Dua hari setelah Kanaya dirawat, kini gadis itu mulai tinggal bersama dengan Hayden pada apartemen mewah pria itu. Hayden pun telah mengatur jadwal sebaik mungkin untuk perawatan Kanaya. Semua rencana sudah tersusun dengan rapi dan hanya mengerjakannya saja.
"Kau suka?" tanya Hayden pada Kanaya yang kini tengah melihat kondisi ruangan yang akan digunakan sebagai kamar. Warna dari ruangan itu lebih dominan warna putih daripada warna salem. Semua terlihat rapi serta nyaman."Sangat suka," jawab Kanaya yang kini tengah menikmati empuknya kasur yang akan digunakan untuk tempat istirahatnya.Di ruangan itu pun Hayden tidak menaruh benda tajam atau benda-benda yang bisa melukai Kanaya, semua telah disulap sedemikian rupa agar Kanaya nyaman dan aman. Dan tentunya dengan bantuan Brian, pria itu memang sangat ahli mendesain dan menata letak benda-benda yang ada di dalam ruangan."Istirahatlah, aku ada urusan sebentar. Jangan lupa berdoa," titah Hayden yang segera diangguki oleh Kanaya. Gadis itu sedikit demi sedikit membiasakan diri untuk melibatkan Tuhan di manapun keberadaannya. Semua itu atas dorongan dari Hayden agar lebih dekat dengan kebaikan."Kau juga jangan lupa istirahat. Hari ini aku sangat banyak merepotkanmu," ujar Kanaya yang hanya dibalas senyum tipis oleh Hayden. Pria itu mulai beranjak pergi meninggalkan Kanaya yang sedang mencari posisi nyaman untuk beristirahat.Sepeninggalan Hayden, Kanaya hanya berdiam diri dan menegaskan pada hatinya jika mulai saat ini dirinya harus membuka lembaran baru. Urusan orang tuanya biarkan saja seperti itu sampai ia memiliki tenaga serta keberanian yang tinggi sebelum mengulik siapa dalang di balik kematian kedua orang tuanya. Anak mana yang tega membiarkan dua orang yang sangat berjasa di dalam kehidupan dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi. Padahal, Kanaya sendiri tahu jika kedua orang tuanya tidak pernah mencari masalah bahkan bisa dikatakan hidupnya damai.Ia tidak memiliki saudara seperti orang lain. Kedua orang tuanya adalah sama-sama anak panti yang tidak tahu asal-usul diri, dan jika kedua orang itu tiada, maka ia pun menjadi sebatang kara. Betul betul sendiri.Namun beruntungnya, Tuhan tidak sejahat itu membuat Kanaya hidup seorang diri tanpa ada teman satupun. Hayden datang menolongnya dengan hati yang sangat tulus. Pria itu tak segan-segan memberinya apapun dengan syarat harus menuruti perintahnya. Dan perintah Hayden sendiri hanya sebatas mengurus diri dengan benar, makan yang teratur, dan mengikuti segala pengobatan agar mentalnya kembali sempurna.Merasa tidak bisa membalas Hayden menggunakan materi, Kanaya hanya bisa mengikuti ucapan pria itu saja. Toh Hayden telah sangat baik padanya.***Setelah memastikan asisten rumah tangga membuatkan makanan dengan baik dan benar, Hayden kembali memasuki kamar Kanaya untuk mengajaknya makan bersama.Hayden sedikit terkejut ketika melihat Kanaya yang sudah duduk namun dengan mata terpejam. Gadis itu diam bagaikan patung membuat Hayden tak sabar untuk mendekat dan menanyakan langsung kondisinya."Sudah puas istirahat? Asistenku telah memasak makanan yang kau sukai. Cepat turun dan kita makan bersama," ujar Hayden. Dengan spontan Kanaya membuka mata dan mengusap perutnya yang berbunyi tanda lapar.Daging sapi. Harum dari bumbunya saja sangat beda, hal itu membuat kanaya terbangun dan beralih duduk untuk mencium aroma sedapnya dengan puas tanpa membuka mata yang terasa sangat lengket.Meskipun di rumah sakit Kanaya sangat sering berisitirahat, hal itu tentu tidak akan melunturkan niatnya untuk tertidur pulas di kamar pribadi yang memang terasa lebih nyaman dan bebas.Kanaya mulai mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. Tidak terlalu banyak asal perutnya bisa terisi dengan baik. Gadis itu melahapnya dengan semangat. Hal itu tentu tidak lepas dari pandangan Hayden, melihat Kanaya yang lahap memang sangat menyenangkan. Saking senangnya Hayden sampai melupakan makanan lezat yang sedari tadi menunggunya untuk disantap."Kau tidak suka daging? Dia hampir menangis saking lamanya menunggu kau yang diam sedari tadi," ujar Kanaya sambil menunjuk sepotong daging sapi pada piring Hayden. Pria itu terkekeh pelan, mengangguk singkat sebelum menyantap daging sapi yang katanya akan menangis.Selesai makan, Kanaya tak sengaja melihat koleksi minuman Hayden yang sangat banyak dengan berbagai rasa. Gadis itu sudah bersiap untuk mencicipinya dari salah satu koleksi itu sebelum Hayden datang dan merampasnya secara paksa."Biarkan aku meminumnya!" pinta Kanaya sambil berusaha merebut kembali botol minuman yang kini tengah dirampas oleh Hayden."Tidak boleh, dan tidak akan pernah aku mengizinkan kau untuk meminum ini. Apa kau tidak melihat jika kandungan alkohol ini sangat tinggi? Kau akan bermasalah jika masih berani meminumnya!" jelas Hayden membuat raut senang di wajah Kanaya mulai memudar. Gadis itu menyerah dan duduk dengan lemas pada mini bar yang tersedia.Hayden yang tidak tega melihat Kanaya sedih pun mencari hal lain, pria itu kembali menyimpan minuman yang hampir dikonsumsi oleh Kanaya pada tempat yang lebih aman lagi. Mungkin sebagai gantinya Hayden akan membuatkan minuman yang lebih aman lagi.Teh manis.Kanaya tampak tidak sabar menghabiskan teh manis dari Hayden yang katanya sebagai ganti minuman tadi. Gadis itu masih terlihat marah. Kentara terlihat dari raut wajahnya yang sedang menahan kesal."Harusnya kau berterimakasih karena aku telah menggantinya dengan minuman yang lebih nikmat dan aman," ujar Hayden yang kini tengah duduk di hadapan Kanaya yang sedang menopang dagu. Gadis itu menatap Hayden kesal namun tak ayal meminum teh manisnya sampai kandas."Mungkin minuman itu lebih nikmat daripada teh manis buatanmu ini," ujar Kanaya setelah melirik Hayden dengan tatapan sinisnya. Pria itu sendiri hanya merespon dengan senyum tipis, Kanaya semakin lama semakin keras kepala. Permintaan yang Hayden tolak akan dibalas dengan sikap ketus dan menyebalkannya, namun Kanaya sendiri tidak berani marah sampai meledak-ledak karena masih tahu batas etika."Setidaknya kau tetap aman dan tidak mabuk sekarang." Kanaya diam, ucapan Hayden memang benar. Tetapi, hatinya masih belum bisa menerima dengan senang tentang minuman tadi yang diganti dengan segelas teh manis saja."Lain kali aku akan membuatkan minuman yang lebih nikmat lagi," ujar Hayden yang belum bisa membujuk Kanaya. Gadis keras kepala memang sangat sulit untuk dibujuk.Hayden menarik nafas pasrah, pria itu melenggang pergi meninggalkan Kanaya yang semakin kesal. Gadis itu melirik punggung Hayden yang kini tengah tenggelam di area dapur, entah sedang melakukan apa di dalam sana.Kanaya pun sama, melenggang pergi menuju kamarnya kembali. Sungguh, Hayden sangat menyebalkan! Pria tampan itu benar-benar menyebalkan dan Kanaya sangat membencinya.Ketika sedang asik mengumpat, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka membuat aktivitas mengumpat Kanaya berhenti begitu saja. Mencoba melihat dari pantulan cermin dan menemukan Hayden di sana. Hendak apa pria itu masuk ke dalam kamarnya?"Jangan terlalu banyak," ujar Hayden dengan salah satu tangan yang memberikan botol minuman, minuman yang diinginkan oleh Kanaya.Mata gadis itu berbinar, Kanaya sangat senang sekarang. Dengan cepat Kanaya mengambil botol minuman yang masih ada di tangan Hayden, mulai membuka penutupnya dan menenggak minuman itu sepuasnya."Huh ... nikmat sekali! Terima kasih pria tampanku!" ucap Kanaya membuat Hayden segera merampas botolnya kembali karena takut Kanaya akan mabuk parah."Hey, itu milikku! Kalau kau mau, beli saja sendiri! Tidak mampu? HaHaHa, dasar miskin!" lihatlah, gadis itu sudah tidak jelas sekarang. Mencoba mengambil kembali botol minuman yang ada pada Hayden sebisa mungkin namun selalu gagal. Tinggi badannya tidak mencukupi untuk bisa meraih botol minum itu."Kau," ucapan Kanaya terjeda dengan kedua tangan yang memegang sisi bahu Hayden. Cup, "GILA!" Hayden terperangah. Siapa yang gila di sini? Bahkan setelah mencium bibirnya Kanaya melenggang pergi tanpa dosa."Bibirku sudah tidak suci lagi ya Tuhan!!" pekik Hayden dengan suara tertahan.Daripada mencari perkara lain, Hayden segera membawa Kanaya untuk terbaring di kasur. Tentu dengan dirinya karena telapak tangan mungil Kanaya tidak mau melepas cengkeramannya pada ujung baju yang digunakan oleh Hayden."Kau sebaiknya istirahat. Mengatakan orang lain gila sedangkan dirinya juga tidak memiliki sisi kewarasan sekarang," ujar Hayden yang tidak dipedulikan oleh Kanaya."Huh, harus sampai kapan aku istirahat? Baru saja terjaga, dan sekarang kau menyuruhku untuk kembali istirahat? Yang benar saja!" Hayden memijat pelipisnya yang seakan berdenyut, kerasukan apa gadis ini."Terus kau mau apa? Kepalaku sakit mendengar segala ocehanmu." Kanaya diam dan memikirkan sesuatu sampai ide terbaik melintas di kepalanya. "Bagaimana kalau kau pijat aku saja sampai tertidur? Dengan begitu aku tidak akan banyak berbicara sedangkan kau pun tidak akan merasa risih dengan ocehanku," ujar Kanaya yang berhasil membuat Hayden terkejut kesekian kalinya.Hey, dirinya CEO perusahaan besar! Semua orang tunduk patuh padanya. Dan sekarang, gadis mungil itu menyuruhnya untuk memijat kaki? Oh God ...***Ada yang pernah dipijat CEO?Keesokan harinya, Hayden masih belum terbangun dengan tubuh yang masih tertutup selimut tebal. Hari libur memang menjadi hari yang sangat menyenangkan baginya, karena satu hari itu ia bisa bermalas-malasan dengan puas.Sedangkan Kanaya yang lebih dulu terbangun atau bisa dikatakan sudah terbangun sejak satu jam yang lalu tengah bingung sekarang. Setelah mandi tadi Kanaya mulai bingung hendak melakukan apa, gadis itu hanya diam di kamar karena takutnya jika keluar akan mengacau. "Huh, apakah dia sedang mencoba menjadi kerbau?" tanya Kanaya pada dirinya sendiri ketika belum mendengar sesuatu yang disebabkan oleh Hayden. Yang pastinya pria itu masih tertidur pulas sekarang. Tiba-tiba saja Kanaya menyengir kuda ketika mengingat malam tadi Hayden terus menemani dirinya yang tidak bisa tertidur, sedangkan pria itu sampai meminum kopi 2 kali agar bisa menahan kantuk dan menemani Kanaya dengan tenang.Betapa baiknya pria itu meskipun ia sendiri merasa dirinya menyebalkan."Kau harus sabar, j
Malam telah berlalu, dan hari selanjutnya pun tiba. Hayden terlihat sangat sibuk memakai pakaian bekerjanya dengan benar dan rapi. Setelah selesai, barulah Hayden keluar dan memasuki kamar Kanaya untuk mengajak perempuan itu sarapan bersama.Kanaya yang memang sedang sibuk memakai beberapa perawatan wajah sedikit terkejut ketika Hayden datang tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Penampilan pria itu benar-benar rapi, dasi serta jas yang terpakai dengan sempurna membuat kapasitas ketampanan seorang Hayden semakin tinggi."Kau akan pergi bekerja?" tanya Kanaya dengan aktivitasnya yang terhenti sebentar. Pria itu mengangguk, dan itu artinya kini ia akan sendiri tanpa ada yang menemani. Hayden yang menyadari jika raut wajah Kanaya berubah pun bertanya, "ada masalah jika aku bekerja?" Kanaya menggeleng namun dengan raut wajah yang masih kentara jika gadis itu sedang sedih."Bisakah kau temani aku saja dan jangan bekerja? Aku bosan jika sendiri," ujar Kanaya membuat Hayden bingung sekara
Sore hari pun tiba, Kanaya membersihkan dirinya secepat mungkin untuk menunggu kedatangan Hayden. Pria itu sudah berjanji padanya akan pulang cepat. Dan sesuai perjanjian, Hayden tiba sebelum jam pulang kantor pada umumnya tiba. Pria itu tak lupa membawa beberapa buah tangan untuk Kanaya."Sepatu?!" pekik Kanaya penuh senang ketika membuka paper bag yang dibawakan oleh Hayden untuknya. Sepatu bermerk itu terlihat sangat cantik digunakan oleh Kanaya. Kaki jenjangnya sangat mendukung!"Tidak berterimakasih?" tanya Hayden membuat kanaya yang sedang asik mencoba-coba sepatu menepuk dahinya pelan. "Astaga, aku lupa. Terimakasih sebelumnya, aku sangat suka! Kau seharusnya seperti ini setiap hari, aku akan ikhlas membiarkan kau pergi bekerja," ujar Kanaya membuat Hayden yang mendengarnya menggeleng pelan. Tanpa bekerja pun apa yang Kanaya inginkan akan Hayden cukupi, hanya saja, Hayden tidak bisa jika meninggalkan perusahaannya begitu saja. Perusahaan itu telah ia bangun dengan susah payah."
Satu Minggu berlalu, Kanaya benar-benar kesal pada Hayden lantaran pria itu sangat sibuk. Memang Hayden selalu pulang dengan waktu yang teratur, namun, malam harinya pria itu akan kembali bekerja dan tidak menemaninya."Kau ini terus meninggalkanku, apakah ini caramu mengurus seorang gadis sakit?" tanya Kanaya dengan tatapan mata tertuju pada figura besar Hayden yang tertempel di dinding. Ingin rasanya Kanaya merusak figura itu untuk menyalurkan rasa kesalnya pada Hayden.Gadis itu kembali masuk kamar, memainkan ponsel yang dibelikan oleh Hayden 3 hari yang lalu. Dengan begitu ia tidak perlu menggunakan telepon rumah untuk menghubungi Hayden.Beberapa menit lagi jam makan siang Hayden tiba, Kanaya sudah siap dengan ponsel genggamnya untuk menghubungi pria itu. Ketika waktunya tiba, dengan cepat Kanaya menelpon Hayden sampai sambungan itu benar-benar tersambung."Hi, Hayden tampanku. Kau sudah bersiap hendak makan siang bukan?" tanya Kanaya, terdengar suara grasak-grusuk dari seberang s
Esok harinya, Kanaya kembali masuk ke dalam kamar Hayden untuk mengecek tubuh pria itu. Malam tadi suhunya tinggi dan bersyukur jika pagi ini sudah kembali normal."Cepatlah bersiap-siap, hari ini kau ada jadwal dengan dokter Han," ujar Hayden membuat Kanaya memutar bola mata malas. Dokter itu sangat banyak bicara, dan tentunya Kanaya tidak suka. "Bisakah kita tidak pergi untuk hari ini? Kau sedang sakit," ujar Kanaya yang tentunya dibantah oleh Hayden karena pria itu sendiri merasakan jika tubuhnya sudah terasa lebih baik."Jangan banyak alasan lagi, cepat siap-siap dan sarapan bersama. Kita tidak boleh telat jika tidak mau mengantri lama," ujar Hayden yang masih kekeuh tidak bisa menerima keinginan Kanaya. Gadis itu mengangguk lesu, kembali pada kamarnya untuk bersiap-siap dan menikmati sarapannya bersama Hayden tentu dengan hati yang sedih.Dirinya tidak mau bertemu dokter itu. Dokter sangat menyebalkan baginya."Aku seharusnya sedang mengurusmu—""Kau tetap harus menjalani terapi,
Pulang dari luar, wajah Kanaya masih terlihat sangat masam karena Hayden belum memberinya izin untuk memelihara kucing. Entah harus dengan cara apa Kanaya membujuk pria itu agar bisa memberinya izin memelihara hewan lucu itu.Kanaya membantingkan tubuhnya pada kasur empuk, sedangkan Hayden sendiri sedang bersiap-siap untuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Pria itu tampak sibuk, namun kedatangan Kanaya berhasil membuat niat yang sudah disusun dengan rapi olehnya hilang begitu saja."Aku mempunyai kabar yang sangat penting!" ujar Kanaya secara tiba-tiba membuat Hayden hampir saja terserang penyakit jantung. Pria itu menaikkan sebelah alisnya agar Kanaya cepat memberi tahu kabar penting itu. "Aku tahu nama asliku. Apa kau ingin mendengarnya?" tanya Kanaya, dengan cepat Hayden mengangguk, menanti nama itu disebutkan dengan hati yang sudah tidak sabar."Celine. Lebih tepatnya Celine Nathalie," jawab Kanaya. Hayden terdiam sejenak, nama itu terdengar sangat indah dibanding nama yang ia beri
Tak terasa, kini rumah yang Hayden bangun telah berdiri kokoh dengan sempurna. Segala perlengkapan telah mengisi rumah itu dengan penataan sedemikian rupa sampai Kanaya tidak merasa bosan sedikit pun.Satu hari setelah acara pindah, Kanaya disibukkan oleh bagaimana cara memberi kejutan pada Hayden karena pria itu akan berulang tahun Minggu depan. Kanaya mencari hadiah paling cocok untuk seorang pria dan ingin memastikan jika pria itu akan memakai setiap hari benda yang dihadiahkan olehnya. Dan pilihan Kanaya terjatuh pada kalung. Membayangkan betapa tampannya Hayden memakai kalung yang menggantung sempurna di leher indahnya.Selagi Hayden bekerja, Kanaya meminta pada supir pribadinya agar pergi bersama. Gadis itu mulai mendatangi gedung tempat pemesanan aksesoris berada. Ia memesan dua buah kalung sekaligus karena ia pun mau. Pesanan pertama adalah berupa kalung dengan bandul berbentuk tabung memanjang yang terukir nama HM.Lucano, dan pesanan kedua hanya berbeda pada ukiran namanya saj
Sesuai dengan yang Hayden janjikan beberapa hari yang lalu, pria itu sudah mempersiapkan diri untuk mengajak Kanaya menikmati matahari sore di atas roof top gedung perusahaannya. Gadis itu tampak bersemangat, Hayden yang sedikit lelah sehabis pulang bekerja pun kembali bersemangat karena melihat Kanaya yang bersemangat pula."Kau tidak akan mendorongku dari ketinggian bukan?" tanya Kanaya yang kini tengah berada di dalam mobil yang sama dengan Hayden. "Kau gila?" tanya Hayden membuat tawa Kanaya pecah. Gadis itu sangat suka melihat raut wajah Hayden yang panik, khawatir ataupun takut. Pria itu memiliki sisi menggemaskan juga menurutnya. Entah menurut orang lain."Mendorongmu saja aku tidak pernah," ujar Hayden dengan raut wajah kesalnya. Kanaya terkikik geli dan meminta maaf pada pria itu karena telah mengatakan hal yang tidak-tidak.Sesampainya di kantor, suasana di sana lumayan sepi dengan beberapa karyawan kantor yang memilih lembur. Hayden segera membawa Kanaya ke atas sana, tak lu