Share

Ketertarikan Awal

Setelah beberapa hari berlalu sejak pertemuan di kantor Direktur, Isabella masih merasa canggung setiap kali berhadapan dengan Alexander. Meski dia udah setuju jadi dokter pribadinya, Isabella tetap bersikap dingin. Dia gak mau terjebak dalam perasaan yang membingungkan.

Sore itu, Isabella baru selesai shift panjangnya. Dia merasa lelah dan pengen cepat-cepat pulang. Tapi saat keluar dari rumah sakit, dia lihat Alexander nungguin di depan lobi.

"Dokter Bella," sapa Alexander sambil senyum. "Bisa makan malam bareng?"

Isabella menghela napas. "Pak Alexander, saya capek banget. Mungkin lain kali, ya?"

Alexander tetap tersenyum. "Gak apa-apa. Saya cuma mau ngajak kamu makan sebagai ucapan terima kasih."

Isabella akhirnya mengangguk. "Oke, tapi sebentar aja."

Mereka pergi ke restoran favorit Alexander, tempat yang cozy dan gak terlalu ramai. Sepanjang makan malam, Alexander cerita tentang kesibukannya sebagai CEO muda.

"Saya sering jadi motivator buat anak muda," kata Alexander. "Banyak yang undang saya buat tampil di TV atau Youtube. Saya pengen inspirasikan generasi muda buat jadi lebih baik."

Isabella mendengarkan sambil sesekali menyuap makanannya. "Kedengerannya sibuk banget. Kapan kamu punya waktu buat diri sendiri?"

Alexander tertawa kecil. "Jarang-jarang sih. Tapi kadang saya butuh juga waktu buat diri sendiri, kayak sekarang ini."

Isabella gak bisa menahan senyum tipis. "Kamu emang beda, Pak Alexander. Biasanya orang sibuk kayak kamu gak peduli sama kesehatan mereka sendiri."

Alexander menatap Isabella dengan serius. "Makanya saya butuh kamu, Dokter Bella. Biar kamu ingetin saya buat jaga kesehatan."

Isabella tersipu sedikit, tapi dia tetap berusaha menjaga sikap profesional. "Saya bakal bantu sebaik mungkin."

Setelah makan malam selesai, Alexander nganterin Isabella pulang. Dia ngasih bunga sebelum Isabella masuk ke rumah. "Buat kamu, Dokter Bella."

Isabella menerima bunga itu dengan canggung. "Makasih, Pak Alexander."

Keesokan harinya, Isabella kembali sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi perhatian kecil dari Alexander terus berlanjut. Dia ngirim makanan favorit Isabella ke kantornya, dan seringkali meninggalkan catatan kecil dengan pesan semangat.

Isabella merasa bingung. Di satu sisi, dia senang ada yang peduli sama dia, apalagi setelah hubungan dengan Vincent yang makin renggang. Tapi di sisi lain, dia gak mau terlalu bergantung sama perhatian Alexander.

Suatu hari, setelah selesai periksa pasien, Isabella ketemu Alexander di lorong rumah sakit. "Pak Alexander, kamu gak perlu ngelakuin semua ini. Saya cuma dokter kamu, bukan lebih."

Alexander tersenyum lebar. "Saya cuma pengen bikin kamu senang, Dokter Bella. Gak ada yang salah dengan itu, kan?"

Isabella menghela napas panjang. "Gak salah, tapi saya gak terbiasa dengan perhatian kayak gini."

Alexander menatap Isabella dengan tatapan lembut. "Saya ngerti. Tapi saya pengen kamu tau, saya serius dengan ini."

Hari-hari berlalu, dan Isabella mulai terbiasa dengan kehadiran Alexander di hidupnya. Meski dia masih berusaha menjaga jarak, Isabella gak bisa mengabaikan perasaan hangat yang muncul setiap kali Alexander ada di sekitarnya.

Sore itu, setelah selesai shift, Isabella duduk di taman rumah sakit. Dia merenung tentang semua yang terjadi. Perhatiannya teralihkan saat Alexander duduk di sebelahnya.

"Dokter Bella, kamu baik-baik aja?" tanya Alexander.

Isabella mengangguk pelan. "Cuma banyak pikiran, Pak Alexander."

Alexander menatap jauh ke depan. "Kamu gak perlu panggil saya 'Pak'. Panggil aja Alexander."

Isabella tersenyum tipis. "Oke, Alexander. Kadang-kadang hidup memang rumit."

Alexander mengangguk. "Iya, saya tau. Tapi kamu gak sendirian. Saya ada di sini buat kamu."

Isabella merasakan dorongan hangat di hatinya. "Makasih, Alexander."

Dengan setiap hari yang berlalu, Isabella mulai melihat sisi lain dari Alexander. Dia gak cuma CEO sukses, tapi juga seseorang yang tulus peduli. Meski dia masih bingung dengan perasaannya sendiri, Isabella tahu bahwa dia gak sendirian lagi.

Hari-hari berikutnya, Alexander semakin sering menunjukkan perhatian kecil kepada Isabella. Dia sering ngirim bunga ke kantornya, dan kadang-kadang ngirim makanan favorit Isabella. Namun, Isabella berusaha untuk gak menghiraukannya, tetap fokus pada pekerjaannya.

Suatu hari, Alexander datang untuk pemeriksaan lanjutan. Kali ini, dia tampak lebih santai dan ramah.

"Gimana kabarnya, Dokter Bella?" sapa Alexander sambil tersenyum.

Isabella mencoba tersenyum balik. "Baik, terima kasih. Ayo kita mulai pemeriksaannya."

Selama pemeriksaan, Alexander mulai cerita tentang keluarganya. "Keluarga saya punya sejarah penyakit jantung. Itu salah satu alasan saya butuh dokter pribadi. Saya mau memastikan bahwa saya tetap sehat untuk ngurus bisnis keluarga."

Isabella mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami latar belakang Alexander. "Saya ngerti. Penyakit jantung memang serius. Anda perlu menjaga pola hidup sehat dan rutin melakukan pemeriksaan."

Alexander mengangguk. "Itulah kenapa saya butuh kamu. Saya percaya kamu bisa bantu saya menjaga kesehatan saya."

Setelah pemeriksaan selesai, Isabella merasa sedikit lebih mengerti tentang Alexander. Dia masih merasa ragu, tapi dia mulai melihat sisi lain dari pria itu.

Malam harinya, Isabella duduk di sofa, memandangi surat dari Vincent. Pikirannya bercabang antara masalah pribadinya dan tawaran dari Alexander. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan yang tepat untuk masa depannya.

Dengan keputusan itu, Isabella tahu bahwa hidupnya akan berubah. Dia harus belajar navigasi hubungan profesional yang rumit dengan Alexander, sambil tetap fokus pada pekerjaannya dan menyembuhkan lukanya dari pernikahan yang hancur.

Hari-hari berikutnya, Isabella mulai kerja lebih dekat dengan Alexander. Meski dia berusaha menjaga jarak, Alexander terus menunjukkan perhatian kecil yang bikin Isabella merasa campur aduk. Terkadang, dia merasa terbantu dengan perhatian itu, tapi di sisi lain, dia merasa bingung dengan perasaannya sendiri.

Suatu sore, setelah menjalani hari yang panjang di rumah sakit, Isabella menemukan Alexander menunggunya di lobi.

"Dokter Bella, apakah kamu punya waktu sebentar?" tanya Alexander dengan nada sopan.

Isabella mengangguk, meski dalam hati merasa lelah. "Apa yang bisa saya bantu, Alexander?"

Alexander tersenyum. "Saya cuma mau ajak kamu makan malam. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih atas kerja keras kamu."

Isabella merasa ragu, tapi dia tahu menolak akan sulit. "Baiklah, tapi cuma sebentar. Saya masih harus pulang."

Mereka pergi ke sebuah restoran dekat rumah sakit. Selama makan malam, Alexander mulai lebih terbuka tentang hidupnya.

"Dokter Bella, kamu mungkin tahu saya datang dari keluarga kaya. Tapi kekayaan itu datang dengan banyak tekanan dan harapan. Saya harus menjaga kesehatan saya agar bisa meneruskan bisnis keluarga," kata Alexander dengan nada serius.

Isabella mendengarkan dengan empati. "Saya ngerti. Setiap orang punya beban masing-masing. Saya cuma mau bantu kamu dengan cara terbaik yang saya bisa."

Alexander menatap Isabella dengan tatapan lembut. "Dan itu yang bikin kamu beda. Kamu benar-benar peduli. Itu jarang saya temukan."

Isabella merasa hatinya melembut sedikit. "Terima kasih, Pak Alexander. Saya cuma melakukan tugas saya."

Malam itu, setelah mereka berpisah, Isabella merasa sedikit lebih dekat dengan Alexander. Meskipun masih ada kebingungan dalam perasaannya, dia mulai melihat sisi lain dari pria itu yang sebelumnya tersembunyi di balik sikap dinginnya.

Hari-hari berikutnya, Isabella dan Alexander terus bekerja bersama. Alexander semakin sering menunjukkan perhatian, mulai dari mengingatkan Isabella untuk beristirahat hingga ngirim makanan sehat ke kantornya. Isabella berusaha tetap profesional, meskipun dalam hatinya mulai muncul perasaan yang sulit dijelaskan.

Suatu hari, Isabella menemukan dirinya duduk di taman rumah sakit, merenung tentang hidupnya. Dia merasa terjebak antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang gak pasti dengan Alexander. Namun, dia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan dengan kepala tegak.

Tiba-tiba, Alexander muncul dan duduk di sebelahnya. "Dokter Bella, apakah kamu baik-baik saja?"

Isabella tersenyum lemah. "Cuma merenung, Pak Alexander. Banyak hal yang terjadi dalam hidup saya belakangan ini."

Alexander mengangguk, menatap jauh ke depan. "Saya ngerti. Terkadang hidup memang penuh dengan kejutan yang gak kita harapkan."

Isabella merasa ada koneksi yang mendalam dalam kata-kata Alexander. "Terima kasih udah mendengarkan, Pak Alexander. Saya benar-benar menghargai itu."

Alexander menoleh dan menatap Isabella dengan tatapan penuh pengertian. "Dokter Bella, kamu adalah orang yang kuat. Saya yakin kamu bisa melewati semua ini."

Isabella merasakan perasaan hangat di hatinya. "Terima kasih, Pak Alexander. Saya akan berusaha."

Dengan dukungan Alexander dan tekad yang baru, Isabella tahu bahwa dia bisa menghadapi apapun yang datang dalam hidupnya. Dia memutuskan untuk terus maju, menjaga profesionalitasnya sebagai dokter, dan mencari kebahagiaan yang layak dia dapatkan.

Hari-hari berikutnya, Isabella dan Alexander semakin dekat. Meskipun masih ada rintangan yang harus mereka hadapi, mereka mulai menemukan ritme dalam hubungan profesional mereka. Isabella belajar menerima perhatian Alexander tanpa merasa terbebani, sementara Alexander belajar untuk lebih terbuka dan menghargai perasaan Isabella.

Meskipun perjalanan mereka masih panjang, Isabella merasa bahwa dia telah menemukan teman dalam diri Alexander. Seorang teman yang siap mendukungnya, meskipun hubungan mereka masih rumit dan penuh tantangan. Dan dengan setiap langkah yang mereka ambil bersama, Isabella merasa sedikit lebih kuat, siap menghadapi apapun yang datang dalam hidupnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status