"Uang apa yang ibu maksud? Aku nggak ambil uang ibu,"
"Halah, bohong kamu. Cepetan sini," "Bu, aku nggak ada uang. Lagi pula yang ibu bilang ini apa? Aku nggak tahu menahu tentang uang Ibu," "Halah, maling mana ngaku. Kalau ngaku penjara penuh dong!" "Ibu tunggu sampai Bayu pulang, kalian harus ganti rugi. Kalau kamu nggak ngaku siap-siap kalian keluar dari rumah ini, ingat itu!" sambung Bu Laras, sebelum pergi dari rumah Arumi. Arumi menghela napas selepas kepergian Bu Laras, lelah menunggu namun Bayu tak kunjung pulang. Arumi menghampiri Salwa yang sedang makan sendirian, ia tahu tatapan putrinya yang sendu. "Cantiknya bunda kenapa? Ayok, habiskan makannya," ujar Arumi, bibirnya tersenyum walau hatinya berkecamuk. Setelah ini semua akan menjadi pertengkaran yang cukup pelik tentu Ibu mertua yang menjadi pemenangnya. Setelah memberikan pengertian pada Salwa akhirnya gadis kecil itu pun pergi ke masjid walau wajahnya terlihat begitu sendu. "Assalamualaikum, dek," "Wa'alaikumsalam, mas, kamu sudah pulang?" Arumi menyambut kedatangan Bayu wajahnya begitu lelah namun bukan itu yang membuatnya mengerutkan keningnya tapi sorot matanya yang mengembun. "Mas," sambung Arumi. Memberikan segelas air putih yang ada di atas meja. "Di mana Salwa, sayang?" "Biasa mas di masjid. Katanya ada jam tambahan hari ini jadi pulangnya agak telat. Mas katakan apa yang kamu sembunyikan dariku?" tangan Arumi terulur menyentuh pundak Bayu. "Hari ini Mas gajian, tapi ..." "Tapi, apa?" "Uangnya di ambil ibu semua, katanya kamu sudah mencuri uang ibu dan itu buat gantinya," "Astaghfirullahaladzim, mas. Kamu tahu aku kan? Mana mungkin aku mencuri uang ibu kamu, sedangkan aku sendiri selama menjadi menantu di keluarga kamu, aku tidak pernah diizinkan untuk masuk ke dalam rumah kamu kecuali dapur. Apa lagi kamar pribadi Ibu," lirih Arumi. "Mas, percaya sama kamu dek. Maafkan mas besok kita –" "Aku tahu mas, bukankah ini sudah biasa? Aku dan Salwa akan kelaparan lagi, bukan karena kita tak punya uang. Tapi ibu kamu yang, sudahlah," *** "Rum, Arumi!! Ngapain aja sih kamu?!" seru Bu Laras. Tidak hentinya menggedor pintu rumah Bayu. "I – ibu, aku lagi jemur baju di belakang Bu. Jadi aku nggak denger ibu panggil," ujar Arumi jujur. "Alasan aja. Cepat ke rumah masak yang banyak. Hari ini anak, menantu dan cucu Ibu datang. Nggak pake lama!" sentak Bu Laras. Bergidik melihat sekeliling rumah Arumi. "Salwa masih tidur Bu. Aku ke rumah ibu nunggu –" Arumi menunduk, Laras menatapnya tidak suka. "Alah, alasan aja kamu itu. Bilang kalau kamu itu malas, wajar sih. Namanya juga mantu m i s k i n." Sinis Bu Laras, tidak terima Arumi menolak perintahnya. "Ibu duduk dulu, aku buatkan teh hangat sebenar," ujar Arumi menawarkan. "Ih! Enggak banget deh. Cepetan ibu tunggu di rumah, inget jangan lewat pintu depan, tapi belakang. Nanti kotor semua keramik mahal ibu! Eh, diem aja kamu? Denger nggak sih?" tanya Bu Laras. "Ya, Bu, aku inget dan dengar," lirih Arumi. Tanpa bertanya kabar Salwa, Bu Laras pergi begitu saja. Gegas Arumi menyelesaikan pekerjaan sebelum putrinya bangun. "Bunda -" panggil Salwa. "Sayang sudah bangun? Yuk, mandi abis itu kita sarapan," ajak Arumi. "Bund, tadi ada suara nenek ke sini? Apa nenek marah lagi sama Bunda?" tanya Salwa. "Nggak, sayang. Nenek memang suaranya kencang, ayok. Nanti kita ke rumah nenek," Arumi menggendong putrinya membawanya ke kamar mandi. "Bunda, apa aku boleh makan telor?" ucap Salwa, menatap wajah Arumi. "Tentu saja boleh, sayang," sahut Arumi, lembut. "Hore!! Aku makan telor," seru Salwa. Hati Arumi terasa sesak begitu nikmat dan istimewanya sebutir telur untuk putri semata wayangnya. Arumi mengusap wajahnya tak ingin jejak air mata tersisa di sana. "Sekarang Salwa mandi dulu ya. Nanti kita masak telor sama-sama," "Ya, bunda!" sahut Salwa, girang. Suara tawa putrinya adalah pelipur hati yang luka. Di kala tubuh dan pikirannya terasa lelah. Usai memandikan Salwa, Arumi memandang telor yang tergeletak di sana hanya ada satu butir. Lauk yang bisa di makan mereka bertiga, tapi kali ini ia akan memberikan pada putrinya. "Bunda, kenapa lama?" tanya Salwa. "Eh, sayang. Duduk di sana ya, ibu akan membuat telor lebar," ujar Arumi. Tidak apa jika mereka berdua kelaparan asalkan putri semata wayangnya kenyang. "Sayang, makan sendiri, bisa? Bunda mau bereskan cucian piring dulu ya. Abis itu kita ke rumah nenek," "Ya, bunda," Arumi menyelesaikan pekerjaan sebelum ke rumah Ibu mertuanya. Mengingat perlakuan mereka tentu Arumi lebih dulu mengenyangkan putrinya. "Ayok, sayang. Nanti selama bunda masak jangan main di luar ya, nak," "Ya, bund." "Hei! Lama banget kamu jalannya. Kayak siput aja. Cepetan ke dapur sana, inget jangan di makan. Apa lagi bungkus, bilangin anakmu itu main di belakang. Tempat ini khusus orang memiliki level setara. Bukan kayak kalian ini!" sengit Laras. "Nenek, kenapa bilang kayak gitu sama bunda?" tanya Salwa, gadis kecil itu selalu di tolak setiap ingin berjabat tangan dengan anggota keluarga Wicaksono, termasuk dengan neneknya Bu Laras. "Arumi, ajarin anak kamu ini. Masih kecil sudah berani kurang ajar sama orang tua. Begini-ini kalau lahir dari perempuan yang nggak selevel, anaknya juga ikutan." Cibir Laras. Menjauh dari Salwa, bahkan menepis tangan mungil itu. "Mbak Arumi, yang sabar ya, mbak. Semoga badai ini segera berlalu dan Allah angkat derajat mbak Arumi dan keluarga," ujar Bude Narsih tetangga Bu Laras. "Aamiin, ya, bude. Aku sabar banget. Ya, sudah Bude, aku masak dulu," Arumi menyudahi obrolan mereka. Ibu pasti akan marah kalau melihat Arumi berbincang dengan tetangga sebelah rumah yang dekat dengan Arumi. Tiga jam sudah Arumi berkutat dengan aneka masakan selama itu pula Salwa anteng tak jauh dari dapur. "Bunda, aku haus. Boleh Salwa minta es itu bund?" tunjuk jari mungil Salwa, ke arah mangkuk besar berisi aneka buah di sana. Arumi menolah es campur yang entah kapan ada di sana membuat Salwa merengek. Arumi mendekati Salwa mengusapnya lembut. "Sayang, itu punya nenek. Kalau nenek marah gimana? Besok kita beli sama ayah, ya," ujar Arumi lembut. "Ya, bund," sahut Salwa, namun tatapannya mengarah pada semangkok es campur di atas meja. "Salwa mau es campurnya?" tanya Bude Narsih. "Ya, bude," jujur Salwa. "Ambil, makan di sana ya," Bude Narsih, mengambil sedikit menyerahkan pada Salwa yang sejak tadi diam tanpa ada makanan yang masuk dalam perutnya. Sedangkan neneknya tak peduli hal itu. "Bude, jangan. Nanti jadi masalah," tolak Arumi. Tahu benar apa yang akan terjadi jika Ibu mertuanya melihat Salwa mengambil makanan miliknya. "Sudah nggak apa-apa. Kebetulan Ibu mertua kamu lagi pergi, biasa beli makanan buat nyambut menantu dan cucu kesayangannya. Makan saja nak," ucap Bude Narsih. Terpaksa Arumi mengangguk terlebih putrinya begitu berbinar menerima satu mangkuk kecil es campur. "Makan, nak. Jangan terlalu terburu-buru, ya," ujar Arumi mengusap kepala Salwa. Berdua melanjutkan masakannya namun suara yang amat di kenali oleh Arumi memecah keheningan. "Hei, siapa yang ngajarin kamu mencuri hah? Pantas saja makanan di rumah selalu hilang jadi ini pelakunya!""I – ibu,""Apa! Mau marah? Atau kamu mau mengelak lagi hah? Dasar mantu menyusahkan. Kamu lagi masih kecil bermain ambil makanan yang bukan punya kamu. Sini, kamu bisa makan nanti kalau ada sisanya!" Bu Laras merampas mangkuk yang berada di tangan Salwa. Tanpa belas kasih Bu Laras menghabiskan es campur itu tepat di depan mereka."Bu, tolong berikan sedikit saja untuk Salwa. Biarkan –""Makanya kerja sana. Hidup kok maunya miskin, lihat tuh menantu Ibu mereka hebat-hebat semua nggak kayak kamu itu!""Ibu, kenapa merembet kemana-mana? Aku cuma –""Sudah selesai?" Bu Laras, memperhatikan meja makan hidangan mewah yang ia minta tertata di sana. Begitu mengunggah selera yang melihatnya."Kamu tetap di sini. Sebelum acara selesai kamu dan anak kamu itu di larang keluar, apa lagi sampai bertemu tamu istimewa ibu!" sambung Bu Laras. Tanpa menoleh pada Salwa yang duduk di lantai.Bajunya basah akibat es campur yang tumpah karena ulah Bu Laras."Ya, Bu," sahut Arumi. Menyelesaikan berapa menu
Arumi menyadari semua yang terjadi dalam hidupnya bukan sepenuhnya kesalahan Bayu. Tetapi keluargamu yang tidak menyukainya."Sudah mas, kamu nggak usah minta maaf. Sekarang kamu siap-siap ke rumah Ibu. Tapi, kali ini aku nggak ikut," ujar Arumi, tak ingin pergi yang tentu akan membuatnya terluka."Ya, mas tahu. Sebenarnya mas juga males kalau datang ke rumah ibu apalagi perlakuan keluarga Mas sama kita terutama kamu dan anak kita, terus terang hati mas sangat sakit," lirih Bayu. "Aku baik-baik saja, mas. Sudah sana pergi, keburu malam, soal ganti rugi itu gimana mas?" tanya Arumi, mendorong tubuh Bayu. "Kamu jangan pikirkan ya, mas yang akan bicara sama ibu. Mas pergi sekarang ya, Assalamualaikum," pamit Bayu, tak lupa mengecup kening Arumi."Wa'alaikumsalam," sahut Arumi.Baru beberapa langkah Bayu meninggalkan rumah suara teriakan Salwa berhasil menghentikan langkahku."Ayah, tunggu, aku ikut. Udah lama nggak ketemu kak Vani," rengek Salwa."Gimana dek? Salwa minta ikut mas," ra
Arumi mengabaikan permintaan Yoga. Memilih menyibukkan diri menanam cabe dan bawang di depan rumah."Arumi, tuh di cariin sama Bu Laras. Jadi mantu kok malas, bantuin sana. Jangan cuma numpang hidup sama anaknya tapi nggak mau bantuin mertua." Celetuk Bu Desi.Arumi mengabaikan ucapan tetangga Bu Laras memilih menyelesaikan pekerjaan."Pantas aja Bu Laras marah. Orang mantunya aja nggak tau diri. Kalau aku sih ogah punya mantu kayak gitu, mending Bayu suruh cerai!""Siapa yang mau cerai?" Bu Desi berbalik ia tersenyum melihat sahabatnya ada di sana."Ini loh jeng mantu kamu. Aku bilang kalau aku jadi mertuanya, Bayu sudah aku suruh ceraikan dia. Buat apa punya mantu nggak tau diri kayak dia," ucap Bu Desi."Maunya aku juga gitu. Tapi anakku itu udah di pelet sama dia. Makanya susah bangat suruh cerai,""Ibu ada perlu apa ke sini? Masuk dulu Bu, aku buatkan teh hangat –" ujar Arumi. Tidak ingin semakin panjang, terlebih ada Bu Desi si biang gosip."Nggak perlu. Jijik makan dari rumah k
Ucapan Ibu masih di dengar oleh mereka yang baru berapa langkah meninggalkan rumah penuh kenangan itu. Ucapan yang bagaikan sambaran petir siang solong. Bayu tidak menyangka jika wanita yang ia hormati dan ia sayang Mamou mengatakan yang tidak seharusnya di ucapkan oleh orang tua terlebih Ibu. Firasatnya sebagai seorang suami begitu terasa sehingga Bayu memilih pulang untuk kedua kalinya. Siapa sangka ia harus mendengarkan kebenaran yang selama ini di sembunyikan oleh istrinya. Pantas setiap hari selalu ada aja sisa singkong bahkan Bayu sampai hapal singkong akan di olah berbeda meski dengan bahan yang sama, berbagai macam cemilan tersaji di sana dan itu semua karena ulah Ibunya.Getar ponsel milik Arumi mengalihkan perhatian mereka yang duduk di ruang keluarga. Bayu memangku Salwa sampai tertidur dan Arumi yang sibuk dengan membujuknya agar tidak marah pada Bu Laras.[Assalamualaikum, Arumi. Bagaimana kabar kalian? Sehat kan? Nak jika hari ini tidak sibuk bisa pulang kampung sebenar
Bu Saraswati menundukkan wajahnya menyembunyikan luka yang selama ini ia simpan dari anak dan menantunya. Luka seorang ibu mengetahui putrinya di perlakukan tidak layak di rumah wanita yang bergelar mertuanya sungguh hatinya sakit."Kenapa tabungan ibu berikan pada kami? Bu, maafkan kelancangan aku ini. Tapi, alangkah lebih baiknya jika tabungan itu tetap Ibu dan bapak simpan ya, Arumi dan Salwa adalah tanggung jawab aku. Maafkan atas ucapan aku yang tidak sopan ini buk, pak," tegas Bayu, meski setiap kata yang keluar dari bibirnya lirih dan penuh kesopanan."Kami sudah tua, kalian yang lebih membutuhkan. Gunakan uang ini sebaik mungkin kalian juga bisa membuka usaha agar perekonomian kalian membaik,""Ibu, ayah,""Nak, Bayu. Jaga anak dan cucu ibu, bahagiakan mereka seperti janji kamu. Jangan pernah menyakitinya, lindungilah anak dan cucu Ibu dari orang-orang yang sudah zalim kepadanya hanya inilah permintaan Ibu dan bapak sama kamu dan mengenai uang ini kamu bisa memujudkan impian k
Seperti janji Bayu sebelumnya. Setelah mengantar Arumi dan Salwa ia hanya menginap semalam di rumah orang tua Arumi dan memilih kembali bekerja ada banyak impian yang belum terwujud salah satunya melindungi anak dan istri dari keluarganya."Bayu, mana istrimu itu, hah? Kurang ajar kalian berdua. Sudah hidup numpang seenaknya kalian pergi tanpa bilang, mana istrimu. Suruh dia keluar kerjaan banyak di rumah, jangan enak-enakan kalian. Dasar ipar nggak ada akhlak." Yoga berkacak pinggang, gemuruh amarah yang di pendamnya sejak kemarin saat Arumi tak menunjukkan batang hidungnya. Sehingga pengeluaran Yoga semakin besar. Acara arisan kantor yang sengaja di rumah Ibunya gagal karena Arumi yang memilih pergi tanpa memperdulikan perintahnya."Kamu kenapa mas, datang-datang marah nggak jelas. Sekali-kali datang ke rumah orang itu salam." Ucap Bayu datar."Kurang ajar kamu. Sudah berani sama aku, hah? Kamu lupa aku ini lebih tua dari kamu," Yoga mengerutkan keningnya. Bayu menurunkan tangannya
Satu minggu berlalu kebahagiaan Arumi bersama kedua orang tuanya dan Salwa begitu terasa, bagaimana tidak. Kedua orang tua Arumi memanjakan anak dan cucunya. Bahkan mereka berjalan-jalan tiap hari."Ibu, bapak, terima kasih. Seharusnya aku yang sebagai anak membahagiakan orang tua, tapi nyatanya justru aku yang di perlakukan sebaliknya," ucap Arumi, merasa bersalah atas apa yang terjadi saat ini. Sungguh hatinya terharu orang tuanya justru memikirkan kebahagiaan dirinya dan cucu semata wayangnya."Kamu bicara apa, nak? Sudah jadi kewajiban orang tua membahagiakan anaknya. Kami jauh lebih bahagia melihat kalian tertawa lepas, tetaplah tersenyum itu keinginan kami, Arumi. Nak, boleh Ibu bertanya?" Bu Saraswati menoleh ke arah Salwa yang berbaring di depan televisi."Ada apa, buk? Tanyakan aja," sahut Arumi, ragu."Apa kamu bahagia bersama dengan Bayu? Maksud Ibu, apa keluarga Bayu memperlakukan kamu dan Salwa baik?" tanya Bu Saraswati, hati-hati.Terdengar helaan napas panjang Arumi. P
"Ibu, jangan, ini buat beli beras. Kasihan Salwa belum makan Bu, aku mohon sisakan untuk makan hari ini, Bu," ucap Arumi mengiba."Sini uang kamu. Mulai hari ini setiap Bayu kasih kamu uang, harus kamu berikan pada ibu dan ini untukmu. Makanan seperti ini yang cocok untuk kamu. Cepetan ambil, nggak perlu dilihatin kayak gitu lagi pula makanan itu tidak akan berubah jadi emas seperti yang kamu khayalkan, itu!" Bu Laras mendorong kasar piring ada di tangannya hingga sebagian isinya jatuh."Bu, kenapa cuma singkong? Aku butuh nasi untuk mas Bayu dan Salwa. Ini nggak mungkin —" ucapan Arumi terhenti tatapan tidak suka terpancar dari sorot mata Bu Laras."Kenapa? Itu cocok untuk kalian bertiga jangan harap Ibu ngasih makanan yang enak untuk kalian. Udah sana pergi dasar orang miskin!!" ucap Bu Laras."Tapi, Bu, ini singkongnya basi, kenapa Ibu tega memberikan makanan ini pada kami, sedangkan ini sudah tidak layak untuk di makan?" Arumi, berusaha untuk menolak. Ia pun menjelaskan jika singk