian.” Adrian berbalik, menatap Keira dengan tatapan yang sulit diartikan. “Keira, aku sudah terbiasa menghadapi risiko seperti ini. Tapi aku tidak bisa melindungimu jika kamu terus ragu.” Keira tertegun. Kata-kata Adrian terasa tajam, tetapi ada kejujuran di dalamnya. Ia tahu Adrian tidak bermaksud menyakitinya, melainkan mencoba membuatnya lebih kuat. “Tapi aku takut kehilanganmu,” ujar Keira pelan, hampir berbisik. Adrian terdiam sejenak. Ia berjalan mendekati Keira, lalu duduk di sebelahnya. “Aku juga takut kehilanganmu,” katanya dengan suara lembut. “Tapi kita tidak b

    Last Updated : 2024-12-05

Latest chapter

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 36

    Keira memegang erat kendali kendaraan, matanya fokus pada jalan di depannya. Malam itu, jalanan kota terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah dunia di luar sana sedang menunggu sesuatu yang akan terjadi. Udara malam yang dingin menyelinap ke dalam mobil, menambah ketegangan yang sudah mencekam hatinya."Keira," suara Adrian terdengar dari kursi penumpang sebelah, memecah keheningan yang sudah terjalin lama. "Apakah kau yakin dengan keputusanmu?"Keira menatapnya sekilas, mencoba membaca ekspresi wajahnya, namun Adrian menjaga wajahnya tetap datar. Keira tahu bahwa pria ini bukan tipe yang mudah terpengaruh oleh keadaan, namun hari itu, ia bisa melihat kegelisahan yang samar. Keira pun merasakan hal yang sama. Keputusan yang ia buat untuk bergerak maju—untuk melawan mereka—adalah langkah yang sangat berisiko. Tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang yang terlibat di dalamnya. Terutama Adrian dan Elena."Sudah tidak ada jalan kembali," Keira menjawab dengan suara yang te

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 35 Terungkapnya Jalan Pilihan

    Keira duduk di depan jendela besar yang menghadap ke kota, memandangi pemandangan yang tidak lagi memberinya kenyamanan seperti dulu. Seiring dengan malam yang semakin larut, pikirannya terus berputar-putar tentang segala yang baru saja terungkap. Sebuah organisasi rahasia yang menculiknya, eksperimen yang mengubah hidupnya, dan sekarang, pilihan sulit yang harus diambil.Hatinya berdebar keras, seolah-olah setiap detakan jantungnya menggema dalam keheningan ruang itu. Seorang pria dan wanita, dua orang yang baru saja ia temui—Adrian dan Elena—terus hadir dalam pikirannya, seperti bayang-bayang yang tidak bisa ia hilangkan. Keira tidak pernah membayangkan dirinya terjebak dalam permainan besar yang melibatkan kekuasaan, konspirasi, dan masa lalu yang penuh kebohongan.Dia merasa seolah-olah hidupnya adalah bagian dari teka-teki yang belum lengkap, dan semakin ia mencoba menyusunnya, semakin banyak potongan yang hilang. Ada banyak hal yang tidak ia ketahui, hal-hal yang bahkan melibatk

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 34

    Suara pintu yang menutup perlahan bergema di ruangan. Keira berdiri di tengah aula besar, dengan udara yang terasa lebih dingin daripada di luar. Aroma kayu tua bercampur debu memenuhi hidungnya, sementara matanya menelusuri setiap sudut tempat itu.Dinding-dindingnya dihiasi lukisan-lukisan yang terkesan kuno, menampilkan pemandangan yang mengingatkannya pada pertempuran dan kehancuran. Cahaya dari lilin-lilin yang berderet di sepanjang lorong menerangi wajah pria yang berdiri di depannya.“Kau sudah sampai sejauh ini, Keira,” kata pria itu sambil berjalan mendekat. “Aku kagum pada keberanianmu.”Keira menegakkan tubuhnya, matanya penuh dengan tekad meski ada sedikit keraguan yang mengintai di sudut hatinya. “Aku tidak punya waktu untuk basa-basi. Siapa kau sebenarnya? Dan apa yang kau tahu tentangku?”Pria itu hanya tersenyum kecil. “Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, biarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Adrian.”Adrian mengulurkan tangannya, tapi Keira tidak bergerak. Ia tetap m

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 33

    Keira duduk di sudut ruangan, memandang tablet yang kini diam tanpa suara. Di dalam pikirannya, suara pria yang muncul di layar tadi terus terngiang. Wajahnya yang dingin, senyumnya yang seolah mengetahui segalanya—membuat pikirannya kacau.“Keira, kau baik-baik saja?” suara Victor membuyarkan lamunannya.Ia mengangkat wajah dan mendapati Victor berdiri di depannya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Untuk sesaat, Keira ingin membuka semua yang ia rasakan, tapi ia tahu ini bukan saat yang tepat.“Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat.Victor mengerutkan dahi, tidak yakin dengan jawabannya. “Kau terlihat terganggu sejak pria itu muncul di layar. Jika ada sesuatu yang ingin kau bicarakan…”“Aku bilang aku baik-baik saja,” potong Keira, nadanya sedikit tajam.Victor mundur, tidak ingin memaksakan dirinya. “Baiklah. Tapi ingat, aku ada di sini kalau kau butuh seseorang untuk bicara.”Keira hanya mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke tablet. Victor, meskipun berat hati, akhirny

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 32

    Suara derit pintu baja yang berat memecah keheningan, diikuti oleh langkah-langkah tegas yang menggema di dalam lorong sempit. Keira berdiri di tengah ruangan, matanya tertuju pada Nathaniel yang mendorong pintu hingga terbuka lebar. Di balik pintu itu ada ruangan besar yang dipenuhi layar monitor, server yang berdengung, dan meja kerja yang penuh dengan dokumen berserakan.“Ini adalah inti dari operasi kita,” kata Nathaniel sambil melangkah masuk. “Dari sini, kita bisa melacak pergerakan mereka dan mencari tahu rencana berikutnya.”Keira mengamati ruangan itu dengan hati-hati, setiap sudut tampak mencerminkan keahlian teknis yang luar biasa. Victor berdiri di belakangnya, diam, tapi kewaspadaan tampak jelas dari cara matanya bergerak cepat memeriksa setiap detail.“Jadi, apa langkah selanjutnya?” Keira bertanya, suaranya datar, tapi matanya menyimpan bara yang tidak bisa dipadamkan.Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia berjalan menuju meja besar di tengah ruangan, menarik sebuah pet

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 31

    Keira duduk di salah satu kursi logam yang dingin di ruangan itu, tubuhnya terasa kaku. Suasana di dalam laboratorium tua tersebut mengintimidasi—dindingnya penuh kabel yang melilit, layar-layar monitor berkedip samar, dan bunyi dengung elektronik mengisi keheningan. Victor berdiri tak jauh dari pintu, seperti penjaga yang tidak pernah lengah, sementara Nathaniel sibuk mengetik sesuatu pada keyboard besar yang terhubung ke salah satu komputer di sudut ruangan.Setiap ketukan tuts keyboard terdengar seperti penanda waktu, menanti sesuatu yang besar untuk terungkap. Keira meremas jari-jarinya, mencoba menenangkan diri, tetapi gemuruh di dadanya tidak bisa diabaikan.“Nathaniel,” suara Victor memecah keheningan, nadanya datar namun penuh tuntutan. “Kita tidak punya waktu untuk permainan. Katakan apa yang harus kami tahu.”Nathaniel menghentikan gerakannya, lalu berbalik perlahan. Di layar besar di belakangnya, muncul diagram dan dokumen-dokumen yang terlihat seperti data rahasia. Ia mena

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 30 Bayangan Masa Lalu yang Tak Pernah Pergi

    Keira berdiri mematung di ambang pintu pondok, tubuhnya setengah gemetar. Udara malam yang menusuk seolah berhenti bergerak, tertahan oleh ketegangan yang menguar dari tiga sosok yang saling berhadapan di luar. Victor tidak bergerak sedikit pun, matanya menatap tajam ke arah pria asing yang berdiri di depan mereka. Cahaya senter yang redup hanya menyoroti sebagian wajah pria itu, memperlihatkan garis rahang yang tegas dan senyuman samar yang membuat Keira semakin tidak nyaman. “Victor,” suara pria itu terdengar tenang, nyaris seperti gumaman. “Kau tahu ini akan terjadi cepat atau lambat.” Victor tidak menjawab. Tangan kanannya masih menggenggam erat senjata, siap digunakan kapan saja. Namun, ada sesuatu di wajahnya—sebuah emosi yang sulit diartikan. Bukan hanya kemarahan atau ketegangan, tetapi juga kesedihan yang terpendam. Keira tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Siapa dia, Victor?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik. Victor mengalihkan pandangannya sedikit, cuk

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 29 Dalam Kegelapan ada Jawaban

    Udara malam semakin menusuk ketika Keira menyandarkan punggungnya ke batang pohon tua. Napasnya masih terengah-engah setelah pelarian tadi, tetapi suara gemerisik dedaunan di sekitarnya membuatnya tetap waspada. Hutan itu gelap, seolah menjadi sekutu bagi mereka yang mengejarnya. Victor berdiri tidak jauh darinya, punggungnya tegak, tubuhnya siaga penuh. Matanya terus menyapu sekeliling, seperti seorang pemburu yang siap menyerang kapan saja. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam raut wajahnya malam ini—sebuah ketegangan yang lebih dalam dari sekadar pelarian. “Victor,” Keira akhirnya memecah keheningan, suaranya pelan namun bergetar. “Kau yakin kita aman di sini?” Victor menoleh sebentar, matanya bertemu dengan milik Keira. Sorot matanya tajam, tetapi ada kehangatan yang tersembunyi di dalamnya. “Tidak ada tempat yang benar-benar aman, Keira. Tapi untuk saat ini, kita tidak punya pilihan lain.” Keira menggigit bibirnya, merasa kata-kata itu membawa beban lebih besar daripada yan

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 28 Bayang di Tengah Keheningan

    Bab 28: Bayang-Bayang di Tengah KeheninganKeheningan yang merayap di antara pepohonan terasa seperti perangkap yang tak kasatmata. Keira menyandarkan punggungnya di batang pohon besar, tubuhnya sedikit gemetar karena lelah dan gugup. Napasnya terengah, terdengar jelas di tengah suara desiran angin yang menyelinap di antara dedaunan. Ia merasakan dinginnya keringat mengalir di pelipisnya.Victor berdiri di sampingnya, wajahnya penuh konsentrasi. Tangannya menggenggam erat pistol yang sudah lama terisi peluru, siap untuk menghadapi ancaman. Namun, meskipun kelihatan begitu percaya diri, Keira tahu ada sesuatu yang lain di balik sikap tegas itu. Raut wajahnya, meskipun tidak banyak berbicara, menyiratkan beban yang berat—bukan hanya tentang bahaya di depan mereka, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam.“Keira,” Victor berbisik pelan, memecah keheningan. “Kita harus terus bergerak. Mereka bisa menemukan jejak kita kapan saja.”Keira mengangguk, meski hatinya masih diliputi kecemasan.

DMCA.com Protection Status