Satu Minggu berlalu, Kanaya benar-benar kesal pada Hayden lantaran pria itu sangat sibuk. Memang Hayden selalu pulang dengan waktu yang teratur, namun, malam harinya pria itu akan kembali bekerja dan tidak menemaninya.
"Kau ini terus meninggalkanku, apakah ini caramu mengurus seorang gadis sakit?" tanya Kanaya dengan tatapan mata tertuju pada figura besar Hayden yang tertempel di dinding. Ingin rasanya Kanaya merusak figura itu untuk menyalurkan rasa kesalnya pada Hayden.Gadis itu kembali masuk kamar, memainkan ponsel yang dibelikan oleh Hayden 3 hari yang lalu. Dengan begitu ia tidak perlu menggunakan telepon rumah untuk menghubungi Hayden.Beberapa menit lagi jam makan siang Hayden tiba, Kanaya sudah siap dengan ponsel genggamnya untuk menghubungi pria itu. Ketika waktunya tiba, dengan cepat Kanaya menelpon Hayden sampai sambungan itu benar-benar tersambung."Hi, Hayden tampanku. Kau sudah bersiap hendak makan siang bukan?" tanya Kanaya, terdengar suara grasak-grusuk dari seberang sana. "Iya. Kau sendiri sudah makan siang?" tanya Hayden dari seberang sana.Kanaya merasa senang, Hayden terdengar sangat peduli padanya. "Belum, aku ingin memastikan kau makan siang atau tidak lebih dulu. Setelah itu aku akan makan siang dengan benar!" jawab Kanaya penuh semangat. Hayden mengangguk sekilas di seberang sana. "Ya, kau harus makan dengan benar dan banyak. Malam nanti kau harus memijatku lagi," ujar Hayden berhasil membuat Kanaya kesal. Gadis itu mendengus kesal."Kau tidak akan tahu betapa lelahnya aku memijatmu setiap malam," ucap Kanaya yang sudah bisa dipastikan jika wajah cantik itu tengah cemberut kesal."Kau pun tidak akan tahu betapa pusingnya bekerja seharian dan harus menghadapi tingkah menyebalkanmu jika pulang," balas Hayden membuat percakapan itu semakin sengit."Kau sangat menyebalkan! Aku benci padamu," ujar Kanaya yang berhasil membangkitkan senyum smirk Hayden tanpa sepengetahuan gadis itu."Kau bisa pergi jika tidak nyaman," ujar Hayden dengan maksud dan tujuan untuk menggoda Kanaya saja. Karena hatinya sudah sangat yakin jika Kanaya tidak akan berani keluar. "Dasar!" setelah Kanaya berucap, sambungan itu terputus meninggalkan Hayden yang gemas dengan tingkah Kanaya. Jika saja hari ini libur, mungkin ia tengah sibuk memerhatikan wajah menyebalkan dari Kanaya.Percakapan itu benar-benar membuat Hayden lupa untuk makan siang, tanpa menunggu waktu lebih lama lagi pria itu segera memakan makanannya yang disediakan oleh Kanaya pagi tadi. Makanan itu masih hangat karena Hayden memiliki penghangat makanan di ruangannya.***Waktu pulang telah tiba, Hayden masih belum bersiap-siap untuk pergi karena masih ada satu pekerjaan yang harus selesai hari ini juga. Pria itu hanya meminta pada sekretarisnya untuk menelpon rumah jika dirinya akan pulang telat.Entah saking asik bekerja atau apa, Hayden baru menyadari jika langit sudah mulai menggelap. Kepalanya terasa sangat sakit dengan mata yang sudah memerah. Pria itu bangkit dari duduknya dan meregangkan otot-otot yang terasa sangat kaku. Tiba-tiba saja pikirannya tertuju pada Kanaya, gadis itu pasti sedang menunggunya dengan mulut mungil yang siap memarahinya habis-habisan lantaran pulang telat."Aku pulang, Kanaya. Tunggulah," monolog Hayden ketika melihat wallpaper ponselnya yang menunjukkan foto Anaya dengan raut wajah terlihat sangat bahagia. Foto itu diambil ketika Kanaya sedang membuka box ponsel barunya.Sebelum benar-benar sampai pada apartemen, Hayden memilih untuk membeli beberapa makanan dan camilan untuk berjaga-jaga jika Kanaya marah padanya. Gadis itu akan luluh jika dirinya membeli sesuatu entah apapun itu.Sampai di apartemen, keadaan benar-benar sepi tanpa adanya Kanaya yang menyambut di kursi dekat pintu seperti biasa. Apartemen itu benar-benar kosong."Kanaya, aku pulang!" ujar Hayden sedikit meninggikan volume suaranya agar Kanaya yang entah ada di mana bisa mendengar suaranya. Beberapa detik setelah itu masih tidak terdengar balasan, benar-benar sunyi.Hayden melangkah cepat menuju kamar Kanaya dan membukanya. Kamar itu pun kosong dengan pintu kamar mandi yang terbuka dan tidak menampilkan siapapun. Dengan penuh kepanikan Hayden berlari ke sana ke mari menelusuri setiap ruangan di apartemennya untuk mencari Kanaya. Namun nihil, gadis itu hilang bak ditelan bumi."Kanaya, tolong angkat!" kesal Hayden ketika mencoba menghubungi Kanaya lewat telepon namun gadis itu tak kunjung mengangkat teleponnya.Tiba-tiba saja Hayden terpikir untuk melihat cctv, pria itu segera memasuki kamarnya dan membuka komputer. Terlihat Kanaya keluar dari apartemen dengan tas selempang berukuran sedang. Rekaman cctv yang menunjukan bagian Kanaya sedang mengambil beberapa baju yang tercecer di lantai setelah keluar dari kamar membuat Hayden semakin takut. Gadis itu pergi.Dengan tangan yang gemetar Hayden menelpon beberapa anak buahnya untuk membantu mencari Kanaya. Bahkan Brian yang sedang berada di luar negeri Hayden menanyainya. Tentu pria itu tidak tahu menahu. Dasar Hayden bodoh!Hayden merutuki dirinya sendiri ketika mengingat ucapannya siang tadi yang menyuruh Kanaya untuk pergi. Dan sialnya gadis itu benar-benar pergi tanpa seizin atau sepengatahuan dirinya.Kota yang sedang ditempatinya sekarang benar-benar besar, tidak mudah mencari keberadaan gadis mungil seperti Kanaya di tengah-tengah ramainya manusia.Waktu sudah semakin malam, namun Kanaya masih belum ditemukan. Kini Hayden tengah meminta bantuan temannya yang bisa melacak untuk membantu dirinya melacak Kanaya. Pria itu menggunakan ponsel Kanaya sebagai titik terang di mana gadis itu berada.Kanaya sedang berada di cafe yang letaknya cukup jauh dengan apartemen. Cafe itu tidak terlalu ramai membuatnya bisa sedikit tenang. Belum lagi posisi duduk yang tepat berada di pojokan membuat Kanaya nyaman. Orang-orang tidak bisa melihatnya dengan jelas.Ketika sedang menikmati alunan musik dari ponselnya, tiba-tiba saja terdengar suara rusuh. Tak sengaja telinganya mendengar seseorang memanggil namanya. Suara itu benar-benar terdengar familiar.Hayden tiba dengan nafas yang terengah-engah, keringat sudah mengalir di seluruh tubuhnya membuat Kanaya yang melihat itu mengerutkan dahinya heran. "Kau kenapa?" tanya Kanaya dengan tatapan tanpa dosanya."Kita pulang," ujar Hayden dengan salah satu tangan yang mulai menarik pergelangan tangan Kanaya untuk ikut dengannya. "Hey, aku belum membayar—" Hayden menyela. "Bayar, Jack!" titah Hayden pada salah satu anak buahnya untuk membayar apapun yang dinikmati oleh Kanaya selama diam di cafe.Masuk ke dalam mobil, Kanaya maupun Hayden masih belum membuka suara. Pria itu masih mencoba menormalkan detak jantungnya yang seakan berlarian ke sana-kemari. Kanaya benar-benar membuat hatinya kacau!"Kenapa kau pergi?" tanya Hayden setelah sekian lama diam dan bergelut dengan kesunyian. Gadis itu menoleh, menatap Hayden dengan tatapan tak percayanya."Apakah kau sudah memasuki kepikunan? Siang tadi kau menyuruhku pergi! Dan aku segera menurutinya," jawab Kanaya dengan kedua tangan yang bersidekap dada penuh kesombongan."Jangan ulangi lagi," ucap Hayden dengan nada sangat dingin. Hal itu tentu membuat nyali sombong Kanaya menurun. "Kau pun harus janji tidak boleh menyuruhku pergi," cicit Kanaya dengan menatap takut-takut pada Hayden."Aku janji. Kau tidak boleh pergi lagi, katakan saja jika kau bosan. Aku akan mengajakmu jalan-jalan meskipun dengan waktu terbatas," ujar Hayden yang segera diangguki oleh Kanaya. Menuruti perintah pria itu mungkin menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.Ternyata, wajah dingin dan tatapan tajam Hayden lebih menyeramkan dari apapun. Kanaya lebih menyukai wajah datarnya dengan sesekali mulut yang bergerak untuk berdebat dengannya.Sampai di apartemen, Kanaya segera membanting tubuhnya di atas sofa. Sungguh, duduk terlalu lama ternyata berpengaruh pada pinggangnya sampai sakit seperti ini.Sebelum menyusul Kanaya untuk beristirahat sebentar, Hayden mengunci pintu apartemennya terlebih dahulu agar Kanaya tidak kembali kabur. Jangankan kabur, Kanaya terlihat sangat lelah sekarang. Begitu pula dengan Hayden yang merasakan sakit kepalanya semakin menjadi-jadi. Pria itu terus memijat pelipisnya sebisa mungkin."Kau sakit?" tanya Kanaya yang kini sudah bangkit dan duduk di samping Hayden. Pria itu mengangguk, menatap Kanaya dengan mata lelahnya."Astaga, matamu merah sekali. Kau harus segera membersihkan diri dan sehabis itu kau istirahat. Aku akan menyiapkan air hangat," ujar Kanaya penuh khawatir dengan gerak-gerik super cepat untuk menyediakan air hangat agar tubuh Hayden lebih rileks nantinya.Beberapa saat kemudian Kanaya tiba dan memberitahukan jika air hangatnya sudah siap. Selagi menunggu Hayden selesai mandi, Kanaya menyiapkan beberapa makanan serta obat sakit kepala yang kini ditaruh di atas meja pada kamar Hayden. Tak lupa juga untuk menyiapkan air kompresan yang akan digunakan untuk mengompres Hayden sebelum tidur.Pria itu keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk yang hanya melilit dari pinggang sampai lutut saja. Selebihnya dibiarkan begitu saja dan menjadi konsumsi Kanaya. Pipi gadis itu tampak merona, cepat-cepat memalingkan wajahnya dan membiarkan Hayden memakai pakaian dengan benar. Barulah Kanaya bisa mengurus pria itu dengan hati serta mata yang tenang.Namun, bayangan tentang bentuk kotak-kotak di perut Hayden tadi selalu terbayangkan di kepala Kanaya. Gadis itu berusaha melupakannya sampai mati-matian namun tetap tidak bisa.***Karya indah mana bisa dilupakan. Betul atau benar?Esok harinya, Kanaya kembali masuk ke dalam kamar Hayden untuk mengecek tubuh pria itu. Malam tadi suhunya tinggi dan bersyukur jika pagi ini sudah kembali normal."Cepatlah bersiap-siap, hari ini kau ada jadwal dengan dokter Han," ujar Hayden membuat Kanaya memutar bola mata malas. Dokter itu sangat banyak bicara, dan tentunya Kanaya tidak suka. "Bisakah kita tidak pergi untuk hari ini? Kau sedang sakit," ujar Kanaya yang tentunya dibantah oleh Hayden karena pria itu sendiri merasakan jika tubuhnya sudah terasa lebih baik."Jangan banyak alasan lagi, cepat siap-siap dan sarapan bersama. Kita tidak boleh telat jika tidak mau mengantri lama," ujar Hayden yang masih kekeuh tidak bisa menerima keinginan Kanaya. Gadis itu mengangguk lesu, kembali pada kamarnya untuk bersiap-siap dan menikmati sarapannya bersama Hayden tentu dengan hati yang sedih.Dirinya tidak mau bertemu dokter itu. Dokter sangat menyebalkan baginya."Aku seharusnya sedang mengurusmu—""Kau tetap harus menjalani terapi,
Pulang dari luar, wajah Kanaya masih terlihat sangat masam karena Hayden belum memberinya izin untuk memelihara kucing. Entah harus dengan cara apa Kanaya membujuk pria itu agar bisa memberinya izin memelihara hewan lucu itu.Kanaya membantingkan tubuhnya pada kasur empuk, sedangkan Hayden sendiri sedang bersiap-siap untuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Pria itu tampak sibuk, namun kedatangan Kanaya berhasil membuat niat yang sudah disusun dengan rapi olehnya hilang begitu saja."Aku mempunyai kabar yang sangat penting!" ujar Kanaya secara tiba-tiba membuat Hayden hampir saja terserang penyakit jantung. Pria itu menaikkan sebelah alisnya agar Kanaya cepat memberi tahu kabar penting itu. "Aku tahu nama asliku. Apa kau ingin mendengarnya?" tanya Kanaya, dengan cepat Hayden mengangguk, menanti nama itu disebutkan dengan hati yang sudah tidak sabar."Celine. Lebih tepatnya Celine Nathalie," jawab Kanaya. Hayden terdiam sejenak, nama itu terdengar sangat indah dibanding nama yang ia beri
Tak terasa, kini rumah yang Hayden bangun telah berdiri kokoh dengan sempurna. Segala perlengkapan telah mengisi rumah itu dengan penataan sedemikian rupa sampai Kanaya tidak merasa bosan sedikit pun.Satu hari setelah acara pindah, Kanaya disibukkan oleh bagaimana cara memberi kejutan pada Hayden karena pria itu akan berulang tahun Minggu depan. Kanaya mencari hadiah paling cocok untuk seorang pria dan ingin memastikan jika pria itu akan memakai setiap hari benda yang dihadiahkan olehnya. Dan pilihan Kanaya terjatuh pada kalung. Membayangkan betapa tampannya Hayden memakai kalung yang menggantung sempurna di leher indahnya.Selagi Hayden bekerja, Kanaya meminta pada supir pribadinya agar pergi bersama. Gadis itu mulai mendatangi gedung tempat pemesanan aksesoris berada. Ia memesan dua buah kalung sekaligus karena ia pun mau. Pesanan pertama adalah berupa kalung dengan bandul berbentuk tabung memanjang yang terukir nama HM.Lucano, dan pesanan kedua hanya berbeda pada ukiran namanya saj
Sesuai dengan yang Hayden janjikan beberapa hari yang lalu, pria itu sudah mempersiapkan diri untuk mengajak Kanaya menikmati matahari sore di atas roof top gedung perusahaannya. Gadis itu tampak bersemangat, Hayden yang sedikit lelah sehabis pulang bekerja pun kembali bersemangat karena melihat Kanaya yang bersemangat pula."Kau tidak akan mendorongku dari ketinggian bukan?" tanya Kanaya yang kini tengah berada di dalam mobil yang sama dengan Hayden. "Kau gila?" tanya Hayden membuat tawa Kanaya pecah. Gadis itu sangat suka melihat raut wajah Hayden yang panik, khawatir ataupun takut. Pria itu memiliki sisi menggemaskan juga menurutnya. Entah menurut orang lain."Mendorongmu saja aku tidak pernah," ujar Hayden dengan raut wajah kesalnya. Kanaya terkikik geli dan meminta maaf pada pria itu karena telah mengatakan hal yang tidak-tidak.Sesampainya di kantor, suasana di sana lumayan sepi dengan beberapa karyawan kantor yang memilih lembur. Hayden segera membawa Kanaya ke atas sana, tak lu
Genap satu minggu Hayden dibuat kesal oleh Kanaya karena gadis itu seperti benar-benar melupakan hari ulang tahunnya. Padahal, ia berharap di hari ulang tahunnya yang ke 28 nanti Kanaya memberikan kejutan untuknya. Dan saat ini, gadis itu tengah bersiap bersama Hayden untuk pergi menuju bandara sebelum melakukan penerbangan menggunakan pesawat jet pribadi milik Hayden, sesuai dengan janji pria itu satu minggu yang lalu."Ayolah, tolong jalan sedikit lebih cepat, nanti kita terlambat dan gagal terbang," ujar Kanaya sedikit menggerutu pada Hayden yang berjalan lesu.Melihat keantusiasan gadis itu ternyata berhasil membuat rasa kesal dan sedih di hati Hayden sedikit berkurang. Pria itu pun kini berjalan lebih cepat dari sebelumnya untuk menyusul Kanaya yang sudah duduk tak sabar di dalam mobil."Tidak bisa terbang hari ini pun tidak masalah, masih bisa hari esok dan seterusnya," balas Hayden enteng. Gadis itu sontak mendelik tajam pada pria yang ada di sampingnya.Sopir segera melanjuka
"Kenapa? Kau sepertinya sangat terkejut setelah mendengar siapa nama orang tuaku," ujar Hayden dengan tatapan penasaran. Pasalnya, Kanaya terlihat sangat terkejut dengan nama kedua orang tuanya."2 bulan sebelum orang tuaku meninggal, mereka bercerita padaku jika mereka memiliki teman baik semasa berada di panti. Mereka berencana akan mengajakku mengunjungi makan kedua teman dekatnya yang bernama ... Melly dan John," jelas Kanaya membuat tubuh Hayden menegang."Apa nama panti kedua orang tuamu?" tanya Hayden memastikan jika tebakannya tidaklah salah."Yayasan Permata Indah."DegKali ini jantung Hayden yang terasa lebih cepat berdetak, ia bahkan sampai memegangi dadanya yang bergemuruh membuat Kanaya reflek mengangkat tangan dan ikut merasakan betapa riuhnya detak jantung Hayden."Jadi ... selama ini kau yang kucari," ujar Hayden dengan suara lirih."Maksudmu?""Dulu sebelum meninggal, mereka mengatakan padaku jika mereka memiliki teman dekat yang sudah menjadi pasangan suami istri. Me
Keesokan harinya, Kanaya dan Hayden benar-benar memuaskan diri menikmati liburan singkat mereka kali ini. Bagaimana tidak singkat jika mereka hanya memiliki waktu berlibur 3 hari? Itu pun Hayden masih sering mencuri waktu untuk bekerja dari jarak jauh."Aku lapar," adu Kanaya seraya mengusap perutnya yang berbunyi. Wajah gadis itu juga terlihat sangat memelas membuat Hayden tak tahan untuk tidak mencubit kedua pipi gadisnya."Ingin makan apa, sayangku?" tanya Hayden seraya merangkul mesra bahu kekasihnya. Keduanya saat ini masih berjalan di sekitar Bukchon Hanok Village yang menampilkan rumah-rumah tradisional. Tadi pagi setelah menjelajah Internet Kanaya kukuh ingin ke tempat ini."Apa saja asal makanan khas di sini, usahakan makanan yang tidak aku ketahui tetapi tidak beracun," jawab Kanaya membuat Hayden spontan mencubit hidung mungil gadis di sampingnya."Pria gila mana yang memberikan makanan beracun untuk kekasihnya?" tanya Hayden tanpa melepaskan rangkulannya. Nada bicara pria
Sesampainya di Jakarta pada pukul 3 dini hari, Hayden dan Kanaya pun segera pulang ke apartemen dengan jemputan mereka. Kanaya yang hanya tidur sebentar di pesawat pun tak tahan untuk tidak kembali tidur selama perjalanan menuju apartemen. Sesampainya di depan apartemen, Hayden segera menggendong tubuh mungil kekasihnya karena ia tidak tega jika harus dibangunkan.Sesampainya di penthouse yang ia miliki, ia segera membawa Kanaya ke kamar yang gadis itu miliki. Sengaja tidak ingin tidur sekamar karena ia takut jika terlalu sering maka benteng pertahanannya agar luruh. Mungkin hanya sesekali ia mengajak Kanaya tidur bersama, itupun tidak lebih dari sekedar pelukan."Tidurlah yang lelap sayangku," lirih Hayden pada Kanaya yang sedang asyik terpejam. Sebelum meninggalkan gadis itu, tak lupa Hayden meninggalkan sebuah kecupan lembut di seluruh permukaan wajah kekasihnya. Mungkin beberapa jam ke depan selagi menunggu matahari bersinar, ia akan fokus menyelesaikan beberapa pekerjaannya terl
Kini, kehidupan Kanaya dan Hayden berjalan dengan begitu indah. Mereka menikmati waktu demi waktu sambil membesarkan Reynald yang terus tumbuh. Mereka rasa, kemarin agaknya Reynald masih bayi dan membutuhkan ASI. Saat ini, anak itu sudah memasuki sekolah dasar seraya terus berdoa pada Tuhan agar memberinya adik.Pulang sekolah, Reynald di jemput oleh Kanaya beserta sopir pribadi ibunya. Hayden belum pulang, pria itu semakin sibuk karena perusahaannya semakin berkembang pesat."Rey, Ibu punya sesuatu untuk Rey. Apakah Rey tahu apa itu?" tanya Kanaya pada sang anak yang duduk di sampingnya. Rey menoleh di sela-sela kesibukannya yang sedang membuka sepatu."Apa itu, Ibu? Apa ada mainan baru?" tebak Reynald dengan wajah yang begitu sumringah. Biasanya, seminggu atau dua minggu sekali Kanaya ataupun Hayden selalu membelikan mainan baru untuk Reynald.Kanaya menggeleng, wanita itu semakin membuat Reynald bertanya-tanya."Ibu ... Reynald tidak tahu. Bisakah beritahu Rey sekarang saja?" pinta
Pergulatan panas mereka selesai bertepatan dengan Reynald yang terbangun. Memang anak itu sesekali bangun untuk memberitahukan pada ayah dan ibunya jika ia lapar. Belum lagi popok yang digunakan sudah penuh meminta diganti.Untuk saat ini Kanaya memasrahkan Reynald pada Hayden sepenuhnya, wanita itu sudah tak sanggup membuka mata apalagi bangun dari tempat tidurnya. Alhasil, Hayden-lah yang menenangkan Reynald serta mengganti popok anaknya. Beruntung Kanaya selalu menyediakan ASI di dalam botol dan hanya perlu dipanaskan sebentar. "Cup cup cup, cepat tidur kembali ya anak Ayah. Ayah lelah sekali, Sayang. Lihat ibumu, ada gempa pun sepertinya dia tidak akan bangun," ujar Hayden pada sang anak. Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, Hayden terus menimang dan menyenandungkan nada lagu kecil agar mempercepat kantuk sang anak datang. Reynald yang sangat nyaman dipeluk ayahnya pun perlahan-lahan kembali tertidur. Bayi itu juga tampaknya tahu jika sang ayah sangat mengantuk.Hayden terse
Saat ini, Hayden maupun Kanaya masih dalam masa pemulihan. Mungkin sekitar dua hari lagi mereka berdua bisa dipulangkan.Saat ini, Hayden tengah diperiksa untuk kesekian kalinya. Pria itu sebenarnya sudah muak berhadapan dengan dokter, namun apa boleh buat? Ia hanya bisa pasrah dan menerima semuanya.Kanaya sendiri saat ini tengah menimang Reynald setelah bayi itu diberi susu. Mata Reynald yang sesekali terbuka membuat Kanaya sangat gemas dan ingin menggigit anaknya sendiri. Beruntung Kanaya masih waras dan tidak melakukan hal itu pada buah hatinya."Dokter, apakah ayah sudah sembuh?" tanya Kanaya menirukan suara anak-anak seolah Reynald-lah yang bertanya. Dokter maupun Hayden yang sedang diperiksa sontak terkekeh geli mendengar suara Kanaya. "Ayahmu sudah sehat, anak tampan. Hanya saja, masih butuh perawatan selama beberapa hari sebelum diizinkan pulang. Reynald pasti bosan ya di rumah sakit?" tanya dokter pada bayi itu. Yang menjawab tentu bukan Reynald, melainkan ibunya."Sangat
Beberapa hari kemudian, tanpa diduga dan disangka Kanaya mengalami kontraksi hebat ketika sedang menjenguk Hayden yang belum sadarkan diri. Dokter memperkirakan beberapa jam lagi Hayden akan membuka matanya setelah melihat kondisi pria itu yang semakin membaik. Namun, Kanaya tak sempat melihat sang suami membuka mata karena rasa sakit yang dialaminya. Padahal, hari perkiraan lahir masih tersisa satu minggu, namun Tuhan berkehendak lain.Alhasil, Kanaya segera dimasukkan ke dalam ruang bersalin dan langsung ditangani oleh dokter yang biasa memantaunya. Proses melahirkan secara normal Kanaya tempuh sendirian tanpa dukungan sang suami. Wanita itu sempat merasa sedih, namun setelah mendengar kata-kata penyemangat dari dokter, Kanaya menjadi lebih semangat lagi untuk melahirkan anaknya.'Semoga setelah anak kita lahir, kau secepatnya membuka mata, Suamiku.' Kanaya terus berdoa di dalam hati untuk suaminya, rasa sakit yang begitu dahsyat tak bisa dielakkan selain dihadapi."Nyonya, tolong m
Hayden ditangani sebaik mungkin oleh dokter yang ada di rumah sakit. Pria itu mengalami kecelakaan cukup parah sewaktu mencari kedai bakso yang istrinya inginkan. Sungguh, kejadian itu terasa begitu cepat seolah hanya kilatan cahaya. Kanaya sendiri masih tak sadarkan diri setelah ditangani oleh dokter, wanita itu benar-benar tidak terima dengan kabar yang didengarnya. Para orang kepercayaan Hayden yang selalu menjaga keluarga itu pun segera berdatangan dan mengambil alih kendali semuanya. Beberapa saat kemudian, Kanaya telah sadar dari pingsan dan langsung mencari suaminya. Tepat saat itu pula Hayden sudah dipindahkan ke ruangan yang lebih intensif lagi agar cepat pulih. Kanaya segera dibantu oleh suster serta orang kepercayaannya untuk melihat Hayden. Air mata wanita itu tak henti bercucuran melihat kondisi sang suami yang begitu memprihatinkan. Kanaya menyesal meminta pria itu keluar untuk mengabulkan keinginannya."Aku mohon ... bangun, Sayang. Maafkan aku, maafkan aku," racau K
Perut Kanaya tampak semakin membesar seiring berjalannya waktu. Saat ini usia kandungan wanita sudah menginjak bulan ke sembilan, mereka semakin dibuat tak sabar menanti kelahiran sang buah hati. Segala persiapan untuk kelahiran sang anak sudah Hayden dan Kanaya siapkan sebaik mungkin. Meskipun saat anak mereka lahir tidak langsung di tempatkan pada kamar terpisah, namun kamar bayi itu sendiri sudah siap pakai dengan segala fasilitas yang lengkap di dalamnya. Kanaya sebenarnya tidak meminta Hayden untuk menyiapkan kamar anak secepat itu. Namun, Hayden sendiri yang sudah tidak sabar ingin mendekor kamar sang anak. "Kau sangat yakin mendekor kamar dengan warna biru seolah anak kita laki-laki," celetuk Kanaya pada sang suami yang baru selesai menata ulang letak kamar tidur sang anak bersama orang-orang suruhannya."Tentu saja warna biru karena aku yakin anak kita akan laki-laki. Meskipun perempuan, warna biru juga tidak terlalu buruk. Kita bisa mengganti dekorasi kapan saja," balas Ha
Pesawat pribadi milik Hayden dan Kanaya kembali mengudara untuk mengantarkan pemiliknya ke tanah air. Tak banyak yang mereka lakukan selama berada di pesawat selain makan dan tidur. Kadang juga pergi ke kamar mandi sesekali. "Huh, nyawaku seperti masih tertinggal di Bora Bora," gumam Kanaya lesu. Wanita itu tengah bermalas-malasan di dalam kamar bersama suaminya. Mereka sempat menonton film, namun tidak sampai selesai karena Kanaya mendadak tidak suka dengan aktornya. Alhasil, Hayden segera mematikan televisi. "Setelah anak kita bisa diajak bepergian, kita akan kembali berlibur ke tempat yang kau inginkan itu," ujar Hayden agar Kanaya tidak terlalu sedih memikirkan Bora Bora. Wanita hamil satu ini sangat sensitif dan cengeng."Itu masih lama," cicit Kanaya sambil menenggelamkan wajahnya di tumpukan selimut yang tampak kusut.Hayden menghela napas cukup panjang untuk mencari stok kesabaran. Setelah mendapatkannya, Hayden kembali mendekati wanita itu dan menghiburnya. "Apakah ingin
Setelah aktivitas meninggalkan jejak telah terlaksana dengan baik, keduanya kini tengah menikmati waktu romantis di emperan resort yang langsung menghadap ke arah matahari tenggelam.Kanaya duduk di antara dua kaki Hayden dan tubuh bersandar nyaman pada dada kokoh suaminya. Kedua tangan Hayden pun tak bisa diam dan terus mengusap permukaan perut sang istri. Perut buncit ini selalu menjadi favorit tempat kedua tangannya."Ah iya, aku ingin meminta bantuan pada pengawalmu untuk memotret kita di sini," ujar Kanaya seraya menengadah untuk bisa menatap suaminya.Pria itu tersenyum kecil, tak tahan untuk tidak mengecup dahi Kanaya ketika melihat tatapan penuh binar di kedua mata istrinya itu."Mereka sudah melakukannya, Sayang." Hayden menunjuk salah satu anak buahnya yang sedang memegang kamera beresolusi tinggi untuk bisa menghasilkan gambar terbaik. Kanaya cukup terkejut sebenarnya karena menyadari ada seseorang yang memotretnya sedari tadi."Sejak kapan dia ada di sini?""Sejak kita men
Demi istri tercinta, apapun akan Hayden lakukan bahkan menggali batu sekalipun. Kurang lebih satu jam Hayden meminta pada salah satu warga lokal dan seorang nelayan untuk membantunya menangkap cumi-cumi. Kanaya menunggu dengan hati berbunga di tepi pantai sambil sesekali melihat ke arah tengah laut di mana Hayden sedang menangkap cumi-cumi.Pria itu berhasil membawa 5 buah cumi-cumi berukuran sedang, Hayden segera menunjukkan pada sang istri penuh percaya diri.Kanaya sontak berjingkrak-jingkrak bahagia mendapatkan apa yang dirinya mau. Wanita itu bahkan sampai memfoto cumi-cumi lucu hasil kerja keras Hayden."Terima kasih, Suamiku! Terima kasih, Paman!" ujar Kanaya pada seorang nelayan yang telah membantu Hayden.Kanaya juga memberikan beberapa lembar uang untuk nelayan tadi, meskipun pada akhirnya ditolak karena paman nelayan membantu dengan tulus tanpa mengharap imbalan apapun. Terlebih lagi ketika mengetahui Kanaya tengah hamil besar, nelayan itu dengan senang hati membantu mengab