Share

3. Hanya Singkong

"Bund, aku lapar," lirih Salwa,

"B - bunda, pergi dulu. Salwa tunggu di sini," Arumi berlari keluar rumah. Berharap jika putrinya makan hari ini.

"Assalamualaikum, Bu,"

"Mau apa kamu? Jangan bilang kalau kamu mau minta makan?" Bu Laras, wanita yang melahirkan suaminya menatapnya dingin.

"Bu, tolong berikan sepiring nasi untuk Salwa. Di .."

"Emang Ibu pikirin. Sana pergi kamu, jadi mantu kok nggak mikir. Mau enaknya aja!" sentak Bu Laras.

"Tunggu!"

"Kamu mau minta nasi sama lauk, kan?" Arumi mengangguk cepat.

"Akan Ibu kasih. Tapi kamu bersihkan rumah ini dan setrika baju yang di sana. Sebelum semua selesai Ibu nggak akan memberikan nasi padamu,"

"Bu, aku akan kerjakan semuanya. Tolong berikan sepiring nasi dulu buat Salwa. Apa ibu tega membiarkan cucu Ibu kelaparan?" ucap Arumi mengiba.

"Ibu, nggak peduli. Lagi pula anak itu terlahir dari rahim wanita seperti kamu. Bisa-bisa dia sama kayak kamu bikin sial!"

"Ibu,"

"Apa. Nggak suka? Makanya jadi istri jangan cuma ongkang-ongkang kaki. Bikin susah aja!"

"Cepetan kerjakan!" sambung Bu Laras.

"Bu .." Arumi mengurungkan niatnya. Ia bekerja dengan cepat namun tak lama suara yang amat ia kenali terdengar lirih tak jauh darinya.

"Bund, bunda,"

"Salwa. Kenapa nyusul bunda, nak?" Arumi memeluk tubuh mungil Salwa.

"Aku lapar, bund," lirih bahkan suara itu terdengar seperti berbisik.

Tes!

"Sayang, tunggu di sini ya," Arumi memberikan segelas air putih pada Salwa. Di lihatnya makanan lezat di atas meja. Namun Arumi tak memiliki keberanian untuk mengambilnya meski sedikit untuk putrinya. Ia mencari gula merah.

"Alhamdulillah, ketemu," gumam Arumi.

"Sayang, ini permen. Enak banget, kamu hisap ya, nak, tunggu sampai Bunda menyelesaikan tugas dari nenek," Salwa mengangguk. Tanpa mikir panjang Arumi mengerjakan tugas yang sudah di perintahkan ibu mertuanya. Begitu cepat sampai ia tak lagi melihat putrinya yang berada di dapur lebih tepatnya di halaman belakang. Sebab Bu Laras tidak mengijinkan Salwa masuk ke rumah.

Dua jam Arumi menyelesaikan pekerjaan ia pun memanggil Bu Laras.

"Ibu, tugas sudah selesai. Apa bisa aku minta sepiring nasi? Salwa menunggu di belakang,"

"Hem." Sahut Bu Laras.

"Nih, ambil." Bu Laras menyodorkan sepiring kecil, singkong rebus yang sudah keras.

"Bu, apa bisa aku minta nasi? Untuk Salwa,"

"Mau ambil ini silahkan. Kalau nggak mau kembalikan. Anak kamu kelaparan itu bukan urusan Ibu, sana pergi!" Bu Laras, berkacak pinggang melihat wajah Arumi yang ragu.

"Bu, aku,"

"Apa. Kamu pikir setelah mengerjakan semua ini ibu bakalan ngasih kamu nasi? Oh, tidak. Jangan mimpi kamu. Lagian baguslah kalau anak sialan itu kelaparan, lagi pula makanan di meja itu punya anak dan cucu kesayangan ibu. Udah sana pergi Ibu nggak mau ya, rumah bersih jadi kotor lagi gara-gara kalian berdua!" sentak Bu Laras. Arumi membawa singkong yang entah kapan di rebusnya.

"Dasar mantu benalu. Bikin emosi aja, seenaknya mau ambil makanan mahal. semua ini khusus untuk mereka yang berkelas bukan kamu dan keluarga kamu yang miskin itu."

Arumi mempercepat langkahnya umpatan demi umpatan terdengar begitu jelas di telinganya baginya itu hal yang biasa.

Langkahnya terhenti melihat tubuh yang berbaring di atas tanah beralaskan tikar usang.

"Sayang maafkan bunda. Setelah ini bunda tidak akan membiarkan kamu kelaparan lagi,"

"Ck, ada orang miskin di sini. Abis ngemis ya? Kenapa nggak sekalian di lampu merah? Di sana pasti kalian dapet lebih banyak, kalau nggak percaya coba aja ke sana," sindir Andara.

"Bener yang kamu bilang. Di sana tempat yang paling cocok untuk kalian yang miskin dan tak berpendidikan. Heran aku kenapa suamiku punya adik kayak begini, selain miskin kalian juga memalukan. Udah sana ngapain liatin kita? Mau baju mahal kayak gini? Perhiasan yang kita pake ini? Mimpi sono!" Entik tak kalah angkuhnya berusaha untuk menjatuhkan mental Arumi. Bagi mereka adalah hiburan setelah penat seharian di kantor.

"Masih di sini? Pulang sana bikin empet aja. Dasar gembel!" Bu Laras, dan dua menantu kesayangannya tertawa lepas melihat Arumi yang menggendong Salwa dan di tangan kanannya sepiring kecil singkong yang sudah tidak layak untuk di makan.

Sepanjang jalan sampai ke rumah air mata Arumi tak hentinya mengalir. Apa yang bisa ia lakukan untuk mengenyangkan perut putrinya. Di hina hal biasa tetapi hari ini, hatinya begitu sakit putrinya di perlakukan tidak adil terlebih melihat tubuh mungilnya tergeletak di atas tikar lusuh.

"Dek, kamu dari mana? Mas cari-cari dari tadi nggak ada, jangan bilang kalau kamu ke rumah ibu?" Bayu mengambil alih Salwa yang terlelap dalam gendongan Arumi.

"Mas,"

"Mas tahu. Makanya mas pulang bawa dua bungkus nasi, kamu makan, ya. Kebetulan mas minta sayurnya di pisah,"

"Maafkan mas, dan keluarga mas, dek. Mereka memang bukan manusia. Entah apa yang cocok untuk gelar mereka," sambungnya membelai rambut Arumi yang tertutup kerudung.

"Sudahlah mas, kamu sudah makan?" tanya Arumi. Apa yang di lakukan keluarga suaminya bukan kesalahan pria yang kini tertunduk di depannya.

"Sudah, mas balik lagi ke pabrik. Mas pulang cuma antar nasi, oh, ya, ini kamu pegang kalau ibu tanya, bilang mas belum gajian. Berhenti untuk memberikan apa yang mereka minta. Ini hak kamu dan anak kita,"

"Ya, mas,"

"Bund, aku boleh makan?"

"Ya, sayang, ayok kita makan," Arumi membuka bungkusan untuk putrinya sengaja ia simpan miliknya untuk sore nanti. Singkong pemberian ibu mertuanya sudah ia goreng. Saat tengah menyuapi Salwa terdengar suara teriakan dari luar siapa lagi pelakunya kalau bukan Ibu.

"Arumi, kamu mencuri uang ibu ya? Mana sini balikin, dasar maling. Udah di kasih makan ngelunjak lagi, kamu!"

"Uang? Uang apa yang ibu maksud? Aku nggak ambil uang ibu,"

"Halah, bohong kamu. Cepetan sini, kamu pikir Ibu percaya sama kamu? Perempuan kampungan seharusnya kamu jangan tinggal di sini. Bikin sakit mata saja kamu?"

"Udah bu, kalau dia nggak mau ngaku kita geledah aja rumahnya. siapa tahu dia sudah menyembunyikan uang itu jauh dari jangkauan kita, kita bongkar aja kamarnya pasti ada di lemari," Andara menimpali Bu Laras.

"Benar yang dikatakan kamu, kalau Arumi menyembunyikan uang Ibu di lemari, ayok geledah saja sekarang."

"Tunggu! Aku tidak menyimpan uang apa pun di rumah ini,"

"Bohong. Minggir kamu, biar Ibu periksa!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status