Fandi menoleh sesaat dan tersenyum. Dia menatap kekasihnya itu dan menggenggam tangannya. Fandi kembali fokus ke jalan di depannya.
Cahaya tersipu. Dia menatap tangannya sendiri yang kini sedang saling menggenggam dengan tangan Fandi. Perasaan berdebarnya masih sangat jelas meski mereka sudah memiliki hubungan romantis cukup lama.Cahaya tersenyum dan mengeratkan genggamannya. Bayangan tentang percintaan mereka semalam membuatnya sangat malu dan juga senang. Ternyata bercinta dalam pelarian itu lebih mendebarkan.Fandi menghela napas tipis. Dia sangat bahagia hari ini, terlepas dari kondisi yang tengah mereka hadapi saat ini.Bahkan, karena terlalu bahagia dan berdebar. Fandi tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.Cahaya juga sama, dia dalam kondisi pikiran yang serupa. Dia terus memutar kepalanya memikirkan bagaimana dia akan memulai pembicaraan, ucapan apa yang harus dia katakan terlebih dahulu.“Bagaimana jika kita cari makan dulu? Kamu pasti lapar sejak semalam belum makan apa pun.” Fandi menoleh sesaat lalu kembali fokus ke jalan di depannya.Cahaya hanya menjawab dengan anggukan kepala saja sambil tersenyum manis.“Kamu mau makan apa?” Fandi kembali bertanya tanpa melepaskan genggamannya. Bahkan sesekali Fandi sengaja mengecupnya sesaat.Cahaya menghela napas tipis, dia berusaha mengatur degup di dadanya saat ini. “Terserah kamu. Aku akan makan apa pun yang kamu makan.”“Sungguh? Bagaimana jika aku makan racun? Apa kamu juga akan memakannya?” Fandi tersenyum.Cahaya kembali menganggukkan kepala. “Tentu saja.”Fandi menghentikan mobilnya di pinggir jalan, untungnya jalanan sangat sepi jadi berhenti mendadaknya tidak menimbulkan masalah apa-apa. “Kalau begitu, aku tidak akan makan racun. Aku hanya akan memakan cinta saja, supaya kamu juga akan terus mencintaiku,” ucapnya sambil melepaskan sabuk pengaman.Setelah sabuk pengaman berhasil lepas, Fandi melepaskan genggaman tangannya dan menarik Cahaya mendekat. Satu tangannya mencengkeram rahang Cahaya dan Fandi mencium bibir gadis itu.Cahaya tersenyum di sela ciumannya, dia membalas setiap lumatan yang Fandi berikan. Keduanya larut sesaat dan akhirnya ciuman melambat setelah beberapa menit berlalu.Baik Cahaya atau Fandi tersenyum malu, Cahaya menundukkan wajahnya dengan pipi yang bersemu merah. Fandi membelai pipi kekasihnya itu lalu mengecup keningnya.Fandy menatap mata Cahaya dalam, dia menautkan rambut gadis itu ke belakang telinga. “Terima kasih.”Cahaya tersenyum. “Aku juga terima kasih padamu.”“Ayo kita bahagia, meski pasti akan sulit, aku akan berjuang menghadirkan bahagia itu untukmu. Aku janji.” Fandy menggenggam tangan Cahaya lalu mengecupnya sesaat. “Aku janji.” Pria itu mengulangi sumpahnya.Cahaya menganggukkan kepala dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Ayo jalan, kita harus cepat supaya tidak akan ada yang tahu kita.”Fandy menganggukkan kepala, dia kembali menyempurnakan duduknya, tidak lupa dengan sabuk pengaman lalu menginjak gas. Kembali berjalan di jalan panjang, mencari tempat di mana tidak akan ada yang bisa mengenali mereka, mencari tempat yang akan menyuguhkan kebahagiaan untuk keduanya.Sepanjang perjalanan, radio yang menyuguhkan suara renyah sang penyiar, menjadi pengiring paling sempurna. Sesekali ucapan romantis yang membuat mereka sesaat saling menatap.Dua anak manusia yang merasakan bahagia di tengah rasa duka. Mereka sedang berusaha mencari celah untuk kabur dari luka itu, melepaskan diri meski akan sangat sulit.Kepercayaan jika akan mampu melewati semua ini bersama, jauh lebih besar dari ketakutan yang mereka rasakan. Harapan untuk akhir yang bahagia, terukir jelas di hati masing-masing.**Tania menatap sebuah pintu di depannya, beberapa anak buahnya menggedor pintu itu. Karena tidak kunjung mendapat respon dari dalam. Tania menghela napas. “Dobrak saja.” Tania mengucapkan perintahnya secara singkat.Pintu itu di dobrak, dengan sebilah kapak yang merusak kuncinya dengan mudah. Ania masuk di ikuti oleh para pria yang datang bersamanya.Rumah ini kosong, menyisakan beberapa komputer yang masih menyala. Tania menoleh ke arah jendela yang terbuka, pengawalnya yang menyadari hilangnya sang pemilik rumah seketika mendekat ke jendela dan melihat si pemilik berlari kabur.“Sialan.” dia berbalik menatap temannya. “Kejar dia.” Dia sendiri berjalan melewati Tania dan yang lain mengikuti.Sedang Tania, memilih tetap di sini dan menatap sekitarnya. Dia berjalan dan langkahnya terhenti di depan beberapa foto yang rapi ada dalam bingkainya.Ada foto Fandy di sana, Tania tersenyum dan mendekat. Dia menatap wajah Fandy dan menyentuhnya pelan. “Sayang sekali, kamu memilih cara seperti ini.” Tania tersenyum tipis. “Aku harap kamu tidak akan bosan menunggu, aku tidak akan lama.”Dia mengepalkan tangan kuat lalu berbalik. Dia berjalan ke sekitar rumah dan langkahnya kembali terhenti begitu dia di balkon, Tania menatap ke arah bawah. Anak buahnya sudah berhasil mengejar teman Ferdy itu. Tania tersenyum lalu kembali melangkah masuk. Dia memilih duduk di kursi yang berada dekat dengannya, dia menatap deretan komputer yang di depannya.Menunggu hingga pria yang akan memberinya penjelasan tentang keberadaan Fandy dan juga jalang itu di mana. Tania menghela napas t6iopis sambil mengeluarkan rokoknya, dengan gerakan cepat salah satu anak buahnya membantu Tania menyalakan rokok itu, Tania tinggal menyesapnya dengan kuat.Tidak berapa lama, anak buahnya dan juga pria itu sampai. Mereka kembali dengan tambahan beberapa luka di wajahnya. Beberapa anak buah Tania melemparkan pria itu dengan kasar di depan Tania. Gadis itu tersenyum lalu berdiri dari duduknya, dia mendekat dan menyentuhkan kakinya di dada pria itu lalu sedikit membungkuk.“Kamu tahu siapa aku?” Tania menekan kakinya dengan kuat. Pria itu menatap Tania dengan rahang mengeras. Dia tidak takut sama sekali, dia hanya mencoba menghindar sebisa mungkin dari wanita jahat seperti Tania. Dia telah mendengar banyak hal dari Fandy, mengenai Tania dan juga kelompok yang sudah membesarkannya. “Apa kau tuli? Jawab,” lanjut Tania dengan teriakan amarahnya. “Kamu pasti tahu siapa aku kan? Sekarang, katakan padaku di mana Fandy dan jalang itu?”Pria itu terkejut, fakta jika Fandy sudah lari bersama kekasihnya membuat dia sedikit lega. Pasalnya, dia selalu merasa Fandy tidak cocok dengan kelompoknya. Meski dia tidak tahu di mana Fandy, dia akan tetap melindungi sahabatnya itu, seperti Fandy yang selalu melindungi dia selama ini.“Apa keuntunganku memberitahumu?” ucap pria itu pada akhirnya.Tania tersenyum sinis dan kembali menekan kakinya dengan lebih kuat. Pria itu mengeraskan rahangnya kembali menahan sakitnya injakan wanita itu. “Berani sekali ingin membuat kesepakatan denganku.”Tania melepaskan kakinya, dia menatap lalu kembali tersenyum sinis. “Kamu tahu, siapa pun yang mengenalku, mereka akan ketakutan untuk mengajukan sebuah kesepakatan. Karena aku bisa mendapatkan yang aku inginkan tanpa sebuah kesepakatan. Aku benci kesepakatan.” Tania menghujani pria itu dengan tendangannya berkali-kali. Dia berteriak meluapkan amarahnya. “Dasar bajingan.”Tania terus menendang bersamaan dengan hinaan, makian dan juga sumpah serapah keluar dari bibir manisnya. Dia terengah, menghentikan tendangan dan mundur. “Buat dia memberikan apa pun yang aku mau.” Tania menoleh dan menatap salah satu anak buahnya. “Jika dia tidak menyebutkan di mana keberadaan Fandy dan jalang itu, aku akan membunuhmu.”Setelah mengucapkan kata ancaman itu, Tania mundur lalu meninggalkan apartemen kecil itu. Dia turun dan mengendarai mobilnya dalam kecepatan tinggi. Salah satu anak buah yang lainnya, memberi kabar jika mereka telah berhasil menemukan seseorang yang sempat membuatkan identitas palsu untuk Fandy.Kabar itu memberi sedikit kelegaan, keberadaan Fandy sedikit terlihat di depannya. Tania berjanji akan membuat pria itu kembali padanya, bertekuk lutut dan akan menuruti semua maunya.Tania sangat menyukai Fandy, dia percaya jika rasa sukanya ini bisa di katakan cinta. Mengingat bagaimana dia sangat menginginkan Fandy ada untuknya. Dia selalu berusaha menarik perhatian dan rasa kasihan pria itu, semuanya berhasil, semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Hingga akhirnya jalang itu merusak segalanya.Fandy berubah, tidak lagi membelanya, tidak lagi memperlakukannya sebagaimana selama ini pria itu selalu membuatnya merasa penting dalam hidup Fandy.Tania selalu menganggap Fandy juga menyukainya. Terlepas bagaimana jalang itu telah menggoda dan mengambil Fandy darinya. Tapi, tidak masalah. Tania akan merebut kembali miliknya.Tidak ada kata mengalah, kalah, dalam kamus hidupnya. Apa pun cara yang harus dia lakukan, Fandy pasti akan kembali padanya. Pasti.Tania memasuki sebuah pelataran gedung tua, dia menghentikan mobilnya sembarangan. Sebelum keluar dan mendatangi anak buahnya, dia menatap gedung tua itu. Dia dan Fandy pernah di sana. Fandy Tidak mengatakan apa pun saat itu, sepertinya juga masalah identitas palsu yang selalu Fandy siapkan untuk gadis tawanan mereka selama ini.Tania membuka sabuk pengamannya, bersamaan dengan ponselnya dalam tas kecilnya berbunyi. Tania berhasil lepas drai sabuk pengaman, sebelum keluar dia memilih menerima panggilan itu, sebuah panggilan yang datang dari bos besar, Papanya.Tania menghela napas dan menerima panggilan itu. “Ya, Pa.”__ Bagaimana? Kau belum memberiku kabar apa pun.Tania menggigit bibir bawahnya sesaat. “Kami masih mencari, Papa tenang saja. Kami akan menemukannya dan membawanya pada Papa.”__ Ingat Tania, jangan pernah mengecewakanku. Aku tidak akan memaafkanmu, sekalipun kamu putriku.Tania mengepalkan tangan kirinya dengan kuat. “Tentu saja Pa. Tania akan menjadi putri yang membanggakan.”Tanpa jawaban atau pertanyaan lagi, sang Bos besar memutuskan panggilan itu begitu saja. Sambungan yang terputus itu, membuat Tania berteriak seketika. Dia kesal dengan jalang yang bersama Fandy jauh lebih dalam lagi. Karena dia mengambil Fandy darinya, dan juga membuat ayahnya bersikap begini.Tania mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. “Aku akan membunuhmu saat aku melihatmu jalang.” gumamnya dengan sangat pelan. “Aku akan mengambil semua yang kamu ambil dariku. Ingat itu.”Cahaya membuka air mineral di tangannya dan meminum dengan pelan, sesekali melirik Fandy yang sedang asyik menyantap makan siangnya.Fandy tersenyum saat bertemu mata dengan kekasihnya itu. “Kenapa?”Cahaya menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa.” Gadis itu kembali menutup air mineralnya dan menghela napas tipis.“Jika ada yang ingin kamu katakan, tidak apa-apa. Bahkan jika itu menyakitkan.” Fandy tersenyum lagi, dia tidak ingin Cahaya terbebani oleh masalah yang sed
Fandy menghentikan mobilnya di depan sebuah bilik telepon umum. Dia menatap Cahaya sesaat dan tersenyum. “Aku akan menghubungi temanku sebentar, aku ingin membuat identitas baru buat kita.”Cahaya menganggukkan kepala tanpa bertanya lagi. Fandy keluar dan masuk ke bilik telepon. Sesaat dia menoleh dan menatap Cahaya, setelah itu Fandy menekan nomor ponsel teman yang akan dia tuju.Kalau saja menggunakan ponselnya masih memungkinkan, tapi dia tidak mau mengambil risiko itu. Kelompok pasti sudah melacak dan akan segera tahu di mana dia dan Cahaya.
November 2020Lari dari sepasang kaki kecil, di tambah dengan suara tawa riang beberapa anak lainnya, membuat Cahaya menoleh dan menatap ke arah luar.Dia dan Fandy sudah berada di sini selama sepekan. hari ini mereka akan menikah, mengucapkan janji manis untuk sehidup semati.Fandy sudah ada di luar, dia mengenakan kemeja dan celana dengan warna putih bersih, sedang Cahaya mengenakan gaun sederhana dengan warna senada. Di tambah dengan seikat bunga buatan anak-anak untuk hari bahagianya ini.
“Aku akan pulang malam. Pak lurah mengajakku ikut dengannya ke kebun miliknya. Jangan lupa kunci pintu saat mulai petang, tidur awal. Oke.” Fandy membelai kepala Cahaya dan tersenyum manis.Cahaya membalas senyuman itu, dia mengangguk sekilas lalu memeluk Fandy. “Jangan terlalu khawatir. Aku bisa jaga diri. Kamu hati-hati di jalan.”Pelukan keduanya merenggang, saat pak lurah datang bersama mobilnya membuyarkan pelukan hangat itu. “Ayo. Teruskan pelukan kalian nanti ya?” Goda Pak Lurah sambil tersenyum melihat bagaimana Fandy dan Cahaya saling bersikap.
Desember 2020 Angin sepoi, suara burung yang menyanyi membuat Fandy mengeratkan pelukannya. “Fandy, ini sudah siang. Lepaskan aku.” Sinar matahari masuk di sela tirai, saat Cahaya akan membangunkan suaminya itu, Fandy justru menariknya dan memeluknya. “Aku mencintaimu.” Fandy masih memejamkan mata, dia menggerakkan tangannya dan mengelus perut Cahaya. “Bagaimana dia hari ini?” Cahaya tersenyum, dia menyandarkan kepala di dada Fandy. ”Dia baik, besok pagi jadwalnya bertemu dengan Dokter. Kamu bisa menemani kami?” Fandi menganggukkan kepala. “Aku sangat bahagia. Terima kasih sayang.” Cahaya mengangkat wajahnya dan menatap Fandi. “Aku juga sangat berterima kasih. Kamu membuatku merasa memiliki keluarga.” “Bukan hanya merasa, kita keluarga sungguhan.” Cahaya menganggukkan kepala lalu kembali memeluk suaminya itu dengan sangat erat. “Aku sangat mencintaimu.” Fandi menghela napas lega dan membalas pelukan Cahaya. “Aku sangat mencintaimu.” “Sekarang ayo sarapan, aku sudah menyiapkan
Jakarta - Oktober 2020Gelapnya malam menjadi penyempurnaan, betapa kalut dan kacaunya pikiran Fandi. Dia terus menatap ponselnya, berharap berbunyi sebentar saja. Dia menghela napas sesekali. Bahkan, suara burung dan suara gelombang yang menabrak karang serta pinggiran dermaga tidak mampu mengurangi kekacauan hatinya.Tania yang baru saja tiba menghampiri Fandi, dia duduk di samping Fandi dan memainkan rambut pria itu. Gadis itu menempelkan tubuhnya, dress merah ketat berbelahan dada rendah itu menjadi fokus setiap mata dalam ruangan ini. Dress itu terlalu pendek, mengekspos paha mulus Tania, memanjakan banyak mata.Fandi menghela napas keras, dia tidak suka perlakuan Tania yang seperti ini, seperti ular kepanasan. Fandi berusaha menjauhkan tubuh Tania, tapi seolah ada magnetnya, gadis itu selalu kembali menempelinya.“Kamu kenapa, Sayang?” Tania menyandarkan kepalanya di bahu Fandi. Meski pria itu selalu menolak perlakuan ma
Juli 2020Cahaya berjalan sendiri, dalam gelapnya gang dan juga rasa lelah yang menumpuk di pundaknya. Pelan, dia memijit pundaknya sendiri sambil terus melangkah menuju kontrakan kecilnya.Di tangan kanannya, dia membawa satu kantong plastik putih yang berisi dua butir telur dan juga dua bungkus mie instan. Menu makan malamnya dan juga sarapannya untuk esok pagi.Langkah kaki Cahaya terhenti, ketika suar langkah kaki seolah berada tepat di belakangnya. Di membalikkan tubuh, menatap sekitar dengan memicingkan mata. Tidak ada siapa pun di sini, sepi dan sunyi. Cahaya menggelengkan kepala, mencoba mengusir jauh pikiran negatifnya. Dia melanjutkan langkah.Namun, Cahaya kembali berhenti. Kali ini suara langkah itu terdengar semakin mendekat. Cahaya kembali berbalik, tapi lagi-lagi dia tidak mendapati apa pun. Cahaya meneruskan langkahnya dengan ritme yang sedikit cepat. Sambil tangan yang mengepal menahan takut.Sebuah d
Agustus 2020“Mau kan?” Fandi menatap mata Cahaya. Menggenggam tangannya erat sambil terus melontarkan doa di dalam hatinya.Fandi baru saja menyatakan cinta, perasaan yang telah di pendamnya juga di sembunyikannya. Terutama dari kelompok yang sudah mengasuh dan membesarkannya selama ini.Fandi mengecup tangan Cahaya tanpa melepas tatapan dari gadis itu. “Aku mencintaimu.” Fandi mengulangi pernyataan cintanya, lagi.Cahaya menatap mata itu, mata yang selama beberapa minggu menemaninya, memberinya rasa aman dan ketenangan. Cahaya menundukkan wajah, dia ragu. Bukan pada Fandi, tapi pada dirinya sendiri.Cahaya sadar, dia gadis yatim piatu, miskin dan tidak pendidikan tinggi. Semua terasa janggal baginya jika dia bisa mencintai atau dicintai, karena dia sendiri merasa dirinya tidak memiliki faktor untuk bisa dicintai, atau di kagumi. Cahaya menghela napas pelan.“Aku tahu aku bukan siapa-siapa. Aku