"Tidak usah, aku sedang ingin berjalan kaki," jawabku sambil melirik ke belakang.Aku bisa melihat supir Dante masih memperhatikanku. Dia bisa saja mengadu kepada Dante dan membuat 100 jutaku melayang."Kenapa? Apa kau menunggu seseorang?" tanya Joshua sambil mengikuti pandanganku."Tidak. Aku hanya ... sedang berusaha untuk berolahraga lebih banyak," jawabku lagi-lagi berbohong."Baiklah, kalau begitu aku duluan."Joshua segera memacu motor besarnya menuju ke kampus. Sementara aku menatap punggungnya dengan perasaan kesal. Andai supir itu tidak mengawasi, aku pasti sedang berada di atas motor besar milik Joshua. Aku kembali melangkahkan kakiku dengan lunglai.Aku tiba di kampus tepat waktu untuk kuliah pertama hari ini. "Ruby, kenapa terlambat? Aku sudah lama menunggumu. Katamu akan datang lebih pagi hari ini," gerutu sahabatku Dora begitu melihatku masuk kelas."Maaf, tadi aku berjalan kaki cukup jauh," jawabku sambil duduk di kursi yang berada di samping Dora."Kenapa? Bus mu mogo
"Ruby, ada apa?" bisik Rahul sambil mencolek tanganku."Ha?" tanyaku bingung."Mengapa wajahmu tiba-tiba pucat seperti orang ketakutan?"Aku memaksa bibirku untuk tersenyum."Perutku sakit, karena ada yang harus aku setor ke toilet, " bisikku berpura-pura."Sial!" makinya dengan wajah jijik."Sekarang silakan nona yang berbaju pink," panggil Joshua."Namaku Naomi, kak," jawab Naomi sambil berdiri dan memainkan rambut panjangnya."Ayo bersiap untuk menerima pertanyaan aneh dan tidak masuk akal yang dia tanyakan hanya untuk mencari perhatian," bisik Rahul diikuti anggukan kepalaku dan Dora."Bagaimana dengan pernikahan untuk membayar hutang? Misalnya seseorang berhutang dan memberikan putrinya sebagai bayaran dan dinikahkan dengan orang yang memberinya hutang? Apa pendapat kalian dan bagaimana aturan hukumnya?"Dora melirikku meminta aku menjawab, tapi aku diam saja. Tiba-tiba kepalaku kosong, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. "Tentu saja itu bertentangan dengan hukum. Itu bi
"A ... apa? Jatuh cinta? Apa maksud kakek? Bukankah kakek tidak menyukaiku? Mengapa menginginkan Dante jatuh cinta kepadaku?""Jadi, kau mau menerima tawaranku atau tidak?" Pria tua ini tidak menjawab pertanyaanku. Apa mungkin telinganya sudah mulai bermasalah karena usianya? Atau dia sengaja tidak ingin menjawab?"Bolehkah aku memikirkannya?" tanyaku acuh."Silakan, aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Besok pagi berikan jawabanmu. Sekarang, silakan keluar, aku harus bekerja."Aku segera berdiri dan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Orang-orang di rumah ini sepertinya memang terlahir kasar dan tidak sopan!"Apa yang kau lakukan di ruang kerja kakek?" tanya Dante yang baru pulang.Ada apa dengan pakaiannya? Mengapa dia memakai setelah rapi dan sepatu formil seakan-akan dia seorang CEO atau pengacara atau seorang aktor. Dia hanya seorang bandar judi, mengapa harus tampil setampan itu?"Ada sesuatu yang kami bicarakan," jawabku acuh lalu segera meninggalkannya dan berjalan m
"Itu ... aku-" "Siapa yang mengantarmu? Mengapa berhenti begitu jauh dari kampus?" Benar dugaanku, dia melihatku keluar dari mobil Dante."Itu pamanku. Dia harus segera berangkat ke kantor, jadi dia hanya bisa mengantarku sampai di sini," jawabku berbohong."Apakah kau akan berjalan kaki lagi ke kampus? Atau mau ikut denganku?" tanya Joshua yang sepertinya percaya dengan jawabanku."Kalau kakak tidak keberatan aku akan ikut, karena sepertinya aku akan terlambat kalau berjalan kaki," ucapku malu-malu."Pakai helm ini dan naiklah!"Aku mengangguk dan segera naik sambil tersenyum bahagia. Setidaknya dibalik semua persoalanku ada pelangi tipis yang muncul dan memberikanku harapan dan sukacita. Joshua, dialah pelangiku."Ruby!" teriak Dora dan Rahul bersamaan saat mereka melihatku turun dari motor Joshua."Terima kasih untuk tumpangannya, ka," ucapku begitu turun lalu segera berlari menemui Dora dan Rahul."Apa aku tidak salah lihat? Kau naik motor Joshua? Apa yang terjadi?" cecar Dora
"Nona Ruby, makan malam sudah siap," panggil Myrna sambil mengetuk pintu kamarku. Aku tidak menjawabnya. Aku sudah duduk diam di atas tempat tidurku sejak aku mengeluarkan amarahku, mungkin sekitar dua jam yang lalu. Aku tidak tahu nasib apa yang menungguku di luar.Mulutku ini memang tidak bisa kompromi, dia akan langsung mengeluarkan apa saja yang ada di dalam hatiku. Kenapa dia mendengarkan hatiku dan bukan otakku? Bukankah seharusnya otak yang memerintahkan bagian-bagian tubuh untuk melakukan sesuatu? "Nona Ruby, apakah anda akan makan malam?" tanya Myrna sekali lagi. Aku rasa dia akan terus disana kalau aku tidak menjawabnya. Aku berjalan ke pintu dan membukanya."Aku belum mandi, jadi aku tidak bisa makan malam sekarang," jawabku sambil menunjukkan pakaianku."Biarkan saja mereka makan malam duluan. Kalau lapar, aku akan makan sendiri nanti," lanjutku sebelum menutup pintu.Aku kembali duduk di atas tempat tidur sambil memukuli dada dan mulutku."Bodoh! Kalian benar-benar bod
"Pelajaran hari ini jam 5 sore setelah anda sampai di rumah. Gurunya akan datang ke rumah. Saya akan mengatur semua jadwal anda dan memberikannya secepatnya kepada anda, Nona," ujar Pedro setelah meminta jadwal kuliahku."Baiklah, terima kasih Pedro. Ngomong-ngomong, siapa yang akan mengantarku kuliah hari ini?""Supir, Nona. Dia sudah menunggu anda," jawab Pedro sambil membereskan kertas yang dia bawa.Aku segera keluar setelah berpamitan dengan Pedro. Tidak ada orang lain yang bangun di rumah ini pada jam-jam seperti ini. Hanya Pedro, Myrna, para pelayan dan supir yang sudah bangun dan beraktivitas.Aku berangkat ke kampus dengan berbagai pertanyaan yang muncul di kepalaku. Sebenarnya siapa Pedro? Apakah dia asisten Dante? Lalu dimana dua orang lain yang biasanya bersama Dante, mengapa mereka tidak pernah muncul lagi? Sepertinya aku harus menyisihkan waktu untuk bertanya kepada Pedro. Pria itu terlihat sangat ramah jadi dia pasti akan menjawab semua pertanyaanku."Nona, apakah anda
"Sepertinya pertanyaan Naomi terlalu personal. Tapi saya serahkan kepada Tuan Dante, apakah ingin menjawab pertanyaan itu atau tidak," ucap moderator sambil memberikan tanda menggunakan tangannya agar semua orang tenang.Aku menahan napas dengan tegang. Dante menatapku sebelum akhirnya beralih menatap Naomi. Dia tersenyum tenang lalu menjawab dengan suara basnya."Saya tidak akan menjawab pertanyaan seperti itu," jawab Dante membuatku langsung bernapas lega."Syukurlah," ucapku tenang."Ada apa?" tanya Joshua bingung."Ah tidak apa-apa," jawabku cepat."Maaf kak, kali ini aku harus pergi. Masih ada kelas yang harus aku hadiri," ucapku tanpa memedulikan lagi apa jawaban Joshua.Aku segera berjalan keluar sambil membawa materi yang diberikan Joshua tadi. Aku tidak tahan berada di sana, bisa-bisa aku mati karena tegang.Aku memeriksa jam, masih ada sejam lagi sebelum kelas berikutnya. Dimana Dora dan Rahul, aku menelepon mereka tapi tidak diangkat. Aku memutari kampus selama lebih dari l
"Apa?" tanya Pedro sambil membalikkan tubuhnya."Tadi ketika kau melihatku berbicara dengan temanku, apakah Dante juga melihat semuanya? Atau apakah kau memberitahu Dante semuanya?" tanyaku pelan.Pedro mengangguk."Tuan Dante juga ada disana dan menyaksikan semuanya. Saat itu saya sedang menyerahkan dokumen kepada Tuan Dante," jelas Pedro sambil mengangguk yakin."Baiklah, terima kasih," jawabku lalu masuk ke kamar.Aku mengeluarkan uang dan kartu kredit yang diberikan Dante tadi. Apa dia memberikan ini karena mendengar pembicaraanku dengan Dora tadi? Apa dia merasa kasihan kepadaku? Apa dia ... ah, tidak bisa begini, sebaiknya aku bertanya langsung kepadanya.Aku tidak ingin dikasihani oleh orang sepertinya.Aku memutuskan untuk mandi dan menenangkan pikiranku, juga mengatur kata-kata yang akan aku sampaikan kepada Dante nanti. Aku tidak mau memprovokasi dia sehingga membahayakan ibuku.Setelah aku merasa yakin, aku keluar membawa tasku. Rasanya tidak enak bila para pegawai melihatku
"Apa kau sungguh-sungguh?" tanyaku dengan suara bergetar. Dante mengangguk sambil tersenyum manis.Aku menatapnya tidak percaya, lalu mataku mulai berkaca-kaca. Aku benar-benar cengeng."Hei, kenapa menangis? Bukankah sekarang kau seharusnya bahagia?""Aku rasa ini adalah airmata bahagia."Dante kembali tersenyum lalu meraih tubuhku dan mendekapku dengan erat. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan kebahagiaan yang tidak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Melebihi mendapatkan kemenangan dalam kompetisi atau juara di kelas. Melebihi hadiah yang kudapatkan atau pujian yang diberikan kepadaku. Aku membalas dekapan Dante dengan tidak kalah erat. Rasanya aku tidak ingin melepaskannya, takut ini hanya mimpi."Aku sangat ingin menciummu seperti saat kita berciuman di kamar waktu itu. Tapi rasanya kurang pantas melakukannya disini," bisik Dante membuatku tersipu malu, lalu kubenamkan wajahku ke pundak Dante.Perlahan Dante melepaskan dekapannya, lalu menatap wajahku dengan lembut.
"Bukan ... Bukan seperti itu," sahut Dante sambil menahan tawa."Kenapa kau menertawakan aku? Apa aku tampak menggelikan bagimu?" tanyaku kesal."Ruby, aku mohon dengarkan aku dulu. Aku tidak bermaksud menertawakanmu.""Lalu?" tanyaku cemberut. Dia harusnya tidak meremehkanku hanya karena tidak memiliki perasaan yang sama denganku."Sepertinya aku harus mengulangi kata-kataku, aku tidak menganggapmu gadis bodoh yang miskin. Tapi sepertinya kau memang cukup polos," jawabnya sambil tersenyum."Berhentilah bermain-main! Kalau kau membenciku katakan saja terus terang. Aku berjanji akan benar-benar menjauhimu dan menghapusmu dari hatiku. Mulai-""Ruby, sudah aku katakan dengarkan aku dulu," potong Dante lalu meraih tanganku perlahan.Apa yang dia lakukan? Kenapa dia memegang tanganku seperti ini? Sial! Jantungku berdetak sangat cepat, aku bisa mati karena perasaan ini.Aku segera menarik tanganku sebelum aku tidak bisa mengendalikan diri."Apa yang kau lakukan?" tanyaku ketus, berusaha men
"Apa maksudmu?" tanyaku langsung bangun dan menatapnya dengan marah."Akhirnya kau bangun juga. Maafkan-""Apa maksudmu?" potongku tidak ingin mendengar permintaan maafnya."Maksud yang mana? Penawaranku kalau boleh terus mencintaiku?" tanya Dante sambil tersenyum."Apa kau pikir lucu mempermainkan aku? Kau melarangku jatuh cinta kepadamu, tapi kau melakukan hal-hal yang membuatku tertarik kepadamu. Kau menciumku lalu mengatakan kau menyukaiku, tapi kemudian meminta kita bercerai karena aku mencintaimu," ucapku dengan suara bergetar.Dadaku tiba-tiba terasa sesak, airmata mulai menetes. Aku marah dan merasa terhina."Lalu aku bertekad untuk melupakan perasaanku demi kakek dan sekarang tanpa ada angin apapun, kau mengizinkanku mencintaimu asal memaafkan kesalahanmu? Siapa kau hingga merasa berhak mengatur perasaanku sesuka hatimu? Apa karena di hadapanmu aku ini gadis polos bodoh yang miskin? Sehingga kau bisa memerintahkan aku harus merasa seperti apa?" bentakku tidak tahan lagi.Meng
Beberapa orang mulai berbisik-bisik dan sebagian lagi menahan tawa. Aku menyapu seluruh ruangan dengan mataku. Semua orang berpakaian resmi, jas dan gaun mewah. Bahkan Cherry mengenakan gaun seorang putri. Aku satu-satunya yang mengenakan piyama dengan rambut terkepang dua."Apakah istri sepupumu akan menampilkan sesuatu?""Apa dia badut?" "Dia benar-benar gila, kenapa dia memakai piyama ke pesta?""Sepertinya dia berencana mempermalukan Cherry. Dasar jahat!"Aku bisa mendengar orang-orang mulai membicarakanku. Seharusnya sekarang aku berbalik dan pulang ke rumah sambil menangis. Tapi entah kenapa tubuhku hanya diam disana, menatap semua orang yang sedang menertawaiku.Otakku masih kesulitan memproses keadaan yang sedang terjadi ini. Aku masih tidak percaya kalau aku dipermainkan dan dipermalukan seperti ini.Tiba-tiba seseorang menarik tanganku."Ayo, pulang!" tegasnya sambil menyeretku keluar."Dante," gumamku pelan.Dante menghempaskan tanganku begitu kami keluar dari Ballroom."A
"Apa?" tanya Dante terkejut."Aku tidak mau bercerai darimu. Aku memutuskan untuk tetap berada dalam pernikahan ini dan melupakan perasaanku. Aku berjanji mulai hari ini, akan berhenti mencintaimu. Jadi kau tidak perlu khawatir."Dante tampak syok mendengar perkataanku. Dia hanya menatapku tanpa berkata apa-apa."Bagaimana apakah kau setuju melanjutkan pernikahan ini?" tanyaku sambil menatap Dante dengan berani."Baiklah. Selama kau bisa mengatur perasaanmu, maka tidak masalah buatku," jawab Dante tenang.Aku mengangguk dengan hati pilu. Entah apa yang membuatku merasa iba kepada pria tua itu, hingga mau memendam rasa cintaku. Pernikahan ini tidak akan sama lagi dengan sebelumnya. Kali ini rasanya pasti lebih menyiksa."Tapi, kenapa? Kenapa kau tidak mau bercerai?" tanya Dante tiba-tiba."Demi kakek," jawabku jujur. Meski kakek memintaku merahasiakan keadaannya, tapi aku tidak punya alasan untuk berbohong. Dante sudah tahu statusnya yang sebenarnya, jadi sekalian saja aku mengatakan
"Ha? Aku?" tanyaku bingung.Kenapa dia tiba-tiba muncul dan mengajakku masuk ke mobilnya? Apa yang perlu kami bicarakan hingga dia menemuiku seperti ini?"Ya, kau! Cepat masuk!" jawab Dante terburu-buru.Aku tersadar, dia pasti ingin membicarakan tentang perceraian kami. Aku langsung menggangguk dan masuk ke dalam mobilnya.Dante melajukan mobilnya, tapi tidak berkata apapun."Apa yang akan kita bicarakan?" tanyaku tidak nyaman dengan suasana sunyi ini."Kita akan tiba sebentar lagi. Mari bicara disana saja," jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari jalanan.Aku tidak menanggapi, lalu suasana kembali hening. Jalanan yang kami lewati tampak akrab. Aku mengenali jalan ini, karena ini adalah jalan menuju ... rumah kakek."Apa kita akan ke rumah kakek?" tanyaku panik."Ya," jawab Dante singkat."Untuk apa kesana? Bukankah kita akan bercerai?""Kakek ingin menemuimu. Kita bicara setelah kau menemui kakek," ucapnya santai, seakan-akan ini bukan masalah besar."Apa maksudmu kakek ingin bic
"Ini Dante, dia sudah pernah mengajar di kelas khusus, kau pasti sudah mengenalnya. Yang satu lagi Felix, dia akan mulai mengajar kelas khusus, bergantian dengan Tuan Dante. Dia adalah seorang jaksa," jelas dekan berapi-api.Aku mengangguk sopan."Dante, Felix. Ini Ruby, dia adalah mahasiswa beprestasi, dan sangat cerdas. Karena kecerdasannya itu, dia mendapatkan beasiswa penuh. Dia belum pernah membayar apapun sejak masuk ke kampus kita. Kalian berdua juga sangat pintar, tapi kalian harus tahu kalau kalian kuliah bersamanya, kalian pasti tidak ada apa-apanya," puji dekan sambil tertawa, membuatku merasa tidak nyaman."Tapi kita semua juga tahu, nilai kuliah sama sekali bukan patokan kesuksesan seseorang. Karena bisa saja gadis secerdas ini pada akhirnya akan berakhir tanpa karir apapun," sahut Dante tiba-tiba.Suasana menjadi canggung karena komentar kejamnya itu."Kau ada benarnya. Kalau begitu ingat Ruby! Bila kau ingin menikah, carilah pria yang akan mendukung masa depanmu dan men
Setelah keluar dari rumah sakit, Dora memaksaku untuk tinggal di rumahnya."Aku masih punya cukup uang untuk menyewa tempat. Dante memberikan uang sebagai bayaran menjadi istrinya beberapa bulan ini," tolakku saat itu, tapi dia memaksa."Kau pikir pengeluaranmu hanya sewa tempat? Bagaimana dengan uang makan? Transportasi? Belum lagi kalau kau membutuhkan uang untuk perlengkapan kuliah. Lalu bagaimana kalau kau sakit? Kau bahkan tidak memiliki asuransi," paksa Dora membuatku menyerah. Dia benar, setidaknya aku harus punya pemasukkan untuk tinggal sendirian."Baiklah, tapi aku akan tinggal di rumahmu hanya selama aku belum mendapatkan pekerjaan. Setelah aku mendapat pekerjaan, aku akan menyewa tempat," jawabku yang langsung disetujui oleh Dora.***"Nona Ruby, tumben anda makan sedikit. Seingat saya anda sangat suka makan," komentar pembantu Dora yang sudah tinggal di rumah itu sejak Dora kecil."Aku sedang diet," dalihku, dia hanya tersenyum lalu masuk."Ayo kita ke kampus sekarang. K
Matahari masuk ke dalam kamar hotelku dari sela-sela tirai yang tidak tertutup rapat. Aku juga bisa mendengar suara riuh dari jalanan yang sibuk. Semua berjalan seperti biasa bagi orang-orang yang ada di luar sana, tapi tidak bagiku.Sejak semalam, aku duduk di tempat tidur, sambil menatap tumpukan uang, yang tadinya berceceran di atas tempat tidur dan lantai, sebelum aku kumpulkan. Mataku sama sekali tidak bisa tertutup. Aku pikir aku akan menangis tersedu-sedu saat berpisah dengan Dante, tapi herannya tak satupun air mata menetes ke pipiku. Padahal biasanya aku adalah seorang wanita yang sangat cengeng."Jadi beginilah akhirnya," gumamku sambil menatap ke arah jendela yang tertutup tirai.Sekarang aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan, semua terasa gelap. Padahal kemarin aku sudah merencanakan masa depanku setelah berpisah dari Dante. Tapi nyatanya tidak semudah itu.Aku meringkuk di atas tempat tidur lalu mulai memejamkan mataku. Aku lelah, sangat lelah, mataku mulai ter