Keira duduk di sudut ruang kerja kecil mereka. Suasana terasa mencekam setelah pertemuan dengan Raymond tadi malam. Tatapannya kosong, seperti sedang menatap ruang hampa. Dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan tak terjawab mulai menyeruak. Apakah aku bisa bertahan di tengah kekacauan ini? Mengapa semua terasa begitu rumit? Adrian berdiri di dekat jendela, tampak memeriksa rencana cadangan yang ia buat semalam. Wajahnya tenang seperti biasa, namun Keira tahu ada banyak hal yang bergemuruh di dalam pikirannya. Bagaimanapun, Adrian bukanlah tipe orang yang membiarkan dirinya terlihat rapuh, apalagi di depan orang lain. “Adrian,” Keira memanggilnya dengan suara pelan namun gemetar. Adrian menoleh, pandangannya tajam namun lembut. “Ya?” “Aku... aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk melanjutkan ini,” kata Keira jujur. Air mata mulai menggenang di matanya. “Semua ini terasa seperti mimpi buruk. Kita dikelilingi bahaya, dan aku takut kalau aku akan menjadi beban untukmu.” Adrian m
Pagi itu, udara dingin menyelimuti kota. Adrian dan Keira bergerak dengan langkah penuh kehati-hatian menuju lokasi target mereka: sebuah gudang tua yang menyimpan dokumen penting milik Raymond. Tangan Keira bergetar halus saat ia memegang jaketnya, berusaha menahan rasa gugup yang menyelimuti pikirannya. “Adrian,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Kamu yakin kita bisa melakukannya?” Adrian meliriknya sekilas, matanya dingin namun sarat keyakinan. “Tidak ada pilihan lain,” katanya tegas. “Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.” Keira ingin memercayai kata-katanya, tetapi rasa takut terus menggeliat di dadanya. Ia tidak sekuat Adrian, dan ia tahu itu. Namun, ia menahan keraguannya, memilih untuk mengikuti jejak Adrian. Gudang itu gelap dan sepi, hanya dihiasi suara samar dari tetesan air di kejauhan. Adrian memimpin, gerakannya cepat namun senyap. Alat pemindai di tangannya memancarkan cahaya redup, mencari jejak dokumen yang mereka incar. “Di sana,” kata Adrian a
Malam itu, Keira duduk di apartemen kecil yang kini menjadi tempat persembunyian mereka. Ia memeluk lututnya, pandangannya terpaku pada jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Hujan turun deras di luar, seperti mencerminkan kekacauan yang baru saja terjadi. Adrian berdiri di dapur kecil, tangannya sibuk membersihkan luka kecil di lengannya. Meski tidak serius, luka itu cukup untuk mengingatkannya betapa tipis batas antara hidup dan mati dalam misi mereka tadi. Keira mengalihkan pandangannya ke arah Adrian. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya lirih. Adrian berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan mata yang tajam namun lembut. “Aku baik,” jawabnya singkat. Namun, Keira tahu itu bohong. Ia bisa melihat kelelahan di wajah Adrian, sesuatu yang jarang ia tunjukkan. “Adrian,” katanya, suaranya sedikit lebih keras. “Kamu tidak harus pura-pura kuat di depanku. Aku tahu semua ini melelahkan untukmu.” Adrian tersenyum tipis, senyum yang tidak benar-benar menyentuh matanya. “Aku
Dua hari berlalu dengan ketegangan yang tak berkurang. Keira memandangi Adrian yang berdiri di dekat jendela apartemen mereka, memeriksa informasi yang baru saja dikirimkan Mia. Cahaya layar holografik memantul di wajahnya, memberikan kesan dingin yang semakin menegaskan betapa dalam pikirannya tenggelam dalam masalah ini. Keira mengambil napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara. “Adrian,” katanya, suaranya sedikit bergetar, “apa kita benar-benar bisa menang melawan Leon?” Adrian menoleh perlahan, matanya penuh dengan keyakinan, tetapi juga ada kilatan kelelahan di sana. “Keira, kita tidak punya pilihan selain menang. Jika dokumen itu jatuh ke tangan orang seperti Leon, kerusakan yang dia sebabkan akan jauh lebih besar daripada Raymond.” Keira mengangguk, meskipun rasa takut masih menguasainya. Ia tahu Adrian sudah terlalu jauh masuk ke dalam dunia ini untuk mundur, dan sekarang, ia juga terikat di dalamnya. Mia berhasil melacak keberadaan Leon di sebuah gedu
Di tempat persembunyian mereka, Keira duduk diam di sofa kecil dengan napas tersengal. Adrian berdiri di depan jendela, melihat keluar dengan mata tajam. Di tangannya, sebuah tablet holografik memproyeksikan peta gedung milik Leon Carter, yang kini menjadi pusat perhatian mereka. “Aku tidak mengerti,” kata Keira, suaranya bergetar. “Bagaimana kita bisa keluar dari sana tanpa tertangkap? Itu terlalu berisiko, Adrian.” Adrian berbalik, menatap Keira dengan tatapan yang sulit diartikan. “Keira, aku sudah terbiasa menghadapi risiko seperti ini. Tapi aku tidak bisa melindungimu jika kamu terus ragu.” Keira tertegun. Kata-kata Adrian terasa tajam, tetapi ada kejujuran di dalamnya. Ia tahu Adrian tidak bermaksud menyakitinya, melainkan mencoba membuatnya lebih kuat. “Tapi aku takut kehilanganmu,” ujar Keira pelan, hampir berbisik. Adrian terdiam sejenak. Ia berjalan mendekati Keira, lalu duduk di sebelahnya. “Aku juga takut kehilanganmu,” katanya dengan suara lembut. “Tapi kita tida
Malam telah larut ketika mereka akhirnya tiba di tempat persembunyian baru. Sebuah rumah tua di pinggir kota yang sepi menjadi pilihan Adrian untuk sementara waktu. Ia mengamankan pintu dan jendela, memastikan tempat itu aman sebelum mereka semua masuk. Victor duduk di kursi kayu usang, wajahnya penuh ketegangan. “Aku tidak yakin ini ide yang bagus. Leon pasti akan mencari keluargaku ke ujung dunia.” Adrian menatapnya tajam. “Keluargamu aman untuk sekarang. Yang perlu kita fokuskan adalah langkah selanjutnya.” Victor menggeleng. “Kau tidak mengerti siapa Leon sebenarnya. Dia bukan hanya seorang miliarder dengan kekuasaan. Dia monster yang tidak pernah kehilangan jejak.” Keira, yang berdiri di dekat jendela, tidak bisa lagi menahan emosinya. “Kalau begitu, kenapa kau bekerja untuknya selama ini? Jika kau tahu dia seperti itu, kenapa tidak melarikan diri sejak awal?” Victor menundukkan kepalanya, suaranya melemah. “Karena aku tidak punya pilihan. Leon menyelamatkanku dari kemis
Malam menyelimuti vila tempat Adrian dan Keira bersembunyi. Hanya suara debur ombak di kejauhan yang menemani keheningan mereka. Namun, ketegangan tak bisa dielakkan. Peta digital yang terpampang di layar monitor memenuhi ruangan, menampilkan lokasi rahasia tempat Leon menjalankan eksperimen manusia. Keira duduk di kursi, kedua tangannya menggenggam erat sandaran. Matanya yang lelah berusaha memahami data yang Adrian tunjukkan. Dia merasa seperti pion kecil di tengah permainan catur yang rumit. “Tempat ini,” kata Adrian sambil menunjuk sebuah titik merah di peta, “adalah laboratorium utama Leon. Tapi untuk masuk ke sana... ini lebih rumit dari yang aku duga.” Keira mengerutkan kening. “Kau selalu bilang begitu sebelum akhirnya kau menemukan solusi. Apa yang berbeda kali ini?” Adrian menghela napas panjang, wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. “Sistem keamanan mereka tidak hanya berbasis AI. Mereka punya penjaga manusia, senjata eksperimental, dan... orang-orang yang me
Adrian menatap layar besar di ruang operasi mereka. Wajah Leon terpampang jelas, dengan senyum sinis yang tampak mengolok-olok. Di sebelahnya, diagram kompleks teknologi terbaru yang dinamakan Proyek Omega membuat darah Adrian berdesir. Kali ini, Leon melangkah lebih jauh dari sekadar mempermainkan korbannya. “Apa kau yakin dengan rencanamu, Adrian?” tanya Keira, yang berdiri di sampingnya. Nada suaranya penuh kekhawatiran, meski ia mencoba menyembunyikannya. Adrian menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. “Ini bukan lagi tentang keyakinan, Keira. Ini satu-satunya cara untuk menghentikan Leon.” Sejak pertemuan terakhir dengan Leon, Adrian mulai menyadari bahwa musuhnya bukan hanya individu kejam dengan ambisi besar, tetapi juga seorang mastermind yang memanfaatkan kelemahan orang lain untuk keuntungannya sendiri. Kali ini, Leon memanipulasi kelompok investor global untuk mendukung Proyek Omega, menjadikan dirinya hampir tak tersentuh. Namun, masalah tidak berhe
Langit senja mulai berubah gelap saat Adrian berdiri di tepi bukit, memandangi kota di kejauhan yang diterangi cahaya lampu. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah yang lembap setelah hujan ringan sore tadi. Keira berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati ekspresi Adrian yang tampak serius."Sepertinya kau masih memikirkan semuanya," ujar Keira lembut, tangannya menggenggam jaketnya erat karena hawa mulai dingin.Adrian menarik napas dalam, membiarkan udara memenuhi dadanya sebelum perlahan menghembuskannya. "Ada banyak hal yang masih harus kupastikan," katanya dengan suara tenang, tapi ada ketegangan tersirat dalam nadanya. "Setiap langkah yang kita ambil sekarang akan menentukan apa yang terjadi selanjutnya."Keira mengangguk, memahami maksudnya. Mereka telah mencapai titik kritis dalam perjalanan ini—misteri yang mereka kejar semakin dekat dengan jawaban, tapi juga semakin berbahaya.Tiba-tiba, di kejauhan, suara gemerisik te
Hujan gerimis mulai turun, menciptakan ritme pelan yang menghantam kaca jendela gedung tua yang kini menjadi saksi bisu pertarungan mental di antara mereka. Udara dingin menusuk kulit, bercampur dengan aroma tanah basah yang semakin mempertegas suasana mencekam di ruangan itu.Di luar, suara deru mobil terdengar samar, mendekati area bangunan terbengkalai yang kini menjadi tempat pertemuan mereka. Namun, di dalam ruangan, keheningan terasa begitu berat.Adrian berdiri tegap, tatapannya tajam menelusuri wajah pria berjas hitam yang kini melangkah perlahan ke arah mereka. Sorot mata pria itu penuh kepastian, seolah ia telah merencanakan setiap kemungkinan yang akan terjadi.Keira menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan penuh kebencian. "Apa kau pikir semua ini hanya permainan?"Pria itu menyeringai tipis. "Segala sesuatu yang besar selalu diawali dengan pengorbanan, nona Keira. Kau seharusnya sudah tahu itu."Adrian mengepalka
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasi
Adrian dan timnya berlari melewati jalan setapak yang tersembunyi di tengah hutan. Nafas mereka memburu, tetapi mereka tidak bisa berhenti. Ledakan di pabrik tua tadi masih menggema di kejauhan, sementara Viktor dan pasukannya pasti sudah mulai memburu mereka. “Terus maju! Jangan berhenti!” seru Adrian. Keira membantu Alexander yang hampir tersandung akar pohon. “Kita harus cepat! Mereka pasti sudah mengepung jalan keluar utama!” Natasha memeriksa peta digital di perangkatnya. “Ada jalur ke arah barat yang bisa kita gunakan, tapi…” “Tapi apa?” tanya Gabriel dari belakang. Natasha menghela napas. “Jalur itu melewati reruntuhan laboratorium lama. Tidak ada yang tahu kondisinya sekarang.” Adrian langsung mengambil keputusan. “Kita ke sana. Setidaknya Viktor tidak akan menduga kita memilih jalur yang paling berbahaya.” Mereka bergegas menuju reruntuhan laboratorium yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun. Saat mereka tiba di lokasi, suasana berubah drastis. Bangunan b
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasis
Suara alarm bergema di seluruh ruangan, memantul di dinding logam dan menciptakan suasana tegang. Lampu merah darurat berkedip-kedip, memberikan efek bayangan yang berubah-ubah. Di tengah ruangan, Alexander berdiri diam, dikelilingi oleh cahaya biru yang berputar perlahan di sekitarnya. Adrian melangkah mendekat dengan hati-hati. “Alexander... kau bisa mendengarku?” Mata Alexander yang bersinar biru tajam menatap Adrian, sorotannya bercampur kebingungan dan keheranan. Namun, sebelum ia sempat menjawab, pintu ruangan terbuka dengan cepat. Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan, membawa alat pertahanan canggih. “Jangan bergerak!” suara perintah terdengar tegas. Gabriel segera menarik Keira ke balik meja untuk perlindungan. Natasha, yang sejak awal bersiaga, mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, siap menghadapi situasi yang lebih buruk. Namun, sebelum situasi memanas, Alexander tiba-tiba mengangkat tangannya. Energi biru di sekelilingnya bergetar, lalu dal
Mobil melaju melewati jalan bersalju, menuju pegunungan yang tersembunyi. Adrian duduk di kursi belakang bersama Keira, sementara Natasha mengemudikan dengan penuh konsentrasi. Gabriel, yang duduk di sampingnya, terus memperhatikan peta digital. “Laboratorium K-17 hanya beberapa kilometer lagi,” kata Gabriel, suaranya tegang. Adrian memandang ke luar jendela. Kabut tebal menyelimuti pegunungan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Hawa dingin masuk melalui celah kecil di jendela, menusuk kulit. Keira menarik mantel lebih erat. “Bagaimana kita bisa masuk ke dalam tanpa ketahuan?” Natasha tersenyum tipis sambil tetap fokus mengemudi. “Aku punya cara.” Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah titik di mana jalan aspal berubah menjadi jalur berbatu yang tertutup salju. Natasha menghentikan mobil, lalu mengeluarkan teropong dari tasnya. Di kejauhan, di antara pepohonan yang tertutup salju, tampak bangunan besar dengan tembok beton tebal. Lampu sorot sesek
Adrian menatap Gabriel dengan tatapan penuh kebingungan dan kemarahan. Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. "Kau bukan hanya anak Nathaniel Alvaro. Kau adalah bagian dari eksperimen yang dia biayai." Dada Adrian naik turun, napasnya memburu. Keira yang duduk di sampingnya, bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuhnya. “Apa maksudmu dengan ‘eksperimen’?” suara Adrian terdengar rendah, nyaris seperti desisan. Gabriel menghela napas panjang sebelum menjawab. “Nathaniel tidak hanya membangun kerajaan bisnis. Dia juga terlibat dalam proyek rahasia. Sebuah penelitian yang melibatkan manipulasi genetik, peningkatan kognitif, dan peningkatan fisik.” Adrian mengerutkan dahi. “Itu terdengar seperti fiksi ilmiah.” “Tapi ini nyata.” Gabriel mendorong sebuah flash drive ke atas meja. “Di dalamnya ada data dari proyek itu. Aku mencurinya bertahun-tahun lalu sebelum semua bukti dihapus.” Keira menatap flash drive itu dengan ragu. “Jadi kau ingin mengatakan bahwa
Malam terus beranjak larut, tetapi hati Adrian dan Keira masih belum menemukan ketenangan. Gedung tua yang berdiri kokoh di belakang mereka seolah menjadi saksi bisu atas pergulatan batin yang mereka alami. Dokumen yang tadi ditemukan Adrian bukan hanya sekadar kertas bertuliskan nama dan angka, tetapi sebuah kenyataan yang mengubah segalanya. "Aku harus menemui ibuku," suara Adrian terdengar dalam keheningan. Keira menoleh, mencoba membaca ekspresi lelaki itu. "Sekarang?" Adrian mengangguk. "Aku butuh jawaban. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semuanya." Mereka pun masuk ke dalam mobil, melaju melewati jalanan kota yang lengang. Di sepanjang perjalanan, Keira bisa merasakan ketegangan di udara. Tangan Adrian mencengkeram kemudi lebih erat dari biasanya, rahangnya mengeras menahan emosi yang berkecamuk. "Kau yakin siap untuk ini?" tanya Keira pelan. Adrian menoleh sekilas. "Aku harus siap." Sesampainya di rumah keluarga Adrian, suasana terasa lebi