Share

4. Ganti Rugi

"Uang apa yang ibu maksud? Aku nggak ambil uang ibu,"

"Halah, bohong kamu. Cepetan sini,"

"Bu, aku nggak ada uang. Lagi pula yang ibu bilang ini apa? Aku nggak tahu menahu tentang uang Ibu,"

"Halah, maling mana ngaku. Kalau ngaku penjara penuh dong!"

"Ibu tunggu sampai Bayu pulang, kalian harus ganti rugi. Kalau kamu nggak ngaku siap-siap kalian keluar dari rumah ini, ingat itu!" sambung Bu Laras, sebelum pergi dari rumah Arumi.

Arumi menghela napas selepas kepergian Bu Laras, lelah menunggu namun Bayu tak kunjung pulang. Arumi menghampiri Salwa yang sedang makan sendirian, ia tahu tatapan putrinya yang sendu.

"Cantiknya bunda kenapa? Ayok, habiskan makannya," ujar Arumi, bibirnya tersenyum walau hatinya berkecamuk. Setelah ini semua akan menjadi pertengkaran yang cukup pelik tentu Ibu mertua yang menjadi pemenangnya.

Setelah memberikan pengertian pada Salwa akhirnya gadis kecil itu pun pergi ke masjid walau wajahnya terlihat begitu sendu.

"Assalamualaikum, dek,"

"Wa'alaikumsalam, mas, kamu sudah pulang?" Arumi menyambut kedatangan Bayu wajahnya begitu lelah namun bukan itu yang membuatnya mengerutkan keningnya tapi sorot matanya yang mengembun.

"Mas," sambung Arumi. Memberikan segelas air putih yang ada di atas meja.

"Di mana Salwa, sayang?"

"Biasa mas di masjid. Katanya ada jam tambahan hari ini jadi pulangnya agak telat. Mas katakan apa yang kamu sembunyikan dariku?" tangan Arumi terulur menyentuh pundak Bayu.

"Hari ini Mas gajian, tapi ..."

"Tapi, apa?"

"Uangnya di ambil ibu semua, katanya kamu sudah mencuri uang ibu dan itu buat gantinya,"

"Astaghfirullahaladzim, mas. Kamu tahu aku kan? Mana mungkin aku mencuri uang ibu kamu, sedangkan aku sendiri selama menjadi menantu di keluarga kamu, aku tidak pernah diizinkan untuk masuk ke dalam rumah kamu kecuali dapur. Apa lagi kamar pribadi Ibu," lirih Arumi.

"Mas, percaya sama kamu dek. Maafkan mas besok kita –"

"Aku tahu mas, bukankah ini sudah biasa? Aku dan Salwa akan kelaparan lagi, bukan karena kita tak punya uang. Tapi ibu kamu yang, sudahlah,"

***

"Rum, Arumi!! Ngapain aja sih kamu?!" seru Bu Laras. Tidak hentinya menggedor pintu rumah Bayu.

"I – ibu, aku lagi jemur baju di belakang Bu. Jadi aku nggak denger ibu panggil," ujar Arumi jujur.

"Alasan aja. Cepat ke rumah masak yang banyak. Hari ini anak, menantu dan cucu Ibu datang. Nggak pake lama!" sentak Bu Laras. Bergidik melihat sekeliling rumah Arumi.

"Salwa masih tidur Bu. Aku ke rumah ibu nunggu –" Arumi menunduk, Laras menatapnya tidak suka.

"Alah, alasan aja kamu itu. Bilang kalau kamu itu malas, wajar sih. Namanya juga mantu m i s k i n." Sinis Bu Laras, tidak terima Arumi menolak perintahnya.

"Ibu duduk dulu, aku buatkan teh hangat sebenar," ujar Arumi menawarkan.

"Ih! Enggak banget deh. Cepetan ibu tunggu di rumah, inget jangan lewat pintu depan, tapi belakang. Nanti kotor semua keramik mahal ibu! Eh, diem aja kamu? Denger nggak sih?" tanya Bu Laras.

"Ya, Bu, aku inget dan dengar," lirih Arumi.

Tanpa bertanya kabar Salwa, Bu Laras pergi begitu saja. Gegas Arumi menyelesaikan pekerjaan sebelum putrinya bangun.

"Bunda -" panggil Salwa.

"Sayang sudah bangun? Yuk, mandi abis itu kita sarapan," ajak Arumi.

"Bund, tadi ada suara nenek ke sini? Apa nenek marah lagi sama Bunda?" tanya Salwa.

"Nggak, sayang. Nenek memang suaranya kencang, ayok. Nanti kita ke rumah nenek," Arumi menggendong putrinya membawanya ke kamar mandi.

"Bunda, apa aku boleh makan telor?" ucap Salwa, menatap wajah Arumi.

"Tentu saja boleh, sayang," sahut Arumi, lembut.

"Hore!! Aku makan telor," seru Salwa.

Hati Arumi terasa sesak begitu nikmat dan istimewanya sebutir telur untuk putri semata wayangnya. Arumi mengusap wajahnya tak ingin jejak air mata tersisa di sana.

"Sekarang Salwa mandi dulu ya. Nanti kita masak telor sama-sama,"

"Ya, bunda!" sahut Salwa, girang.

Suara tawa putrinya adalah pelipur hati yang luka. Di kala tubuh dan pikirannya terasa lelah. Usai memandikan Salwa, Arumi memandang telor yang tergeletak di sana hanya ada satu butir. Lauk yang bisa di makan mereka bertiga, tapi kali ini ia akan memberikan pada putrinya.

"Bunda, kenapa lama?" tanya Salwa.

"Eh, sayang. Duduk di sana ya, ibu akan membuat telor lebar," ujar Arumi.

Tidak apa jika mereka berdua kelaparan asalkan putri semata wayangnya kenyang.

"Sayang, makan sendiri, bisa? Bunda mau bereskan cucian piring dulu ya. Abis itu kita ke rumah nenek,"

"Ya, bunda,"

Arumi menyelesaikan pekerjaan sebelum ke rumah Ibu mertuanya. Mengingat perlakuan mereka tentu Arumi lebih dulu mengenyangkan putrinya.

"Ayok, sayang. Nanti selama bunda masak jangan main di luar ya, nak,"

"Ya, bund."

"Hei! Lama banget kamu jalannya. Kayak siput aja. Cepetan ke dapur sana, inget jangan di makan. Apa lagi bungkus, bilangin anakmu itu main di belakang. Tempat ini khusus orang memiliki level setara. Bukan kayak kalian ini!" sengit Laras.

"Nenek, kenapa bilang kayak gitu sama bunda?" tanya Salwa, gadis kecil itu selalu di tolak setiap ingin berjabat tangan dengan anggota keluarga Wicaksono, termasuk dengan neneknya Bu Laras.

"Arumi, ajarin anak kamu ini. Masih kecil sudah berani kurang ajar sama orang tua. Begini-ini kalau lahir dari perempuan yang nggak selevel, anaknya juga ikutan." Cibir Laras. Menjauh dari Salwa, bahkan menepis tangan mungil itu.

"Mbak Arumi, yang sabar ya, mbak. Semoga badai ini segera berlalu dan Allah angkat derajat mbak Arumi dan keluarga," ujar Bude Narsih tetangga Bu Laras.

"Aamiin, ya, bude. Aku sabar banget. Ya, sudah Bude, aku masak dulu," Arumi menyudahi obrolan mereka. Ibu pasti akan marah kalau melihat Arumi berbincang dengan tetangga sebelah rumah yang dekat dengan Arumi.

Tiga jam sudah Arumi berkutat dengan aneka masakan selama itu pula Salwa anteng tak jauh dari dapur.

"Bunda, aku haus. Boleh Salwa minta es itu bund?" tunjuk jari mungil Salwa, ke arah mangkuk besar berisi aneka buah di sana.

Arumi menolah es campur yang entah kapan ada di sana membuat Salwa merengek. Arumi mendekati Salwa mengusapnya lembut.

"Sayang, itu punya nenek. Kalau nenek marah gimana? Besok kita beli sama ayah, ya," ujar Arumi lembut.

"Ya, bund," sahut Salwa, namun tatapannya mengarah pada semangkok es campur di atas meja.

"Salwa mau es campurnya?" tanya Bude Narsih.

"Ya, bude," jujur Salwa.

"Ambil, makan di sana ya," Bude Narsih, mengambil sedikit menyerahkan pada Salwa yang sejak tadi diam tanpa ada makanan yang masuk dalam perutnya. Sedangkan neneknya tak peduli hal itu.

"Bude, jangan. Nanti jadi masalah," tolak Arumi. Tahu benar apa yang akan terjadi jika Ibu mertuanya melihat Salwa mengambil makanan miliknya.

"Sudah nggak apa-apa. Kebetulan Ibu mertua kamu lagi pergi, biasa beli makanan buat nyambut menantu dan cucu kesayangannya. Makan saja nak," ucap Bude Narsih.

Terpaksa Arumi mengangguk terlebih putrinya begitu berbinar menerima satu mangkuk kecil es campur.

"Makan, nak. Jangan terlalu terburu-buru, ya," ujar Arumi mengusap kepala Salwa.

Berdua melanjutkan masakannya namun suara yang amat di kenali oleh Arumi memecah keheningan.

"Hei, siapa yang ngajarin kamu mencuri hah? Pantas saja makanan di rumah selalu hilang jadi ini pelakunya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status