Aku menyerahkan semua kertas peraturan itu, setelah mengambil gambarnya. Aku tidak mau Dante berkelit karena tidak ada bukti. Jangan sampai 100 jutaku melayang, hanya karena dia sudah memusnahkan semua kertas-kertas ini.
"Nona, silakan beristirahat. Nanti saya akan kembali," ucap si panda dengan sopan.
Aku kembali masuk ke dalam kamar besar yang sama besarnya dengan seluruh rumahku. Kamar ini tampak sangat indah. Seperti inilah kamar yang selalu aku impikan sejak kecil, ironisnya aku mendapatkan kamar impianku setelah dijual oleh ayahku.
Mama, aku lupa aku harus memberitahunya kalau aku sudah sampai dan baik-baik saja.
Aku mencoba menghubungi mama tapi teleponnya tidak aktif. Ada apa ini? Tidak biasanya mama mematikan teleponnya, apalagi saat dia menunggu kabarku.
Apa jangan-jangan ....
Aku segera keluar kamar dan berlari ke ruang tamu mencari Dante. Untungnya dia sedang duduk di ruang tamu sambil memeriksa telepon genggamnya.
"Dimana orangtuaku? Dimana ibuku? Kau sudah berjanji tidak akan melakukan apapun kepada mereka," tanyaku dengan panik.
Dante mengangkat kepalanya dengan santai.
"Aku memang tidak melakukan apapun kepada mereka," jawabnya tenang.
"Tapi kenapa telepon ibuku mati? Dia tidak pernah melakukannya apalagi saat menunggu kabarku," jawabku dengan panik.
"Entahlah. Mungkin tidak ada sinyal di jalan atau baterainya habis, mana aku tahu kenapa teleponnya mati? Cobalah menghubunginya lagi malam nanti saat mereka sudah tiba. Sekarang kembali ke kamarmu, aku sedang sibuk!"
Pria ini sangat suka membentak, benar-benar menyebalkan. Aku kembali ke kamarku dengan kesal dan khawatir. Tapi, herannya aku tidak merasa ketakutan di dekatnya, tidak seperti ketika berhadapan dengan si bandar judi dekat rumah kami.
Apa aku tidak takut karena perjanjian kami dan uang yang akan aku terima? Atau karena dia tampan? Ah, entahlah, yang pasti aku harus memastikan dulu kalau ibuku baik-baik saja.
Sambil menunggu sebaiknya aku mencoba kasur besar yang ada dihadapanku. Aku melompat dan membanting tubuhku ke atas kasur empuk ini. Oh, kasurnya sangat nyaman, aku menutup mata dan ....
Aku terbangun karena telepon genggamku berbunyi. Mama, dia meneleponku.
"Mama, apa mama baik-baik saja? Aku mencoba menghubungi mama dari tadi, tapi telepon mama mati," ucapku tanpa henti.
"Kami baru saja sampai. Tadi baterai telepon mama habis. Bagaimana denganmu?"
"Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaan disana?"
"Kami tinggal di kompleks perumahan pegawai. Rumahnya sangat bagus, kau pasti akan menyukainya. Mama belum tahu apa yang akan dikerjakan papamu, tapi sepertinya ini adalah pekerjaan yang bagus."
Aku tersenyum, senang rasanya mendengar suara mama yang sangat bersemangat. Meski sedikit khawatir, membayangkan ibuku yang akan hidup dari uang haram, hasil pekerjaan ayahku yang berasal dari iblis.
"Baiklah, mama sebaiknya beristirahat sekarang, jangan terlalu capek. Besok aku akan menghubungi mama lagi," ucapku masih tersenyum.
Aku memeriksa jam di teleponku. Ha? Aku tertidur selama 5 jam? Aku bahkan melewatkan makan siang karena tertidur nyenyak. Kasur empuk ini benar-benar membuat tidurku nyaman, jauh lebih nyaman daripada tidur di kasurku sendiri.
Aku mulai membongkar pakaianku, aku harus mandi dan mengatur barang-barangku.
Bahkan kamar mandinya tampak sangat mewah, pancuran yang jauh berbeda dengan yang ada di kamar bilas kolam renang umum langgananku. Aku sangat suka mandi di bawah pancuran, karena itu aku sering mandi di kamar bilas kolam renang itu saat bekerja paruh waktu sebagai penjaga loket tiket masuk.
Aku segera mandi dan benar-benar menikmati aroma sabun yang disediakan dan air hangat dari pancuran mewah ini. Selesai mandi aku memandang seluruh kamarku dengan kagum.
Melihat kamar cantik yang ditata sempurna untuk seorang perempuan ini, aku jadi bertanya-tanya, siapa wanita yang sebelumnya tinggal disini? Atau siapa pemilik asli kamar ini? Tapi ... itu bukan urusanku, karena delapan bulan lagi aku akan meninggalkan kamar ini.
"Nona, anda dipanggil untuk makan malam," panggil panda, membuat perutku berbunyi.
Aku membuka pintu dan menatap panda yang sudah menungguku di depan pintu.
"Siapa namamu sebenarnya?" tanyaku santai. Aku bahkan tidak menggunakan panggilan tuan kepadanya, karena rasanya tidak perlu terlalu sopan kepada para preman seperti mereka.
"Teman-temanku memanggilku panda, anda juga boleh memanggilku begitu," jawabnya sambil tersenyum. Dia jadi terlihat ramah setiap kali tersenyum.
"Nama aslimu. Aku tidak suka memanggil orang dengan nama julukan aneh seperti itu," sahutku tidak membalas senyumannya.
"Pedro, namaku Pedro."
"Baiklah Pedro, ayo makan."
Pedro mengangguk dengan bersemangat lalu berjalan di depanku. Pria yang lucu, dia mengingatkanku pada Rahul, sahabatku. Mereka sama-sama berbadan tambun dan menggemaskan bila tersenyum. Ah, teman-temanku, apa mereka akan menyadari perubahanku bila bertemu di kampus besok? Aku harus bersikap normal dan tidak menimbulkan kecurigaan.
"Selamat malam, Nona," sapa seorang wanita paruh baya yang dari pakaian dan cara bersikapnya, aku duga bekerja sebagai seorang pelayan.
"Selamat malam, Nyonya," balasku. Dia tampak terkejut dan langsung menggelengkan kepala dengan keras.
"Jangan panggil saya Nyonya, saya hanya seorang pelayan. Panggil saja nama saya, Myrna," ucapnya panik sambil melirik Dante yang sudah duduk di meja makan.
Aku mengangguk lalu duduk di samping Pedro. Meja makan ini tampak sangat besar, apalagi hanya kami berlima yang duduk disini, aku, Dante, Pedro dan dua orang lagi yang belum aku ketahui namanya.
Makanan mulai disajikan di atas meja dan itu membuatku berliur. Seumur hidup aku belum pernah melihat makanan sebanyak ini disajikan dirumah untuk makan malam. Ini seperti jamuan yang akan aku temui di sebuah pesta. Sekarang aku jadi sangat ingin makan.
Setelah makanan selesai disajikan, semua orang tetap duduk diam. Apa-apaan ini? Apa mereka tidak makan dan kenyang hanya dengan memandangi makanan saja? Aku menendang kaki Pedro pelan sambil menunjuk meja makan dengan mataku.
"Kita akan makan sebentar lagi, kakek sedang menuju kemari," bisik Pedro kepadaku.
Aku mengangguk lemah. Sial, ternyata ada satu lagi preman yang harus aku hadapi. Kakek pasti kepala preman dan bandar judi terbesar di kelompok ini. Aku membayangkan wajahnya pasti sangat gahar dengan tato memenuhi tubuhnya dan luka dimana-mama. Pria tua itu pasti ....
"Siapa lagi wanita ini?"
Suara itu mengagetkanku hingga aku hampir berteriak. Aku melirik pria tua itu dan sangat terkejut begitu melihatnya. Dia sama sekali tidak sama dengan yang aku bayangkan, dia lebih mirip seorang pria kaya tua yang hidup nyaman dan berwibawa.
Sepertinya zaman sekarang para penjahat memang pandai berkamuflase, mereka menyamar menjadi orang baik-baik agar tidak dicurigai dan ditangkap. Aku mengerti sekarang.
"Dia Ruby, istriku," jawab Dante sambil menunduk sopan.
Wah, aku tidak menyangka pria tua itu sangat dihormati oleh semua orang yang ada disini. Dia pasti pemimpin yang sangat berkuasa dan mungkin sedikit kejam?
"Selamat malam kakek, saya Ruby Amanda. Saya adalah istri Dante," ucapku memperkenalkan diri.
Pria tua itu hanya sedikit melirikku dan tampak tidak tertarik, lalu kembali berbalik menghadap Dante dengan tatapan mencibir. Ternyata pria tua ini juga sangat sombong, aku benar-benar kesal melihatnya. Selain karena dia menyepelekan aku, tapi juga karena dia sudah membuatku kelaparan. Tapi ... 100 juta, aku harus selalu mengingatnya untuk membuatku tetap bersemangat.
"Dimana kau menemukannya? Yang satu ini tampak berbeda dari yang biasanya."
Aku melongo. Apa maksud perkataannya? Berbeda dari yang biasanya? Apa yang biasanya? Sial! Sebenarnya aku sedang masuk ke dalam permainan apa?
"Kakek, ini tidak seperti yang kakek pikirkan, dia berbeda," jawab Dante mencoba meyakinkan kakeknya. Aku diam saja, aku perlu menganalisis keadaannya sebelum mengambil sikap."Sudahlah, kita bicarakan nanti saja setelah makan.""Yes!" jawabku senang lalu menyadari kalau suaraku terlalu kuat hingga semua orang menatapku dengan kaget."Selamat makan," ucapku lembut sambil tersenyum canggung dan mengangguk perlahan. Aku melihat kakek menggelengkan kepalanya. Sepertinya aku kehilangan satu poin.Makanannya sangat enak, ini bahkan lebih enak dari makanan yang disajikan saat tetanggaku menikah beberapa hari yang lalu. Aku yakin ini pasti dimasak dengan bahan-bahan terbaik dan oleh koki yang sangat handal."Nona, apa anda masih lapar?" tanya Pedro kepadaku sambil memberi tanda yang tidak aku mengerti.Aku menatap sekelilingku, semua orang sudah berhenti makan. Lalu aku melihat makanan di atas meja, masih ada beberapa potong daging dan salad sayur yang tersisa. Mungkin Pedro bermaksud memin
"Ka ... kakek menerimaku?" seruku senang."Kakek tidak akan menyesali keputusan kakek itu, mulai hari ini aku akan menjadi cucu menantu yang baik!" seruku bersemangat karena berhasil mendapatkan 100 juta ku."Sudahlah, hentikan semua omong kosongmu itu. Keluarlah dari ruanganku, aku butuh bicara dengan cucuku," jawabnya tampak tidak tertarik dengan dedikasiku."Baiklah, aku juga mau tidur karena besok harus ke kampus," jawabku kesal, benar-benar pria tua yang sombong.Aku berjalan keluar, menutup pintu lalu segera menempelkan telingaku ke pintu. Aku penasaran, mengapa tadi semua orang tampak mengkhawatirkan Dante. Aku mencoba menguping tapi tidak bisa mendengar apapun. Sepertinya pintu ini terbuat dari kayu yang sangat tebal.Sudahlah! Lebih baik aku beristirahat, besok akting yang sesungguhnya akan dimulai. Aku harus mencatat kebohongan apa saja yang akan aku katakan kepada teman-temanku, agar di masa depan aku tidak lupa dengan kata-kataku sendiri.***Aku terbangun sebelum matahari
"Tidak usah, aku sedang ingin berjalan kaki," jawabku sambil melirik ke belakang.Aku bisa melihat supir Dante masih memperhatikanku. Dia bisa saja mengadu kepada Dante dan membuat 100 jutaku melayang."Kenapa? Apa kau menunggu seseorang?" tanya Joshua sambil mengikuti pandanganku."Tidak. Aku hanya ... sedang berusaha untuk berolahraga lebih banyak," jawabku lagi-lagi berbohong."Baiklah, kalau begitu aku duluan."Joshua segera memacu motor besarnya menuju ke kampus. Sementara aku menatap punggungnya dengan perasaan kesal. Andai supir itu tidak mengawasi, aku pasti sedang berada di atas motor besar milik Joshua. Aku kembali melangkahkan kakiku dengan lunglai.Aku tiba di kampus tepat waktu untuk kuliah pertama hari ini. "Ruby, kenapa terlambat? Aku sudah lama menunggumu. Katamu akan datang lebih pagi hari ini," gerutu sahabatku Dora begitu melihatku masuk kelas."Maaf, tadi aku berjalan kaki cukup jauh," jawabku sambil duduk di kursi yang berada di samping Dora."Kenapa? Bus mu mogo
"Ruby, ada apa?" bisik Rahul sambil mencolek tanganku."Ha?" tanyaku bingung."Mengapa wajahmu tiba-tiba pucat seperti orang ketakutan?"Aku memaksa bibirku untuk tersenyum."Perutku sakit, karena ada yang harus aku setor ke toilet, " bisikku berpura-pura."Sial!" makinya dengan wajah jijik."Sekarang silakan nona yang berbaju pink," panggil Joshua."Namaku Naomi, kak," jawab Naomi sambil berdiri dan memainkan rambut panjangnya."Ayo bersiap untuk menerima pertanyaan aneh dan tidak masuk akal yang dia tanyakan hanya untuk mencari perhatian," bisik Rahul diikuti anggukan kepalaku dan Dora."Bagaimana dengan pernikahan untuk membayar hutang? Misalnya seseorang berhutang dan memberikan putrinya sebagai bayaran dan dinikahkan dengan orang yang memberinya hutang? Apa pendapat kalian dan bagaimana aturan hukumnya?"Dora melirikku meminta aku menjawab, tapi aku diam saja. Tiba-tiba kepalaku kosong, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. "Tentu saja itu bertentangan dengan hukum. Itu bi
"A ... apa? Jatuh cinta? Apa maksud kakek? Bukankah kakek tidak menyukaiku? Mengapa menginginkan Dante jatuh cinta kepadaku?""Jadi, kau mau menerima tawaranku atau tidak?" Pria tua ini tidak menjawab pertanyaanku. Apa mungkin telinganya sudah mulai bermasalah karena usianya? Atau dia sengaja tidak ingin menjawab?"Bolehkah aku memikirkannya?" tanyaku acuh."Silakan, aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Besok pagi berikan jawabanmu. Sekarang, silakan keluar, aku harus bekerja."Aku segera berdiri dan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Orang-orang di rumah ini sepertinya memang terlahir kasar dan tidak sopan!"Apa yang kau lakukan di ruang kerja kakek?" tanya Dante yang baru pulang.Ada apa dengan pakaiannya? Mengapa dia memakai setelah rapi dan sepatu formil seakan-akan dia seorang CEO atau pengacara atau seorang aktor. Dia hanya seorang bandar judi, mengapa harus tampil setampan itu?"Ada sesuatu yang kami bicarakan," jawabku acuh lalu segera meninggalkannya dan berjalan m
"Papa, tolong biarkan aku pulang."Aku memohon kepada ayahku yang menipuku untuk datang ke rumah judi dan menahanku disana, katanya untuk dijadikan jaminan pembayaran kepada bandar judi tempat dia berhutang."Dengar Ruby, kali ini hanya kau yang bisa menolong papa. Kalau tidak seluruh keluarga kita akan hancur. Apa kau mau bertanggung jawab kalau mereka membunuhku dan menyiksa ibumu?" sahutnya dengan tenang, seakan-akan ini semua salahku dan akulah yang harus bertanggung jawab."Tapi papa yang kalah judi, kenapa harus aku yang papa jual? Kenapa papa tidak menjual diri papa saja!" teriakku marah."Karena papa tidak laku!" balasnya berteriak. Ayahku yang terlihat jauh lebih tua dari umurnya itu menatapku putus asa. Aku membalas tatapannya dengan tajam. Aku benar-benar membencinya."Bagaimana kalau orang yang membeliku menyiksaku?" tanyaku, kali ini berharap dia mau berubah pikiran."Dia tidak sekejam itu, percayalah. Ayo, masuk," ajaknya sambil menarik tanganku dengan kuat.Aku mengiku
Aku membalikkan tubuhku dan mataku langsung menatap sebuah pemandangan yang seharusnya tidak muncul di tempat seperti ini.Seorang pria tinggi dengan tato di lengannya, hanya ada satu tato tidak seperti bandar judi itu yang seluruh lengan hingga lehernya dipenuhi tato. Wajah pria ini sangat tampan dengan rambut hitam kecoklatan. Dia memakai kemeja putih dengan pola daun, seakan-akan dia akan berlibur ke pantai.Di belakangnya berdiri tiga orang pria memakai pakaian yang mirip dengan pria tampan itu, hanya saja dua diantaranya tampak menyeramkan dengan tubuh besarnya. Sementara seorang lagi tampak masih sangat muda, sepertinya usianya tidak jauh berbeda denganku.Aku berbalik dan menatap ayahku. Pria tua itu tampak lebih ketakutan daripada kepada sang bandar judi tadi. Dia tidak bisa berkata apa-apa dan hanya berdiri diam dengan tubuh gemetar.Pria tampan itu memberi tanda kepada pria besar di belakangnya, lalu salah satu dari pria berwajah seram itu pergi keluar."Siapa kau?" tanya si
"Apa yang kau cari?" tanya ibuku melihatku membongkar tempat surat-surat penting kami."Surat-suratku," jawabku sambil memasukkan semua surat yang diminta pria bernama Dante itu ke dalam map."Untuk apa surat-surat ini kau ba-""Ma, aku pergi dulu. Nanti setelah pulang, aku akan menjelaskan semuanya," potongku sambil menepuk pelan tangan ibuku yang sudah keriput itu.Aku menghindari pertanyaannya dengan berlari keluar dan langsung masuk ke dalam mobil milik Dante. Sementara ibuku berdiri di depan pintu rumah reyot kami dengan bingung. Aku tidak berani berlama-lama di dekatnya, dia akan mengetahui kalau aku menyembunyikan sesuatu. Aku tidak pernah bisa menutupi apapun darinya, karena dia adalah satu-satunya orang yang aku percayai dan andalkan dalam hidupku.Aku mengembuskan napas sambil menatap iba wanita yang sudah melahirkanku itu. Usianya baru saja memasuki 45 tahun tapi wajahnya sudah tampak renta. Padahal seingatku dia adalah wanita yang sangat cantik, entah sejak kapan dia mulai