"Arumi. Kamu yang bener aja, masa cuma masak. Lihat rumah berantakan halaman depan, belakang semua berantakan, bisa kerja apa nggak sih kamu? Jadi perempuan jangan malas. Dasar kampungan!" ujar Bu Laras, menyerahkan kasar sapu di depan Arumi.
"Bu, semua kerjaan sudah aku selesaikan. Kasihan kalau aku kelamaan di sini. Salwa sendiri di rumah," sahut Arumi, melihat halaman yang berantakan karena ulah wanita bergelar mertuanya. "Emang ibu pikirin. Anak kamu itu miskin kayak kamu, buat apa Ibu kasihan. Sudah sana selesaikan kerjaan kamu. Ingat jangan pulang sebelum bersih semua!" Bu Laras berbalik meninggalkan Arumi yang hanya diam di tempat. Melihat sekeliling yang terlihat begitu berantakan bayangan wajah polos putrinya terlintas di benaknya. Empat jam sudah meninggalkannya di rumah tetangga tanpa memberikan uang sepeser pun. Helaan napas panjang terdengar, Arumi meraih sapu melanjutkan pekerjaan yang sebenarnya sudah bersih. "Kalau kerja itu lihat depan dan bawah. Bukan lihat sekeliling, kamu pikir ibu pergi? Bisa hilang semua barang berharga di rumah ini kalau ibu meleng." Bu Laras, duduk di ruang tamu melihat Arumi yang tengah merapikan ulang bunga yang berantakan lagi, entah siapa pelakunya. "Mau kemana lagi, kamu?" sambung Bu Laras, berkacak pinggang di depan pintu yang berhasil mengejutkan Arumi. "Bu, tugas aku selesai. Aku harus pulang," pamit Arumi. Namun baru berapa langkah suara ibu mertuanya kembali terdengar. "Enak, aja. Makanya jadi mantu itu berguna sedikit. Punya anak miskin, sekarang punya mantu nggak kalah miskinnya. Sial amat hidupku ini, ya. Hei! Arumi, kamu pikir bisa pulang gitu aja? Kamu harus cuci semua baju ini. Kamu nggak lupa kan, kalau dua menantu ibu sibuk. Nggak kaya kamu, cuma bisanya ongkang-ongkang kaki. Jadi orang berguna sedikit, sana pergi." Sentak Bu Laras. "Bu, aku," "Apa. Mau menolak? Kamu pikir tinggal di rumah ibu itu gratis? Kalau numpang itu tahu diri. Jangan seenaknya sendiri tanpa tahu balas Budi. Apa kamu mau keluar dari rumah itu, hah?" ancam Bu Laras. "Bukan itu Bu, setidaknya lakukan untuk cucu ibu," ujar Arumi mengiba. "Cucu. Cucu yang mana? Ibu nggak merasa punya cucu dari kalian. Kalian itu bikin malu keluarga saja, sudah miskin nggak ada pinter-pinter nya. Coba berguna dikit kalian," ujar Bu Laras, tanpa merasa bersalah. "Bu, salah aku apa? Kenapa ibu begitu membenci, aku?" tanya Arumi. Lelah selalu di salahkan dan di hina. "Sudah kerjakan semua pekerjaan kamu. Ibu sudah nggak tahan di dekat kamu. Selain miskin kamu juga menyebalkan!" Bu Laras, meninggalkan Arumi yang terpaku di depan gundukan pakaian kotor. Tumpukan baju kotor yang entah dari mana asalnya kini teronggok di depannya. Jika Arumi mengerjakan semuanya sudah di pasti akan pulang lebih lama lagi. "Eh, bengong. Kamu pikir kalau cuma di liatin itu baju bakalan cepet selesai? Arumi, Arumi. Jadi orang itu cepet ngerjainnya," Bu Laras kembali berdiri tidak jauh dari Arumi. "Bu, aku pulang dulu ya. Kasihan Salwa sendirian di rumah," ijin Arumi. "Nggak. Berapa kali ibu bilang, itu bukan urusan ibu, kamu selesaikan tugas kamu, sebelum selesai kamu di larang pulang. Cepetan sana kerjakan!" Arumi, hanya bisa mengelus dada. Ibu mertuanya begitu tidak adil pada keluarganya. "Woi! Kerja jangan ngalamin. Nih, cuci secara pisah, nggak boleh kamu sikat cukup kucek aja pelan-pelan. Ini baju mahal kalau rusak kamu nggak bisa gantinya. Mau tau berapa harganya?" ujar Andara, Arumi hanya menggeleng pelan. "Sepuluh juta. Kaget kan? Makanya kamu harus pelan jangan sampai rusak. Kamu ngerti nggak, sih?" "Ada apa ini? Kenapa suara kamu terdengar sampai ke kamar ibu?" Andara berbalik mendapati Ibu mertuanya yang berjalan menghampiri mereka. "Ini, loh, Bu. Arumi di bilangin ngeyel, mana lihat baju mahal aku di campur sama baju yang lain," rengek Andara. "Benar begitu Arumi? Bisa nggak sih lima menit saja kamu nggak bikin ulah di rumah ini?" "Bu, aku nggak salah, mbak Andara sendiri yang melempar ke tumpukan baju kotor yang lain," Arumi menjelaskan jika dirinya tak melakukan kesalahan yang di dituduhkan oleh Andara. "Berani kamu membantah? Sadar diri dong jadi orang. Hidup kalian itu karena belas kasihan kami, kalau nggak, kalian akan tinggal di kolong jembatan!" seru Bu Laras. "Astaghfirullahaladzim, ibu, aku ..." "Sudah. Kamu ingin aku cepat mati? Sehingga kamu bisa bebas menikmati harta Ibu. Dasar licik kamu, hartaku nggak akan jatuh ke tangan kamu. Cuma anak kesayangan yang akan menikmatinya," ucap Bu Laras, berapi-api. "Berapa kali aku bilang. Kamu akan menjadi pembantu di rumah suamimu. Dan aku, hanya menjadi menantu kesayangan ibu. Kamu memang layak di perlakuan kasar seperti ini. Tunggu saja kamu akan semakin menderita, satu lagi tentu dengan hinaan yang selalu kamu dapatkan bersama suamimu." Ujar Andara, penuh kelicikan. "Aduh, ibu!" sambung Andara. Bu Laras kembali kali ini ia terkejut dengan pemandangan di depannya. Menantu kesayangan duduk di lantai tepat di depan Arumi. "Hei, menantu miskin apa yang sudah kamu lakukan pada Andara? Kamu tunggu hukuman dari ibu," "Sayang, kamu nggak apa-apa nak? Ayok, ibu bantu," "Sakit, Bu, Arumi mendorongku. Dia nggak terima ibu marahi," ucap Andara di sela isak tangisnya," "Apa. Jadi ini ulah mantu nggak tahu diri itu?" Bu Laras, berdiri tangannya mendarat tepat di pipi kanan Arumi. Plakk!! "Kamu adalah orang yang paling jahat yang pernah Ibu lihat. Hari ini aku nggak akan mengizinkan kamu membawa apapun dari rumah ini. Ingat apa yang kamu lakukan pada menantu kesayanganku akan mendapatkan balasan." Prang!! "Ambil makanan itu. Kalian hanya orang miskin rendahan, kalian pantas memungut makanan dari bawah.""Bund, aku lapar," lirih Salwa, "B - bunda, pergi dulu. Salwa tunggu di sini," Arumi berlari keluar rumah. Berharap jika putrinya makan hari ini."Assalamualaikum, Bu,""Mau apa kamu? Jangan bilang kalau kamu mau minta makan?" Bu Laras, wanita yang melahirkan suaminya menatapnya dingin."Bu, tolong berikan sepiring nasi untuk Salwa. Di .." "Emang Ibu pikirin. Sana pergi kamu, jadi mantu kok nggak mikir. Mau enaknya aja!" sentak Bu Laras."Tunggu!" "Kamu mau minta nasi sama lauk, kan?" Arumi mengangguk cepat. "Akan Ibu kasih. Tapi kamu bersihkan rumah ini dan setrika baju yang di sana. Sebelum semua selesai Ibu nggak akan memberikan nasi padamu,""Bu, aku akan kerjakan semuanya. Tolong berikan sepiring nasi dulu buat Salwa. Apa ibu tega membiarkan cucu Ibu kelaparan?" ucap Arumi mengiba."Ibu, nggak peduli. Lagi pula anak itu terlahir dari rahim wanita seperti kamu. Bisa-bisa dia sama kayak kamu bikin sial!""Ibu,""Apa. Nggak suka? Makanya jadi istri jangan cuma ongkang-ongkang k
"Uang apa yang ibu maksud? Aku nggak ambil uang ibu," "Halah, bohong kamu. Cepetan sini," "Bu, aku nggak ada uang. Lagi pula yang ibu bilang ini apa? Aku nggak tahu menahu tentang uang Ibu,""Halah, maling mana ngaku. Kalau ngaku penjara penuh dong!""Ibu tunggu sampai Bayu pulang, kalian harus ganti rugi. Kalau kamu nggak ngaku siap-siap kalian keluar dari rumah ini, ingat itu!" sambung Bu Laras, sebelum pergi dari rumah Arumi.Arumi menghela napas selepas kepergian Bu Laras, lelah menunggu namun Bayu tak kunjung pulang. Arumi menghampiri Salwa yang sedang makan sendirian, ia tahu tatapan putrinya yang sendu."Cantiknya bunda kenapa? Ayok, habiskan makannya," ujar Arumi, bibirnya tersenyum walau hatinya berkecamuk. Setelah ini semua akan menjadi pertengkaran yang cukup pelik tentu Ibu mertua yang menjadi pemenangnya. Setelah memberikan pengertian pada Salwa akhirnya gadis kecil itu pun pergi ke masjid walau wajahnya terlihat begitu sendu."Assalamualaikum, dek," "Wa'alaikumsalam,
"I – ibu,""Apa! Mau marah? Atau kamu mau mengelak lagi hah? Dasar mantu menyusahkan. Kamu lagi masih kecil bermain ambil makanan yang bukan punya kamu. Sini, kamu bisa makan nanti kalau ada sisanya!" Bu Laras merampas mangkuk yang berada di tangan Salwa. Tanpa belas kasih Bu Laras menghabiskan es campur itu tepat di depan mereka."Bu, tolong berikan sedikit saja untuk Salwa. Biarkan –""Makanya kerja sana. Hidup kok maunya miskin, lihat tuh menantu Ibu mereka hebat-hebat semua nggak kayak kamu itu!""Ibu, kenapa merembet kemana-mana? Aku cuma –""Sudah selesai?" Bu Laras, memperhatikan meja makan hidangan mewah yang ia minta tertata di sana. Begitu mengunggah selera yang melihatnya."Kamu tetap di sini. Sebelum acara selesai kamu dan anak kamu itu di larang keluar, apa lagi sampai bertemu tamu istimewa ibu!" sambung Bu Laras. Tanpa menoleh pada Salwa yang duduk di lantai.Bajunya basah akibat es campur yang tumpah karena ulah Bu Laras."Ya, Bu," sahut Arumi. Menyelesaikan berapa menu
Arumi menyadari semua yang terjadi dalam hidupnya bukan sepenuhnya kesalahan Bayu. Tetapi keluargamu yang tidak menyukainya."Sudah mas, kamu nggak usah minta maaf. Sekarang kamu siap-siap ke rumah Ibu. Tapi, kali ini aku nggak ikut," ujar Arumi, tak ingin pergi yang tentu akan membuatnya terluka."Ya, mas tahu. Sebenarnya mas juga males kalau datang ke rumah ibu apalagi perlakuan keluarga Mas sama kita terutama kamu dan anak kita, terus terang hati mas sangat sakit," lirih Bayu. "Aku baik-baik saja, mas. Sudah sana pergi, keburu malam, soal ganti rugi itu gimana mas?" tanya Arumi, mendorong tubuh Bayu. "Kamu jangan pikirkan ya, mas yang akan bicara sama ibu. Mas pergi sekarang ya, Assalamualaikum," pamit Bayu, tak lupa mengecup kening Arumi."Wa'alaikumsalam," sahut Arumi.Baru beberapa langkah Bayu meninggalkan rumah suara teriakan Salwa berhasil menghentikan langkahku."Ayah, tunggu, aku ikut. Udah lama nggak ketemu kak Vani," rengek Salwa."Gimana dek? Salwa minta ikut mas," ra
Arumi mengabaikan permintaan Yoga. Memilih menyibukkan diri menanam cabe dan bawang di depan rumah."Arumi, tuh di cariin sama Bu Laras. Jadi mantu kok malas, bantuin sana. Jangan cuma numpang hidup sama anaknya tapi nggak mau bantuin mertua." Celetuk Bu Desi.Arumi mengabaikan ucapan tetangga Bu Laras memilih menyelesaikan pekerjaan."Pantas aja Bu Laras marah. Orang mantunya aja nggak tau diri. Kalau aku sih ogah punya mantu kayak gitu, mending Bayu suruh cerai!""Siapa yang mau cerai?" Bu Desi berbalik ia tersenyum melihat sahabatnya ada di sana."Ini loh jeng mantu kamu. Aku bilang kalau aku jadi mertuanya, Bayu sudah aku suruh ceraikan dia. Buat apa punya mantu nggak tau diri kayak dia," ucap Bu Desi."Maunya aku juga gitu. Tapi anakku itu udah di pelet sama dia. Makanya susah bangat suruh cerai,""Ibu ada perlu apa ke sini? Masuk dulu Bu, aku buatkan teh hangat –" ujar Arumi. Tidak ingin semakin panjang, terlebih ada Bu Desi si biang gosip."Nggak perlu. Jijik makan dari rumah k
Ucapan Ibu masih di dengar oleh mereka yang baru berapa langkah meninggalkan rumah penuh kenangan itu. Ucapan yang bagaikan sambaran petir siang solong. Bayu tidak menyangka jika wanita yang ia hormati dan ia sayang Mamou mengatakan yang tidak seharusnya di ucapkan oleh orang tua terlebih Ibu. Firasatnya sebagai seorang suami begitu terasa sehingga Bayu memilih pulang untuk kedua kalinya. Siapa sangka ia harus mendengarkan kebenaran yang selama ini di sembunyikan oleh istrinya. Pantas setiap hari selalu ada aja sisa singkong bahkan Bayu sampai hapal singkong akan di olah berbeda meski dengan bahan yang sama, berbagai macam cemilan tersaji di sana dan itu semua karena ulah Ibunya.Getar ponsel milik Arumi mengalihkan perhatian mereka yang duduk di ruang keluarga. Bayu memangku Salwa sampai tertidur dan Arumi yang sibuk dengan membujuknya agar tidak marah pada Bu Laras.[Assalamualaikum, Arumi. Bagaimana kabar kalian? Sehat kan? Nak jika hari ini tidak sibuk bisa pulang kampung sebenar
Bu Saraswati menundukkan wajahnya menyembunyikan luka yang selama ini ia simpan dari anak dan menantunya. Luka seorang ibu mengetahui putrinya di perlakukan tidak layak di rumah wanita yang bergelar mertuanya sungguh hatinya sakit."Kenapa tabungan ibu berikan pada kami? Bu, maafkan kelancangan aku ini. Tapi, alangkah lebih baiknya jika tabungan itu tetap Ibu dan bapak simpan ya, Arumi dan Salwa adalah tanggung jawab aku. Maafkan atas ucapan aku yang tidak sopan ini buk, pak," tegas Bayu, meski setiap kata yang keluar dari bibirnya lirih dan penuh kesopanan."Kami sudah tua, kalian yang lebih membutuhkan. Gunakan uang ini sebaik mungkin kalian juga bisa membuka usaha agar perekonomian kalian membaik,""Ibu, ayah,""Nak, Bayu. Jaga anak dan cucu ibu, bahagiakan mereka seperti janji kamu. Jangan pernah menyakitinya, lindungilah anak dan cucu Ibu dari orang-orang yang sudah zalim kepadanya hanya inilah permintaan Ibu dan bapak sama kamu dan mengenai uang ini kamu bisa memujudkan impian k
Seperti janji Bayu sebelumnya. Setelah mengantar Arumi dan Salwa ia hanya menginap semalam di rumah orang tua Arumi dan memilih kembali bekerja ada banyak impian yang belum terwujud salah satunya melindungi anak dan istri dari keluarganya."Bayu, mana istrimu itu, hah? Kurang ajar kalian berdua. Sudah hidup numpang seenaknya kalian pergi tanpa bilang, mana istrimu. Suruh dia keluar kerjaan banyak di rumah, jangan enak-enakan kalian. Dasar ipar nggak ada akhlak." Yoga berkacak pinggang, gemuruh amarah yang di pendamnya sejak kemarin saat Arumi tak menunjukkan batang hidungnya. Sehingga pengeluaran Yoga semakin besar. Acara arisan kantor yang sengaja di rumah Ibunya gagal karena Arumi yang memilih pergi tanpa memperdulikan perintahnya."Kamu kenapa mas, datang-datang marah nggak jelas. Sekali-kali datang ke rumah orang itu salam." Ucap Bayu datar."Kurang ajar kamu. Sudah berani sama aku, hah? Kamu lupa aku ini lebih tua dari kamu," Yoga mengerutkan keningnya. Bayu menurunkan tangannya