Share

BAB 6

"Kakek, ini tidak seperti yang kakek pikirkan, dia berbeda," jawab Dante mencoba meyakinkan kakeknya. 

Aku diam saja, aku perlu menganalisis keadaannya sebelum mengambil sikap.

"Sudahlah, kita bicarakan nanti saja setelah makan."

"Yes!" jawabku senang lalu menyadari kalau suaraku terlalu kuat hingga semua orang menatapku dengan kaget.

"Selamat makan," ucapku lembut sambil tersenyum canggung dan mengangguk perlahan. Aku melihat kakek menggelengkan kepalanya. Sepertinya aku kehilangan satu poin.

Makanannya sangat enak, ini bahkan lebih enak dari makanan yang disajikan saat tetanggaku menikah beberapa hari yang lalu. Aku yakin ini pasti dimasak dengan bahan-bahan terbaik dan oleh koki yang sangat handal.

"Nona, apa anda masih lapar?" tanya Pedro kepadaku sambil memberi tanda yang tidak aku mengerti.

Aku menatap sekelilingku, semua orang sudah berhenti makan. Lalu aku melihat makanan di atas meja, masih ada beberapa potong daging dan salad sayur yang tersisa. Mungkin Pedro bermaksud memintaku menghabiskan daging itu agar tidak terbuang.

"Aku akan menghabiskan ini. Sayang, kalau tidak dihabiskan," ucapku sambil mengambil daging itu dan menuangkan seluruh sisa salad sayur ke piringku.

Aku makan dengan cepat dan menghabiskan semuanya dengan puas. Aku menyeka mulutku dan akan minum ketika menyadari kalau semua orang sedang menatapku dengan tatapan aneh. Seakan-akan aku melakukan hal yang memalukan.

"Aku sudah selesai makan," ucapku lagi-lagi dengan canggung, sepertinya aku salah mengartikan tanda yang diberikan Pedro tadi.

Aku segera meletakkan tisu yang kupegang dan menurunkan tanganku dari meja, meskipun sebenarnya aku masih mau mengambil buah anggur yang tampak manis itu. Tapi tatapan semua orang membuatku menahan diri.

"Berkumpul di ruang kerjaku!" perintah kakek sambil berjalan duluan.

"Apa kau selalu makan sebanyak itu?" tanya Pedro kagum.

Aku menggelengkan kepala dengan bangga.

"Biasanya lebih banyak lagi," jawabku sambil mengangkat satu alis, lalu berjalan mengikuti kakek. 

Tiba-tiba Dante berdiri di hadapanku.

"Apapun yang kakek katakan, kau diam saja! Melihat tindakanmu tadi, sepertinya aku salah berpikir kau bisa meyakinkan kakek," bisiknya dengan wajah kesal.

Dia langsung berbalik dan berjalan cepat mengikuti kakek. Memangnya apa yang salah dengan tindakanku tadi? Kau lihat saja nanti, aku pasti bisa meyakinkan kakek dan mendapatkan 100 juta ku.

"Kalian berdua berdiri!" perintah kakek tua itu sambil menunjuk Dante dan aku begitu kami memasuki ruang kerja yang lagi-lagi ukurannya sangat besar.

Aku segera berdiri di samping Dante, tapi pria itu segera menjaga jarak seakan-akan aku akan menularkan virus bila menyentuhnya.

"Melihat gayanya, aku yakin dia bukan orang kaya. Selain itu, kelihatannya dia tidak begitu tertarik kepadamu. Selama ini gadis-gadis yang kau bawa adalah orang-orang berpendidikan dan dari keluarga berada, tapi sepertinya kali ini kau mencoba peruntungan dengan membawa gadis dengan gaya yang berbeda."

Setelah mengatakan hal sejahat itu, kakek tua itu menatapku dengan tajam.

"Berapa dia membayarmu agar mau berpura-pura menikahinya untuk mendapatkan warisanku?" 

Wah, meski tua tapi dia benar-benar jeli dan cerdas, jauh berbeda dari cucu tampannya.

"Kami tidak berpura-pura menikah, aku bisa memperlihatkan dokumen resmi bahwa kami benar-benar menikah," potong Dante sebelum aku membuka mulut.

"Apa yang tidak bisa kau lakukan? Memalsukan dokumen, mendaftarkan pernikahan lalu segera mendaftarkan perceraian, membawa keluarga besan palsu agar kakek percaya. Semua sudah kau lakukan. Kakek akui, ini berbeda. Baru kali ini kau membawa seorang gadis muda yang miskin untuk kau jadikan istri," sahut kakek tua itu membuat Dante tidak berkutik.

Saat seperti ini aku bersyukur mengambil klub teater di kampus, meskipun alasanku mengambilnya karena hanya itu klub yang tidak membutuhkan biaya tambahan seperti alat musik dan pakaian atau perlengkapan olahraga.

"Kakek!" seruku dengan suara dalam dan meyakinkan. Aku harus menunjukkan bakat aktingku yang luar biasa di hadapan pria tua ini.

"Aku memang miskin. Tapi aku bukan orang miskin biasa!" seruku sambil menatapnya tajam.

Pria tua itu terlihat terkesima mendengar suaraku, aku juga bisa merasakan ketegangan dari wajah Dante dan semua orang yang berada di ruangan itu.

"Aku adalah mahasiswi berprestasi. Saat sekolah menengah, aku mendapatkan beasiswa selama 3 tahun penuh, memenangkan lomba debat, olimpiade matematika, lomba pidato dan lomba menulis cepat setiap tahunnya. Aku juga cukup atletis, karena aku selalu mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran olahraga, meski aku tidak pernah mengikuti lomba karena peralatannya cukup mahal. Di kampus juga aku mendapatkan beasiswa sehingga belum pernah sekalipun membayar uang kuliah. Aku juga pandai berakting, membaca puisi, bahkan bernyanyi. Apa kakek mau mendengarku bernyanyi?"

"Apa-apaan ini? Apa kau pikir aku pasti akan menerimamu hanya karena kau adalah siswa berprestasi? Sekarang sebaiknya kau keluar dari sini. Tapi sebelumnya, katakan berapa Dante membayarmu?"

"Apa kakek benar-benar mau aku keluar dari sini? Kalau begitu apa kakek bersedia membayarku sebesar 300 juta untuk membuatku keluar dari sini?" tanyaku lembut. 

Kalau dia membayarku 300 juta maka selesailah masalahku. Aku bisa membayar hutang ayahku dan keluar dari sini dengan uang 100 juta di tanganku.

"Apa kau sudah gila? Keluar dari sini!" teriak pria tua itu marah.

Sepertinya dia tidak berniat memberiku uang, kalau begitu aku tidak akan keluar. Aku akan berusaha untuk meyakinkannya bahwa aku dan Dante sungguh-sungguh saling mencintai.

"Tidak! Aku tidak akan meninggalkan suamiku!" tegasku sambil berdiri tegak.

"Anak ini benar-benar keterlaluan. Berani-beraninya kau menentangku dan membuat kepalaku sakit. Keluar kataku! Semua orang disini tahu, kalau dan Dante berpura-pura hanya supaya dia mendapatkan harta warisanku. Jadi berhentilah menunjukkan akting jelekmu itu disini!" bentak kakek itu sambil menunjukku.

Aku menatap Dante yang memberi tanda agar aku berhenti lalu mulai bicara.

"Baiklah, kakek, jangan khawatir. Kami akan-"

Apa? Dia mau menyerah begitu saja? Tidak boleh! Aku tidak boleh kehilangan 100 juta ku. Aku langsung berlari dan menutup mulut pria itu. Semua orang terkesima melihat tindakanku. Mata Dante dan kakeknya terbuka sangat besar seakan-akan mereka melihat seekor harimau muncul.

Aku menurunkan tanganku lalu meraih tangan Dante dan menggenggamnya dengan erat. 

"Kakek percayalah, aku akan jadi cucu menantu yang baik untuk kakek. Aku bersikap seperti tadi karena kesal. Kakek tidak boleh menghina dan merendahkan orang yang belum kakek kenal. Jadi tolonglah, beri aku kesempatan," ucapku memohon.

Tapi kakek sepertinya sama sekali tidak mendengarkanku, dia malah menatap Dante dengan wajah khawatir. Begitu juga dengan Pedro dan dua pria lainnya mereka hanya menatap Dante dengan serius.

"A ... apa kau baik-baik saja?" tanya kakek kepada Dante yang menurutku terlihat baik-baik saja.

"Kenapa? Apa sesuatu terjadi kepadamu?" tanyaku masih menggenggam tangan Dante.

"Aku ... Aku baik-baik saja. Kakek, aku baik-baik saja," ucap Dante sambil memandang tanganku yang sedang menggenggam tangannya dengan tatapan tidak percaya.

Ada apa ini? Mengapa mereka semua bersikap aneh dan tampak lega.

Kakek tua itu menatapku, kali ini dengan tatapan yang sangat berbeda.

"Baiklah, aku menerimamu sebagai istri cucuku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status