Share

EMPAT

Oktober 2019

“Hari ini.” Tania menoleh sambil senyum licik di wajah cantiknya. “Lakukan rencana kita hari ini.” Tania berdiri lalu melangkah keluar dengan anggun.

Beberapa anak buah yang baru saja di ajaknya bicara menganggukkan kepala mengerti.

Tania keluar, dia mencari keberadaan Fandi, pria itu harus dia alihkan supaya tidak mengunjungi gadis sialan itu. Tania tersenyum senang dengan apa yang terbayang di dalam otaknya.

“Apa Fandi di dalam?” Tania menghentikan salah satu anak buahnya yang baru saja keluar dari gudang.

“Iya, Nona. Fandi di dalam.” 

Tania mengangguk singkat, dan pria gembul itu pergi meninggalkannya. Tania melanjutkan langkah, dia masuk dan mendapati Fandi sedang berbicara dengan salah satu pria yang juga bekerja dalam kelompok.

Tania mendekat. Dia memeluk lengan Fandi seketika, Fandi menatapnya sesaat dan dia tersenyum dengan reaksi itu. “Temani aku jalan-jalan malam ini. Ya? Sudah lama sekali kita tidak jalan-jalan berdua.”

“Kita bicarakan lagi ini nanti.” Fandi menatap teman bicaranya sesaat dan memintanya untuk menjauh. Dia berpindah menatap Tania. “Kamu ingin ke mana?”

“Emm ...” Gadis itu memutar otaknya. “Bagaimana jika ke pasar malam kota sebelah. Aku dengar, pasar malam di sana sangat bagus.” Tania tersenyum.

“Apa bedanya dengan di sini? Di sini juga ada pasar malam kan? Lebih dekat.” Fandi meneguk minuman yang tersaji di depannya hingga habis.

Tania seketika memasang wajah masamnya, dia memeluk lengan Fandi dengan lebih erat. “Ayo. Aku mohon,” rengeknya. “Aku bosan. Melakukan pekerjaan, lalu seharian di sini, begitu terus berulang-ulang.”

Fandi menghela napas kasar. “Baiklah, kapan kita berangkat?” Sebenarnya dia ingin mengunjungi kekasihnya, tapi gadis itu bilang ada acara di rumah bosnya, dan dia di minta membantu. Jadilah Fandi hanya bisa menunggu. Mungkin nanti setelah ke pasar malam dengan Tania, dia akan mengunjungi Cahaya sebentar.

“Beri aku waktu satu jam. Aku akan bersiap-siap.” Tania memasang wajah bahagianya seketika mendengar persetujuan dari Fandi.

Mau bagaimanapun, Tania tetap anak dari pria berjasa di hidupnya. Dia tidak boleh mengecewakan Tania. Meski dia sama sekali tidak bisa membalas perasaan Tania padanya, setidaknya dia tidak diperbolehkan menyakiti hatinya.

Fandi mengangguk setuju atas permohonan gadis itu. Sedetik kemudian, Tania menjauh darinya. Berlari kecil menuju kamarnya sendiri.

Di tempatnya, Fandi membuka ponsel sesaat. Dia menyunggingkan senyum membaca pesan dari kekasihnya. Balasan dari pesannya tadi. 

Cahaya : Jangan lupa makan, hati-hati.

Fandi : Kamu juga hati-hati. Jangan terlalu lelah.

Aku mencintaimu

Cahaya : Aku juga mencintaimu.

Sudah ya, tidak enak dengan yang lain.

Fandi : Ya, Sayang.

Fandi tersenyum, dia berdiri sambil kembali memasukkan ponsel ke saku celana. Dia keluar dan mengamati sekitar sesaat. Dia berjalan menuju sebuah mobil hitam, dan berniat untuk membersihkannya.

Malam ini, dia akan menuruti kemauan tuan putri.

*** 

Cahaya merenggangkan tubuhnya dari rasa lelah. Sekalipun hari ini tempat kerjanya libur, dia masih harus membantu atasannya. Bekerja berjam-jam, berdiri, mengangkat apa pun yang harus di angkat, dan itu menghasilkan rasa pegal yang tiada terkira di seluruh tubuhnya.

Pasti akan menyenangkan jika ada Fandi, dia akan memberi Cahaya sedikit pijatan, lalu setelah itu mandi dengan air hangat. Cahaya tersenyum dengan lamunannya.

Langkah kaki lelahnya memasuki gang, terlihat sepi seperti biasanya. Mengingat gang ini hampir seluruhnya rumah sewa yang di tinggali oleh pekerja.

Cahaya menghentikan langkah. Dia merasa aneh dengan suasana saat ini. Dia berbalik, dan mengamati sekitar. Perasaannya sungguh tidak nyaman, seolah ada yang memperhatikan setiap gerak geriknya.

Cahaya memicingkan mata. Dia kembali berbalik dan meneruskan langkah. Gadis itu berusaha menepis perasaan tidak mendasarnya. 

Cahaya memperpanjang langkah kakinya, dia ingin cepat sampai ke kontrakan. Mengingat perasannya sungguh tidak nyaman saat ini. Dia melewati lampu jalan, kontrakannya sudah berada di depan mata.

Cahaya terkejut, kala dia mendapati bayangan seseorang di belakangnya. Dia berbalik, bersamaan dengan sebuah senyuman dari pria menakutkan yang menyambut tatapannya.

Entah datang dari mana, kini di sisi lain ada satu lagi sosok tinggi yang menghampirinya dengan cepat. Cahaya mundur, dia menatap dua pria itu. Tangan kanannya meraih ponsel dari saku jaketnya. Dia menekan angka satu cukup lama, nomor panggilan cepat, Cahaya menghubungi Fandi.

“Siapa kalian? Apa mau kalian?” Cahaya mencoba menanyakan tujuan dari pria menakutkan di depannya. Matanya melirik ponsel di tangan untuk beberapa detik saja, panggilannya tersambung tapi tidak ada jawaban sama sekali.

Cahaya kembali menatap dua pria yang semakin mendekat padanya. Mereka terdiam, memasang wajah dingin dengan senyuman iblis di bibir keduanya.

Di saat bersamaan, tubuh Cahaya terhenti tiba-tiba. Punggungnya menyentuh seseorang. Dia berbalik dan seorang pria besar berkulit putih tersenyum padanya. Tidak berapa lama sebuah sekapan kuat dari tangan pria di belakang Cahaya, menciptakan rasa takut yang semakin menguasai hatihya.

“Ayo manis, kami akan mengantarkanmu pada kebahagiaan. Kamu akan berterima kasih pada kami nanti.” Sebuah seringai sinis muncul dari bibir pria yang membungkam Cahaya.

Cahaya berusaha melawan, meronta sekuat tenaga. Tubuh kecilnya tidak menghasilkan apa-apa. Sekapan itu semakin kuat, Cahaya melemas. Gadis itu menghirup cairan yang sebelumnya memang disiapkan pada sebuah sapu tangan. Cahaya pingsan, meraih kegelapan dengan rasa takut yang masih menguasai pikirannya.

“Fandi.” Itu nama terakhir yang terucap dari hatinya, sebelum akhirnya benar-benar terlelap di pelukan pria yang tidak di kenalnya.

Pria berkulit putih membopong Cahaya di bahunya, sementara yang lain berlari menyiapkan mobil dan juga satu tali untuk mengikat Cahaya nanti.

Gadis itu tidak lagi sadarkan diri, begitu pintu mobil telah di buka tubuhnya di letakkan di kursi lalu di ikat dan bibirnya di bungkam dengan secarik kain hitam.

Ketiga pria itu memasuki mobil setelah memastikan semua aman dan tidak meninggalkan jejak apa pun. Mobil melaju meninggalkan lokasi. Membawa keberhasilan yang pastinya akan membuahkan pujian dari sang putri majikan.

Di tempat lain, Fandi menyadari ponselnya berbunyi. Dia berhenti sesaat dan memeriksa ponselnya. Satu panggilan dari kekasihnya.

“Kenapa berhenti?” Tania menatap Fandi dan menarik tangan pemuda itu untuk kembali berjalan mengikutinya. Memanjakan mata menikmati suguhan pasar malam, berusaha membuat Fandi lupa pada apa yang mungkin akan mengganggu pikirannya.

Fandi kembali melangkah, mengikuti Tania tanpa melepas tatapan mata pada ponsel di tangannya. Panggilan itu masuk sepuluh menit yang lalu, tapi tidak ada panggilan lagi setelahnya.

Fandi menghubungi Cahaya kembali, hatinya berharap kekasihnya itu tidak marah karena dia melewatkan panggilan Cahaya sebelumnya.

Fandi memperhatikan langkah kaki Tania, telinganya mendengarkan nada sambung yang terus berbunyi tanpa ada tanggapan apa-apa. Cahaya tidak mengangkat panggilannya.

Fandi mulai panik pada kemungkinan Cahaya marah. Dia kembali menghubungi kekasihnya itu tapi tetap mendapat jawaban yang sama, tidak ada tanggapan. Fandi akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat.

Fandi : Sayang, sudah di rumah? Maaf, aku tidak mendengar panggilanmu tadi. Sekarang, bisa kamu jawab panggilanku?

Beberapa menit Fandi terus memperhatikan ponselnya. Dia kembali mencoba menghubungi Cahaya tapi tetap sama. Fandi menghentikan langkahnya kala pikirannya mulai khawatir. Tania berbalik, dia tahu apa yang mengganggu pikiran Fandi, karena memang itu tujuannya.

Tania kembali menarik tangan Fandi. “Kita naik komedi putar ya?”

Fandi yang masih fokus pada panggilannya tidak menyahut. Dia hanya mengikuti langkah Tania yang terus menariknya menuju komedi putar.

Berkali-kali Fandi menghubungi Cahaya. Fandi mulai gelisah, dia memikirkan banyak hal menakutkan.

Tania tahu semuanya, dia tersenyum puas. Melihat dari ekspresi Fandi, pasti anak buahnya telah berhasil melaksanakan tugas. “Kenapa? Apa kamu kesulitan menghubungi kekasihmu?”

Mendengar itu, seketika Fandi menatap Tania dan menuntut penjelasan. ”Jangan berani-berani kamu menyentuhnya!”

Tania tersenyum. “Bukankah kamu seharusnya bertanya, bagaimana aku bisa tahu masalahmu sekarang, atau bagaimana aku tahu kamu memiliki kekasih. Ada banyak pertanyaan yang harusnya lebih dulu kamu ajukan.”

Fandi mengeraskan rahangnya. Dia melepas tangan Tania dengan kasar. “Aku tahu kamu, Tania.”

Tania tertawa kali ini. “Kalau kamu tahu aku, seharusnya kamu juga tahu apa yang aku inginkan Fandi.” Gadis cantik itu mengubah ekspresi wajahnya, dia menekankan nada bicaranya.

“Dan kamu sangat tahu, aku tidak bisa.” Fandi kembali menatap ponselnya. Dia berbalik, memutuskan mencari dan memastikan sendiri keadaan Cahaya.

Tania menghadang langkah Fandi, menyentuh lengan pria itu dan menatapnya dalam. “Aku bukan gadis buruk rupa, aku cantik, bersih, wangi. Aku juga pintar seperti yang kamu ingat saat kita di bangku sekolah. Tapi, kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa?”

“Karena kamu Tania. Putri dari Om Andra.” Fandi menegaskan perasaannya. “Aku menganggapmu sebagai adik, gadis yang harus aku lindungi.”

Tania tersenyum sinis. “Benarkah? Kalau begitu, kamu pilih aku atau kekasih sialanmu itu?” Tania mengertakkan giginya.

“Maaf, kali ini kamu tidak butuh perlindungan.” Fandi melepas tangan Tania dari lengannya secara perlahan. “Pulanglah bersama Tio.” Fandi menatap Tio sesaat, anak buahnya yang mengikuti mereka sedari tadi.

Fandi berlari menjauh, meninggalkan Tania yang tengah mengepalkan kedua tangannya, dan menggertakkan gigi marah pada kenyataan Fandi meninggalkannya.

Fandi meninggalkan arena pasar malam itu, dan mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Cahaya, meski hatinya terus berdoa tidak terjadi apa pun. Dia berharap kekasihnya itu dalam keadaan baik-baik saja.

Fandi berteriak frustrasi. Menekan bel mobilnya dengan sembarangan ketika ada mobil di depannya menghalangi jalan. Fandi terus memanjatkan doa sepanjang jalan. Dia mempercepat laju mobilnya, hingga akhirnya hanya butuh waktu satu jam, dia tiba di depan gang rumah Cahaya.

Fandi turun meninggalkan mobilnya tanpa berpikir panjang sambil menggenggam ponsel di tangannya. Dia berlari sekuat tenaga menuju tempat di mana biasanya dia kunjungi dengan penuh suka cita. Kali ini, hatinya ketakutan pada hal yang mungkin terjadi hal buruk pada kekasihnya.

Fandi terengah, dia berdiri di depan rumah Cahaya, menggenggam gagang pintu lalu bunyi notifikasi mengejutkannya. Fandi menatap ponsel itu, sebuah pesan yang berasal dari cahaya. Fandi melebarkan matanya. Dia membuka pesan itu, melupakan tujuannya datang ke tempat ini.

Cahaya : Maaf, Sayang. Aku tadi sudah sampai rumah. Tapi salah satu temanku mengalami kecelakaan, dan ini aku sedang di rumah sakit menemaninya. Aku akan mengabarimu lagi nanti.

Fandi menghela napas lega. Sepertinya dia menuduh Tania dengan sembarangan, dan juga pikirannya yang berlebihan. Fandi mengurungkan niat, dia berbalik dan meninggalkan rumah itu sambil menuliskan balasan untuk Cahaya.

Fandi : Ya, berhati-hatilah. Jangan terlalu lelah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status