Share

Masalah Rumah Tangga Dokter Isabella

Vincent Arya sudah di rumah ketika Isabella pulang dari rumah sakit. Suasana di rumah terasa tegang. Isabella meletakkan tasnya di meja dan mendekati ruang tamu di mana Vincent duduk dengan wajah kusut, memegang segelas whine. Suara televisii dari ruang tamu hanya menambah suasana canggung di antara mereka.

"Vincent, kita perlu ngomong," kata Isabella sambil menatap suaminya dengan serius.

Vincent mengangkat bahunya dengan malas. "Ngomong apaan lagi, Bella? Aku udah capek."

"Jangan gitu dong, Vincent. Aku udah ngeliat kamu makin aneh belakangan ini. Kita harus selesain masalah kita, bukan malah ngindarin," jawab Isabella, mencoba menahan emosinya.

Vincent menghembuskan napas panjang, tampak semakin kesal. "Masalah kita? Bella, kalau kamu terus-terusan nyalahin aku, kita gak bakal kemana-mana."

Isabella berusaha tetap tenang. "Aku gak nyalahin kamu, Vincent. Tapi kamu harus ngakuin kalau kamu juga punya bagian dalam masalah ini. Kamu sering pulang larut malam, komunikasi kita hancur."

"Komunikasi? Bukannya kamu yang selalu sibuk sama pasien-pasienmu? Sementara aku di sini, nungguin kamu kayak anak kecil?" balas Vincent dengan nada yang semakin meninggi.

Isabella merasa jantungnya berdegup lebih cepat. "Vincent, aku bekerja keras buat kita. Jangan disamakan antara pekerjaan dan masalah pribadi. Aku juga butuh kamu ngertiin aku."

Tiba-tiba, Vincent berdiri dan melangkah mendekati Isabella dengan tatapan marah. "Ngerti? Kamu yang gak ngerti. Aku udah bilang aku butuh waktu sendiri, tapi kamu malah terus-terusan nyuruh aku ngaku salah!"

Isabella mundur sedikit, merasa cemas melihat ekspresi Vincent. "Vincent, apa kamu selingkuh?"

Vincent terdiam sejenak, dan itu membuat Isabella semakin panik. "Selingkuh? Kamu bener-bener percaya gue bakal ngelakuin itu?"

Isabella mencoba memahami situasinya. "Aku cuma mau tahu kenyataan. Kamu terus-terusan pulang larut, dan sekarang udah mulai ada nama perempuan di hp kamu."

Vincent menatap Isabella dengan mata yang dingin. "Gue gak selingkuh, Bella. Dan jangan sekali lagi lo nuduh gue macam-macam kayak gitu."

"Kalau kamu gak selingkuh, kenapa kamu harus marah kayak gitu?" tanya Isabella, suaranya mulai bergetar.

"Karena gue udah capek diomelin terus!" teriak Vincent. "Gue capek sama semua ini, capek sama semua tuduhan kamu!"

Isabella terdiam, shock dengan kemarahan Vincent. "Vincent, jangan sekali lagi…"

Belum sempat Isabella menyelesaikan kalimatnya, Vincent yang sudah kehilangan kendali melayangkan tamparan ke wajah Isabella. Kepalanya terasa bergetar, dan rasa sakitnya mengalir seperti aliran listrik di seluruh tubuhnya. Isabella terhuyung mundur, tertegun, merasakan perasaan campur aduk antara sakit dan kaget.

"Vincent!" Isabella berteriak, wajahnya memerah dan air mata mulai mengalir. "Tega ya kamu?"

Vincent berdiri dengan nafas memburu, wajahnya merah padam. "Gue gak tau lagi harus gimana. Lo bikin gue gila!"

Tanpa menunggu jawaban, Vincent meraih jaketnya dan pergi dari rumah. Pintu depan tertutup dengan keras, meninggalkan Isabella sendirian di ruang tamu. Isabella duduk di sofa, mengusap pipinya yang merah, dan menangis tanpa suara. Perasaannya hancur, tidak hanya karena tindakan Vincent, tetapi juga karena ketidakpastian tentang masa depan mereka.

Tengah malam, Isabella masih terjaga di tempat tidur, memikirkan setiap detail perkelahian mereka. Pikirannya terputar-putar, menanyakan apa yang salah dengan hubungan mereka dan apakah ada jalan kembali.

Teleponnya berdering. Melihat layar, Isabella melihat nama Maya. Dengan enggan, dia menjawab. "Halo, Maya."

"Hei, Bella. Aku denger dari sahabatku kalau ada masalah. Kamu oke?" suara Maya terdengar khawatir.

"Enggak, Maya. Semua gak baik-baik aja," Isabella menjawab dengan suara serak.

"Kamu perlu sesuatu? Aku bisa datang ke rumah kamu," tawar Maya dengan nada empati.

Isabella menghela napas. "Gak perlu, Maya. Aku cuma butuh waktu buat mikirin semua ini."

"Kalau kamu butuh apapun, jangan ragu buat bilang. Aku ada buat kamu," kata Maya, suara penuh perhatian.

"Terima kasih, Maya. Aku bener-bener butuh dukungan sekarang," Isabella menjawab sambil menghapus air matanya.

Setelah menutup telepon, Isabella merasa sedikit lebih tenang. Meski begitu, dia tahu bahwa apa yang terjadi tadi malam adalah titik balik dalam hubungan mereka. Vincent pergi tanpa meninggalkan jejak, dan Isabella harus menghadapi kenyataan ini sendirian. Dia tidak tahu apakah Vincent akan kembali atau jika mereka masih bisa memperbaiki hubungan mereka. Yang dia tahu adalah bahwa dia harus kuat dan menghadapi masa depan yang tidak pasti dengan berani.

Dia mematikan lampu, berbaring di tempat tidur, dan mencoba untuk tidur dengan harapan bahwa hari berikutnya akan membawa kejelasan dan mungkin, sebuah solusi.

Hari berikutnya, Isabella berusaha menjalani rutinitasnya di rumah sakit. Dia mencoba fokus pada pasien-pasiennya, tapi pikirannya terus kembali ke perkelahian tadi malam. Setiap kali dia melihat ponselnya, harapannya untuk mendapat pesan dari Vincent semakin pudar.

Di ruang istirahat, Isabella bertemu dengan dokter Clara, seorang rekan kerja yang sudah lama mengenalnya. "Bella, kamu kelihatan beda hari ini. Ada apa?" tanya Clara dengan nada prihatin.

Isabella mencoba tersenyum. "Ah, cuma masalah di rumah, Clara. Gak usah khawatir."

Clara mengangguk, tapi masih tampak khawatir. "Kalau kamu butuh cerita, aku selalu ada di sini."

"Terima kasih, Clara. Aku hargai itu," jawab Isabella dengan tulus.

Hari itu, Isabella menghadapi banyak pasien. Salah satunya adalah Rudi, seorang seniman muda yang menderita penyakit jantung dan membutuhkan operasi segera. Rudi selalu menunjukkan semangat hidup yang tinggi, meskipun kondisinya serius.

"Dok, apa saya bisa sembuh?" tanya Rudi dengan senyum lebar.

"Kami akan melakukan yang terbaik, Pak. Bapak harus tetap kuat dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja," jawab Isabella dengan senyum.

Rudi mengangguk. "Saya percaya pada Anda, Dok."

Kata-kata Rudi memberikan semangat baru bagi Isabella. Dia merasa bahwa pekerjaannya sebagai dokter memberikan makna yang mendalam dalam hidupnya. Setiap kali dia melihat senyum di wajah pasiennya, dia merasa bahwa semua perjuangan dan pengorbanan yang dia lakukan tidak sia-sia.

Namun, pikiran tentang Vincent terus mengganggunya. Malamnya, setelah pulang dari rumah sakit, Isabella mendapati rumah sepi. Vincent belum kembali, dan dia mulai merasa cemas. Dia mencoba menghubungi Vincent beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Isabella merasa semakin tertekan, tidak tahu harus berbuat apa.

Isabella duduk di ruang tamu, memandangi foto-foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Air mata kembali mengalir di pipinya. Dia merindukan Vincent, merindukan kebersamaan mereka yang dulu.

Hari-hari berikutnya, Isabella terus menjalani hidupnya dengan berat. Vincent masih belum kembali, dan Isabella semakin merasa hancur. Dia mencoba mencari tahu keberadaan Vincent melalui teman-temannya, tapi tidak ada yang tahu di mana dia berada.

Suatu malam, Isabella duduk di sofa dengan secangkir teh di tangannya, matanya terpaku pada pintu depan. Pikirannya terus memutar kenangan manis bersama Vincent. Tiba-tiba, bel pintu berdering. Isabella merasa jantungnya berdegup kencang. Dia bergegas membuka pintu, berharap melihat Vincent.

Namun, bukan Vincent yang berdiri di sana. Maya muncul dengan wajah prihatin. "Bella, aku nggak bisa diem aja. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Isabella menghela napas dan mempersilakan Maya masuk. Mereka duduk di ruang tamu, dan Isabella menceritakan semuanya, termasuk perkelahian dan tamparan yang diterimanya.

Maya terdiam, berusaha mencerna semuanya. "Bella, ini nggak bisa dibiarkan. Vincent udah kelewatan. Kamu harus ngelakuin sesuatu."

"Aku haru apa, May? Aku masih cinta sama dia. Aku nggak mau pernikahan kita hancur," jawab Isabella dengan suara gemetar.

"Tapi Bella, kamu nggak bisa terus-terusan disakiti kayak gini. Ini bukan tentang cinta lagi, tapi tentang martabat kamu sebagai perempuan," tegas Maya.

Isabella terdiam, merenungi kata-kata Maya. "Aku nggak tahu harus gimana, Maya. Aku bener-bener bingung."

Maya meraih tangan Isabella. "Aku akan ada buat kamu, apapun yang kamu putuskan. Tapi ingat, kamu harus berani memperjuangkan dirimu sendiri."

Isabella mengangguk, merasa sedikit lebih kuat. Setelah Maya pulang, dia duduk kembali di sofa, merenungkan masa depannya. Dia tahu bahwa dia harus mengambil keputusan yang tepat, meskipun itu berarti harus menghadapi kenyataan pahit.

Seminggu berlalu, dan Vincent masih belum kembali. Isabella mulai menerima kenyataan bahwa mungkin pernikahan mereka sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Dia berusaha fokus pada pekerjaannya, mencari dukungan dari teman-teman dan keluarganya.

Suatu malam, ketika Isabella pulang dari rumah sakit, dia mendapati sebuah surat di meja. Surat itu dari Vincent. Dengan tangan gemetar, dia membuka surat tersebut dan mulai membacanya.

"Bella,

Aku tahu aku sudah membuat kesalahan besar. Aku nggak tahu bagaimana harus meminta maaf atas apa yang sudah aku lakukan. Aku kehilangan kendali dan melakukan hal yang nggak seharusnya aku lakukan. Aku minta maaf, dari lubuk hati yang paling dalam.

Aku butuh waktu untuk merenungkan semuanya. Aku butuh waktu untuk menemukan diriku sendiri lagi. Aku masih mencintaimu, tapi aku nggak yakin apakah kita bisa kembali seperti dulu.

Aku akan pergi untuk sementara waktu. Aku harap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri, sama seperti yang aku coba lakukan. Terima kasih atas segala cinta dan dukungan yang sudah kamu berikan selama ini.

Vincent."

Isabella terdiam, membaca surat itu berulang kali. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena rasa sakit, melainkan karena perasaan campur aduk antara kehilangan dan pengertian. Dia tahu bahwa ini adalah akhir dari babak dalam hidupnya, dan mungkin awal dari yang baru.

Dengan surat di tangannya, Isabella berdiri dan memandang keluar jendela. Dia merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Dia tahu bahwa meskipun ini adalah masa sulit, dia akan menemukan cara untuk bangkit kembali.

Isabella memutuskan untuk fokus pada dirinya sendiri, pada kebahagiaannya dan masa depannya. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi dengan dukungan teman-teman dan keluarganya, dia yakin bisa melewatinya.

Dia menutup surat itu dan menyimpannya di laci, sebagai pengingat bahwa terkadang, cinta saja tidak cukup. Perjuangan dan pengorbanan harus datang dari kedua belah pihak. Dan sekarang, saatnya Isabella memperjuangkan dirinya sendiri.

Dengan tekad yang baru, Isabella berjalan menuju kamar tidur, siap menghadapi hari esok dengan harapan baru. Dia tahu bahwa hidup akan terus berjalan, dan dia harus siap menghadapi setiap tantangan yang datang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status