"Tapi katamu semua akan seperti sebelumnya," sahutku bingung.
"Aktivitasmu bukan hubunganmu! Kau sudah menjadi istriku, jadi bersikaplah seperti seorang istri!" bentak pria itu lalu segera membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam mobil.
"Nona, saya akan mengantar anda pulang untuk mengambil barang-barang anda," ucap salah satu pria besar dan seram kepadaku.
Aku segera menuruti pria besar itu dan masuk ke dalam mobil sambil mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti apa mau pria bernama Dante ini. Kalau orang-orang tidak boleh tahu kami menikah, kenapa aku tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain?
"Saya akan menunggu disini," ucap pria itu setelah kami tiba di depan rumahku.
Aku masuk dengan perasaan bingung dan tidak menentu. Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya kepada ibuku? Hatinya pasti hancur bila mengetahui apa yang terjadi.
"Ruby! Akhirnya kamu pulang, sayang," sapa ibuku sambil memelukku.
"Kenapa kau tidak mau ikut dengan kami? Bagaimana kalau kau kesepian, siapa yang akan menemani?" tanya ibuku sambil menangis.
Aku menatapnya dengan bingung, lalu tiba-tiba ayahku keluar dari kamar dengan wajah menunduk.
"Sudahlah, Ma. Itu keputusan Ruby. Lagipula dia sudah mahasiswa, sudah saatnya dia mandiri. Kalau tidak dia akan kesulitan nantinya saat akan menikah."
Akting pria tua ini benar-benar buruk, rasanya ingin kupukul dia dengan keras, lebih keras dari pukulanku kepada Dante tadi. Tapi saat ini, kebohongannya adalah jalan yang terbaik agar tidak menyakiti hati ibuku.
"Mama, jangan khawatir. Setiap bulan Ruby akan datang menemui mama. Mama tenang saja, Ruby pasti bisa mandiri," jawabku sambil memeluk ibuku tersayang.
"Kau benar, ini untuk kebaikan kita semua. Kalau papamu tetap tinggal di kota ini, pada akhirnya dia hanya akan menghancurkan keluarga kita karena kebiasaan berjudinya itu. Untunglah dia mendapat pekerjaan di luar kota. Semoga dia berubah menjadi lebih bertanggung jawab," sahut ibuku, menyindir suaminya.
"Kapan mama berangkat?"
"Setelah selesai mengepak barang-barang kami, bagaimana denganmu? Apakah kau akan tidur sendirian dirumah ini malam ini?"
"Aku datang untuk mengambil barang-barangku. Mama tenanglah, malam ini aku tidak akan tidur sendirian," jawabku sambil tersenyum, mama mengangguk dan segera menemaniku masuk ke dalam kamar.
"Jadi, bagaimana asramanya? Andai kami tidak harus berangkat hari ini, mama ingin ikut membereskan kamarmu dan berterimakasih kepada kampusmu karena sudah memberikan fasilitas asrama gratis untukmu."
"Ma, tidak usah mengkhawatirkan itu. Kampus memberiku asrama gratis karena mereka tidak mau kehilangan mahasiswi beprestasi sepertiku," jawabku berbohong.
Mama memelukku dengan erat, aku bisa mendengarnya menangis. Aku menarik napas dalam agar tidak ikut menangis, karena kalau aku kuat, dia pasti lebih tenang berpisah denganku. Hari ini untuk pertama kalinya aku tidak akan tidur dengan mama dan aku tidak bisa membayangkan kesepian yang akan aku rasakan.
"Setidaknya papamu menunjukkan usaha untuk berubah dengan mendapatkan pekerjaan di luar kota. Kali ini mama harus mendukungnya sekuat tenaga, agar dia bisa kembali menjadi pria yang dulu mama nikahi. Mama mau di masa depan kau bangga dengan kami orangtuamu, bukan merasa malu seperti sekarang."
"Ma, aku tidak pernah malu. Aku hanya kesal karena papa menyia-nyiakan hidupnya. Tapi sepertinya sekarang dia mulai berubah, jadi tentu saja mama harus berada di sisinya," jawabku berbohong.
Aku bukan saja malu tapi marah karena lahir dari seorang ayah seperti papaku. Andai aku bisa memilih, maka aku lebih memilih lahir sebagai binatang atau tumbuhan yang hari ini mekar lalu besok layu diterpa hujan, daripada menjadi putri dari pria seperti ayahku.
"Mama percaya suatu hari nanti. Saat waktunya kau menikah, papa yang mengantarmu menemui calon suamimu adalah papa yang membanggakanmu. Jadi kau juga harus bersemangat dan percaya kepada kami," ucap mama menguatkanku sambil membelai kepalaku dengan lembut.
Mama, hatinya benar-benar baik dan tulus. Andai dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku yakin hati malaikatnya itu pasti akan hancur berkeping-keping, tapi aku tidak akan membiarkannya.
***
"Silakan masuk, Nona," ucap si pria seram yang sampai sekarang belum aku ketahui namanya.
"Dimana ini?" tanyaku bingung.
Tadinya aku berpikir dia akan membawaku ke rumah tua, berantakan yang dipenuhi penjahat, seperti rumah preman yang sering aku lihat di film. Tapi kenapa kami masuk ke rumah mewah yang lebih mirip rumah konglomerat ini?
"Ini rumah Tuan Dante," jawab pria seram itu.
"Ha?" reaksiku kaget. Wajahku pasti sangat aneh hingga pria seram itu terkikik, membuat wajahnya yang seram jadi tampak lucu.
"Kau jadi mirip panda, tertawa seperti itu," ucapku kesal karena ditertawakan.
"Nama panggilanku memang panda, bagaimana anda tahu?" jawabnya dengan mata berbinar-binar, dia bahkan tidak merasa terhina. Aku hanya menggelengkan kepala.
Aku menatap halaman depan yang sangat luas. Di tengahnya ada air mancur kecil yang tampak seperti rumah selebritis yang ada televisi. Bagaimana Dante bisa memiliki rumah seperti ini? Dia pasti bukan bandar judi kecil. Aku yakin dia pasti bandar judi internasional, karena itu dia bisa tinggal di istana ini.
"Nona, ayo masuk. Tuan Dante sudah menunggu di dalam," ajak si panda yang kali ini sudah tidak tampak seseram saat kami pertama kali bertemu.
Aku masuk dan lebih kaget lagi melihat bagian dalam rumahnya. Ini ruang tamu atau ruang pernikahan? Apakah ada ratusan orang yang tinggal di rumah ini, hingga mereka membutuhkan ruang tamu sebesar ini?
"Apa kau sudah menghapal semua peraturannya?" tanya Dante yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Hapal? Untuk apa menghapalnya?"
"Agar kau tidak lupa!"
"Dan ini, hal yang terpenting. Bila kau berhasil, maka aku akan memberikan bonus uang yang cukup besar untukmu."
Dante memberikan selembar kertas lagi kepadaku.
"Bonus? Apa kau lupa kalau ayahku berhutang padamu? Apa kau mau membuat hutang keluarga kami menumpuk supaya tidak bisa lepas dari jeratmu?" tanyaku sinis.
"Kau benar-benar cerewet! Anggap saja ini pekerjaan tambahan untukmu dan tidak ada hubungannya dengan hutang ayahmu!" bentaknya sambil memberi tanda kepada panda.
Panda langsung mengajakku masuk dan mengantarku ke sebuah kamar.
"Nona, silakan hapalkan di dalam kamar. Bila sudah selesai tolong berikan kertasnya untuk saya bakar," ucap panda sambil tersenyum.
Aku membaca kertas yang baru saja diberikan Dante.
[Kau harus bisa meyakinkan kakekku kalau kita benar-benar menikah karena cinta. Bila berhasil aku akan memberikan bonus 100 juta dan melepaskan keluargamu dari semua beban hutang setelah 8 bulan.]
Aku tersenyum lebar. Ini pekerjaan mudah, hanya 8 bulan, kalau berhasil aku bisa mendapatkan 100 juta, lalu membawa ibuku pergi jauh dari kota ini dan dari ayahku.
Untuk pertama kalinya aku cukup senang karena ayahku kalah berjudi dan meminjam uang. Aku bahkan senang dia menjualku kepada pria jahat tapi bodoh seperti Dante. Pria itu bahkan memintaku agar tidak melakukan kontak fisik dengannya dan akan memberikan bonus hanya untuk meyakinkan kakeknya. Ditambah lagi aku hanya perlu melakukannya selama 8 bulan, setelah itu aku akan menjadi gadis bebas yang kaya.
"Nona, apakah anda sudah selesai?" panggil si panda, sepertinya dia mendengar aku tertawa cukup keras karena uang 100 juta tadi.
Aku menyerahkan semua kertas peraturan itu, setelah mengambil gambarnya. Aku tidak mau Dante berkelit karena tidak ada bukti. Jangan sampai 100 jutaku melayang, hanya karena dia sudah memusnahkan semua kertas-kertas ini."Nona, silakan beristirahat. Nanti saya akan kembali," ucap si panda dengan sopan.Aku kembali masuk ke dalam kamar besar yang sama besarnya dengan seluruh rumahku. Kamar ini tampak sangat indah. Seperti inilah kamar yang selalu aku impikan sejak kecil, ironisnya aku mendapatkan kamar impianku setelah dijual oleh ayahku.Mama, aku lupa aku harus memberitahunya kalau aku sudah sampai dan baik-baik saja.Aku mencoba menghubungi mama tapi teleponnya tidak aktif. Ada apa ini? Tidak biasanya mama mematikan teleponnya, apalagi saat dia menunggu kabarku.Apa jangan-jangan .... Aku segera keluar kamar dan berlari ke ruang tamu mencari Dante. Untungnya dia sedang duduk di ruang tamu sambil memeriksa telepon genggamnya."Dimana orangtuaku? Dimana ibuku? Kau sudah berjanji tida
"Kakek, ini tidak seperti yang kakek pikirkan, dia berbeda," jawab Dante mencoba meyakinkan kakeknya. Aku diam saja, aku perlu menganalisis keadaannya sebelum mengambil sikap."Sudahlah, kita bicarakan nanti saja setelah makan.""Yes!" jawabku senang lalu menyadari kalau suaraku terlalu kuat hingga semua orang menatapku dengan kaget."Selamat makan," ucapku lembut sambil tersenyum canggung dan mengangguk perlahan. Aku melihat kakek menggelengkan kepalanya. Sepertinya aku kehilangan satu poin.Makanannya sangat enak, ini bahkan lebih enak dari makanan yang disajikan saat tetanggaku menikah beberapa hari yang lalu. Aku yakin ini pasti dimasak dengan bahan-bahan terbaik dan oleh koki yang sangat handal."Nona, apa anda masih lapar?" tanya Pedro kepadaku sambil memberi tanda yang tidak aku mengerti.Aku menatap sekelilingku, semua orang sudah berhenti makan. Lalu aku melihat makanan di atas meja, masih ada beberapa potong daging dan salad sayur yang tersisa. Mungkin Pedro bermaksud memin
"Ka ... kakek menerimaku?" seruku senang."Kakek tidak akan menyesali keputusan kakek itu, mulai hari ini aku akan menjadi cucu menantu yang baik!" seruku bersemangat karena berhasil mendapatkan 100 juta ku."Sudahlah, hentikan semua omong kosongmu itu. Keluarlah dari ruanganku, aku butuh bicara dengan cucuku," jawabnya tampak tidak tertarik dengan dedikasiku."Baiklah, aku juga mau tidur karena besok harus ke kampus," jawabku kesal, benar-benar pria tua yang sombong.Aku berjalan keluar, menutup pintu lalu segera menempelkan telingaku ke pintu. Aku penasaran, mengapa tadi semua orang tampak mengkhawatirkan Dante. Aku mencoba menguping tapi tidak bisa mendengar apapun. Sepertinya pintu ini terbuat dari kayu yang sangat tebal.Sudahlah! Lebih baik aku beristirahat, besok akting yang sesungguhnya akan dimulai. Aku harus mencatat kebohongan apa saja yang akan aku katakan kepada teman-temanku, agar di masa depan aku tidak lupa dengan kata-kataku sendiri.***Aku terbangun sebelum matahari
"Tidak usah, aku sedang ingin berjalan kaki," jawabku sambil melirik ke belakang.Aku bisa melihat supir Dante masih memperhatikanku. Dia bisa saja mengadu kepada Dante dan membuat 100 jutaku melayang."Kenapa? Apa kau menunggu seseorang?" tanya Joshua sambil mengikuti pandanganku."Tidak. Aku hanya ... sedang berusaha untuk berolahraga lebih banyak," jawabku lagi-lagi berbohong."Baiklah, kalau begitu aku duluan."Joshua segera memacu motor besarnya menuju ke kampus. Sementara aku menatap punggungnya dengan perasaan kesal. Andai supir itu tidak mengawasi, aku pasti sedang berada di atas motor besar milik Joshua. Aku kembali melangkahkan kakiku dengan lunglai.Aku tiba di kampus tepat waktu untuk kuliah pertama hari ini. "Ruby, kenapa terlambat? Aku sudah lama menunggumu. Katamu akan datang lebih pagi hari ini," gerutu sahabatku Dora begitu melihatku masuk kelas."Maaf, tadi aku berjalan kaki cukup jauh," jawabku sambil duduk di kursi yang berada di samping Dora."Kenapa? Bus mu mogo
"Ruby, ada apa?" bisik Rahul sambil mencolek tanganku."Ha?" tanyaku bingung."Mengapa wajahmu tiba-tiba pucat seperti orang ketakutan?"Aku memaksa bibirku untuk tersenyum."Perutku sakit, karena ada yang harus aku setor ke toilet, " bisikku berpura-pura."Sial!" makinya dengan wajah jijik."Sekarang silakan nona yang berbaju pink," panggil Joshua."Namaku Naomi, kak," jawab Naomi sambil berdiri dan memainkan rambut panjangnya."Ayo bersiap untuk menerima pertanyaan aneh dan tidak masuk akal yang dia tanyakan hanya untuk mencari perhatian," bisik Rahul diikuti anggukan kepalaku dan Dora."Bagaimana dengan pernikahan untuk membayar hutang? Misalnya seseorang berhutang dan memberikan putrinya sebagai bayaran dan dinikahkan dengan orang yang memberinya hutang? Apa pendapat kalian dan bagaimana aturan hukumnya?"Dora melirikku meminta aku menjawab, tapi aku diam saja. Tiba-tiba kepalaku kosong, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. "Tentu saja itu bertentangan dengan hukum. Itu bi
"A ... apa? Jatuh cinta? Apa maksud kakek? Bukankah kakek tidak menyukaiku? Mengapa menginginkan Dante jatuh cinta kepadaku?""Jadi, kau mau menerima tawaranku atau tidak?" Pria tua ini tidak menjawab pertanyaanku. Apa mungkin telinganya sudah mulai bermasalah karena usianya? Atau dia sengaja tidak ingin menjawab?"Bolehkah aku memikirkannya?" tanyaku acuh."Silakan, aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Besok pagi berikan jawabanmu. Sekarang, silakan keluar, aku harus bekerja."Aku segera berdiri dan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Orang-orang di rumah ini sepertinya memang terlahir kasar dan tidak sopan!"Apa yang kau lakukan di ruang kerja kakek?" tanya Dante yang baru pulang.Ada apa dengan pakaiannya? Mengapa dia memakai setelah rapi dan sepatu formil seakan-akan dia seorang CEO atau pengacara atau seorang aktor. Dia hanya seorang bandar judi, mengapa harus tampil setampan itu?"Ada sesuatu yang kami bicarakan," jawabku acuh lalu segera meninggalkannya dan berjalan m
"Papa, tolong biarkan aku pulang."Aku memohon kepada ayahku yang menipuku untuk datang ke rumah judi dan menahanku disana, katanya untuk dijadikan jaminan pembayaran kepada bandar judi tempat dia berhutang."Dengar Ruby, kali ini hanya kau yang bisa menolong papa. Kalau tidak seluruh keluarga kita akan hancur. Apa kau mau bertanggung jawab kalau mereka membunuhku dan menyiksa ibumu?" sahutnya dengan tenang, seakan-akan ini semua salahku dan akulah yang harus bertanggung jawab."Tapi papa yang kalah judi, kenapa harus aku yang papa jual? Kenapa papa tidak menjual diri papa saja!" teriakku marah."Karena papa tidak laku!" balasnya berteriak. Ayahku yang terlihat jauh lebih tua dari umurnya itu menatapku putus asa. Aku membalas tatapannya dengan tajam. Aku benar-benar membencinya."Bagaimana kalau orang yang membeliku menyiksaku?" tanyaku, kali ini berharap dia mau berubah pikiran."Dia tidak sekejam itu, percayalah. Ayo, masuk," ajaknya sambil menarik tanganku dengan kuat.Aku mengiku
Aku membalikkan tubuhku dan mataku langsung menatap sebuah pemandangan yang seharusnya tidak muncul di tempat seperti ini.Seorang pria tinggi dengan tato di lengannya, hanya ada satu tato tidak seperti bandar judi itu yang seluruh lengan hingga lehernya dipenuhi tato. Wajah pria ini sangat tampan dengan rambut hitam kecoklatan. Dia memakai kemeja putih dengan pola daun, seakan-akan dia akan berlibur ke pantai.Di belakangnya berdiri tiga orang pria memakai pakaian yang mirip dengan pria tampan itu, hanya saja dua diantaranya tampak menyeramkan dengan tubuh besarnya. Sementara seorang lagi tampak masih sangat muda, sepertinya usianya tidak jauh berbeda denganku.Aku berbalik dan menatap ayahku. Pria tua itu tampak lebih ketakutan daripada kepada sang bandar judi tadi. Dia tidak bisa berkata apa-apa dan hanya berdiri diam dengan tubuh gemetar.Pria tampan itu memberi tanda kepada pria besar di belakangnya, lalu salah satu dari pria berwajah seram itu pergi keluar."Siapa kau?" tanya si