"Maksudnya apa? Kenapa Om tidak mengijinkan aku masuk ke keluarga Rendy?""Kamu pikir kakakku akan begitu saja menerima gadis pembohong sepertimu? Apalagi kalau dia tahu bahwa sesungguhnya kamu sekarang tidak hamil. Kamu tidak akan mempunyai tempat di sana.""Jadi Om mau memaafkan aku?""Pikirkan saja olehmu. Apakah ada seorang pria yang begitu mudah memaafkan wanita yang telah menjebaknya dalam sebuah pernikahan. Wanita yang sudah menghancurkan masa depannya dan mimpinya tentang sebuah rumah tangga yang bahagia." Setelah itu Om Do keluar dari kamar dan menutup pintu dengan kasar. Aku terhenyak, baru kali ini melihat pria itu marah. Satu sudut hatiku merasa lega karena suamiku sudah tahu kebenarannya. terlepas dia mau marah atau tidak. Apa? Tanpa sadar barusan aku sudah menyebut pria itu dengan sebutan suamiku.Aku pikir Om Do tidak akan begitu marah padaku, sebab akhirnya dia tahu kalau aku tidak hamil dan itu artinya aku gadis yang bisa menjaga kesuciannya. Selama ini dia selalu men
Om Do benar-benar mengunci mulutnya, ketika dia mengantarku kuliah sampai menjemput, tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Hingga malam pun tiba, pria itu masih membisu.Walau bagaimana akulah yang bersalah, tapi bukankah aku sudah minta maaf padanya. Kenapa Om Do jadi se-egois ini. Kalau memang dia membenciku, apa salahnya dia melepaskan aku. Biarkan aku kembali ke rumah Mama tanpa mempedulikan aku, apapun perlakuan Om Dimas terhadapku.Kalau memang dia kasihan padaku kenapa aku malah dicuekin."Sekali lagi aku minta maaf, Om." Aku mencoba berbicara lagi setelah satu kali dua puluh empat jam, siapa tahu Om Do mau membuka suara. Tapi tetap saja, pria itu hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada laptopnya. Entah apa yang dikerjakannya dan apa pekerjaan sebenarnya, yang jelas sekarang aku tahu bahwa toko ini adalah usaha sampingan Om Do, pantas saja ia mempunyai mobil sebagus itu, rupanya ada pekerjaan lain selain penghasilan dari toko."Om tahu 'kan posisiku bagaimana. Bukan
Akan tetapi, setelah beberapa saat kami hanya saling diam. Setelah merapikan kerudungku aku meraih gagang trolly bag lalu menyeretnya menuju pintu. Sampai sini aku masih berharap Om Do menahanku dan memanggilku untuk kembali. Tapi aku harus kecewa karena dia tetap tidak bergerak dan tidak bersuara.Tiba di lantai bawah aku menghubungi Mitha, dialah satu-satunya yang bisa kuharapkan. Aku meminta dia menjemputku dengan tidak banyak pertanyaan."Nanti aku jelaskan di rumah Lo." Hanya itu yang aku sampaikan setelah itu aku mengirimkan lokasi di mana aku berada.Aku celingukan menengok ke sekeliling. Berada di pinggir jalan dalam keadaan gelap cukup membuat bulu kudukku berdiri. Lagian kenapa sih, Om Do tidak menyusulku atau menahanku untuk tidak pergi. Padahal maksudku tadi, aku hanya menggertaknya. Siapa tahu dengan begitu dia terpancing untuk mau berbicara denganku.Tapi nyatanya pria itu tetap diam. Malah seperti yang tidak menghiraukan aku, apa aku mau bertemu Om Dimas atau tidak. Pad
"Jujur saja Gue butuh perlindungan. Om Do juga mandiri, selain punya usaha toko tersebut, Gue yakin dia punya usaha lain. Sebab setiap hari dia enggak ada di toko, dia keluar tapi gue belum tahu ngapain. Gue pikir Om Do juga gak sengsara-sengsara amat. Mobil dia mahal loh, sama kaya milik Mama Gue di rumah."Mitha terbelalak ketika aku menyebutkan merek mobilnya."Serius!""Gue juga heran, awalnya Gue kira itu mobil punya temannya. Tapi ternyata mobil dia, soalnya setiap hari dia pakai mobil itu.""Lalu kenapa Lo sampai kabur? Apa dia KDRT atau Lo nggak sanggup melayani hasratnya yang berlebihan?""Bukan, bukan itu. Gue belum disentuh sama dia."Mitha kembali terbelalak."Eh, jangan-jangan laki Lo itu enggak normal, La. Masa nikah udah segitu lama kalian belum berhubungan?"Lalu aku menceritakan semuanya, tentang kehidupan rumah tanggaku bersama Om Do, tentang sifatnya yang keras dan dingin, tentang prinsipnya, tentang kehidupan beragamanya yang kental, dan yang terakhir kali aku ceri
"Om Do kenapa tadi tak nahan gue ya? Terus kenapa sekarang dia enggak telepon gue terus nanyain gue dimana." Aku merebahkan diri lalu menatap langit-langit kamar Mitha."Emang sepenting apa Lo buat dia? Ngarep aja Lo!" Mitha menoyor kepalaku."Gue kan istrinya.""Istri durhaka, udah pergi tanpa pamit hahaha." Mitha terbahak."Lo kok jadi ngeledek?""Yang ada, suami Lo bersyukur karena Lo pergi. Terus dia kawin sama calon istrinya." Mitha kembali tertawa.Dia gak tahu kalau ucapannya itu membuatku semakin kesal. Bagaimana kalau beneran Om Do merasa bahagia aku kabur terus dia kawin lagi. Duh!Seketika aku bangkit lagi lalu duduk bersila di hadapan Mitha. Kuraih ponsel yang tergeletak tak jauh dariku. Membuka aplikasi WhatsApp dan mengintip profil Om Do. Online. Tiba-tiba seperti ada yang mencubit hatiku, sakit dan perih. Pria itu online tapi tidak menanyakan keberadaanku. "Ikh, sebel!!" Aku melempar ponsel sembarangan."Lala? Lo ngomong sama siapa?" "Sama jin!" "Ish!!""Sama ponsel
"Ada apa, La?" tanya Mitha antusias, mungkin karena melihat raut wajahku yang cemas."Mama masuk rumah sakit, asmanya kambuh. Barusan Om Dimas yang menelepon menggunakan nomor Mama.""Terus?""Gue harus ke sana.""Enggak apa-apa, gue antar. Ayo!" Mitha bangkit sambil merapikan rambutnya."Enggak!" Aku menggeleng sambil tetap duduk di atas kasur."Kenapa? Bukankah Mama Lo di rumah sakit, kita harus segera ke sana, La ""Kita berdua?!" Aku menyipit."Terus sama siapa lagi?" Mitha juga memicing."Gak mungkin, masa kita datang berdua ke rumah sakit. Nanti mama akan mempertanyakan kenapa gue malam-malam seperti ini ke rumah sakit tanpa Om Do. Lagian gue tidak berani berhadapan dengan pria itu.""Kan ada Gue."Aku menggeleng. Berangkat berdua bersama Mitha malam-malam seperti ini dan harus berhadapan dengan om Dimas? Aku tidak mau."Oke, kalau begitu kita minta antar sama supir gue aja."Aku tetap menggeleng."Ya terus gimana?"Aku membuang nafas kasar, ini situasi benar-benar tidak bisa di
Aku mencebik. Awalnya malas harus menelepon Om Do karena belum mau berbicara dengannya. Tapi tidak ada pilihan lain, aku memang harus menelepon dia. Baru saja aku mengangkat ponsel bermaksud menghubunginya, bersamaan dengan itu pintu toko terbuka dan sesaat setelahnya pria itu nampak keluar dengan wajah datar.Aku ragu untuk bicara duluan, akhirnya hanya saling pandang dengan Mitha."Aku ... " "Lala pergi ke rumahku, Om, tadi dia yang memintaku menjemputnya di sini. Aku gak tahu dan gak mau tahu urusan kalian, tapi sekarang Lala balik karena barusan ada telepon, katanya Mamanya di rumah sakit." Tanpa diminta Mitha membantuku untuk menjelaskan."Terima kasih, Mitha, sudah menjaga istri saya," jawab Om Do sambil tersenyum ke arah Mitha.Dia tersenyum? Apa karena pada Mitha? Atau memang dia tidak marah?"Kalau begitu, aku permisi ya, Om. Lala sudah aku kembalikan pada yang berhak. Baru saja beberapa jam katanya dia sudah kangen sama suaminya. Hihihi .... " Refleks aku mencubit lengan M
Hampir satu jam kami di perjalanan, tanpa suara. Begitu sampai di rumah sakit, kami langsung menuju ruangan tempat Mama dirawat. Beberapa menit yang lalu Om Dimas mengirimkan nama ruangannya melalui ponsel Mama."Mama," ucapanku lirih ketika melihat Mama terbaring dengan alat bantu pernafasan. Om Dimas yang duduk di sofa tak jauh dari ranjang tempat Mama berbaring segera berdiri ketika melihat kami datang. Mama hanya melirikku dengan sedikit gerakkan tangannya. "Lala sudah di sini, Ma. Mama cepet sembuh, ya." Aku mendekat dan mengusap lengan Mama. Wanita yang telah melahirkan aku itu mengangguk dengan sedikit senyuman. "Mama pasti kecapean," lanjutku sambil menatapnya."Mama kamu itu pekerja keras, La. Kalau tidak diingatkan mana ada waktu untuk makan dan beristirahat." Tanpa diminta, Om Dimas menjelaskan.Mendengar pria itupun bersuara, aku hanya melihatnya sekilas. Di depan Mama, aku berusaha untuk bersikap biasa saja pada Papa tiriku itu. Jelas saja Mama bekerja keras, karena