Share

2. Hina

"Arumi. Kamu yang bener aja, masa cuma masak. Lihat rumah berantakan halaman depan, belakang semua berantakan, bisa kerja apa nggak sih kamu? Jadi perempuan jangan malas. Dasar kampungan!" ujar Bu Laras, menyerahkan kasar sapu di depan Arumi.

"Bu, semua kerjaan sudah aku selesaikan. Kasihan kalau aku kelamaan di sini. Salwa sendiri di rumah," sahut Arumi, melihat halaman yang berantakan karena ulah wanita bergelar mertuanya.

"Emang ibu pikirin. Anak kamu itu miskin kayak kamu, buat apa Ibu kasihan. Sudah sana selesaikan kerjaan kamu. Ingat jangan pulang sebelum bersih semua!" Bu Laras berbalik meninggalkan Arumi yang hanya diam di tempat. Melihat sekeliling yang terlihat begitu berantakan bayangan wajah polos putrinya terlintas di benaknya.

Empat jam sudah meninggalkannya di rumah tetangga tanpa memberikan uang sepeser pun. Helaan napas panjang terdengar, Arumi meraih sapu melanjutkan pekerjaan yang sebenarnya sudah bersih.

"Kalau kerja itu lihat depan dan bawah. Bukan lihat sekeliling, kamu pikir ibu pergi? Bisa hilang semua barang berharga di rumah ini kalau ibu meleng." Bu Laras, duduk di ruang tamu melihat Arumi yang tengah merapikan ulang bunga yang berantakan lagi, entah siapa pelakunya.

"Mau kemana lagi, kamu?" sambung Bu Laras, berkacak pinggang di depan pintu yang berhasil mengejutkan Arumi.

"Bu, tugas aku selesai. Aku harus pulang," pamit Arumi. Namun baru berapa langkah suara ibu mertuanya kembali terdengar.

"Enak, aja. Makanya jadi mantu itu berguna sedikit. Punya anak miskin, sekarang punya mantu nggak kalah miskinnya. Sial amat hidupku ini, ya. Hei! Arumi, kamu pikir bisa pulang gitu aja? Kamu harus cuci semua baju ini. Kamu nggak lupa kan, kalau dua menantu ibu sibuk. Nggak kaya kamu, cuma bisanya ongkang-ongkang kaki. Jadi orang berguna sedikit, sana pergi." Sentak Bu Laras.

"Bu, aku,"

"Apa. Mau menolak? Kamu pikir tinggal di rumah ibu itu gratis? Kalau numpang itu tahu diri. Jangan seenaknya sendiri tanpa tahu balas Budi. Apa kamu mau keluar dari rumah itu, hah?" ancam Bu Laras.

"Bukan itu Bu, setidaknya lakukan untuk cucu ibu," ujar Arumi mengiba.

"Cucu. Cucu yang mana? Ibu nggak merasa punya cucu dari kalian. Kalian itu bikin malu keluarga saja, sudah miskin nggak ada pinter-pinter nya. Coba berguna dikit kalian," ujar Bu Laras, tanpa merasa bersalah.

"Bu, salah aku apa? Kenapa ibu begitu membenci, aku?" tanya Arumi. Lelah selalu di salahkan dan di hina.

"Sudah kerjakan semua pekerjaan kamu. Ibu sudah nggak tahan di dekat kamu. Selain miskin kamu juga menyebalkan!" Bu Laras, meninggalkan Arumi yang terpaku di depan gundukan pakaian kotor.

Tumpukan baju kotor yang entah dari mana asalnya kini teronggok di depannya. Jika Arumi mengerjakan semuanya sudah di pasti akan pulang lebih lama lagi.

"Eh, bengong. Kamu pikir kalau cuma di liatin itu baju bakalan cepet selesai? Arumi, Arumi. Jadi orang itu cepet ngerjainnya," Bu Laras kembali berdiri tidak jauh dari Arumi.

"Bu, aku pulang dulu ya. Kasihan Salwa sendirian di rumah," ijin Arumi.

"Nggak. Berapa kali ibu bilang, itu bukan urusan ibu, kamu selesaikan tugas kamu, sebelum selesai kamu di larang pulang. Cepetan sana kerjakan!" Arumi, hanya bisa mengelus dada. Ibu mertuanya begitu tidak adil pada keluarganya.

"Woi! Kerja jangan ngalamin. Nih, cuci secara pisah, nggak boleh kamu sikat cukup kucek aja pelan-pelan. Ini baju mahal kalau rusak kamu nggak bisa gantinya. Mau tau berapa harganya?" ujar Andara, Arumi hanya menggeleng pelan.

"Sepuluh juta. Kaget kan? Makanya kamu harus pelan jangan sampai rusak. Kamu ngerti nggak, sih?"

"Ada apa ini? Kenapa suara kamu terdengar sampai ke kamar ibu?" Andara berbalik mendapati Ibu mertuanya yang berjalan menghampiri mereka.

"Ini, loh, Bu. Arumi di bilangin ngeyel, mana lihat baju mahal aku di campur sama baju yang lain," rengek Andara.

"Benar begitu Arumi? Bisa nggak sih lima menit saja kamu nggak bikin ulah di rumah ini?"

"Bu, aku nggak salah, mbak Andara sendiri yang melempar ke tumpukan baju kotor yang lain," Arumi menjelaskan jika dirinya tak melakukan kesalahan yang di dituduhkan oleh Andara.

"Berani kamu membantah? Sadar diri dong jadi orang. Hidup kalian itu karena belas kasihan kami, kalau nggak, kalian akan tinggal di kolong jembatan!" seru Bu Laras.

"Astaghfirullahaladzim, ibu, aku ..."

"Sudah. Kamu ingin aku cepat mati? Sehingga kamu bisa bebas menikmati harta Ibu. Dasar licik kamu, hartaku nggak akan jatuh ke tangan kamu. Cuma anak kesayangan yang akan menikmatinya," ucap Bu Laras, berapi-api.

"Berapa kali aku bilang. Kamu akan menjadi pembantu di rumah suamimu. Dan aku, hanya menjadi menantu kesayangan ibu. Kamu memang layak di perlakuan kasar seperti ini. Tunggu saja kamu akan semakin menderita, satu lagi tentu dengan hinaan yang selalu kamu dapatkan bersama suamimu." Ujar Andara, penuh kelicikan.

"Aduh, ibu!" sambung Andara. Bu Laras kembali kali ini ia terkejut dengan pemandangan di depannya. Menantu kesayangan duduk di lantai tepat di depan Arumi.

"Hei, menantu miskin apa yang sudah kamu lakukan pada Andara? Kamu tunggu hukuman dari ibu,"

"Sayang, kamu nggak apa-apa nak? Ayok, ibu bantu,"

"Sakit, Bu, Arumi mendorongku. Dia nggak terima ibu marahi," ucap Andara di sela isak tangisnya,"

"Apa. Jadi ini ulah mantu nggak tahu diri itu?" Bu Laras, berdiri tangannya mendarat tepat di pipi kanan Arumi.

Plakk!!

"Kamu adalah orang yang paling jahat yang pernah Ibu lihat. Hari ini aku nggak akan mengizinkan kamu membawa apapun dari rumah ini. Ingat apa yang kamu lakukan pada menantu kesayanganku akan mendapatkan balasan."

Prang!!

"Ambil makanan itu. Kalian hanya orang miskin rendahan, kalian pantas memungut makanan dari bawah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status