Share

Pertemuan Intim

Alexander Putra datang lagi ke rumah sakit setelah beberapa bulan untuk pemeriksaan lanjutan. Isabella, yang lagi sibuk ngurus berkas-berkas pasien, kaget waktu lihat nama Alexander di daftar pasien hari itu. Ini bakal jadi pertemuan ketiga mereka, setelah sebelumnya ketemu pas pemeriksaan awal dan pertemuan gak sengaja di taman kota.

Isabella campur aduk. Dia ingat betapa dingin dan sombongnya Alexander waktu pertama kali ketemu, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang bikin Isabella penasaran. Tapi pikirannya balik lagi ke Vincent dan semua kekacauan dalam hidupnya.

Pas Isabella masuk ke ruang pemeriksaan, Alexander udah duduk di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak. Mata mereka ketemu, dan sesaat, Isabella merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Alexander.

"Selamat siang, Pak Alexander. Gimana kabarnya?" sapa Isabella sambil memeriksa catatan medisnya.

Alexander cuma mengangguk. "Baik. Terima kasih, Dokter Bella."

Isabella tegak. "Ayo kita mulai pemeriksaannya."

Pemeriksaan berlangsung dalam keheningan yang canggung. Isabella berusaha profesional, tapi dia gak bisa mengabaikan perasaan aneh setiap kali Alexander menatapnya. Setelah pemeriksaan selesai, Alexander tampak ragu sejenak sebelum ngomong.

"Dokter Bella, saya butuh bicara."

Isabella mengangguk, sedikit waspada. "Tentu, Pak Alexander. Ada yang bisa saya bantu?"

Alexander menatap Isabella dengan tajam. "Saya ingin kamu jadi dokter pribadi saya."

Isabella terkejut. "Maaf, Pak Alexander, tapi saya gak bisa terima tawaran itu. Saya punya banyak pasien yang harus saya tangani di sini."

Alexander menyipitkan mata, ekspresinya serius. "Saya gak terbiasa mendengar kata 'tidak'. Apalagi dalam hal ini, saya butuh dokter yang kompeten kayak kamu."

Isabella menahan napas, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Terima kasih atas pujiannya, tapi saya benar-benar gak bisa terima tawaran tersebut."

Alexander berdiri dan mendekati Isabella. "Saya butuh dokter pribadi karena alasan yang sangat penting. Dan saya yakin kamu orang yang tepat."

Isabella merasakan ketegangan dalam udara. "Pak Alexander, saya menghargai permintaan Anda, tapi saya harus menolak."

Alexander tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu. Kita lihat saja nanti." Dia kemudian meninggalkan ruangan, meninggalkan Isabella dalam kebingungan.

Beberapa hari kemudian, Isabella dipanggil oleh Direktur Rumah Sakit. Pas dia masuk ke ruangannya, dia melihat Alexander sedang duduk di sana, ngobrol dengan Direktur.

"Isabella, silakan duduk," kata Direktur dengan ramah. "Kami ada pembicaraan penting."

Isabella duduk dengan gugup, merasakan tatapan Alexander yang gak lepas darinya.

"Alexander telah mengajukan permintaan untuk menjadikan kamu dokter pribadinya," Direktur memulai. "Dan mengingat latar belakang keluarganya dan hubungannya dengan rumah sakit ini, kami memutuskan untuk menerima permintaan tersebut."

Isabella terkejut dan merasa terjebak. "Tapi, Pak Direktur, saya udah bilang ke Pak Alexander bahwa saya gak bisa."

Direktur tersenyum lembut. "Saya mengerti, Isabella. Tapi ini adalah kesempatan besar buat kamu. Keluarga Alexander adalah salah satu donatur terbesar rumah sakit ini. Ini juga bisa jadi langkah maju dalam karier kamu."

Isabella menatap Alexander, yang sekarang tersenyum tipis. "Ini bukan tentang karier, Pak Direktur. Ini tentang prinsip saya."

Alexander kemudian angkat bicara. "Dokter Bella, saya menghargai prinsip kamu. Tapi saya benar-benar butuh dokter yang kompeten. Tolong pertimbangkan lagi."

Isabella merasa dorongan untuk menolak, tapi dia tahu bahwa posisinya gak kuat. "Baiklah, saya akan mempertimbangkannya."

Direktur tersenyum puas. "Terima kasih, Isabella. Saya yakin kamu akan melakukan yang terbaik."

Setelah pertemuan itu, Isabella merasa frustrasi. Alexander jelas punya kekuasaan dan pengaruh yang besar. Namun, dia gak bisa mengabaikan perasaan cemas yang terus menghantui pikirannya.

Hari-hari berikutnya, Alexander mulai memberi perhatian-perhatian kecil kepada Isabella. Dia sering ngirim bunga ke kantornya, dan kadang-kadang ngirim makanan favorit Isabella. Namun, Isabella berusaha untuk gak menghiraukannya, tetap fokus pada pekerjaannya.

Suatu hari, Alexander datang untuk pemeriksaan lanjutan. Kali ini, dia tampak lebih santai dan ramah.

"Gimana kabarnya, Dokter Bella?" sapa Alexander sambil tersenyum.

Isabella mencoba tersenyum balik. "Baik, terima kasih. Ayo kita mulai pemeriksaannya."

Selama pemeriksaan, Alexander mulai cerita tentang keluarganya. "Keluarga saya punya sejarah penyakit jantung. Itu salah satu alasan saya butuh dokter pribadi. Saya mau memastikan bahwa saya tetap sehat untuk ngurus bisnis keluarga."

Isabella mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami latar belakang Alexander. "Saya ngerti. Penyakit jantung memang serius. Anda perlu menjaga pola hidup sehat dan rutin melakukan pemeriksaan."

Alexander mengangguk. "Itulah kenapa saya butuh kamu. Saya percaya kamu bisa bantu saya menjaga kesehatan saya."

Setelah pemeriksaan selesai, Isabella merasa sedikit lebih mengerti tentang Alexander. Dia masih merasa ragu, tapi dia mulai melihat sisi lain dari pria itu.

Malam harinya, Isabella duduk di sofa, memandangi surat dari Vincent. Pikirannya bercabang antara masalah pribadinya dan tawaran dari Alexander. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan yang tepat untuk masa depannya.

Keesokan harinya, Isabella kembali ke rumah sakit dengan tekad baru. Dia menemui Direktur dan Alexander di ruang kantor Direktur.

"Setelah mempertimbangkan semuanya, saya memutuskan untuk menerima tawaran Pak Alexander sebagai dokter pribadinya," kata Isabella dengan tegas.

Alexander tersenyum puas. "Terima kasih, Dokter Bella. Saya tahu kamu akan membuat keputusan yang tepat."

Direktur juga tersenyum. "Saya yakin ini akan jadi awal yang baik untuk kita semua."

Dengan keputusan itu, Isabella tahu bahwa hidupnya akan berubah. Dia harus belajar navigasi hubungan profesional yang rumit dengan Alexander, sambil tetap fokus pada pekerjaannya dan menyembuhkan lukanya dari pernikahan yang hancur.

Hari-hari berikutnya, Isabella mulai kerja lebih dekat dengan Alexander. Meski dia berusaha menjaga jarak, Alexander terus menunjukkan perhatian kecil yang bikin Isabella merasa campur aduk. Terkadang, dia merasa terbantu dengan perhatian itu, tapi di sisi lain, dia merasa bingung dengan perasaannya sendiri.

Suatu sore, setelah menjalani hari yang panjang di rumah sakit, Isabella menemukan Alexander menunggunya di lobi.

"Dokter Bella, apakah kamu punya waktu sebentar?" tanya Alexander dengan nada sopan.

Isabella mengangguk, meski dalam hati merasa lelah. "Apa yang bisa saya bantu, Pak Alexander?"

Alexander tersenyum. "Saya cuma mau ajak kamu makan malam. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih atas kerja keras kamu."

Isabella merasa ragu, tapi dia tahu menolak akan sulit. "Baiklah, tapi cuma sebentar. Saya masih harus pulang."

Mereka pergi ke sebuah restoran dekat rumah sakit. Selama makan malam, Alexander mulai lebih terbuka tentang hidupnya.

"Dokter Bella, kamu mungkin tahu saya datang dari keluarga kaya. Tapi kekayaan itu datang dengan banyak tekanan dan harapan. Saya harus menjaga kesehatan saya agar bisa meneruskan bisnis keluarga," kata Alexander dengan nada serius.

Isabella mendengarkan dengan empati. "Saya ngerti. Setiap orang punya beban masing-masing. Saya cuma mau bantu kamu dengan cara terbaik yang saya bisa."

Alexander menatap Isabella dengan tatapan lembut. "Dan itu yang bikin kamu beda. Kamu benar-benar peduli. Itu jarang saya temukan."

Isabella merasa hatinya melembut sedikit. "Terima kasih, Pak Alexander. Saya cuma melakukan tugas saya."

Malam itu, setelah mereka berpisah, Isabella merasa sedikit lebih dekat dengan Alexander. Meskipun masih ada kebingungan dalam perasaannya, dia mulai melihat sisi lain dari pria itu yang sebelumnya tersembunyi di balik sikap dinginnya.

Hari-hari berikutnya, Isabella dan Alexander terus bekerja bersama. Alexander semakin sering menunjukkan perhatian, mulai dari mengingatkan Isabella untuk beristirahat hingga ngirim makanan sehat ke kantornya. Isabella berusaha tetap profesional, meskipun dalam hatinya mulai muncul perasaan yang sulit dijelaskan.

Suatu hari, Isabella menemukan dirinya duduk di taman rumah sakit, merenung tentang hidupnya. Dia merasa terjebak antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang gak pasti dengan Alexander. Namun, dia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan dengan kepala tegak.

Tiba-tiba, Alexander muncul dan duduk di sebelahnya. "Dokter Bella, apakah kamu baik-baik saja?"

Isabella tersenyum lemah. "Cuma merenung, Pak Alexander. Banyak hal yang terjadi dalam hidup saya belakangan ini."

Alexander mengangguk, menatap jauh ke depan. "Saya ngerti. Terkadang hidup memang penuh dengan kejutan yang gak kita harapkan."

Isabella merasa ada koneksi yang mendalam dalam kata-kata Alexander. "Terima kasih udah mendengarkan, Pak Alexander. Saya benar-benar menghargai itu."

Alexander menoleh dan menatap Isabella dengan tatapan penuh pengertian. "Dokter Bella, kamu adalah orang yang kuat. Saya yakin kamu bisa melewati semua ini."

Isabella merasakan perasaan hangat di hatinya. "Terima kasih, Pak Alexander. Saya akan berusaha."

Dengan dukungan Alexander dan tekad yang baru, Isabella tahu bahwa dia bisa menghadapi apapun yang datang dalam hidupnya. Dia memutuskan untuk terus maju, menjaga profesionalitasnya sebagai dokter, dan mencari kebahagiaan yang layak dia dapatkan.

Hari-hari berikutnya, Isabella dan Alexander semakin dekat. Meskipun masih ada rintangan yang harus mereka hadapi, mereka mulai menemukan ritme dalam hubungan profesional mereka. Isabella belajar menerima perhatian Alexander tanpa merasa terbebani, sementara Alexander belajar untuk lebih terbuka dan menghargai perasaan Isabella.

Meskipun perjalanan mereka masih panjang, Isabella merasa bahwa dia telah menemukan teman dalam diri Alexander. Seorang teman yang siap mendukungnya, meskipun hubungan mereka masih rumit dan penuh tantangan. Dan dengan setiap langkah yang mereka ambil bersama, Isabella merasa sedikit lebih kuat, siap menghadapi apapun yang datang dalam hidupnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status