Arumi menyadari semua yang terjadi dalam hidupnya bukan sepenuhnya kesalahan Bayu. Tetapi keluargamu yang tidak menyukainya."Sudah mas, kamu nggak usah minta maaf. Sekarang kamu siap-siap ke rumah Ibu. Tapi, kali ini aku nggak ikut," ujar Arumi, tak ingin pergi yang tentu akan membuatnya terluka."Ya, mas tahu. Sebenarnya mas juga males kalau datang ke rumah ibu apalagi perlakuan keluarga Mas sama kita terutama kamu dan anak kita, terus terang hati mas sangat sakit," lirih Bayu. "Aku baik-baik saja, mas. Sudah sana pergi, keburu malam, soal ganti rugi itu gimana mas?" tanya Arumi, mendorong tubuh Bayu. "Kamu jangan pikirkan ya, mas yang akan bicara sama ibu. Mas pergi sekarang ya, Assalamualaikum," pamit Bayu, tak lupa mengecup kening Arumi."Wa'alaikumsalam," sahut Arumi.Baru beberapa langkah Bayu meninggalkan rumah suara teriakan Salwa berhasil menghentikan langkahku."Ayah, tunggu, aku ikut. Udah lama nggak ketemu kak Vani," rengek Salwa."Gimana dek? Salwa minta ikut mas," ra
Arumi mengabaikan permintaan Yoga. Memilih menyibukkan diri menanam cabe dan bawang di depan rumah."Arumi, tuh di cariin sama Bu Laras. Jadi mantu kok malas, bantuin sana. Jangan cuma numpang hidup sama anaknya tapi nggak mau bantuin mertua." Celetuk Bu Desi.Arumi mengabaikan ucapan tetangga Bu Laras memilih menyelesaikan pekerjaan."Pantas aja Bu Laras marah. Orang mantunya aja nggak tau diri. Kalau aku sih ogah punya mantu kayak gitu, mending Bayu suruh cerai!""Siapa yang mau cerai?" Bu Desi berbalik ia tersenyum melihat sahabatnya ada di sana."Ini loh jeng mantu kamu. Aku bilang kalau aku jadi mertuanya, Bayu sudah aku suruh ceraikan dia. Buat apa punya mantu nggak tau diri kayak dia," ucap Bu Desi."Maunya aku juga gitu. Tapi anakku itu udah di pelet sama dia. Makanya susah bangat suruh cerai,""Ibu ada perlu apa ke sini? Masuk dulu Bu, aku buatkan teh hangat –" ujar Arumi. Tidak ingin semakin panjang, terlebih ada Bu Desi si biang gosip."Nggak perlu. Jijik makan dari rumah k
Ucapan Ibu masih di dengar oleh mereka yang baru berapa langkah meninggalkan rumah penuh kenangan itu. Ucapan yang bagaikan sambaran petir siang solong. Bayu tidak menyangka jika wanita yang ia hormati dan ia sayang Mamou mengatakan yang tidak seharusnya di ucapkan oleh orang tua terlebih Ibu. Firasatnya sebagai seorang suami begitu terasa sehingga Bayu memilih pulang untuk kedua kalinya. Siapa sangka ia harus mendengarkan kebenaran yang selama ini di sembunyikan oleh istrinya. Pantas setiap hari selalu ada aja sisa singkong bahkan Bayu sampai hapal singkong akan di olah berbeda meski dengan bahan yang sama, berbagai macam cemilan tersaji di sana dan itu semua karena ulah Ibunya.Getar ponsel milik Arumi mengalihkan perhatian mereka yang duduk di ruang keluarga. Bayu memangku Salwa sampai tertidur dan Arumi yang sibuk dengan membujuknya agar tidak marah pada Bu Laras.[Assalamualaikum, Arumi. Bagaimana kabar kalian? Sehat kan? Nak jika hari ini tidak sibuk bisa pulang kampung sebenar
Bu Saraswati menundukkan wajahnya menyembunyikan luka yang selama ini ia simpan dari anak dan menantunya. Luka seorang ibu mengetahui putrinya di perlakukan tidak layak di rumah wanita yang bergelar mertuanya sungguh hatinya sakit."Kenapa tabungan ibu berikan pada kami? Bu, maafkan kelancangan aku ini. Tapi, alangkah lebih baiknya jika tabungan itu tetap Ibu dan bapak simpan ya, Arumi dan Salwa adalah tanggung jawab aku. Maafkan atas ucapan aku yang tidak sopan ini buk, pak," tegas Bayu, meski setiap kata yang keluar dari bibirnya lirih dan penuh kesopanan."Kami sudah tua, kalian yang lebih membutuhkan. Gunakan uang ini sebaik mungkin kalian juga bisa membuka usaha agar perekonomian kalian membaik,""Ibu, ayah,""Nak, Bayu. Jaga anak dan cucu ibu, bahagiakan mereka seperti janji kamu. Jangan pernah menyakitinya, lindungilah anak dan cucu Ibu dari orang-orang yang sudah zalim kepadanya hanya inilah permintaan Ibu dan bapak sama kamu dan mengenai uang ini kamu bisa memujudkan impian k
Seperti janji Bayu sebelumnya. Setelah mengantar Arumi dan Salwa ia hanya menginap semalam di rumah orang tua Arumi dan memilih kembali bekerja ada banyak impian yang belum terwujud salah satunya melindungi anak dan istri dari keluarganya."Bayu, mana istrimu itu, hah? Kurang ajar kalian berdua. Sudah hidup numpang seenaknya kalian pergi tanpa bilang, mana istrimu. Suruh dia keluar kerjaan banyak di rumah, jangan enak-enakan kalian. Dasar ipar nggak ada akhlak." Yoga berkacak pinggang, gemuruh amarah yang di pendamnya sejak kemarin saat Arumi tak menunjukkan batang hidungnya. Sehingga pengeluaran Yoga semakin besar. Acara arisan kantor yang sengaja di rumah Ibunya gagal karena Arumi yang memilih pergi tanpa memperdulikan perintahnya."Kamu kenapa mas, datang-datang marah nggak jelas. Sekali-kali datang ke rumah orang itu salam." Ucap Bayu datar."Kurang ajar kamu. Sudah berani sama aku, hah? Kamu lupa aku ini lebih tua dari kamu," Yoga mengerutkan keningnya. Bayu menurunkan tangannya
Satu minggu berlalu kebahagiaan Arumi bersama kedua orang tuanya dan Salwa begitu terasa, bagaimana tidak. Kedua orang tua Arumi memanjakan anak dan cucunya. Bahkan mereka berjalan-jalan tiap hari."Ibu, bapak, terima kasih. Seharusnya aku yang sebagai anak membahagiakan orang tua, tapi nyatanya justru aku yang di perlakukan sebaliknya," ucap Arumi, merasa bersalah atas apa yang terjadi saat ini. Sungguh hatinya terharu orang tuanya justru memikirkan kebahagiaan dirinya dan cucu semata wayangnya."Kamu bicara apa, nak? Sudah jadi kewajiban orang tua membahagiakan anaknya. Kami jauh lebih bahagia melihat kalian tertawa lepas, tetaplah tersenyum itu keinginan kami, Arumi. Nak, boleh Ibu bertanya?" Bu Saraswati menoleh ke arah Salwa yang berbaring di depan televisi."Ada apa, buk? Tanyakan aja," sahut Arumi, ragu."Apa kamu bahagia bersama dengan Bayu? Maksud Ibu, apa keluarga Bayu memperlakukan kamu dan Salwa baik?" tanya Bu Saraswati, hati-hati.Terdengar helaan napas panjang Arumi. P
"Ibu, jangan, ini buat beli beras. Kasihan Salwa belum makan Bu, aku mohon sisakan untuk makan hari ini, Bu," ucap Arumi mengiba."Sini uang kamu. Mulai hari ini setiap Bayu kasih kamu uang, harus kamu berikan pada ibu dan ini untukmu. Makanan seperti ini yang cocok untuk kamu. Cepetan ambil, nggak perlu dilihatin kayak gitu lagi pula makanan itu tidak akan berubah jadi emas seperti yang kamu khayalkan, itu!" Bu Laras mendorong kasar piring ada di tangannya hingga sebagian isinya jatuh."Bu, kenapa cuma singkong? Aku butuh nasi untuk mas Bayu dan Salwa. Ini nggak mungkin —" ucapan Arumi terhenti tatapan tidak suka terpancar dari sorot mata Bu Laras."Kenapa? Itu cocok untuk kalian bertiga jangan harap Ibu ngasih makanan yang enak untuk kalian. Udah sana pergi dasar orang miskin!!" ucap Bu Laras."Tapi, Bu, ini singkongnya basi, kenapa Ibu tega memberikan makanan ini pada kami, sedangkan ini sudah tidak layak untuk di makan?" Arumi, berusaha untuk menolak. Ia pun menjelaskan jika singk
"Arumi. Kamu yang bener aja, masa cuma masak. Lihat rumah berantakan halaman depan, belakang semua berantakan, bisa kerja apa nggak sih kamu? Jadi perempuan jangan malas. Dasar kampungan!" ujar Bu Laras, menyerahkan kasar sapu di depan Arumi."Bu, semua kerjaan sudah aku selesaikan. Kasihan kalau aku kelamaan di sini. Salwa sendiri di rumah," sahut Arumi, melihat halaman yang berantakan karena ulah wanita bergelar mertuanya."Emang ibu pikirin. Anak kamu itu miskin kayak kamu, buat apa Ibu kasihan. Sudah sana selesaikan kerjaan kamu. Ingat jangan pulang sebelum bersih semua!" Bu Laras berbalik meninggalkan Arumi yang hanya diam di tempat. Melihat sekeliling yang terlihat begitu berantakan bayangan wajah polos putrinya terlintas di benaknya.Empat jam sudah meninggalkannya di rumah tetangga tanpa memberikan uang sepeser pun. Helaan napas panjang terdengar, Arumi meraih sapu melanjutkan pekerjaan yang sebenarnya sudah bersih."Kalau kerja itu lihat depan dan bawah. Bukan lihat sekelilin