"Kakek, ini tidak seperti yang kakek pikirkan, dia berbeda," jawab Dante mencoba meyakinkan kakeknya.
Aku diam saja, aku perlu menganalisis keadaannya sebelum mengambil sikap.
"Sudahlah, kita bicarakan nanti saja setelah makan."
"Yes!" jawabku senang lalu menyadari kalau suaraku terlalu kuat hingga semua orang menatapku dengan kaget.
"Selamat makan," ucapku lembut sambil tersenyum canggung dan mengangguk perlahan. Aku melihat kakek menggelengkan kepalanya. Sepertinya aku kehilangan satu poin.
Makanannya sangat enak, ini bahkan lebih enak dari makanan yang disajikan saat tetanggaku menikah beberapa hari yang lalu. Aku yakin ini pasti dimasak dengan bahan-bahan terbaik dan oleh koki yang sangat handal.
"Nona, apa anda masih lapar?" tanya Pedro kepadaku sambil memberi tanda yang tidak aku mengerti.
Aku menatap sekelilingku, semua orang sudah berhenti makan. Lalu aku melihat makanan di atas meja, masih ada beberapa potong daging dan salad sayur yang tersisa. Mungkin Pedro bermaksud memintaku menghabiskan daging itu agar tidak terbuang.
"Aku akan menghabiskan ini. Sayang, kalau tidak dihabiskan," ucapku sambil mengambil daging itu dan menuangkan seluruh sisa salad sayur ke piringku.
Aku makan dengan cepat dan menghabiskan semuanya dengan puas. Aku menyeka mulutku dan akan minum ketika menyadari kalau semua orang sedang menatapku dengan tatapan aneh. Seakan-akan aku melakukan hal yang memalukan.
"Aku sudah selesai makan," ucapku lagi-lagi dengan canggung, sepertinya aku salah mengartikan tanda yang diberikan Pedro tadi.
Aku segera meletakkan tisu yang kupegang dan menurunkan tanganku dari meja, meskipun sebenarnya aku masih mau mengambil buah anggur yang tampak manis itu. Tapi tatapan semua orang membuatku menahan diri.
"Berkumpul di ruang kerjaku!" perintah kakek sambil berjalan duluan.
"Apa kau selalu makan sebanyak itu?" tanya Pedro kagum.
Aku menggelengkan kepala dengan bangga.
"Biasanya lebih banyak lagi," jawabku sambil mengangkat satu alis, lalu berjalan mengikuti kakek.
Tiba-tiba Dante berdiri di hadapanku.
"Apapun yang kakek katakan, kau diam saja! Melihat tindakanmu tadi, sepertinya aku salah berpikir kau bisa meyakinkan kakek," bisiknya dengan wajah kesal.
Dia langsung berbalik dan berjalan cepat mengikuti kakek. Memangnya apa yang salah dengan tindakanku tadi? Kau lihat saja nanti, aku pasti bisa meyakinkan kakek dan mendapatkan 100 juta ku.
"Kalian berdua berdiri!" perintah kakek tua itu sambil menunjuk Dante dan aku begitu kami memasuki ruang kerja yang lagi-lagi ukurannya sangat besar.
Aku segera berdiri di samping Dante, tapi pria itu segera menjaga jarak seakan-akan aku akan menularkan virus bila menyentuhnya.
"Melihat gayanya, aku yakin dia bukan orang kaya. Selain itu, kelihatannya dia tidak begitu tertarik kepadamu. Selama ini gadis-gadis yang kau bawa adalah orang-orang berpendidikan dan dari keluarga berada, tapi sepertinya kali ini kau mencoba peruntungan dengan membawa gadis dengan gaya yang berbeda."
Setelah mengatakan hal sejahat itu, kakek tua itu menatapku dengan tajam.
"Berapa dia membayarmu agar mau berpura-pura menikahinya untuk mendapatkan warisanku?"
Wah, meski tua tapi dia benar-benar jeli dan cerdas, jauh berbeda dari cucu tampannya.
"Kami tidak berpura-pura menikah, aku bisa memperlihatkan dokumen resmi bahwa kami benar-benar menikah," potong Dante sebelum aku membuka mulut.
"Apa yang tidak bisa kau lakukan? Memalsukan dokumen, mendaftarkan pernikahan lalu segera mendaftarkan perceraian, membawa keluarga besan palsu agar kakek percaya. Semua sudah kau lakukan. Kakek akui, ini berbeda. Baru kali ini kau membawa seorang gadis muda yang miskin untuk kau jadikan istri," sahut kakek tua itu membuat Dante tidak berkutik.
Saat seperti ini aku bersyukur mengambil klub teater di kampus, meskipun alasanku mengambilnya karena hanya itu klub yang tidak membutuhkan biaya tambahan seperti alat musik dan pakaian atau perlengkapan olahraga.
"Kakek!" seruku dengan suara dalam dan meyakinkan. Aku harus menunjukkan bakat aktingku yang luar biasa di hadapan pria tua ini.
"Aku memang miskin. Tapi aku bukan orang miskin biasa!" seruku sambil menatapnya tajam.
Pria tua itu terlihat terkesima mendengar suaraku, aku juga bisa merasakan ketegangan dari wajah Dante dan semua orang yang berada di ruangan itu.
"Aku adalah mahasiswi berprestasi. Saat sekolah menengah, aku mendapatkan beasiswa selama 3 tahun penuh, memenangkan lomba debat, olimpiade matematika, lomba pidato dan lomba menulis cepat setiap tahunnya. Aku juga cukup atletis, karena aku selalu mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran olahraga, meski aku tidak pernah mengikuti lomba karena peralatannya cukup mahal. Di kampus juga aku mendapatkan beasiswa sehingga belum pernah sekalipun membayar uang kuliah. Aku juga pandai berakting, membaca puisi, bahkan bernyanyi. Apa kakek mau mendengarku bernyanyi?"
"Apa-apaan ini? Apa kau pikir aku pasti akan menerimamu hanya karena kau adalah siswa berprestasi? Sekarang sebaiknya kau keluar dari sini. Tapi sebelumnya, katakan berapa Dante membayarmu?"
"Apa kakek benar-benar mau aku keluar dari sini? Kalau begitu apa kakek bersedia membayarku sebesar 300 juta untuk membuatku keluar dari sini?" tanyaku lembut.
Kalau dia membayarku 300 juta maka selesailah masalahku. Aku bisa membayar hutang ayahku dan keluar dari sini dengan uang 100 juta di tanganku.
"Apa kau sudah gila? Keluar dari sini!" teriak pria tua itu marah.
Sepertinya dia tidak berniat memberiku uang, kalau begitu aku tidak akan keluar. Aku akan berusaha untuk meyakinkannya bahwa aku dan Dante sungguh-sungguh saling mencintai.
"Tidak! Aku tidak akan meninggalkan suamiku!" tegasku sambil berdiri tegak.
"Anak ini benar-benar keterlaluan. Berani-beraninya kau menentangku dan membuat kepalaku sakit. Keluar kataku! Semua orang disini tahu, kalau dan Dante berpura-pura hanya supaya dia mendapatkan harta warisanku. Jadi berhentilah menunjukkan akting jelekmu itu disini!" bentak kakek itu sambil menunjukku.
Aku menatap Dante yang memberi tanda agar aku berhenti lalu mulai bicara.
"Baiklah, kakek, jangan khawatir. Kami akan-"
Apa? Dia mau menyerah begitu saja? Tidak boleh! Aku tidak boleh kehilangan 100 juta ku. Aku langsung berlari dan menutup mulut pria itu. Semua orang terkesima melihat tindakanku. Mata Dante dan kakeknya terbuka sangat besar seakan-akan mereka melihat seekor harimau muncul.
Aku menurunkan tanganku lalu meraih tangan Dante dan menggenggamnya dengan erat.
"Kakek percayalah, aku akan jadi cucu menantu yang baik untuk kakek. Aku bersikap seperti tadi karena kesal. Kakek tidak boleh menghina dan merendahkan orang yang belum kakek kenal. Jadi tolonglah, beri aku kesempatan," ucapku memohon.
Tapi kakek sepertinya sama sekali tidak mendengarkanku, dia malah menatap Dante dengan wajah khawatir. Begitu juga dengan Pedro dan dua pria lainnya mereka hanya menatap Dante dengan serius.
"A ... apa kau baik-baik saja?" tanya kakek kepada Dante yang menurutku terlihat baik-baik saja.
"Kenapa? Apa sesuatu terjadi kepadamu?" tanyaku masih menggenggam tangan Dante.
"Aku ... Aku baik-baik saja. Kakek, aku baik-baik saja," ucap Dante sambil memandang tanganku yang sedang menggenggam tangannya dengan tatapan tidak percaya.
Ada apa ini? Mengapa mereka semua bersikap aneh dan tampak lega.
Kakek tua itu menatapku, kali ini dengan tatapan yang sangat berbeda.
"Baiklah, aku menerimamu sebagai istri cucuku."
"Ka ... kakek menerimaku?" seruku senang."Kakek tidak akan menyesali keputusan kakek itu, mulai hari ini aku akan menjadi cucu menantu yang baik!" seruku bersemangat karena berhasil mendapatkan 100 juta ku."Sudahlah, hentikan semua omong kosongmu itu. Keluarlah dari ruanganku, aku butuh bicara dengan cucuku," jawabnya tampak tidak tertarik dengan dedikasiku."Baiklah, aku juga mau tidur karena besok harus ke kampus," jawabku kesal, benar-benar pria tua yang sombong.Aku berjalan keluar, menutup pintu lalu segera menempelkan telingaku ke pintu. Aku penasaran, mengapa tadi semua orang tampak mengkhawatirkan Dante. Aku mencoba menguping tapi tidak bisa mendengar apapun. Sepertinya pintu ini terbuat dari kayu yang sangat tebal.Sudahlah! Lebih baik aku beristirahat, besok akting yang sesungguhnya akan dimulai. Aku harus mencatat kebohongan apa saja yang akan aku katakan kepada teman-temanku, agar di masa depan aku tidak lupa dengan kata-kataku sendiri.***Aku terbangun sebelum matahari
"Tidak usah, aku sedang ingin berjalan kaki," jawabku sambil melirik ke belakang.Aku bisa melihat supir Dante masih memperhatikanku. Dia bisa saja mengadu kepada Dante dan membuat 100 jutaku melayang."Kenapa? Apa kau menunggu seseorang?" tanya Joshua sambil mengikuti pandanganku."Tidak. Aku hanya ... sedang berusaha untuk berolahraga lebih banyak," jawabku lagi-lagi berbohong."Baiklah, kalau begitu aku duluan."Joshua segera memacu motor besarnya menuju ke kampus. Sementara aku menatap punggungnya dengan perasaan kesal. Andai supir itu tidak mengawasi, aku pasti sedang berada di atas motor besar milik Joshua. Aku kembali melangkahkan kakiku dengan lunglai.Aku tiba di kampus tepat waktu untuk kuliah pertama hari ini. "Ruby, kenapa terlambat? Aku sudah lama menunggumu. Katamu akan datang lebih pagi hari ini," gerutu sahabatku Dora begitu melihatku masuk kelas."Maaf, tadi aku berjalan kaki cukup jauh," jawabku sambil duduk di kursi yang berada di samping Dora."Kenapa? Bus mu mogo
"Ruby, ada apa?" bisik Rahul sambil mencolek tanganku."Ha?" tanyaku bingung."Mengapa wajahmu tiba-tiba pucat seperti orang ketakutan?"Aku memaksa bibirku untuk tersenyum."Perutku sakit, karena ada yang harus aku setor ke toilet, " bisikku berpura-pura."Sial!" makinya dengan wajah jijik."Sekarang silakan nona yang berbaju pink," panggil Joshua."Namaku Naomi, kak," jawab Naomi sambil berdiri dan memainkan rambut panjangnya."Ayo bersiap untuk menerima pertanyaan aneh dan tidak masuk akal yang dia tanyakan hanya untuk mencari perhatian," bisik Rahul diikuti anggukan kepalaku dan Dora."Bagaimana dengan pernikahan untuk membayar hutang? Misalnya seseorang berhutang dan memberikan putrinya sebagai bayaran dan dinikahkan dengan orang yang memberinya hutang? Apa pendapat kalian dan bagaimana aturan hukumnya?"Dora melirikku meminta aku menjawab, tapi aku diam saja. Tiba-tiba kepalaku kosong, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. "Tentu saja itu bertentangan dengan hukum. Itu bi
"A ... apa? Jatuh cinta? Apa maksud kakek? Bukankah kakek tidak menyukaiku? Mengapa menginginkan Dante jatuh cinta kepadaku?""Jadi, kau mau menerima tawaranku atau tidak?" Pria tua ini tidak menjawab pertanyaanku. Apa mungkin telinganya sudah mulai bermasalah karena usianya? Atau dia sengaja tidak ingin menjawab?"Bolehkah aku memikirkannya?" tanyaku acuh."Silakan, aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Besok pagi berikan jawabanmu. Sekarang, silakan keluar, aku harus bekerja."Aku segera berdiri dan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Orang-orang di rumah ini sepertinya memang terlahir kasar dan tidak sopan!"Apa yang kau lakukan di ruang kerja kakek?" tanya Dante yang baru pulang.Ada apa dengan pakaiannya? Mengapa dia memakai setelah rapi dan sepatu formil seakan-akan dia seorang CEO atau pengacara atau seorang aktor. Dia hanya seorang bandar judi, mengapa harus tampil setampan itu?"Ada sesuatu yang kami bicarakan," jawabku acuh lalu segera meninggalkannya dan berjalan m
"Papa, tolong biarkan aku pulang."Aku memohon kepada ayahku yang menipuku untuk datang ke rumah judi dan menahanku disana, katanya untuk dijadikan jaminan pembayaran kepada bandar judi tempat dia berhutang."Dengar Ruby, kali ini hanya kau yang bisa menolong papa. Kalau tidak seluruh keluarga kita akan hancur. Apa kau mau bertanggung jawab kalau mereka membunuhku dan menyiksa ibumu?" sahutnya dengan tenang, seakan-akan ini semua salahku dan akulah yang harus bertanggung jawab."Tapi papa yang kalah judi, kenapa harus aku yang papa jual? Kenapa papa tidak menjual diri papa saja!" teriakku marah."Karena papa tidak laku!" balasnya berteriak. Ayahku yang terlihat jauh lebih tua dari umurnya itu menatapku putus asa. Aku membalas tatapannya dengan tajam. Aku benar-benar membencinya."Bagaimana kalau orang yang membeliku menyiksaku?" tanyaku, kali ini berharap dia mau berubah pikiran."Dia tidak sekejam itu, percayalah. Ayo, masuk," ajaknya sambil menarik tanganku dengan kuat.Aku mengiku
Aku membalikkan tubuhku dan mataku langsung menatap sebuah pemandangan yang seharusnya tidak muncul di tempat seperti ini.Seorang pria tinggi dengan tato di lengannya, hanya ada satu tato tidak seperti bandar judi itu yang seluruh lengan hingga lehernya dipenuhi tato. Wajah pria ini sangat tampan dengan rambut hitam kecoklatan. Dia memakai kemeja putih dengan pola daun, seakan-akan dia akan berlibur ke pantai.Di belakangnya berdiri tiga orang pria memakai pakaian yang mirip dengan pria tampan itu, hanya saja dua diantaranya tampak menyeramkan dengan tubuh besarnya. Sementara seorang lagi tampak masih sangat muda, sepertinya usianya tidak jauh berbeda denganku.Aku berbalik dan menatap ayahku. Pria tua itu tampak lebih ketakutan daripada kepada sang bandar judi tadi. Dia tidak bisa berkata apa-apa dan hanya berdiri diam dengan tubuh gemetar.Pria tampan itu memberi tanda kepada pria besar di belakangnya, lalu salah satu dari pria berwajah seram itu pergi keluar."Siapa kau?" tanya si
"Apa yang kau cari?" tanya ibuku melihatku membongkar tempat surat-surat penting kami."Surat-suratku," jawabku sambil memasukkan semua surat yang diminta pria bernama Dante itu ke dalam map."Untuk apa surat-surat ini kau ba-""Ma, aku pergi dulu. Nanti setelah pulang, aku akan menjelaskan semuanya," potongku sambil menepuk pelan tangan ibuku yang sudah keriput itu.Aku menghindari pertanyaannya dengan berlari keluar dan langsung masuk ke dalam mobil milik Dante. Sementara ibuku berdiri di depan pintu rumah reyot kami dengan bingung. Aku tidak berani berlama-lama di dekatnya, dia akan mengetahui kalau aku menyembunyikan sesuatu. Aku tidak pernah bisa menutupi apapun darinya, karena dia adalah satu-satunya orang yang aku percayai dan andalkan dalam hidupku.Aku mengembuskan napas sambil menatap iba wanita yang sudah melahirkanku itu. Usianya baru saja memasuki 45 tahun tapi wajahnya sudah tampak renta. Padahal seingatku dia adalah wanita yang sangat cantik, entah sejak kapan dia mulai
"Tapi katamu semua akan seperti sebelumnya," sahutku bingung."Aktivitasmu bukan hubunganmu! Kau sudah menjadi istriku, jadi bersikaplah seperti seorang istri!" bentak pria itu lalu segera membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam mobil."Nona, saya akan mengantar anda pulang untuk mengambil barang-barang anda," ucap salah satu pria besar dan seram kepadaku.Aku segera menuruti pria besar itu dan masuk ke dalam mobil sambil mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti apa mau pria bernama Dante ini. Kalau orang-orang tidak boleh tahu kami menikah, kenapa aku tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain?"Saya akan menunggu disini," ucap pria itu setelah kami tiba di depan rumahku.Aku masuk dengan perasaan bingung dan tidak menentu. Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya kepada ibuku? Hatinya pasti hancur bila mengetahui apa yang terjadi."Ruby! Akhirnya kamu pulang, sayang," sapa ibuku sambil memelukku."Kenapa kau tidak mau ikut dengan kami? Bagaimana kalau kau kesepian, siapa yang akan