Share

BAB 5

Aku menyerahkan semua kertas peraturan itu, setelah mengambil gambarnya. Aku tidak mau Dante berkelit karena tidak ada bukti. Jangan sampai 100 jutaku melayang, hanya karena dia sudah memusnahkan semua kertas-kertas ini.

"Nona, silakan beristirahat. Nanti saya akan kembali," ucap si panda dengan sopan.

Aku kembali masuk ke dalam kamar besar yang sama besarnya dengan seluruh rumahku. Kamar ini tampak sangat indah. Seperti inilah kamar yang selalu aku impikan sejak kecil, ironisnya aku mendapatkan kamar impianku setelah dijual oleh ayahku.

Mama, aku lupa aku harus memberitahunya kalau aku sudah sampai dan baik-baik saja.

Aku mencoba menghubungi mama tapi teleponnya tidak aktif. Ada apa ini? Tidak biasanya mama mematikan teleponnya, apalagi saat dia menunggu kabarku.

Apa jangan-jangan .... 

Aku segera keluar kamar dan berlari ke ruang tamu mencari Dante. Untungnya dia sedang duduk di ruang tamu sambil memeriksa telepon genggamnya.

"Dimana orangtuaku? Dimana ibuku? Kau sudah berjanji tidak akan melakukan apapun kepada mereka," tanyaku dengan panik.

Dante mengangkat kepalanya dengan santai.

"Aku memang tidak melakukan apapun kepada mereka," jawabnya tenang.

"Tapi kenapa telepon ibuku mati? Dia tidak pernah melakukannya apalagi  saat menunggu kabarku," jawabku dengan panik.

"Entahlah. Mungkin tidak ada sinyal di jalan atau baterainya habis, mana aku tahu kenapa teleponnya mati? Cobalah menghubunginya lagi malam nanti saat mereka sudah tiba. Sekarang kembali ke kamarmu, aku sedang sibuk!" 

Pria ini sangat suka membentak, benar-benar menyebalkan. Aku kembali ke kamarku dengan kesal dan khawatir. Tapi, herannya aku tidak merasa ketakutan di dekatnya, tidak seperti ketika berhadapan dengan si bandar judi dekat rumah kami.

Apa aku tidak takut karena perjanjian kami dan uang yang akan aku terima? Atau karena dia tampan? Ah, entahlah, yang pasti aku harus memastikan dulu kalau ibuku baik-baik saja. 

Sambil menunggu sebaiknya aku mencoba kasur besar yang ada dihadapanku. Aku melompat dan membanting tubuhku ke atas kasur empuk ini. Oh, kasurnya sangat nyaman, aku menutup mata dan ....

Aku terbangun karena telepon genggamku berbunyi. Mama, dia meneleponku.

"Mama, apa mama baik-baik saja? Aku mencoba menghubungi mama dari tadi, tapi telepon mama mati," ucapku tanpa henti.

"Kami baru saja sampai. Tadi baterai telepon mama habis. Bagaimana denganmu?"

"Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaan disana?"

"Kami tinggal di kompleks perumahan pegawai. Rumahnya sangat bagus, kau pasti akan menyukainya. Mama belum tahu apa yang akan dikerjakan papamu, tapi sepertinya ini adalah pekerjaan yang bagus."

Aku tersenyum, senang rasanya mendengar suara mama yang sangat bersemangat. Meski sedikit khawatir, membayangkan ibuku yang akan hidup dari uang haram, hasil pekerjaan ayahku yang berasal dari iblis.

"Baiklah, mama sebaiknya beristirahat sekarang, jangan terlalu capek. Besok aku akan menghubungi mama lagi," ucapku masih tersenyum.

Aku memeriksa jam di teleponku. Ha? Aku tertidur selama 5 jam? Aku bahkan melewatkan makan siang karena tertidur nyenyak. Kasur empuk ini benar-benar membuat tidurku nyaman, jauh lebih nyaman daripada tidur di kasurku sendiri.

Aku mulai membongkar pakaianku, aku harus mandi dan mengatur barang-barangku.

Bahkan kamar mandinya tampak sangat mewah, pancuran yang jauh berbeda dengan yang ada di kamar bilas kolam renang umum langgananku. Aku sangat suka mandi di bawah pancuran, karena itu aku sering mandi di kamar bilas kolam renang itu saat bekerja paruh waktu sebagai penjaga loket tiket masuk. 

Aku segera mandi dan benar-benar menikmati aroma sabun yang disediakan dan air hangat dari pancuran mewah ini. Selesai mandi aku memandang seluruh kamarku dengan kagum.

Melihat kamar cantik yang ditata sempurna untuk seorang perempuan ini, aku jadi bertanya-tanya, siapa wanita yang sebelumnya tinggal disini? Atau siapa pemilik asli kamar ini? Tapi ... itu bukan urusanku, karena delapan bulan lagi aku akan meninggalkan kamar ini.

"Nona, anda dipanggil untuk makan malam," panggil panda, membuat perutku berbunyi.

Aku membuka pintu dan menatap panda yang sudah menungguku di depan pintu.

"Siapa namamu sebenarnya?" tanyaku santai. Aku bahkan tidak menggunakan panggilan tuan kepadanya, karena rasanya tidak perlu terlalu sopan kepada para preman seperti mereka.

"Teman-temanku memanggilku panda, anda juga boleh memanggilku begitu," jawabnya sambil tersenyum. Dia jadi terlihat ramah setiap kali tersenyum.

"Nama aslimu. Aku tidak suka memanggil orang dengan nama julukan aneh seperti itu," sahutku tidak membalas senyumannya.

"Pedro, namaku Pedro."

"Baiklah Pedro, ayo makan."

Pedro mengangguk dengan bersemangat lalu berjalan di depanku. Pria yang lucu, dia mengingatkanku pada Rahul, sahabatku. Mereka sama-sama berbadan tambun dan menggemaskan bila tersenyum. Ah, teman-temanku, apa mereka akan menyadari perubahanku bila bertemu di kampus besok? Aku harus bersikap normal dan tidak menimbulkan kecurigaan.

"Selamat malam, Nona," sapa seorang wanita paruh baya yang dari pakaian dan cara bersikapnya, aku duga bekerja sebagai seorang pelayan.

"Selamat malam, Nyonya," balasku. Dia tampak terkejut dan langsung menggelengkan kepala dengan keras.

"Jangan panggil saya Nyonya, saya hanya seorang pelayan. Panggil saja nama saya, Myrna," ucapnya panik sambil melirik Dante yang sudah duduk di meja makan.

Aku mengangguk lalu duduk di samping Pedro. Meja makan ini tampak sangat besar, apalagi hanya kami berlima yang duduk disini, aku, Dante, Pedro dan dua orang lagi yang belum aku ketahui namanya.

Makanan mulai disajikan di atas meja dan itu membuatku berliur. Seumur hidup aku belum pernah melihat makanan sebanyak ini disajikan dirumah untuk makan malam. Ini seperti jamuan yang akan aku temui di sebuah pesta. Sekarang aku jadi sangat ingin makan.

Setelah makanan selesai disajikan, semua orang tetap duduk diam. Apa-apaan ini? Apa mereka tidak makan dan kenyang hanya dengan memandangi makanan saja? Aku menendang kaki Pedro pelan sambil menunjuk meja makan dengan mataku.

"Kita akan makan sebentar lagi, kakek sedang menuju kemari," bisik Pedro kepadaku.

Aku mengangguk lemah. Sial, ternyata ada satu lagi preman yang harus aku hadapi. Kakek pasti kepala preman dan bandar judi terbesar di kelompok ini. Aku membayangkan wajahnya pasti sangat gahar dengan tato memenuhi tubuhnya dan luka dimana-mama. Pria tua itu pasti ....

"Siapa lagi wanita ini?" 

Suara itu mengagetkanku hingga aku hampir berteriak. Aku melirik pria tua itu dan sangat terkejut begitu melihatnya. Dia sama sekali tidak sama dengan yang aku bayangkan, dia lebih mirip seorang pria kaya tua yang hidup nyaman dan berwibawa.

Sepertinya zaman sekarang para penjahat memang pandai berkamuflase, mereka menyamar menjadi orang baik-baik agar tidak dicurigai dan ditangkap. Aku mengerti sekarang.

"Dia Ruby, istriku," jawab Dante sambil menunduk sopan.

Wah, aku tidak menyangka pria tua itu sangat dihormati oleh semua orang yang ada disini. Dia pasti pemimpin yang sangat berkuasa dan mungkin sedikit kejam?

"Selamat malam kakek, saya Ruby Amanda. Saya adalah istri Dante," ucapku memperkenalkan diri.

Pria tua itu hanya sedikit melirikku dan tampak tidak tertarik, lalu kembali berbalik menghadap Dante dengan tatapan mencibir. Ternyata pria tua ini juga sangat sombong, aku benar-benar kesal melihatnya. Selain karena dia menyepelekan aku, tapi juga karena dia sudah membuatku kelaparan. Tapi ... 100 juta, aku harus selalu mengingatnya untuk membuatku tetap bersemangat.

"Dimana kau menemukannya? Yang satu ini tampak berbeda dari yang biasanya."

Aku melongo. Apa maksud perkataannya? Berbeda dari yang biasanya? Apa yang biasanya? Sial! Sebenarnya aku sedang masuk ke dalam permainan apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status