Share

TIGA

Agustus 2020

“Mau kan?” Fandi menatap mata Cahaya. Menggenggam tangannya erat sambil terus melontarkan doa di dalam hatinya.

Fandi baru saja menyatakan cinta, perasaan yang telah di pendamnya juga di sembunyikannya. Terutama dari kelompok yang sudah mengasuh dan membesarkannya selama ini.

Fandi mengecup tangan Cahaya tanpa melepas tatapan dari gadis itu. “Aku mencintaimu.” Fandi mengulangi pernyataan cintanya, lagi.

Cahaya menatap mata itu, mata yang selama beberapa minggu menemaninya, memberinya rasa aman dan ketenangan. Cahaya menundukkan wajah, dia ragu. Bukan pada Fandi, tapi pada dirinya sendiri.

Cahaya sadar, dia gadis yatim piatu, miskin dan tidak pendidikan tinggi. Semua terasa janggal baginya jika dia bisa mencintai atau dicintai, karena dia sendiri merasa dirinya tidak memiliki faktor untuk bisa dicintai, atau di kagumi. Cahaya menghela napas pelan.

“Aku tahu aku bukan siapa-siapa. Aku hanya pria yang kerja tidak jelas, aku juga tidak punya keluarga. Tapi, aku janji. Aku akan menjadikanmu satu-satunya, meski dengan cara sederhana, aku juga yakin bisa membuatmu bahagia.” Fandi menatap Cahaya dengan mata penuh harapnya.

“Tapi aku, ...” Cahaya menghentikan ucapannya sesaat, dia kembali menghela napas panjang. “Aku hanya seperti ini.” Dia menggelengkan kepala.

“Aku juga hanya seperti ini. Aku mencintaimu. Bagiku itu cukup.” Fandi menyentuh tangan Cahaya, menggenggamnya. “Kamu mau kan?”

Cahaya mencari jawaban yang sebenarnya sudah sangat matang di dalam pikirannya, dia hanya takut mengungkapkan jawaban itu. Cahaya ragu pada dirinya, pada masa depan yang entah seperti apa untuk Fandi nanti jika bersamanya. Haruskah dia mencoba? Memasrahkan diri pada nasib, memberanikan diri pada jawaban yang sudah sangat ingin di ungkapkan.

Cahaya menganggukkan kepala pelan, sangat pelan. Fandi mendekatkan wajahnya sambil tersenyum tipis. “Apa? Katakan. Jangan hanya mengangguk.”

Cahaya memasang wajah masam seketika. Tidak tahukah Fandi jika saat ini dia sendiri telah menekan rasa malu dan juga gugupnya, kenapa malah menggoda meminta dia mengucapkan kata ‘iya’, padahal kenyataannya Fandi sangat tahu maksud dari anggukan Cahaya.

Fandi tersenyum. “Iya. Aku tahu. Terima kasih sudah menerima cintaku.” Fandi memeluk Cahaya dengan penuh kelegaan. Perlahan Cahaya membalas pelukan itu.

Cahaya tersenyum tipis. Kini dia memiliki seseorang tempatnya bersandar kala lelah, kala penat, dan kala sedih. Fandi juga sama, dia tidak menyangka rasa di hatinya akan seperti ini. Hanya karena sikap dan kelembutan Cahaya, mampu memadamkan apa pun yang bersifat jahat pada diri Fandi. Cahaya adalah malaikat, yang mampu mengubah segalanya menjadi lebih baik. Fandi kini memiliki impian dan harapan untuk ke depannya, bersama Cahaya.

***

September 2020

Fandi tersenyum menatap ponselnya, hatinya berbunga-bunga hanya dengan ucapan selamat malam dari sang kekasih. Matanya berbinar, menengadah setelahnya. Menyaksikan untuk pertama kalinya bulan tampak sangat indah. Bulan itu bercahaya, seperti hatinya yang telah dipenuhi oleh Cahaya.

“Fandi.” Suara riang yang berasal beberapa meter dari arah kiri Fandi, membuat Fandi terpaksa membuyarkan lamunannya. Dia menoleh dan mendapati Tania berlari ke arahnya, lebih tepatnya ke pelukannya. “Kapan kamu datang? Aku menunggumu setiap hari, kenapa tidak langsung menemuiku? Aku merindukanmu.” Cerca gadis manja itu sambil memeluk Fandi dengan erat.

Fandi tersenyum, dia mencoba melepaskan diri dari pelukan gadis kecil itu, Fandi mengacak-acak rambut Tania. “Aku juga merindukanmu anak manja. Bagaimana? Kamu mendapatkan berapa pria?”

“Tiga. Mereka cukup tampan, tapi tidak ada yang setampan dirimu. Aku sudah melaporkannya pada Ayah. Kamu bagaimana?”

Fandi tampak berpikir, dan memainkan jarinya menghitung. Tania menunggu.

“Tiga juga,” jawab Fandi singkat.

“Hanya tiga? Biasanya kamu mendapatkan sedikitnya lima gadis.” Tania mendekatkan wajahnya. “Kamu tidak bermain curang ‘kan? Menyembunyikan seorang gadis misalnya.”

Entah dari mana gadis itu tahu, atau mungkin dia hanya bermain tebak-tebakkan saja. Tapi, perkataan Tania itu membuatnya terkejut setengah mati. Wajahnya memerah.

Tania tersenyum. “Kenapa kamu terlihat gugup?” Tania semakin mendekatkan wajahnya. “Apakah kamu benar-benar menyembunyikan seorang wanita? Wanita yang seharusnya menjadi target kita?”

“Jangan bercanda Tania.” Fandi meninggikan suaranya. Dia mengalihkan pandangan dan mendorong tubuh gadis itu menjauh darinya.

“Baguslah. Setidaknya kamu harus mengerti posisimu. Kamu akan menjadi suamiku nanti, itu caramu membalas budi pada kami.” Tania tersenyum sinis lalu berbalik menjauh. “Aku lelah, mau tidur. Datanglah saat kamu kedinginan.” Tania berbalik badan sesaat. “Aku selalu siap.” Dia mengedipkan satu matanya dan tersenyum.

Fandi menghela napas, dia menatap Tania semakin jauh dan menghilang di balik pintu. Dia menyayangi Tania seperti adiknya sendiri, dia cukup tahu jika Tania menyukainya, sejak dulu. Tapi, apa yang harus dia lakukan ketika dia telah menjatuhkan hatinya secara tidak sengaja. Terlebih, hatinya jatuh pada seorang gadis yang semula adalah targetnya.

Fandi kembali menghela napas, kali ini helaan kasar dan penuh beban. Dia ingin menyembunyikan Cahaya selama mungkin, dia tidak ingin Cahaya mengetahui siapa dan apa pekerjaannya. Fandi takut, bukan tentang masa depannya dalam kelompok ini, tapi lebih kepada dia belum dan tidak akan siap di benci  Cahaya, mungkin akan lebih parah dari itu, Cahaya akan menjauhinya.

Fandi memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Terdiam dan memikirkan banyak cara bagaimana dia menyembunyikan sosok Cahaya, haruskah dia menjauhi gadis itu untuk keamanannya, atau jalani saja semua selama belum ketahuan.

Fandi kembali menghela napas panjang. Dia merebahkan tubuh di atas ranjang single miliknya, dan memejamkan mata. Bayangan senyuman Cahaya yang begitu dia kagumi mengganggu malamnya. Dia mulai bertanya-tanya. Bagaimana jika senyuman itu tidak lagi untuknya, pasti akan sangat menyakitkan. Fandi membuka mata lalu duduk. Dia meraih ponsel dan mengirimkan pesan pada kekasihnya.

Fandi : Sedang apa? Sudah tidur?

Belum ada balasan. Fandi meletakkan ponsel di samping tubuhnya, dan kembali merebahkan tubuhnya. Menatap langit kamar, dan mencoba melupakan kekhawatirannya.

Fandi kembali meraih ponsel kala bunyi notifikasi terdengar. Cahaya membalas pesannya dengan sangat manis. Fandi tersenyum.

Cahaya : Aku akan tidur. Kamu juga cepat tidur.

              Jangan begadang terlalu malam, aku tidak suka kamu sakit.

Fandi tersenyum membaca pesan itu.

Fandi : Malam minggu ini, mau pergi?

Cahaya : Ke mana?

Fandi : Ke mana saja, nonton atau sekedar jalan.

Cahaya : Boleh. Sekarang istirahatlah, sudah malam. Aku juga akan istirahat.

Fandi : Baiklah, selamat istirahat. Sampai bertemu nanti. Aku mencintaimu.

Cahaya : Aku juga. Selamat malam.

Fandi bisa  membayangkan wajah merah Cahaya karena tersipu. “Ahh ... aku sudah merindukannya lagi,” gumamnya pelan.

Fandi meletakkan ponselnya tepat di atas nakas. Dia memejamkan mata sambil tersenyum mengingat bagaimana Cahaya. Gadis cantik dengan sejuta kelebihan di balik kelemahan dan kekurangannya. Gadis yang mampu mematahkan hatinya, mengubahnya, menguasainya.

Fandi akan mengunjunginya akhir minggu ini, untuk beberapa hari dia harus tetap di sini, untuk meminimalkan kelompok mengetahui tentang keberadaan Cahaya. Selain itu, dia juga harus bekerja extra untuk mencari gadis sebagai pengganti Cahaya.

Fandi menghela napas panjang. Sejujurnya, setelah dia jatuh hati, lalu bahkan menjalin hubungan dengan Cahaya. Ingin rasanya dia berhenti dari pekerjaan ini. Gadis seperti Cahaya, yang hidup sebatang kara juga berhak u tuk hidup dan bahagia. Bagaimana jadinya jika mereka ditipu, dijadikan pelacur dalam semalam saja.

Fandi ingin menyudahi pekerjaannya, tapi bagaimana caranya. Dia masih memiliki hutang pada kelompok ini, dia juga harus mengumpulkan banyak uang untuk berhenti dan memilih Cahaya, meski membutuhkan waktu yang lama, Fandi yakin dia bisa melakukan itu semua.

***

Suara ketukan pintu menghentikan Cahaya dan juga setrikanya. Dia mematikan setrika itu terlebih dahulu sebelum berdiri dan beranjak ke pintu.

Cahaya membuka pintunya, bibirnya tersenyum ketika melihat wajah yang tertutup oleh seikat bunga mawar merah. Cahaya tahu siapa dia, dari aroma dan juga perawakannya.

Fandi tersenyum di balik seikat bunga di tangannya, dia mencuri pandang untuk melihat bagaimana ekspresi Cahaya sekarang. Ternyata, seperti dugaannya. Cahaya tetap saja mengagumkan bersama senyumannya.

Fandi menyodorkan bunga itu untuk kekasihnya. “Selamat pagi, Sayang.” Fandi tersenyum sambil terus menatap mata Cahaya.

Cahaya menerima bunga itu, lalu memeluk Fandi dengan sangat erat. Dia merindukan pria itu, rindu pada hangatnya, pada aroma tubuhnya.

Fandi menyambut pelukan itu dengan melakukan hal yang sama. Dia mengeratkan tangannya di pinggang Cahaya, memejamkan mata dan memuaskan kerinduannya.

“Kenapa tidak menghubungiku dulu jika akan ke sini?” Cahaya melepas pelukannya.

Tangan Fandi masih memeluk Cahaya, dia kembali menarik Cahaya ke dalam pelukannya. “Aku merindukanmu.” Dia tidak menjawab pertanyaan Cahaya, dia hanya akan memenuhi dahaganya pada rindu hari ini.

Cahaya tersenyum. Dia kembali memeluk Fandi dan mengelus lembut punggung pria itu. “Sudah makan?”

Fandi menggelengkan kepala pelan.

“Tadi aku masak sedikit agak banyak. Mau makan bersama?” tanya Cahaya sambil kembali merenggangkan pelukannya.

Fandi tersenyum, dia menganggukkan kepala sesaat, lalu mengecup bibir Cahaya berulang-ulang.

“Fandi hentikan, bagaimana jika ada yang melihat.” Cahaya mencoba melepaskan diri. Fandi tersenyum dan mengeratkan tautan tangannya di pinggang Cahaya.

Kakinya maju, mengajak Cahaya masuk dan kembali mencium bibir kekasihnya itu dengan cara lebih dalam. “Bagaimana jika kita sarapan dengan hal yang lain terlebih dahulu,” ucapnya di sela-sela ciuman.

Cahaya tidak mampu menjawab. Bibir Fandi kembali melumat bibirnya tanpa ampun. Langkah mereka terhenti di sofa, Cahaya tersungkur duduk tanpa melepaskan ciuman. Fandi meraih bunga di tangan Cahaya dan diletakkan di meja. Fandi memeluk Cahaya dan meneruskan dahaganya setelah itu.

Memeluk gadisnya, merasakan luapan rindunya yang disambut dengan rasa serupa. Fandi dan Cahaya menikmatinya, mengarungi lautan rindu berdua, bersama keringat yang perlahan menetes menghiasi pagi.

***

Tania mengepalkan kedua tangannya menyaksikan adegan menyesakkan itu. Fandi, pria yang begitu dikagumi dan dicintainya, memeluk bahkan mencium seorang gadis murahan.

“Fandi,” ucapnya penuh penekanan. “Ini balasanmu pada kami. Tidak akan aku biarkan.”

Dia tidak akan membiarkan ini berlangsung lama. Dia akan menghancurkan gadis itu, dia tidak akan membiarkan gadis itu merebut Fandi darinya.

Jika memang Fandi tidak untuknya, maka tidak ada gadis lain yang bisa bersama pria itu.

“Tunggu saja. Aku akan menghancurkanmu.” Tania menggertakkan gigi, sambil menatap penuh amarah ke arah pintu rumah Cahaya yang tengah tertutup rapat.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status