Oktober 2020
Fandi menatap kedua tangan Petra, lalu menatap kedua mata anak buahnya itu. Fandi maju, tanpa rasa takut dia meninggikan nada suaranya. “Lepaskan Cahaya, atau ...” Fandi mengepalkan tangannya. “Kalian semua akan mati di tanganku.”
Petra tersenyum sekilas. “Maaf, sehebat apa pun dirimu. Kamu kalah jumlah dengan kami. Sebaiknya menyerah. Sebelum semuanya menjadi semakin kacau.” Sejujurnya, pria itu sangat berharap Fandi tidak meneruskan pemberontakannya. Hanya karena seorang wanita, Petra yakin, Fandi akan kehilangan segala yang dia miliki saat ini.
“Kalau begitu. Kita lihat saja.” Fandi menguatkan kepalan di kedua tangannya. Dia menajamkan tatapan dan mengamati satu persatu pria yang menghalangi tujuannya dengan cepat.
Fandi melangkah mendekat. Sebuah tinju melayang dari arah kirinya, dia menghindar. Bersamaan dengan gerakannya menghindar, sebuah tinju juga datang dari arah depan, Fandi menangkisnya dan melayangkan tinju balasan.
Petra melayangkan tendangan yang mengenai perut Fandi, Fandi tersungkur sesaat. Dia kembali berdiri dan membalas ke Petra dengan tendangan yang lebih kuat ke perutnya, hingga darah segar mengalir di ujung bibir pria itu.
Pertengkaran mereka berlangsung hanya beberapa menit saja, itu membuat Fandi sedikit terluka. Beberapa anak buahnya babak belur dan tidak sanggup berdiri.
Fandi jongkok di samping Petra. Dia menatap Petra dengan tajam. “Sekarang sebutkan di mana Cahaya. Anggap saja ini pengabdian terakhirmu padaku.”
Petra terengah. Rasa sakit di wajah dan seluruh tubuhnya membuatnya meringis. “Kapal 32.”
Setelah mendapat jawaban itu, Fandi menghempaskan tangannya. Dia berlari ke tempat itu. Hatinya terus berdoa jika tidak ada apa pun yang terjadi pada Cahaya.
Fandi di hadang oleh beberapa pria yang sangat di kenalnya. Mereka saling menghantam, memukul dan menendang.
Tidak ada lagi rasa sungkan, rasa hormat pada sosok Fandi. Pasalnya, dia penghianat yang harus merek habisi sesuai perintah atasan.
Fandi terengah setelah mengalah anak buahnya sendiri, dia dulu mengajari mereka cara berkelahi, sekarang dia sendiri yang harus menghadapi mereka.
Fandi berhasil. Dia masuk dan mencari keberadaan Cahaya. Dia mendekati Cahaya yang juga menatapnya sambil meneteskan air mata, tangannya terulur mengusap pipi gadis itu dengan lembut, menghapus air matanya. “Maafkan aku.” Fandi melepas kain yang menutupi mulut Cahaya.
Cahaya memejamkan mata, merasakan sentuhan Fandi yang terasa seperti angin segar untuknya. Di saat yang sama Petra datang dengan membawa sebuah balok besar, dia mendekati Fandi dan mengayunkan baloknya.
Cahaya membuka mata dan berteriak. Fandi menoleh dengan cepat, ayunan balok dari Petra mampu dia tahan. Fandi melayangkan tinju berkali-kali pada Petra hingga pria itu kembali terjatuh lagi dengan lumuran darah menutupi wajahnya.
Fandi mendekat dan merogoh kunci mobil dari saku jaket Petra.
“Maaf Bang, karena sudah menghianatimu. Aku memilih untuk setia pada kelompok. Hati-hati, semoga berhasil.” Petra mengucapkan kata-katanya dengan sedikit berbisik.
Fandi melirik pria itu sesaat, anak didik kesayangannya babak belur di tangannya. Fandi berdiri dan kembali pada Cahaya. Dia melepas ikatan yang menyakiti kekasihnya itu, melepas sumpalan di mulutnya dan menggenggam tangannya kuat. “Kita pergi.”
Cahaya mengangguk dan mengikuti ke mana pun Fandi membawanya. Dia percaya, karena Fandi adalah pelindungnya.
Mereka terus berlari, menjauh dan meninggalkan lokasi itu. Beberapa pria mengejar mereka. Fandi mengeratkan genggaman tangannya lalu mempercepat langkah kaki.
Fandi dan Cahaya masuk ke dalam sebuah mobil hitam, kalu melesat pergi menyisakan teriakan, makian dari beberapa pria yang gagal mengejar mereka.
Petra menghela napas melihat itu jauh di depannya. Dia lega karena Fandi berhasil, tapi juga menyesal karena dia tidak termasuk yang berlari mengejar. Jika saja dia juga mengejar, mungkin Fandi dan gadis itu akan tertangkap.
Petra melangkah ke kapal Tania. Dia sana dia masuk dan mendapati Tania sedang bersedekap dengan wajah marah. Dia menoleh pada Petra lalu menamparnya dengan kuat. “Dasar bodoh.”
Tania sangat marah dengan kenyataan jika prianya kabur dengan membawa pelacur itu. “Aku tidak mau tahu. Bawa pulang dia. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Bahkan jika pelacur itu mati, Fandi harus kembali padaku.”
Petra menghela napas dalam diam. Dia hanya membungkukkan badan lalu memilih pergi. Dia melangkah pergi dengan kepalan tangan yang kuat. “Aku lelah dengan cintamu itu.” Pria itu kesal dengan Tania yang selalu melihat Fandi, bukan dirinya.
***
Fandi menghentikan mobilnya di halaman sebuah motel tua. Fandi menoleh menggenggam tangan Cahaya. Fandi mencoba untuk tersenyum pada kekasihnya meski terasa canggung.
Masalahnya satu, Fandi belum mengucapkan kata maaf dan jujur mengatakan semuanya. Tapi, Fandi akan menceritakan semuanya malam ini.
Cahaya membalas senyuman Fandi, dia ingin menjelaskan pada Fandi jika dia baik-baik saja lewat senyumannya.
“Kita akan pergi dari kota ini, bahkan mungkin dalam beberapa bulan atau tahun kita tidak akan bisa menetap di satu tempat. Kamu siap?” Fandi memastikan ini dulu sebelum melangkah lebih jauh. “Jika setelah apa yang kamu tahu tentang aku, kamu ingin pergi dariku, tidak masalah katakan saja sekarang. Karena nanti aku tidak akan membiarkanmu pergi dari hidupku.”
Cahaya menatap Fandi lalu memeluknya dengan erat. “Aku tidak akan pergi. Aku ingin bersamamu, aku hanya punya dirimu.”
Fandi bernapas lega sekaligus khawatir. Dia tahu seperti apa risiko yang akan di dapatkan Cahaya setelah semua yang telah dia lakukan. Dia tahu itu kesalahannya, yang jatuh cinta pada wanita baik-baik seperti Cahaya.
Untuk beberapa saat, keduanya saling menatap tanpa kata. Fandy menghela napas tipis, dia melepas tatapan mata mereka. “Baiklah, kita harus istirahat malam ini. Ini sudah sangat jauh, mereka tidak akan menemukan kita sementara ini.”
Cahaya menjawab dengan anggukan. Fandi melepas genggaman tangannya sebentar, dia turun lalu memutari mobil untuk ke samping Cahaya. Gadis itu sudah keluar sebelum Fandi membukakan pintu untuknya, Fandi menggenggam tangan Cahaya kembali lalu membawanya masuk ke motel.
Setelah Fandi menyelesaikan urusannya di lobi dan telah mendapatkan kamar, kini keduanya berjalan di koridor Saling menggenggam. Keduanya terdiam karena bingung harus bicara mulai dari mana.
Sesampai di kamar, Fandi membuka pintu dan tangan mereka terlepas. Cahaya mengepalkan kedua tangannya dan berjalan ke arah jendela. Fandi meletakkan barang bawaan mereka di meja dan sesaat menatap Cahaya.
“Mandilah dulu. Aku akan membeli makan malam.”
Cahaya berbalik dan mengangguk pelan. Dia menyentuh dadanya sendiri kala Fandi telah keliar meninggalkannya sendiri.
Dia tidak takut, tapi dia terkejut. Cahaya selalu berpikir jika Fandi adalah orang baik. Sekalipun begitu, Cahaya yakin ada alasannya kenapa Fandi melakukan pekerjaan kotornya itu.
Cahaya masuk ke kamar mandi. Melepas baju, lalu mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Cahaya memejamkan mata, menikmati air hangat itu menenangkan dan juga mengikis rasa lelahnya.
Dia teringat bagaimana dulu bertemu Fandi. Dia masih menjadi gadis yang penuh hati-hati. Mencoba menjauhi pria itu meski sebenarnya dia sendiri suka dengan semua rayuannya.
Cahaya tersenyum, dia mengusap wajahnya, menghilangkan jejak air di sana.
Tidak lama, Cahaya mendengar jika Fandi telah kembali. Dia membuka mata lalu membaluri dirinya dengan sabun. Fandi pasti juga ingin membersihkan diri, Cahaya tidak ingin Fandi terlalu lama menunggunya selesai.
Cahaya menyelesaikan mandinya, dia mengeringkan diri dengan handuk lalu keluar dari tempat itu. Cahaya dan Fandi bertemu mata. Fandi menggigit bibir bawahnya menatap Cahaya yang hanya berbalut handuk saja.
Dia tersenyum, mencoba mengalihkan pikiran mesumnya. “Kamu bisa makan dulu sebelum istirahat.” Fandi berjalan melewati Cahaya untuk ke kamar mandi. Tidak ada ucapan lain, karena saat ini Fandi sedang menjaga diri.
Cahaya sama seperti Fandi. Dia memikirkan hal yang sama, tentang sebuah sentuhan lalu percintaan. Cahaya berdiri dengan dadanya yang berdegup kencang. Cahaya menoleh menatap pintu kamar mandi, dia melangkah menuju tempat itu dan menyentuh pintu.
Fandi tidak menguncinya, Cahaya melepaskan handuknya dengan sengaja. Mungkin ini salah, tapi keinginan untuk bersentuhan terlalu besar dalam dirinya.
Cahaya melangkah masuk, Fandi yang menyadari itu menoleh dan menggigit bibir bawahnya. Cahaya mendekat dan menatap mata Fandi.
Fandi menatap bibir Cahaya seketika, dadanya berdegup kencang . Cahaya berhenti di depan Fandi dia menatap bibi Fandi juga. Gadis itu memejamkan mata ketika Fandi mengangkat tangan menyentuh pipinya. Fandi maju dan mendaratkan ciuman di bibir Cahaya.
Keduanya saling menyesap dan melumat dengan mata keduanya yang telah tertutup rapat. Fandi melingkarkan tangan kirinya di pinggang Cahaya membuat tubuh mereka berpelukan. Cahaya melingkarkan tangannya di leher Fandi dan mereka memperdalam ciuman.
Keduanya mendesah saling bersahutan tanpa melepaskan ciuman. Fandi menurunkan tangannya dan membelai punggung Cahaya. Cahaya mengeratkan pelukannya, Fandi mundur membuat mereka terkena air dari guyuran Shower. Mereka masih berciuman, dengan melibatkan lidah keduanya terus melenguh sangat menikmati kehangatan yang basah itu.
Fandi memutar tubuh Cahaya lalu maju hingga tubuh gadis itu membentur ke dinding. Keduanya memperdalam ciuman dengan tambahan sentuhan di setiap inci kulit halus Cahaya.
Fandi mengangkat satu kaki Cahaya dan mengarahkan adik kecilnya dengan benar, menuju lembah kesayangan yang sudah basah.
Fandi memaju mundurkan pinggulnya dan tetap saling melumat. Cahaya mendesah di sela ciuman mereka. Fandi tidak menghentikannya sama sekali. Dia justru mempercepatnya dan mengangkat tubuh Cahaya sepenuhnya saat kaki gadis itu semakin melemah.
Cahaya memeluk leher Fandi dengan kuat dan menikmati entakkan hangat dari pria itu. Ciuman mereka terlepas. Fandi mencium leher Cahaya dan menghisapnya kuat untuk meninggalkan jejak kepemilikannya di sana.
Cahaya melenguh panjang, dia menegang dan Fandi memperlambat gerakannya. Dia merasakan hangat diliang Cahaya. Fandi tersenyum lalu kembali bergerak liar saat Cahaya telah selesai dengan pelepasan pertamanya.
Malam itu, di bawah guyuran air keduanya saling berbagi kehangatan dan juga kenikmatan. Bahkan mereka melanjutkannya kala kembali ke ranjang, dan mencapai pelepasan berkali-kali.
Mereka lupa pada kisah pelarian mereka yang menakutkan, mereka hanya menikmati kenikmatan tanpa memikirkan yang lain.
**
Fandi menoleh sesaat dan tersenyum. Dia menatap kekasihnya itu dan menggenggam tangannya. Fandi kembali fokus ke jalan di depannya.Cahaya tersipu. Dia menatap tangannya sendiri yang kini sedang saling menggenggam dengan tangan Fandi. Perasaan berdebarnya masih sangat jelas meski mereka sudah memiliki hubungan romantis cukup lama.Cahaya tersenyum dan mengeratkan genggamannya. Bayangan tentang percintaan mereka semalam membuatnya sangat malu dan juga senang. Ternyata bercinta dalam pelarian itu lebih mendebarkan.Fandi menghela napas tipis. Dia sangat bahagia hari ini, terlepas dari kondisi yang tengah mereka hadapi saat ini.Bahkan, karena terlalu bahagia dan berdebar. Fandi tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.Cahaya juga sama, dia dalam kondisi pikiran yang serupa. Dia terus memutar kepalanya memikirkan bagaimana dia akan memulai pembicaraan, ucapan apa yang harus dia katakan terlebih dahulu.“Bagaimana jika kita cari makan dulu? Kam
Cahaya membuka air mineral di tangannya dan meminum dengan pelan, sesekali melirik Fandy yang sedang asyik menyantap makan siangnya.Fandy tersenyum saat bertemu mata dengan kekasihnya itu. “Kenapa?”Cahaya menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa.” Gadis itu kembali menutup air mineralnya dan menghela napas tipis.“Jika ada yang ingin kamu katakan, tidak apa-apa. Bahkan jika itu menyakitkan.” Fandy tersenyum lagi, dia tidak ingin Cahaya terbebani oleh masalah yang sed
Fandy menghentikan mobilnya di depan sebuah bilik telepon umum. Dia menatap Cahaya sesaat dan tersenyum. “Aku akan menghubungi temanku sebentar, aku ingin membuat identitas baru buat kita.”Cahaya menganggukkan kepala tanpa bertanya lagi. Fandy keluar dan masuk ke bilik telepon. Sesaat dia menoleh dan menatap Cahaya, setelah itu Fandy menekan nomor ponsel teman yang akan dia tuju.Kalau saja menggunakan ponselnya masih memungkinkan, tapi dia tidak mau mengambil risiko itu. Kelompok pasti sudah melacak dan akan segera tahu di mana dia dan Cahaya.
November 2020Lari dari sepasang kaki kecil, di tambah dengan suara tawa riang beberapa anak lainnya, membuat Cahaya menoleh dan menatap ke arah luar.Dia dan Fandy sudah berada di sini selama sepekan. hari ini mereka akan menikah, mengucapkan janji manis untuk sehidup semati.Fandy sudah ada di luar, dia mengenakan kemeja dan celana dengan warna putih bersih, sedang Cahaya mengenakan gaun sederhana dengan warna senada. Di tambah dengan seikat bunga buatan anak-anak untuk hari bahagianya ini.
“Aku akan pulang malam. Pak lurah mengajakku ikut dengannya ke kebun miliknya. Jangan lupa kunci pintu saat mulai petang, tidur awal. Oke.” Fandy membelai kepala Cahaya dan tersenyum manis.Cahaya membalas senyuman itu, dia mengangguk sekilas lalu memeluk Fandy. “Jangan terlalu khawatir. Aku bisa jaga diri. Kamu hati-hati di jalan.”Pelukan keduanya merenggang, saat pak lurah datang bersama mobilnya membuyarkan pelukan hangat itu. “Ayo. Teruskan pelukan kalian nanti ya?” Goda Pak Lurah sambil tersenyum melihat bagaimana Fandy dan Cahaya saling bersikap.
Desember 2020 Angin sepoi, suara burung yang menyanyi membuat Fandy mengeratkan pelukannya. “Fandy, ini sudah siang. Lepaskan aku.” Sinar matahari masuk di sela tirai, saat Cahaya akan membangunkan suaminya itu, Fandy justru menariknya dan memeluknya. “Aku mencintaimu.” Fandy masih memejamkan mata, dia menggerakkan tangannya dan mengelus perut Cahaya. “Bagaimana dia hari ini?” Cahaya tersenyum, dia menyandarkan kepala di dada Fandy. ”Dia baik, besok pagi jadwalnya bertemu dengan Dokter. Kamu bisa menemani kami?” Fandi menganggukkan kepala. “Aku sangat bahagia. Terima kasih sayang.” Cahaya mengangkat wajahnya dan menatap Fandi. “Aku juga sangat berterima kasih. Kamu membuatku merasa memiliki keluarga.” “Bukan hanya merasa, kita keluarga sungguhan.” Cahaya menganggukkan kepala lalu kembali memeluk suaminya itu dengan sangat erat. “Aku sangat mencintaimu.” Fandi menghela napas lega dan membalas pelukan Cahaya. “Aku sangat mencintaimu.” “Sekarang ayo sarapan, aku sudah menyiapkan
Jakarta - Oktober 2020Gelapnya malam menjadi penyempurnaan, betapa kalut dan kacaunya pikiran Fandi. Dia terus menatap ponselnya, berharap berbunyi sebentar saja. Dia menghela napas sesekali. Bahkan, suara burung dan suara gelombang yang menabrak karang serta pinggiran dermaga tidak mampu mengurangi kekacauan hatinya.Tania yang baru saja tiba menghampiri Fandi, dia duduk di samping Fandi dan memainkan rambut pria itu. Gadis itu menempelkan tubuhnya, dress merah ketat berbelahan dada rendah itu menjadi fokus setiap mata dalam ruangan ini. Dress itu terlalu pendek, mengekspos paha mulus Tania, memanjakan banyak mata.Fandi menghela napas keras, dia tidak suka perlakuan Tania yang seperti ini, seperti ular kepanasan. Fandi berusaha menjauhkan tubuh Tania, tapi seolah ada magnetnya, gadis itu selalu kembali menempelinya.“Kamu kenapa, Sayang?” Tania menyandarkan kepalanya di bahu Fandi. Meski pria itu selalu menolak perlakuan ma
Juli 2020Cahaya berjalan sendiri, dalam gelapnya gang dan juga rasa lelah yang menumpuk di pundaknya. Pelan, dia memijit pundaknya sendiri sambil terus melangkah menuju kontrakan kecilnya.Di tangan kanannya, dia membawa satu kantong plastik putih yang berisi dua butir telur dan juga dua bungkus mie instan. Menu makan malamnya dan juga sarapannya untuk esok pagi.Langkah kaki Cahaya terhenti, ketika suar langkah kaki seolah berada tepat di belakangnya. Di membalikkan tubuh, menatap sekitar dengan memicingkan mata. Tidak ada siapa pun di sini, sepi dan sunyi. Cahaya menggelengkan kepala, mencoba mengusir jauh pikiran negatifnya. Dia melanjutkan langkah.Namun, Cahaya kembali berhenti. Kali ini suara langkah itu terdengar semakin mendekat. Cahaya kembali berbalik, tapi lagi-lagi dia tidak mendapati apa pun. Cahaya meneruskan langkahnya dengan ritme yang sedikit cepat. Sambil tangan yang mengepal menahan takut.Sebuah d