Isabella duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke arah tumpukan berkas pasien yang harus diselesaikan. Pikiran dan hatinya terbelah antara pernikahannya yang bermasalah dan ketertarikannya pada Alexander. Setiap kali dia mencoba fokus pada pekerjaannya, bayangan Vincent dan Alexander terus-menerus muncul, membuatnya bingung.
Hari itu, Isabella baru saja selesai memeriksa pasien terakhirnya. Saat dia keluar dari ruang periksa, dia melihat Alexander berdiri di lorong dengan senyuman hangat. Jantungnya langsung berdebar kencang.
"Dokter Bella, kamu sudah selesai? Mau makan siang bareng?" tawar Alexander dengan nada penuh harap.
Isabella merasa canggung, tapi akhirnya mengangguk. "Oke, tapi cuma sebentar. Saya masih banyak pekerjaan."
Mereka berjalan menuju kafe kecil di dekat rumah sakit. Selama makan siang, Alexander bercerita tentang keluarganya, tentang tanggung jawab besar yang dia emban sebagai CEO muda. Isabella mendengarkan dengan seksama, berusaha memahami beban yang Alexander pikul.
"Tangan kamu kenapa?" tanya Alexander tiba-tiba, melihat luka kecil di tangan Isabella.
Isabella terkejut, tidak menyangka Alexander akan memperhatikan hal sekecil itu. "Oh, ini cuma luka kecil waktu saya buru-buru tadi pagi."
Alexander mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Isabella dengan lembut. "Kamu harus lebih hati-hati, Dokter Bella."
Isabella merasakan sentuhan itu seperti aliran listrik yang membuat hatinya berdebar. "Iya, saya akan hati-hati," jawabnya pelan, sambil menarik tangannya dengan canggung.
Malam itu, Isabella duduk di sofa rumahnya, memandangi surat dari Vincent yang tergeletak di meja. Pikirannya melayang ke arah Vincent, suaminya yang semakin jauh, dan Alexander, pria yang perlahan-lahan masuk ke dalam hatinya. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan yang tepat untuk masa depannya.
Keesokan harinya, Isabella kembali sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Namun, perhatian kecil dari Alexander terus berlanjut. Dia seringkali mengirim makanan favorit Isabella ke kantornya dan meninggalkan catatan kecil dengan pesan semangat.
Suatu hari, setelah selesai memeriksa pasien, Isabella bertemu Alexander di lorong rumah sakit. "Pak Alexander, kamu nggak perlu ngelakuin semua ini. Saya cuma dokter kamu, bukan lebih."
Alexander tersenyum lebar. "Saya cuma pengen bikin kamu senang, Dokter Bella. Nggak ada yang salah dengan itu, kan?"
Isabella menghela napas panjang. "Nggak salah, tapi saya nggak terbiasa dengan perhatian kayak gini."
Alexander menatap Isabella dengan tatapan lembut. "Saya ngerti. Tapi saya pengen kamu tau, saya serius dengan ini."
Hari-hari berlalu, dan Isabella mulai terbiasa dengan kehadiran Alexander di hidupnya. Meski dia masih berusaha menjaga jarak, Isabella nggak bisa mengabaikan perasaan hangat yang muncul setiap kali Alexander ada di sekitarnya.
Sore itu, setelah selesai shift, Isabella duduk di taman rumah sakit. Dia merenung tentang semua yang terjadi. Perhatiannya teralihkan saat Alexander duduk di sebelahnya.
"Dokter Bella, kamu baik-baik aja?" tanya Alexander.
Isabella mengangguk pelan. "Cuma banyak pikiran, Pak Alexander."
Alexander menatap jauh ke depan. "Kamu nggak perlu panggil saya 'Pak'. Panggil aja Alex."
Isabella tersenyum tipis. "Oke, Alex. Kadang-kadang hidup memang rumit."
Alexander mengangguk. "Iya, saya tau. Tapi kamu nggak sendirian. Saya ada di sini buat kamu."
Isabella merasakan dorongan hangat di hatinya. "Makasih, Alexander."
Dengan setiap hari yang berlalu, Isabella mulai melihat sisi lain dari Alexander. Dia nggak cuma CEO sukses, tapi juga seseorang yang tulus peduli. Meski dia masih bingung dengan perasaannya sendiri, Isabella tahu bahwa dia nggak sendirian lagi.
Hari-hari berikutnya, Alexander semakin sering menunjukkan perhatian kecil kepada Isabella. Dia sering mengirim bunga ke kantornya, dan kadang-kadang mengirim makanan favorit Isabella. Namun, Isabella berusaha untuk nggak menghiraukannya, tetap fokus pada pekerjaannya.
Suatu hari, Alexander datang untuk pemeriksaan lanjutan. Kali ini, dia tampak lebih santai dan ramah.
"Gimana kabarnya, Dokter Bella?" sapa Alexander sambil tersenyum.
Isabella mencoba tersenyum balik. "Baik, terima kasih. Ayo kita mulai pemeriksaannya."
Selama pemeriksaan, Alexander mulai cerita tentang keluarganya. "Keluarga saya punya sejarah penyakit jantung. Itu salah satu alasan saya butuh dokter pribadi. Saya mau memastikan bahwa saya tetap sehat untuk ngurus bisnis keluarga."
Isabella mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami latar belakang Alexander. "Saya ngerti. Penyakit jantung memang serius. Anda perlu menjaga pola hidup sehat dan rutin melakukan pemeriksaan."
Alexander mengangguk. "Itulah kenapa saya butuh kamu. Saya percaya kamu bisa bantu saya menjaga kesehatan saya."
Setelah pemeriksaan selesai, Isabella merasa sedikit lebih mengerti tentang Alexander. Dia masih merasa ragu, tapi dia mulai melihat sisi lain dari pria itu.
Malam harinya, Isabella duduk di sofa, memandangi surat dari Vincent. Pikirannya bercabang antara masalah pribadinya dan tawaran dari Alexander. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan yang tepat untuk masa depannya.
Dengan keputusan itu, Isabella tahu bahwa hidupnya akan berubah. Dia harus belajar menjaga hubungan profesional yang rumit dengan Alexander, sambil tetap fokus pada pekerjaannya dan menyembuhkan lukanya dari pernikahan yang hancur.
Hari-hari berikutnya, Isabella mulai bekerja lebih dekat dengan Alexander. Meski dia berusaha menjaga jarak, Alexander terus menunjukkan perhatian kecil yang membuat Isabella merasa campur aduk. Terkadang, dia merasa terbantu dengan perhatian itu, tapi di sisi lain, dia merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
Suatu sore, setelah menjalani hari yang panjang di rumah sakit, Isabella menemukan Alexander menunggunya di lobi.
"Dokter Bella, apakah kamu punya waktu sebentar?" tanya Alexander dengan nada sopan.
Isabella mengangguk, meski dalam hati merasa lelah. "Apa yang bisa saya bantu, Alexander?"
Alexander tersenyum. "Saya cuma mau ajak kamu makan malam. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih udah sering bantu aku."
Isabella merasa ragu, tapi dia tahu menolak akan sulit. "Baiklah, tapi cuma sebentar. Saya masih harus pulang."
Mereka pergi ke sebuah restoran dekat rumah sakit. Selama makan malam, Alexander mulai lebih terbuka tentang hidupnya.
"Dokter Bella, kamu mungkin tahu saya datang dari keluarga kaya. Tapi kekayaan itu datang dengan banyak tekanan dan harapan. Saya harus menjaga kesehatan saya agar bisa meneruskan bisnis keluarga," kata Alexander dengan nada serius.
Isabella mendengarkan dengan empati. "Saya ngerti. Setiap orang punya beban masing-masing. Saya cuma mau bantu kamu dengan cara terbaik yang saya bisa."
Alexander menatap Isabella dengan tatapan lembut. "Dan itu yang bikin kamu beda. Kamu benar-benar peduli. Itu jarang saya temukan."
Isabella merasa hatinya melembut sedikit. "Terima kasih, Alexander. Saya cuma melakukan tugas saya."
Malam itu, setelah mereka berpisah, Isabella merasa sedikit lebih dekat dengan Alexander. Meskipun masih ada kebingungan dalam perasaannya, dia mulai melihat sisi lain dari pria itu yang sebelumnya tersembunyi di balik sikap dinginnya.
Hari-hari berikutnya, Isabella dan Alexander terus bekerja bersama. Alexander semakin sering menunjukkan perhatian, mulai dari mengingatkan Isabella untuk beristirahat hingga mengirim makanan sehat ke kantornya. Isabella berusaha tetap profesional, meskipun dalam hatinya mulai muncul perasaan yang sulit dijelaskan.
Suatu hari, Isabella menemukan dirinya duduk di taman rumah sakit, merenung tentang hidupnya. Dia merasa terjebak antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang nggak pasti dengan Alexander. Namun, dia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan dengan kepala tegak.
Tiba-tiba, Alexander muncul dan duduk di sebelahnya. "Dokter Bella, apakah kamu baik-baik saja?"
Isabella tersenyum lemah. "Cuma merenung, Alexander. Banyak hal yang terjadi dalam hidup saya belakangan ini."
Alexander mengangguk, menatap jauh ke depan. "Saya ngerti. Terkadang hidup memang penuh dengan kejutan yang nggak kita harapkan."
Isabella merasa ada koneksi yang mendalam dalam kata-kata Alexander. "Terima kasih udah mendengarkan, Alexander. Saya benar-benar menghargai itu."
Alexander menoleh dan menatap Isabella dengan tatapan penuh pengertian. "Dokter Bella, kamu adalah orang yang kuat. Saya yakin kamu bisa melewati semua ini."
Isabella merasakan perasaan hangat di hatinya. "Terima kasih, Alexander. Saya akan berusaha."
Dengan dukungan Alexander dan tekad yang baru, Isabella tahu bahwa dia bisa menghadapi apapun yang datang dalam hidupnya. Dia memutuskan untuk terus maju, menjaga profesionalitasnya sebagai dokter, dan mencari kebahagiaan yang layak dia dapatkan.
Hari-hari berikutnya, Isabella dan Alexander semakin dekat. Meskipun masih ada rintangan yang harus mereka hadapi, mereka mulai menemukan ritme dalam hubungan profesional mereka. Isabella belajar menerima perhatian Alexander tanpa merasa terbebani, sementara Alexander belajar untuk lebih terbuka dan menghargai perasaan Isabella.
Suatu hari, Alexander mengajak Isabella ke acara keluarga kecilnya. "Saya ingin kamu bertemu dengan orang-orang terdekat saya," kata Alexander.
Isabella merasa gugup, tapi dia tahu bahwa ini adalah langkah besar dalam hubungan mereka. "Baiklah, saya akan ikut."
Di acara itu, Isabella berpenampilan beda, terlihat sangat cantik dimata alexander, dia bertemu dengan keluarga dan teman-teman dekat Alexander. Mereka semua menyambutnya dengan hangat, membuat Isabella merasa diterima.
Malam itu, setelah acara selesai, Alexander mengantar Isabella pulang. "Terima kasih sudah datang, Dokter Bella. Kamu membuat saya sangat bahagia."
Isabella tersenyum. "Saya juga senang bisa datang. Terima kasih sudah mengundang saya, Alexander."
Dengan setiap hari yang berlalu, Isabella merasa bahwa dia semakin dekat dengan Alexander. Meski perasaannya masih campur aduk, dia tahu bahwa dia bisa menghadapi apapun dengan dukungan dari Alexander. Hari-hari penuh kebingungan dan dilema masih menantinya, tapi Isabella siap menghadapi semuanya dengan kekuatan baru yang dia temukan dalam dirinya.
Alexander Putra berdiri di tepi jendela kantornya, memandangi hiruk-pikuk kota Jakarta di bawahnya. Gedung-gedung pencakar langit tampak seperti raksasa yang tak pernah tidur, selalu bergerak dan berdenyut. Hari ini adalah hari yang besar bagi Orion Innovations, perusahaan teknologi yang dipimpinnya sejak usianya baru menginjak 28 tahun. Sebagai CEO termuda dalam sejarah perusahaan, Alexander membawa beban ekspektasi yang berat dari keluarga dan dewan direksi.Kantor Alexander mencerminkan kesuksesan dan ambisi. Ruangan luas dengan jendela dari lantai hingga langit-langit, dan dinding penuh penghargaan dan sertifikat. Namun, di balik semua kemewahan itu, ada seorang pemuda yang selalu merasakan tekanan besar dari keluarga yang menuntut kesempurnaan.Ayahnya, Jonathan Putra, pendiri Orion Innovations, selalu menginginkan yang terbaik dari putranya. "Kamu harus lebih baik dari ayah, Alex. Dunia ini tidak memberi ruang bagi yang lemah," katanya, nada suaranya tegas. Alexander mengangguk,
Dr. Isabella Saraswati sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Hari ini adalah hari yang penting, penuh dengan operasi dan pasien yang membutuhkan perhatiannya. Dia mengenakan jas putih kebanggaannya, mengambil stetoskop, dan melihat bayangan dirinya di cermin. Di balik senyumnya yang tenang, ada beban berat yang terus menghantui pikirannya.Isabella tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya, seorang guru sekolah dasar, selalu mengajarkan nilai-nilai kerja keras dan integritas. Ibunya, seorang ibu rumah tangga, selalu mendukung setiap langkahnya. Isabella adalah anak tunggal, dan sejak kecil, dia sudah menunjukkan kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa. Cita-citanya untuk menjadi dokter bukan hanya karena ingin membantu orang lain, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada orang tuanya yang selalu berjuang demi masa depan yang lebih baik.Namun, kehidupan rumah tangga Isabella tidak seindah kariernya. Vincent Arya, suaminya, dulunya adalah pria yang penuh perhatian dan sayang
Vincent Arya sudah di rumah ketika Isabella pulang dari rumah sakit. Suasana di rumah terasa tegang. Isabella meletakkan tasnya di meja dan mendekati ruang tamu di mana Vincent duduk dengan wajah kusut, memegang segelas whine. Suara televisii dari ruang tamu hanya menambah suasana canggung di antara mereka."Vincent, kita perlu ngomong," kata Isabella sambil menatap suaminya dengan serius.Vincent mengangkat bahunya dengan malas. "Ngomong apaan lagi, Bella? Aku udah capek.""Jangan gitu dong, Vincent. Aku udah ngeliat kamu makin aneh belakangan ini. Kita harus selesain masalah kita, bukan malah ngindarin," jawab Isabella, mencoba menahan emosinya.Vincent menghembuskan napas panjang, tampak semakin kesal. "Masalah kita? Bella, kalau kamu terus-terusan nyalahin aku, kita gak bakal kemana-mana."Isabella berusaha tetap tenang. "Aku gak nyalahin kamu, Vincent. Tapi kamu harus ngakuin kalau kamu juga punya bagian dalam masalah ini. Kamu sering pulang larut malam, komunikasi kita hancur."
Alexander Putra datang lagi ke rumah sakit setelah beberapa bulan untuk pemeriksaan lanjutan. Isabella, yang lagi sibuk ngurus berkas-berkas pasien, kaget waktu lihat nama Alexander di daftar pasien hari itu. Ini bakal jadi pertemuan ketiga mereka, setelah sebelumnya ketemu pas pemeriksaan awal dan pertemuan gak sengaja di taman kota.Isabella campur aduk. Dia ingat betapa dingin dan sombongnya Alexander waktu pertama kali ketemu, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang bikin Isabella penasaran. Tapi pikirannya balik lagi ke Vincent dan semua kekacauan dalam hidupnya.Pas Isabella masuk ke ruang pemeriksaan, Alexander udah duduk di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak. Mata mereka ketemu, dan sesaat, Isabella merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Alexander."Selamat siang, Pak Alexander. Gimana kabarnya?" sapa Isabella sambil memeriksa catatan medisnya.Alexander cuma mengangguk. "Baik. Terima kasih, Dokter Bella."Isabella tegak. "Ayo kita mulai pemeriksaannya."Pemeriksaan
Setelah beberapa hari berlalu sejak pertemuan di kantor Direktur, Isabella masih merasa canggung setiap kali berhadapan dengan Alexander. Meski dia udah setuju jadi dokter pribadinya, Isabella tetap bersikap dingin. Dia gak mau terjebak dalam perasaan yang membingungkan.Sore itu, Isabella baru selesai shift panjangnya. Dia merasa lelah dan pengen cepat-cepat pulang. Tapi saat keluar dari rumah sakit, dia lihat Alexander nungguin di depan lobi."Dokter Bella," sapa Alexander sambil senyum. "Bisa makan malam bareng?"Isabella menghela napas. "Pak Alexander, saya capek banget. Mungkin lain kali, ya?"Alexander tetap tersenyum. "Gak apa-apa. Saya cuma mau ngajak kamu makan sebagai ucapan terima kasih."Isabella akhirnya mengangguk. "Oke, tapi sebentar aja."Mereka pergi ke restoran favorit Alexander, tempat yang cozy dan gak terlalu ramai. Sepanjang makan malam, Alexander cerita tentang kesibukannya sebagai CEO muda."Saya sering jadi motivator buat anak muda," kata Alexander. "Banyak ya
Isabella duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke arah tumpukan berkas pasien yang harus diselesaikan. Pikiran dan hatinya terbelah antara pernikahannya yang bermasalah dan ketertarikannya pada Alexander. Setiap kali dia mencoba fokus pada pekerjaannya, bayangan Vincent dan Alexander terus-menerus muncul, membuatnya bingung.Hari itu, Isabella baru saja selesai memeriksa pasien terakhirnya. Saat dia keluar dari ruang periksa, dia melihat Alexander berdiri di lorong dengan senyuman hangat. Jantungnya langsung berdebar kencang."Dokter Bella, kamu sudah selesai? Mau makan siang bareng?" tawar Alexander dengan nada penuh harap.Isabella merasa canggung, tapi akhirnya mengangguk. "Oke, tapi cuma sebentar. Saya masih banyak pekerjaan."Mereka berjalan menuju kafe kecil di dekat rumah sakit. Selama makan siang, Alexander bercerita tentang keluarganya, tentang tanggung jawab besar yang dia emban sebagai CEO muda. Isabella mendengarkan dengan seksama, berusaha memahami beban yang Alexander p
Setelah beberapa hari berlalu sejak pertemuan di kantor Direktur, Isabella masih merasa canggung setiap kali berhadapan dengan Alexander. Meski dia udah setuju jadi dokter pribadinya, Isabella tetap bersikap dingin. Dia gak mau terjebak dalam perasaan yang membingungkan.Sore itu, Isabella baru selesai shift panjangnya. Dia merasa lelah dan pengen cepat-cepat pulang. Tapi saat keluar dari rumah sakit, dia lihat Alexander nungguin di depan lobi."Dokter Bella," sapa Alexander sambil senyum. "Bisa makan malam bareng?"Isabella menghela napas. "Pak Alexander, saya capek banget. Mungkin lain kali, ya?"Alexander tetap tersenyum. "Gak apa-apa. Saya cuma mau ngajak kamu makan sebagai ucapan terima kasih."Isabella akhirnya mengangguk. "Oke, tapi sebentar aja."Mereka pergi ke restoran favorit Alexander, tempat yang cozy dan gak terlalu ramai. Sepanjang makan malam, Alexander cerita tentang kesibukannya sebagai CEO muda."Saya sering jadi motivator buat anak muda," kata Alexander. "Banyak ya
Alexander Putra datang lagi ke rumah sakit setelah beberapa bulan untuk pemeriksaan lanjutan. Isabella, yang lagi sibuk ngurus berkas-berkas pasien, kaget waktu lihat nama Alexander di daftar pasien hari itu. Ini bakal jadi pertemuan ketiga mereka, setelah sebelumnya ketemu pas pemeriksaan awal dan pertemuan gak sengaja di taman kota.Isabella campur aduk. Dia ingat betapa dingin dan sombongnya Alexander waktu pertama kali ketemu, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang bikin Isabella penasaran. Tapi pikirannya balik lagi ke Vincent dan semua kekacauan dalam hidupnya.Pas Isabella masuk ke ruang pemeriksaan, Alexander udah duduk di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak. Mata mereka ketemu, dan sesaat, Isabella merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Alexander."Selamat siang, Pak Alexander. Gimana kabarnya?" sapa Isabella sambil memeriksa catatan medisnya.Alexander cuma mengangguk. "Baik. Terima kasih, Dokter Bella."Isabella tegak. "Ayo kita mulai pemeriksaannya."Pemeriksaan
Vincent Arya sudah di rumah ketika Isabella pulang dari rumah sakit. Suasana di rumah terasa tegang. Isabella meletakkan tasnya di meja dan mendekati ruang tamu di mana Vincent duduk dengan wajah kusut, memegang segelas whine. Suara televisii dari ruang tamu hanya menambah suasana canggung di antara mereka."Vincent, kita perlu ngomong," kata Isabella sambil menatap suaminya dengan serius.Vincent mengangkat bahunya dengan malas. "Ngomong apaan lagi, Bella? Aku udah capek.""Jangan gitu dong, Vincent. Aku udah ngeliat kamu makin aneh belakangan ini. Kita harus selesain masalah kita, bukan malah ngindarin," jawab Isabella, mencoba menahan emosinya.Vincent menghembuskan napas panjang, tampak semakin kesal. "Masalah kita? Bella, kalau kamu terus-terusan nyalahin aku, kita gak bakal kemana-mana."Isabella berusaha tetap tenang. "Aku gak nyalahin kamu, Vincent. Tapi kamu harus ngakuin kalau kamu juga punya bagian dalam masalah ini. Kamu sering pulang larut malam, komunikasi kita hancur."
Dr. Isabella Saraswati sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Hari ini adalah hari yang penting, penuh dengan operasi dan pasien yang membutuhkan perhatiannya. Dia mengenakan jas putih kebanggaannya, mengambil stetoskop, dan melihat bayangan dirinya di cermin. Di balik senyumnya yang tenang, ada beban berat yang terus menghantui pikirannya.Isabella tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya, seorang guru sekolah dasar, selalu mengajarkan nilai-nilai kerja keras dan integritas. Ibunya, seorang ibu rumah tangga, selalu mendukung setiap langkahnya. Isabella adalah anak tunggal, dan sejak kecil, dia sudah menunjukkan kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa. Cita-citanya untuk menjadi dokter bukan hanya karena ingin membantu orang lain, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada orang tuanya yang selalu berjuang demi masa depan yang lebih baik.Namun, kehidupan rumah tangga Isabella tidak seindah kariernya. Vincent Arya, suaminya, dulunya adalah pria yang penuh perhatian dan sayang
Alexander Putra berdiri di tepi jendela kantornya, memandangi hiruk-pikuk kota Jakarta di bawahnya. Gedung-gedung pencakar langit tampak seperti raksasa yang tak pernah tidur, selalu bergerak dan berdenyut. Hari ini adalah hari yang besar bagi Orion Innovations, perusahaan teknologi yang dipimpinnya sejak usianya baru menginjak 28 tahun. Sebagai CEO termuda dalam sejarah perusahaan, Alexander membawa beban ekspektasi yang berat dari keluarga dan dewan direksi.Kantor Alexander mencerminkan kesuksesan dan ambisi. Ruangan luas dengan jendela dari lantai hingga langit-langit, dan dinding penuh penghargaan dan sertifikat. Namun, di balik semua kemewahan itu, ada seorang pemuda yang selalu merasakan tekanan besar dari keluarga yang menuntut kesempurnaan.Ayahnya, Jonathan Putra, pendiri Orion Innovations, selalu menginginkan yang terbaik dari putranya. "Kamu harus lebih baik dari ayah, Alex. Dunia ini tidak memberi ruang bagi yang lemah," katanya, nada suaranya tegas. Alexander mengangguk,