Fandy menghentikan mobilnya di depan sebuah bilik telepon umum. Dia menatap Cahaya sesaat dan tersenyum. “Aku akan menghubungi temanku sebentar, aku ingin membuat identitas baru buat kita.”
Cahaya menganggukkan kepala tanpa bertanya lagi. Fandy keluar dan masuk ke bilik telepon. Sesaat dia menoleh dan menatap Cahaya, setelah itu Fandy menekan nomor ponsel teman yang akan dia tuju.
Kalau saja menggunakan ponselnya masih memungkinkan, tapi dia tidak mau mengambil risiko itu. Kelompok pasti sudah melacak dan akan segera tahu di mana dia dan Cahaya.
November 2020Lari dari sepasang kaki kecil, di tambah dengan suara tawa riang beberapa anak lainnya, membuat Cahaya menoleh dan menatap ke arah luar.Dia dan Fandy sudah berada di sini selama sepekan. hari ini mereka akan menikah, mengucapkan janji manis untuk sehidup semati.Fandy sudah ada di luar, dia mengenakan kemeja dan celana dengan warna putih bersih, sedang Cahaya mengenakan gaun sederhana dengan warna senada. Di tambah dengan seikat bunga buatan anak-anak untuk hari bahagianya ini.
“Aku akan pulang malam. Pak lurah mengajakku ikut dengannya ke kebun miliknya. Jangan lupa kunci pintu saat mulai petang, tidur awal. Oke.” Fandy membelai kepala Cahaya dan tersenyum manis.Cahaya membalas senyuman itu, dia mengangguk sekilas lalu memeluk Fandy. “Jangan terlalu khawatir. Aku bisa jaga diri. Kamu hati-hati di jalan.”Pelukan keduanya merenggang, saat pak lurah datang bersama mobilnya membuyarkan pelukan hangat itu. “Ayo. Teruskan pelukan kalian nanti ya?” Goda Pak Lurah sambil tersenyum melihat bagaimana Fandy dan Cahaya saling bersikap.
Desember 2020 Angin sepoi, suara burung yang menyanyi membuat Fandy mengeratkan pelukannya. “Fandy, ini sudah siang. Lepaskan aku.” Sinar matahari masuk di sela tirai, saat Cahaya akan membangunkan suaminya itu, Fandy justru menariknya dan memeluknya. “Aku mencintaimu.” Fandy masih memejamkan mata, dia menggerakkan tangannya dan mengelus perut Cahaya. “Bagaimana dia hari ini?” Cahaya tersenyum, dia menyandarkan kepala di dada Fandy. ”Dia baik, besok pagi jadwalnya bertemu dengan Dokter. Kamu bisa menemani kami?” Fandi menganggukkan kepala. “Aku sangat bahagia. Terima kasih sayang.” Cahaya mengangkat wajahnya dan menatap Fandi. “Aku juga sangat berterima kasih. Kamu membuatku merasa memiliki keluarga.” “Bukan hanya merasa, kita keluarga sungguhan.” Cahaya menganggukkan kepala lalu kembali memeluk suaminya itu dengan sangat erat. “Aku sangat mencintaimu.” Fandi menghela napas lega dan membalas pelukan Cahaya. “Aku sangat mencintaimu.” “Sekarang ayo sarapan, aku sudah menyiapkan
Jakarta - Oktober 2020Gelapnya malam menjadi penyempurnaan, betapa kalut dan kacaunya pikiran Fandi. Dia terus menatap ponselnya, berharap berbunyi sebentar saja. Dia menghela napas sesekali. Bahkan, suara burung dan suara gelombang yang menabrak karang serta pinggiran dermaga tidak mampu mengurangi kekacauan hatinya.Tania yang baru saja tiba menghampiri Fandi, dia duduk di samping Fandi dan memainkan rambut pria itu. Gadis itu menempelkan tubuhnya, dress merah ketat berbelahan dada rendah itu menjadi fokus setiap mata dalam ruangan ini. Dress itu terlalu pendek, mengekspos paha mulus Tania, memanjakan banyak mata.Fandi menghela napas keras, dia tidak suka perlakuan Tania yang seperti ini, seperti ular kepanasan. Fandi berusaha menjauhkan tubuh Tania, tapi seolah ada magnetnya, gadis itu selalu kembali menempelinya.“Kamu kenapa, Sayang?” Tania menyandarkan kepalanya di bahu Fandi. Meski pria itu selalu menolak perlakuan ma
Juli 2020Cahaya berjalan sendiri, dalam gelapnya gang dan juga rasa lelah yang menumpuk di pundaknya. Pelan, dia memijit pundaknya sendiri sambil terus melangkah menuju kontrakan kecilnya.Di tangan kanannya, dia membawa satu kantong plastik putih yang berisi dua butir telur dan juga dua bungkus mie instan. Menu makan malamnya dan juga sarapannya untuk esok pagi.Langkah kaki Cahaya terhenti, ketika suar langkah kaki seolah berada tepat di belakangnya. Di membalikkan tubuh, menatap sekitar dengan memicingkan mata. Tidak ada siapa pun di sini, sepi dan sunyi. Cahaya menggelengkan kepala, mencoba mengusir jauh pikiran negatifnya. Dia melanjutkan langkah.Namun, Cahaya kembali berhenti. Kali ini suara langkah itu terdengar semakin mendekat. Cahaya kembali berbalik, tapi lagi-lagi dia tidak mendapati apa pun. Cahaya meneruskan langkahnya dengan ritme yang sedikit cepat. Sambil tangan yang mengepal menahan takut.Sebuah d
Agustus 2020“Mau kan?” Fandi menatap mata Cahaya. Menggenggam tangannya erat sambil terus melontarkan doa di dalam hatinya.Fandi baru saja menyatakan cinta, perasaan yang telah di pendamnya juga di sembunyikannya. Terutama dari kelompok yang sudah mengasuh dan membesarkannya selama ini.Fandi mengecup tangan Cahaya tanpa melepas tatapan dari gadis itu. “Aku mencintaimu.” Fandi mengulangi pernyataan cintanya, lagi.Cahaya menatap mata itu, mata yang selama beberapa minggu menemaninya, memberinya rasa aman dan ketenangan. Cahaya menundukkan wajah, dia ragu. Bukan pada Fandi, tapi pada dirinya sendiri.Cahaya sadar, dia gadis yatim piatu, miskin dan tidak pendidikan tinggi. Semua terasa janggal baginya jika dia bisa mencintai atau dicintai, karena dia sendiri merasa dirinya tidak memiliki faktor untuk bisa dicintai, atau di kagumi. Cahaya menghela napas pelan.“Aku tahu aku bukan siapa-siapa. Aku
Oktober 2019“Hari ini.” Tania menoleh sambil senyum licik di wajah cantiknya. “Lakukan rencana kita hari ini.” Tania berdiri lalu melangkah keluar dengan anggun.Beberapa anak buah yang baru saja di ajaknya bicara menganggukkan kepala mengerti.Tania keluar, dia mencari keberadaan Fandi, pria itu harus dia alihkan supaya tidak mengunjungi gadis sialan itu. Tania tersenyum senang dengan apa yang terbayang di dalam otaknya.“Apa Fandi di dalam?” Tania menghentikan salah satu anak buahnya yang baru saja keluar dari gudang.“Iya, Nona. Fandi di dalam.”Tania mengangguk singkat, dan pria gembul itu pergi meninggalkannya. Tania melanjutkan langkah, dia masuk dan mendapati Fandi sedang berbicara dengan salah satu pria yang juga bekerja dalam kelompok.Tania mendekat. Dia memeluk lengan Fandi seketika, Fandi menatapnya sesaat dan dia tersenyum dengan reaksi itu. “Temani aku jalan-jalan malam ini. Ya? Sudah lama sekali kita tidak jalan-jalan berdua.”“Kita bica
Oktober 2020Fandi menatap kedua tangan Petra, lalu menatap kedua mata anak buahnya itu. Fandi maju, tanpa rasa takut dia meninggikan nada suaranya. “Lepaskan Cahaya, atau ...” Fandi mengepalkan tangannya. “Kalian semua akan mati di tanganku.”Petra tersenyum sekilas. “Maaf, sehebat apa pun dirimu. Kamu kalah jumlah dengan kami. Sebaiknya menyerah. Sebelum semuanya menjadi semakin kacau.” Sejujurnya, pria itu sangat berharap Fandi tidak meneruskan pemberontakannya. Hanya karena seorang wanita, Petra yakin, Fandi akan kehilangan segala yang dia miliki saat ini.