Sore hari pun tiba, Kanaya membersihkan dirinya secepat mungkin untuk menunggu kedatangan Hayden. Pria itu sudah berjanji padanya akan pulang cepat. Dan sesuai perjanjian, Hayden tiba sebelum jam pulang kantor pada umumnya tiba. Pria itu tak lupa membawa beberapa buah tangan untuk Kanaya.
"Sepatu?!" pekik Kanaya penuh senang ketika membuka paper bag yang dibawakan oleh Hayden untuknya. Sepatu bermerk itu terlihat sangat cantik digunakan oleh Kanaya. Kaki jenjangnya sangat mendukung!"Tidak berterimakasih?" tanya Hayden membuat kanaya yang sedang asik mencoba-coba sepatu menepuk dahinya pelan. "Astaga, aku lupa. Terimakasih sebelumnya, aku sangat suka! Kau seharusnya seperti ini setiap hari, aku akan ikhlas membiarkan kau pergi bekerja," ujar Kanaya membuat Hayden yang mendengarnya menggeleng pelan. Tanpa bekerja pun apa yang Kanaya inginkan akan Hayden cukupi, hanya saja, Hayden tidak bisa jika meninggalkan perusahaannya begitu saja. Perusahaan itu telah ia bangun dengan susah payah."Berjanjilah untuk tidak merajuk ketika aku hendak pergi bekerja. Kau sendiri yang menikmati hasilnya," pinta Hayden pada gadis yang kini mengangguk lucu dan siap menerima permintaan Hayden. Semoga saja bisa."Kau lelah bukan? Sebaiknya, bersihkan diri terlebih dahulu setelah itu biar aku bantu pijat. Bagaimana?" tawar Kanaya yang segera disetujui oleh Hayden. Kapan lagi dirinya akan mendapat perawatan terbaik dari gadis keras kepala itu.Selama menunggu Hayden selesai mandi, Kanaya memilih untuk menyiapkan tempat guna bisa memijat Hayden dengan nyaman. Sofa berukuran besar itu menjadi tempat favorit Kanaya karena sudah seperti kasur kedua baginya. Tubuh yang mungil membuat Kanaya tidak masalah hendak ditempatkan di manapun.Hayden yang baru saja selesai menggunakan pakaian serta merapikan rambut sedikit basah mendekati Kanaya yang duduk santai sendirian."Kau benar-benar hendak memijatku?" tanya Hayden memastikan. Gadis itu mengangguk semangat dan segera membawa Hayden untuk duduk bersandar dengan kedua kaki lurus ke depan."Kau pasti sangat lelah, betapa kurang ajarnya aku jika tidak bisa memberikan perawatan terbaik untukmu," ujar Kanaya membuat Hayden tersenyum senang mendengarnya."Lain kali jangan sepatu, tas pun tak apa. Ada model baru sekarang." Wajah Hayden yang sedari tadi berbinar kini digantikan dengan wajah kesalnya. Harusnya ia sadar jika baiknya Kanaya pasti menginginkan sesuatu di belakangnya."Tidak ada model baru. Kau tidak perlu menginginkannya," ucap Hayden yang tentunya ditolak mentah-mentah oleh Kanaya. Gadis itu beranjak sebentar untuk mengambil sesuatu di atas meja yang letaknya tak terlalu jauh. Majalah artis terkenal yang sedang memegang tas mahal itu membuat Kanaya menginginkannya. Dan satu-satunya orang yang bisa menuruti semua itu adalah Hayden. Siapa lagi jika bukan dia? Kalaupun ia bekerja, ia akan menggunakan uangnya sebaik mungkin dan memilih untuk membelanjakan pada keperluan yang benar-benar diperlukan saja."Lihat, ini model baru yang tentunya akan semakin cantik jika dipakai olehku. Kau mengerti bukan?" Hayden mengangguk, toh tidak ada gunanya berdebat dengan Kanaya karena pada akhirnya tidak akan pernah berhenti dan berakhir dirinya yang mengalah saja.Pria itu segera menghubungi salah satu anak buahnya untuk membelikan tas seperti yang Kanaya inginkan. Esok barang itu akan tiba."Kau semakin tampan jika menjadi pria yang penurut," celetuk Kanaya membuat Hayden mendengus kesal. Untung sekali hartanya banyak, jika tidak, Kanaya sudah mengamuk sekarang."Ingat, jangan bersikap seperti ini pada orang lain. Cukup padaku dan hanya bergantung padaku," ujar Hayden dengan tegas. Kanaya mengangguk patuh mendengarnya.Selesai memijat Hayden, Kanaya terlihat masih semangat dan belum merasakan kantuk sedikit pun. Sama seperti Kanaya, Hayden pun terlihat masih bersemangat mengerjakan beberapa pekerjaan untuk esok agar tidak terlalu banyak nantinya. Kanaya selalu meminta dirinya cepat pulang saja."Kau tidak lapar?" tanya Hayden pada Kanaya yang sedang duduk cantik di sampingnya. Tentu dengan kedua mata indah yang memerhatikan gerak-gerik lincah jari-jari Hayden menari di atas keyboard."Tidak. Ralat, belum. Mungkin tiga puluh menit lagi perutku akan berbunyi dan kau harus siap sendiri mengisinya dengan makanan agar berhenti berbunyi," ujar Kanaya membuat Hayden reflek melihat jam dinding yang tak jauh dengannya. Masih ada banyak waktu untuk asistennya tiba, itu artinya Hayden tidak perlu memasak."Aku ingin kau membuatkan telur mata sapi untukku. Kau bisa kan?" Celaka, Hayden menggeleng tanpa menatap Kanaya membuat gadis itu kesal. Dengan cepat Kanaya meraih dagu Hayden dan memaksanya untuk saling bertatapan."Akan aku buatkan," final Hayden saking tak teganya melihat wajah Kanaya yang hendak menangis itu. Keduanya segera bangkit dengan Kanaya yang terus mengikuti Hayden sampai akhirnya kembali duduk tenang dengan kedua pasang mata yang terus menatap Hayden.Pria itu terlihat tidak takut sedikit pun pada minyak panas. Kanaya sangat ingat jika terakhir kali dirinya memasak namun ibu jari menjadi korbannya. Ibu jari mungil itu tidak sengaja menyentuh minyak panas membuat Kanaya trauma dan tidak mau menyentuh kompor dan minyak."Selesai," ucap Hayden setelah mempersembahkan telur mata sapi ya pada Kanaya. Gadis itu bertepuk tangan senang dan segera menyantap telur itu dengan lahap."Kau suka?" tanya Hayden, Kanaya mengangguk semangat dengan mulut yang penuh diisi oleh telur mata sapi tadi."Lain kali aku akan membuatkan kembali khusus untukmu," ujar Hayden dengan sungguh-sungguh namun masih tidak bisa dipercaya oleh Kanaya. Gadis itu menyipitkan kedua matanya membuat Hayden segera mengusap wajah cantik itu dari atas sampai bawah. "Aku janji." Barulah Kanaya bisa percaya.Dua orang itu kembali duduk berdua pada sofa tadi dan menikmati acara televisi yang bisa mengisi waktu luangnya dengan baik."Kau tidak kedinginan?" tanya Hayden pada Kanaya ketika menyadari jika kaus yang digunakan oleh Kanaya cukup kecil."Menurutmu?" Kanaya berbalik tanya dengan maksud menyindir karena Hayden kurang peka padanya. "Mendekatlah," perintah Hayden sambil menepuk tempat di sebelahnya yang justru jika Kanaya duduk di tempat itu akan semakin menempel pada Hayden.Tak mau membuat pria itu menunggu lama, Kanaya segera menggeser tubuhnya yang kini sudah semakin dekat dengan Hayden.Tanpa diduga pria itu justru memeluk Kanaya, kini Kanaya bisa merasakan kehangatannya. "Ini jauh lebih hangat dan nyaman," ujar Kanaya membuat Hayden semakin enggan melepas pelukannya. Biarkan saja Kanaya nyaman, toh gadis itu akan tenang jika berada di pelukannya seperti ini.Asisten kembali tiba untuk memasak makan malam, sedangkan Kanaya sendiri tengah menahan kantuk sampai mati-matian agar tidak tertidur. Pelukan serta tepukan kecil yang Hayden berikan pada punggungnya benar-benar terasa sangat nyaman!"Tutup matamu jika tidak kuat, jangan takut makanan akan habis," ujar Hayden membuat Kanaya menutup matanya saat itu juga. Pria itu terkekeh kecil, melihat tingkah Kanaya yang sekarang memang sangat menarik di matanya."Taruh makanan itu di penghangat, Kanaya masih tertidur," ujar Hayden pada asistennya yang hendak menaruh makanan baru selesai itu di atas meja. Asisten itu mengiyakan permintaannya, memasukkan ke dalam box berukuran sedang di mana box itu akan mengeluarkan suhu hangat membuat makanan yang disimpan di sana akan selalu hangat.Hayden semakin mengeratkan pelukannya pada Kanaya, gadis itu tertidur sangat pulas membuatnya tidak tega hendak membangunkan. "Kau seharusnya beruntung tinggal bersama denganku. Aku selalu tidak tega jika mata ini berair, dan bibir ini terus merengek," monolog Hayden dengan salah satu telunjuk menyentuh bibir serta kelopak mata Kanaya secara bergantian."Kau cantik jika sedang tenang seperti ini," ujar Hayden tanpa sadar. Setelahnya pria itu menggeleng, ada-ada saja pikirannya.Tiga puluh menit berlalu, Hayden yang sedari tadi memeluk Kanaya kini ikut tertidur.***"Kau yakin akan menemaniku malam ini?" tanya Hayden pada Kanaya yang terlihat sangat kekeuh ingin menemani dirinya mengerjakan beberapa urusan kantor."Iya. Lagi pula, kau tahu sendiri jika tadi aku sudah tertidur cukup lama. Jadi, mataku tetap kuat jika malam ini aku menemanimu bekerja," jawab Kanaya membuat Hayden pasrah dan hanya bisa membiarkan gadis itu saja.Kanaya yang tidak mengerti apa yang Hayden kerjakan pun memilih untuk mencari kegiatan lain namun tidak keluar dari ruangan yang sama dengan Hayden."Buka mulutmu," titah Kanaya dengan salah satu lengan menyodorkan satu potong buah apel. Hayden menuruti perintah gadis itu, membuka mulut dan menerima satu potong apel dari Kanaya."Aku lihat, di lemari dinginmu itu terdapat banyak sekali buah-buahan. Tapi, kenapa aku jarang melihatmu memakan semua itu?" tanya Kanaya setelah berhasil membuka-buka lemari dingin milik Hayden lebih dalam lagi."Aku tidak ada waktu untuk mengupas, memakan, dan mengunyahnya. Juga tidak terlalu suka memakannya," jawab Hayden membuat Kanaya reflek menggeleng. "Kau seharusnya memakan semua ini jika ada. Banyak orang di luar sana yang menginginkan kehidupan sepertimu. Setidaknya kau harus bisa bersyukur dengan semua ini, menikmatinya selagi ada. Dan mulai sekarang, kau harus memakan makanan yang sehat serta teratur," jeda Kanaya. Hayden menatap gadis itu dengan tatapan bangganya. "Kalau kau sakit dan tidak bekerja, aku akan kelaparan dan tidak bisa memakan makanan yang enak," lanjut Kanaya membuat Hayden yang sedari tadi kembali merasa kesal.***Satu Minggu berlalu, Kanaya benar-benar kesal pada Hayden lantaran pria itu sangat sibuk. Memang Hayden selalu pulang dengan waktu yang teratur, namun, malam harinya pria itu akan kembali bekerja dan tidak menemaninya."Kau ini terus meninggalkanku, apakah ini caramu mengurus seorang gadis sakit?" tanya Kanaya dengan tatapan mata tertuju pada figura besar Hayden yang tertempel di dinding. Ingin rasanya Kanaya merusak figura itu untuk menyalurkan rasa kesalnya pada Hayden.Gadis itu kembali masuk kamar, memainkan ponsel yang dibelikan oleh Hayden 3 hari yang lalu. Dengan begitu ia tidak perlu menggunakan telepon rumah untuk menghubungi Hayden.Beberapa menit lagi jam makan siang Hayden tiba, Kanaya sudah siap dengan ponsel genggamnya untuk menghubungi pria itu. Ketika waktunya tiba, dengan cepat Kanaya menelpon Hayden sampai sambungan itu benar-benar tersambung."Hi, Hayden tampanku. Kau sudah bersiap hendak makan siang bukan?" tanya Kanaya, terdengar suara grasak-grusuk dari seberang s
Esok harinya, Kanaya kembali masuk ke dalam kamar Hayden untuk mengecek tubuh pria itu. Malam tadi suhunya tinggi dan bersyukur jika pagi ini sudah kembali normal."Cepatlah bersiap-siap, hari ini kau ada jadwal dengan dokter Han," ujar Hayden membuat Kanaya memutar bola mata malas. Dokter itu sangat banyak bicara, dan tentunya Kanaya tidak suka. "Bisakah kita tidak pergi untuk hari ini? Kau sedang sakit," ujar Kanaya yang tentunya dibantah oleh Hayden karena pria itu sendiri merasakan jika tubuhnya sudah terasa lebih baik."Jangan banyak alasan lagi, cepat siap-siap dan sarapan bersama. Kita tidak boleh telat jika tidak mau mengantri lama," ujar Hayden yang masih kekeuh tidak bisa menerima keinginan Kanaya. Gadis itu mengangguk lesu, kembali pada kamarnya untuk bersiap-siap dan menikmati sarapannya bersama Hayden tentu dengan hati yang sedih.Dirinya tidak mau bertemu dokter itu. Dokter sangat menyebalkan baginya."Aku seharusnya sedang mengurusmu—""Kau tetap harus menjalani terapi,
Pulang dari luar, wajah Kanaya masih terlihat sangat masam karena Hayden belum memberinya izin untuk memelihara kucing. Entah harus dengan cara apa Kanaya membujuk pria itu agar bisa memberinya izin memelihara hewan lucu itu.Kanaya membantingkan tubuhnya pada kasur empuk, sedangkan Hayden sendiri sedang bersiap-siap untuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Pria itu tampak sibuk, namun kedatangan Kanaya berhasil membuat niat yang sudah disusun dengan rapi olehnya hilang begitu saja."Aku mempunyai kabar yang sangat penting!" ujar Kanaya secara tiba-tiba membuat Hayden hampir saja terserang penyakit jantung. Pria itu menaikkan sebelah alisnya agar Kanaya cepat memberi tahu kabar penting itu. "Aku tahu nama asliku. Apa kau ingin mendengarnya?" tanya Kanaya, dengan cepat Hayden mengangguk, menanti nama itu disebutkan dengan hati yang sudah tidak sabar."Celine. Lebih tepatnya Celine Nathalie," jawab Kanaya. Hayden terdiam sejenak, nama itu terdengar sangat indah dibanding nama yang ia beri
Tak terasa, kini rumah yang Hayden bangun telah berdiri kokoh dengan sempurna. Segala perlengkapan telah mengisi rumah itu dengan penataan sedemikian rupa sampai Kanaya tidak merasa bosan sedikit pun.Satu hari setelah acara pindah, Kanaya disibukkan oleh bagaimana cara memberi kejutan pada Hayden karena pria itu akan berulang tahun Minggu depan. Kanaya mencari hadiah paling cocok untuk seorang pria dan ingin memastikan jika pria itu akan memakai setiap hari benda yang dihadiahkan olehnya. Dan pilihan Kanaya terjatuh pada kalung. Membayangkan betapa tampannya Hayden memakai kalung yang menggantung sempurna di leher indahnya.Selagi Hayden bekerja, Kanaya meminta pada supir pribadinya agar pergi bersama. Gadis itu mulai mendatangi gedung tempat pemesanan aksesoris berada. Ia memesan dua buah kalung sekaligus karena ia pun mau. Pesanan pertama adalah berupa kalung dengan bandul berbentuk tabung memanjang yang terukir nama HM.Lucano, dan pesanan kedua hanya berbeda pada ukiran namanya saj
Sesuai dengan yang Hayden janjikan beberapa hari yang lalu, pria itu sudah mempersiapkan diri untuk mengajak Kanaya menikmati matahari sore di atas roof top gedung perusahaannya. Gadis itu tampak bersemangat, Hayden yang sedikit lelah sehabis pulang bekerja pun kembali bersemangat karena melihat Kanaya yang bersemangat pula."Kau tidak akan mendorongku dari ketinggian bukan?" tanya Kanaya yang kini tengah berada di dalam mobil yang sama dengan Hayden. "Kau gila?" tanya Hayden membuat tawa Kanaya pecah. Gadis itu sangat suka melihat raut wajah Hayden yang panik, khawatir ataupun takut. Pria itu memiliki sisi menggemaskan juga menurutnya. Entah menurut orang lain."Mendorongmu saja aku tidak pernah," ujar Hayden dengan raut wajah kesalnya. Kanaya terkikik geli dan meminta maaf pada pria itu karena telah mengatakan hal yang tidak-tidak.Sesampainya di kantor, suasana di sana lumayan sepi dengan beberapa karyawan kantor yang memilih lembur. Hayden segera membawa Kanaya ke atas sana, tak lu
Genap satu minggu Hayden dibuat kesal oleh Kanaya karena gadis itu seperti benar-benar melupakan hari ulang tahunnya. Padahal, ia berharap di hari ulang tahunnya yang ke 28 nanti Kanaya memberikan kejutan untuknya. Dan saat ini, gadis itu tengah bersiap bersama Hayden untuk pergi menuju bandara sebelum melakukan penerbangan menggunakan pesawat jet pribadi milik Hayden, sesuai dengan janji pria itu satu minggu yang lalu."Ayolah, tolong jalan sedikit lebih cepat, nanti kita terlambat dan gagal terbang," ujar Kanaya sedikit menggerutu pada Hayden yang berjalan lesu.Melihat keantusiasan gadis itu ternyata berhasil membuat rasa kesal dan sedih di hati Hayden sedikit berkurang. Pria itu pun kini berjalan lebih cepat dari sebelumnya untuk menyusul Kanaya yang sudah duduk tak sabar di dalam mobil."Tidak bisa terbang hari ini pun tidak masalah, masih bisa hari esok dan seterusnya," balas Hayden enteng. Gadis itu sontak mendelik tajam pada pria yang ada di sampingnya.Sopir segera melanjuka
"Kenapa? Kau sepertinya sangat terkejut setelah mendengar siapa nama orang tuaku," ujar Hayden dengan tatapan penasaran. Pasalnya, Kanaya terlihat sangat terkejut dengan nama kedua orang tuanya."2 bulan sebelum orang tuaku meninggal, mereka bercerita padaku jika mereka memiliki teman baik semasa berada di panti. Mereka berencana akan mengajakku mengunjungi makan kedua teman dekatnya yang bernama ... Melly dan John," jelas Kanaya membuat tubuh Hayden menegang."Apa nama panti kedua orang tuamu?" tanya Hayden memastikan jika tebakannya tidaklah salah."Yayasan Permata Indah."DegKali ini jantung Hayden yang terasa lebih cepat berdetak, ia bahkan sampai memegangi dadanya yang bergemuruh membuat Kanaya reflek mengangkat tangan dan ikut merasakan betapa riuhnya detak jantung Hayden."Jadi ... selama ini kau yang kucari," ujar Hayden dengan suara lirih."Maksudmu?""Dulu sebelum meninggal, mereka mengatakan padaku jika mereka memiliki teman dekat yang sudah menjadi pasangan suami istri. Me
Keesokan harinya, Kanaya dan Hayden benar-benar memuaskan diri menikmati liburan singkat mereka kali ini. Bagaimana tidak singkat jika mereka hanya memiliki waktu berlibur 3 hari? Itu pun Hayden masih sering mencuri waktu untuk bekerja dari jarak jauh."Aku lapar," adu Kanaya seraya mengusap perutnya yang berbunyi. Wajah gadis itu juga terlihat sangat memelas membuat Hayden tak tahan untuk tidak mencubit kedua pipi gadisnya."Ingin makan apa, sayangku?" tanya Hayden seraya merangkul mesra bahu kekasihnya. Keduanya saat ini masih berjalan di sekitar Bukchon Hanok Village yang menampilkan rumah-rumah tradisional. Tadi pagi setelah menjelajah Internet Kanaya kukuh ingin ke tempat ini."Apa saja asal makanan khas di sini, usahakan makanan yang tidak aku ketahui tetapi tidak beracun," jawab Kanaya membuat Hayden spontan mencubit hidung mungil gadis di sampingnya."Pria gila mana yang memberikan makanan beracun untuk kekasihnya?" tanya Hayden tanpa melepaskan rangkulannya. Nada bicara pria