Kembali membaca proposal, dan setelah itu ditutup kembali lantaran waktu sudah habis. Hayden segera menandatangani proposal itu dan memberikannya pada sekretaris.
Matanya yang lelah mulai melirik pada jam yang berada di pergelangan tangan, ternyata sudah waktunya jam pulang. Hayden segera bangkit dan tak lupa untuk memasukkan beberapa benda pada tas kerjanya untuk dibawa pulang ke apartemen mewah miliknya, berguling-guling di kasur empuk mungkin sangat menyenangkan.Sampai di pertengahan perjalanan, Hayden terjebak macet yang diinformasikan cukup panjang. Pria itu berpikir keras untuk bisa cepat pulang, dan pilihannya terjatuh pada jalan lain yang bisa dikatakan jarang dilewati oleh orang.Jalan itu memang sedikit jauh, namun akan memakan waktu lebih lama jika dirinya hanya mengikuti kemacetan saja. Jalanan yang cukup sepi berhasil membuat Hayden sedikit lebih tenang tanpa takut ada orang lain yang menghadang dan merampas harta bendanya. Toh jalanan ini aman, hanya tidak banyak orang yang tahu saja."Siapa dia?" tanya Hayden pada dirinya sendiri ketika melihat seorang gadis yang tampak menangis sesegukan dibawah pohon yang rindang. Tubuh gadis itu bahkan dipenuhi warna kebiruan khas seperti orang yang telah dipukul bertubi-tubi.Mobil Hayden berhenti tepat di hadapan seorang gadis tadi, pria itu segera turun dari mobilnya dan mulai menawarkan bantuan."Kau sedang apa di sini?" tanya Hayden sebaik mungkin, gadis itu mulai mendongakkan wajahnya yang berhasil membuat Hayden semakin terkejut. Hidung mancung nan mungilnya mengeluarkan darah, jangan lupakan sisi bibirnya yang mengeluarkan darah juga."Astaga ... kau terluka. Mari saya antar untuk ke rumah sakit, luka-luka ini harus segera diobati," ucap Hayden yang kini mulai membawa gadis yang tidak diketahui namanya masuk ke dalam mobil dan melesat pergi menuju rumah sakit.Selama di perjalanan pun tidak ada yang bersuara kecuali isak tangis gadis di samping Hayden. Pria itu ingin membuka suara, namun melihat gadis itu kesulitan berbicara pun niatnya kembali diurungkan. Mungkin meminta penjelasan bisa lain kali jika gadis disampingnya telah merasa lebih baik.Sampai di rumah sakit, para pihak medis segera mengobati luka gadis yang dibawa oleh Hayden. Gadis itu pun harus dirawat terlebih dahulu selama beberapa hari agar dokter bisa mengontrolnya secara jelas.Hayden telah menandatangani surat persetujuan perawatan Kanaya. Ya, Hayden tidak tahu namanya, maka dari itu ia memberi namanya asal saja. Lagi pula, ketika ditanyakan tentang nama ataupun tempat tinggal, gadis itu hanya diam dengan kedua mata yang mengeluarkan cairan bening. Hal itu membuat Hayden tak tega dan memberikannya nama secara asal saja."Sekarang, nama kau Kanaya. Itu nama dari saya, jika kau sudah bisa menyebutkan atau mengingat nama aslimu, pakai nama asli saja," ujar Hayden pada gadis yang kini tengah menatapnya.Dokter pun berkata jika Kanaya mengalami depresi tingkat sedang dan belum terlalu parah. Gadis itu sangat trauma sampai psikisnya terganggu. Dan dokter juga menyarankan agar ia sering dibawa ke psikiater agar menjadi gadis yang normal kembali."Oh ya, kedua orang tua kau di mana? Biar saya yang menghubungi mereka untuk menjemput kau di sini." Kanaya menggeleng lemah, wajahnya kembali pucat ketika mengingat sesuatu yang sangat menakutkan itu."Orang tua mati, pria pembunuh penggal mereka di depan mata aku. Aku takut ..." Keringat dingin mulai mengalir di dahi Kanaya, tubuh mungilnya mulai bergetar takut membuat Hayden tidak tega melihatnya.Pria itu segera memeluk gadis di depannya dan menenangkan sebisa mungkin. Mungkin lain kali dirinya tidak akan membahas perihal orang tua di hadapan Kanaya, traumanya sangat parah. Jika terus dipancing, maka depresi yang dialami oleh Kanaya akan sulit disembuhkan."Istirahatlah, saya tidak akan pergi," ucap Hayden membuat Kanaya mengangguk pelan, gadis itu mulai mencoba tidur sebisa mungkin dan meyakinkan hatinya jika semua akan baik-baik saja. Semua akan kembali normal ketika dirinya kembali terjaga nanti.Hayden tersenyum tipis melihat Kanaya yang mulai kembali terpejam, gadis itu tampak lebih tenang dengan mata yang tertutup rapat.Hayden yang sedari tadi duduk di samping Kanaya kini mulai bangkit, menarik selimut untuk menutupi gadis itu sampai sebatas dada dan tak lupa untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah cantik Kanaya."Saya keluar sebentar," pamit Hayden yang tidak dibalas sedikit pun oleh Kanaya, gadis itu hanya diam dengan pikiran yang sudah berkelana di alam mimpi.***Kini Hayden tengah duduk berdua bersama Brian—teman dekatnya, di sebuah cafe yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit tempat Kanaya dirawat.Hayden juga telah menceritakan kejadian tadi pada Brian yang ditanggapi dengan benar oleh temannya itu."Menurutku, mungkin lebih baik jika Kanaya dimasukkan saja ke dalam Rumah Sakit Jiwa. Ya ... kau tahu sendiri jika keadaannya memang seperti itu dan harus ditempatkan pada tempat yang seharusnya. Mungkin di sana dia bisa menjadi gadis yang kembali normal," ujar Brian membuat Hayden diam dan memikirkan kata-katanya dengan baik."Tapi ... Dokter berkata jika Kanaya hanya mengalami depresi ringan. Juga ada trauma yang sangat mendalam membuatnya harus lebih banyak ketenangan agar perlahan-lahan bisa melupakan apa yang membuatnya trauma. Lagi pula, dia tidak terlalu gila. Mungkin aku yang mengurusnya saja." Brian menatap Hayden heran. Meskipun Brian tahu jika Hayden tinggal seorang diri di apartemen, tapi bukan berati jika pria itu mencari teman yang tidak waras bukan?"Yang benar saja! Kau seorang pria yang sempurna, masih banyak gadis atau perempuan cantik di luar sana yang bisa kau ajak tinggal bersama di apartemenmu itu. Dia hanya gadis gila—""Aku yang bertindak! Terimakasih atas masukannya," ujar Hayden, pria itu mulai beranjak pergi meninggalkan Brian yang menatapnya bingung."Awas saja jika ikut gila!" kesal Brian yang kini tengah duduk seorang diri dengan hati yang menggerutu kesal.Hayden sendiri kini sedang membersihkan diri di apartemennya dan tak lupa untuk mengisi perut yang terasa kosong. Ia memang tinggal sendiri, namun setiap harinya selalu ada orang yang mengurus apartemen ataupun makanan. Orang-orang itu hanya beberapa jam datang dalam sehari dan kembali pulang tanpa tinggal bersama dengan Hayden sendiri. Pria itu memang tidak terlalu suka jika ada keramaian di tempatnya.Selesai melakukan itu semua, Hayden mulai mempersiapkan diri untuk kembali ke rumah sakit. Tak lupa juga untuk membawa buah tangan yang semoga saja bisa membuat hati Kanaya lebih senang dari sebelumnya. Pria itu hanya membeli beberapa buah-buahan dan makanan lainnya saja.Sampai di rumah sakit dan masuk ke dalam ruangan Kanaya, hal yang pertama kali Hayden lihat adalah seorang gadis yang tengah disuapi makanan oleh suster."Permisi," dua perempuan yang sedang berhadapan itu sama-sama menoleh ke arah pintu yang di mana terdapat Hayden dengan salah satu tangan yang membawa sesuatu.Bisa pria itu lihat jika Kanaya sedang tersenyum ke arahnya."Oh Tuan, maaf saya telah lancang memberi makan pada Kanaya. Beliau mengeluh ingin makan tadi," ujar suster itu yang hanya dibalas senyuman oleh Hayden sebelum berkata, "tidak masalah, terimakasih telah membantu Kanaya. Biar saya saja yang melanjutkan," pinta Hayden yang segera diberi anggukan oleh suster itu.Kini Kanaya kembali ditemani oleh Hayden, pria itu juga membantunya untuk makan dengan benar.Ketika sedang asik membantu Kanaya makan, tiba-tiba saja pikiran tentang ucapan Brian agar memasukkan Kanaya ke rumah sakit jiwa mulai terlintas di pikiran Hayden. Pria itu menggeleng pelan dan terdiam.Kanaya yang merasa heran pun mulai bertanya. "Kakak kenapa?" tanya Kanaya yang berhasil memecah fokus Hayden."Tadi saya telah bertemu dengan teman saya untuk menceritakan kejadian hari ini dan menceritakan tentang kau. Dia memberi masukan untuk memasukkan kau ke dalam Rumah Sakit khusus untuk orang yang memiliki gangguan lain. Dia berkata seperti itu mungkin bertujuan untuk membuat kau agar lebih bisa menjadi gadis yang normal kembali. Dan pertanyaan saya, apakah kau mau dirawat di sana?" tanya Hayden yang berhasil membuat Kanaya beku.Pikiran gadis itu kembali berputar, sebisa mungkin menormalkan detak jantungnya yang semakin menggila untuk bisa menjawab pertanyaan Hayden dengan tenang dan benar."Tidak. Tinggalkan saja saya sendiri daripada harus dimasukkan ke dalam tempat itu. Biarkan saja saya terlunta-lunta di jalanan, saya tidak mau!" Hayden diam, sepertinya tindakan yang salah menawarkan perihal tadi. Kanaya terlihat sangat membencinya."Ya, saya tahu itu. Tidak salah juga saya menolak usulannya. Karena saya tahu, kau tidak gila dan kau hanya sedikit berbeda dari yang lainnya. Kau gadis kuat yang saya yakini akan kembali bisa seperti dulu. Jangan takut, orang tuamu memang tidak ada, namun saya selalu ada untukmu." Tidak tega. Dua kata itu yang bisa mewakili perasaan Hayden saat ini.Gadis di depannya ini sudah tidak memiliki siapa-siapa selain dirinya.***Dua hari setelah Kanaya dirawat, kini gadis itu mulai tinggal bersama dengan Hayden pada apartemen mewah pria itu. Hayden pun telah mengatur jadwal sebaik mungkin untuk perawatan Kanaya. Semua rencana sudah tersusun dengan rapi dan hanya mengerjakannya saja."Kau suka?" tanya Hayden pada Kanaya yang kini tengah melihat kondisi ruangan yang akan digunakan sebagai kamar. Warna dari ruangan itu lebih dominan warna putih daripada warna salem. Semua terlihat rapi serta nyaman. "Sangat suka," jawab Kanaya yang kini tengah menikmati empuknya kasur yang akan digunakan untuk tempat istirahatnya.Di ruangan itu pun Hayden tidak menaruh benda tajam atau benda-benda yang bisa melukai Kanaya, semua telah disulap sedemikian rupa agar Kanaya nyaman dan aman. Dan tentunya dengan bantuan Brian, pria itu memang sangat ahli mendesain dan menata letak benda-benda yang ada di dalam ruangan."Istirahatlah, aku ada urusan sebentar. Jangan lupa berdoa," titah Hayden yang segera diangguki oleh Kanaya. Gadis i
Keesokan harinya, Hayden masih belum terbangun dengan tubuh yang masih tertutup selimut tebal. Hari libur memang menjadi hari yang sangat menyenangkan baginya, karena satu hari itu ia bisa bermalas-malasan dengan puas.Sedangkan Kanaya yang lebih dulu terbangun atau bisa dikatakan sudah terbangun sejak satu jam yang lalu tengah bingung sekarang. Setelah mandi tadi Kanaya mulai bingung hendak melakukan apa, gadis itu hanya diam di kamar karena takutnya jika keluar akan mengacau. "Huh, apakah dia sedang mencoba menjadi kerbau?" tanya Kanaya pada dirinya sendiri ketika belum mendengar sesuatu yang disebabkan oleh Hayden. Yang pastinya pria itu masih tertidur pulas sekarang. Tiba-tiba saja Kanaya menyengir kuda ketika mengingat malam tadi Hayden terus menemani dirinya yang tidak bisa tertidur, sedangkan pria itu sampai meminum kopi 2 kali agar bisa menahan kantuk dan menemani Kanaya dengan tenang.Betapa baiknya pria itu meskipun ia sendiri merasa dirinya menyebalkan."Kau harus sabar, j
Malam telah berlalu, dan hari selanjutnya pun tiba. Hayden terlihat sangat sibuk memakai pakaian bekerjanya dengan benar dan rapi. Setelah selesai, barulah Hayden keluar dan memasuki kamar Kanaya untuk mengajak perempuan itu sarapan bersama.Kanaya yang memang sedang sibuk memakai beberapa perawatan wajah sedikit terkejut ketika Hayden datang tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Penampilan pria itu benar-benar rapi, dasi serta jas yang terpakai dengan sempurna membuat kapasitas ketampanan seorang Hayden semakin tinggi."Kau akan pergi bekerja?" tanya Kanaya dengan aktivitasnya yang terhenti sebentar. Pria itu mengangguk, dan itu artinya kini ia akan sendiri tanpa ada yang menemani. Hayden yang menyadari jika raut wajah Kanaya berubah pun bertanya, "ada masalah jika aku bekerja?" Kanaya menggeleng namun dengan raut wajah yang masih kentara jika gadis itu sedang sedih."Bisakah kau temani aku saja dan jangan bekerja? Aku bosan jika sendiri," ujar Kanaya membuat Hayden bingung sekara
Sore hari pun tiba, Kanaya membersihkan dirinya secepat mungkin untuk menunggu kedatangan Hayden. Pria itu sudah berjanji padanya akan pulang cepat. Dan sesuai perjanjian, Hayden tiba sebelum jam pulang kantor pada umumnya tiba. Pria itu tak lupa membawa beberapa buah tangan untuk Kanaya."Sepatu?!" pekik Kanaya penuh senang ketika membuka paper bag yang dibawakan oleh Hayden untuknya. Sepatu bermerk itu terlihat sangat cantik digunakan oleh Kanaya. Kaki jenjangnya sangat mendukung!"Tidak berterimakasih?" tanya Hayden membuat kanaya yang sedang asik mencoba-coba sepatu menepuk dahinya pelan. "Astaga, aku lupa. Terimakasih sebelumnya, aku sangat suka! Kau seharusnya seperti ini setiap hari, aku akan ikhlas membiarkan kau pergi bekerja," ujar Kanaya membuat Hayden yang mendengarnya menggeleng pelan. Tanpa bekerja pun apa yang Kanaya inginkan akan Hayden cukupi, hanya saja, Hayden tidak bisa jika meninggalkan perusahaannya begitu saja. Perusahaan itu telah ia bangun dengan susah payah."
Satu Minggu berlalu, Kanaya benar-benar kesal pada Hayden lantaran pria itu sangat sibuk. Memang Hayden selalu pulang dengan waktu yang teratur, namun, malam harinya pria itu akan kembali bekerja dan tidak menemaninya."Kau ini terus meninggalkanku, apakah ini caramu mengurus seorang gadis sakit?" tanya Kanaya dengan tatapan mata tertuju pada figura besar Hayden yang tertempel di dinding. Ingin rasanya Kanaya merusak figura itu untuk menyalurkan rasa kesalnya pada Hayden.Gadis itu kembali masuk kamar, memainkan ponsel yang dibelikan oleh Hayden 3 hari yang lalu. Dengan begitu ia tidak perlu menggunakan telepon rumah untuk menghubungi Hayden.Beberapa menit lagi jam makan siang Hayden tiba, Kanaya sudah siap dengan ponsel genggamnya untuk menghubungi pria itu. Ketika waktunya tiba, dengan cepat Kanaya menelpon Hayden sampai sambungan itu benar-benar tersambung."Hi, Hayden tampanku. Kau sudah bersiap hendak makan siang bukan?" tanya Kanaya, terdengar suara grasak-grusuk dari seberang s
Esok harinya, Kanaya kembali masuk ke dalam kamar Hayden untuk mengecek tubuh pria itu. Malam tadi suhunya tinggi dan bersyukur jika pagi ini sudah kembali normal."Cepatlah bersiap-siap, hari ini kau ada jadwal dengan dokter Han," ujar Hayden membuat Kanaya memutar bola mata malas. Dokter itu sangat banyak bicara, dan tentunya Kanaya tidak suka. "Bisakah kita tidak pergi untuk hari ini? Kau sedang sakit," ujar Kanaya yang tentunya dibantah oleh Hayden karena pria itu sendiri merasakan jika tubuhnya sudah terasa lebih baik."Jangan banyak alasan lagi, cepat siap-siap dan sarapan bersama. Kita tidak boleh telat jika tidak mau mengantri lama," ujar Hayden yang masih kekeuh tidak bisa menerima keinginan Kanaya. Gadis itu mengangguk lesu, kembali pada kamarnya untuk bersiap-siap dan menikmati sarapannya bersama Hayden tentu dengan hati yang sedih.Dirinya tidak mau bertemu dokter itu. Dokter sangat menyebalkan baginya."Aku seharusnya sedang mengurusmu—""Kau tetap harus menjalani terapi,
Pulang dari luar, wajah Kanaya masih terlihat sangat masam karena Hayden belum memberinya izin untuk memelihara kucing. Entah harus dengan cara apa Kanaya membujuk pria itu agar bisa memberinya izin memelihara hewan lucu itu.Kanaya membantingkan tubuhnya pada kasur empuk, sedangkan Hayden sendiri sedang bersiap-siap untuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Pria itu tampak sibuk, namun kedatangan Kanaya berhasil membuat niat yang sudah disusun dengan rapi olehnya hilang begitu saja."Aku mempunyai kabar yang sangat penting!" ujar Kanaya secara tiba-tiba membuat Hayden hampir saja terserang penyakit jantung. Pria itu menaikkan sebelah alisnya agar Kanaya cepat memberi tahu kabar penting itu. "Aku tahu nama asliku. Apa kau ingin mendengarnya?" tanya Kanaya, dengan cepat Hayden mengangguk, menanti nama itu disebutkan dengan hati yang sudah tidak sabar."Celine. Lebih tepatnya Celine Nathalie," jawab Kanaya. Hayden terdiam sejenak, nama itu terdengar sangat indah dibanding nama yang ia beri
Tak terasa, kini rumah yang Hayden bangun telah berdiri kokoh dengan sempurna. Segala perlengkapan telah mengisi rumah itu dengan penataan sedemikian rupa sampai Kanaya tidak merasa bosan sedikit pun.Satu hari setelah acara pindah, Kanaya disibukkan oleh bagaimana cara memberi kejutan pada Hayden karena pria itu akan berulang tahun Minggu depan. Kanaya mencari hadiah paling cocok untuk seorang pria dan ingin memastikan jika pria itu akan memakai setiap hari benda yang dihadiahkan olehnya. Dan pilihan Kanaya terjatuh pada kalung. Membayangkan betapa tampannya Hayden memakai kalung yang menggantung sempurna di leher indahnya.Selagi Hayden bekerja, Kanaya meminta pada supir pribadinya agar pergi bersama. Gadis itu mulai mendatangi gedung tempat pemesanan aksesoris berada. Ia memesan dua buah kalung sekaligus karena ia pun mau. Pesanan pertama adalah berupa kalung dengan bandul berbentuk tabung memanjang yang terukir nama HM.Lucano, dan pesanan kedua hanya berbeda pada ukiran namanya saj