Share

BAB 4

Author: Ede Thaurus
last update Last Updated: 2024-09-27 22:51:20

"Tapi katamu semua akan seperti sebelumnya," sahutku bingung.

"Aktivitasmu bukan hubunganmu! Kau sudah menjadi istriku, jadi bersikaplah seperti seorang istri!" bentak pria itu lalu segera membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam mobil.

"Nona, saya akan mengantar anda pulang untuk mengambil barang-barang anda," ucap salah satu pria besar dan seram kepadaku.

Aku segera menuruti pria besar itu dan masuk ke dalam mobil sambil mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti apa mau pria bernama Dante ini. Kalau orang-orang tidak boleh tahu kami menikah, kenapa aku tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain?

"Saya akan menunggu disini," ucap pria itu setelah kami tiba di depan rumahku.

Aku masuk dengan perasaan bingung dan tidak menentu. Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya kepada ibuku? Hatinya pasti hancur bila mengetahui apa yang terjadi.

"Ruby! Akhirnya kamu pulang, sayang," sapa ibuku sambil memelukku.

"Kenapa kau tidak mau ikut dengan kami? Bagaimana kalau kau kesepian, siapa yang akan menemani?" tanya ibuku sambil menangis. 

Aku menatapnya dengan bingung, lalu tiba-tiba ayahku keluar dari kamar dengan wajah menunduk.

"Sudahlah, Ma. Itu keputusan Ruby. Lagipula dia sudah mahasiswa, sudah saatnya dia mandiri. Kalau tidak dia akan kesulitan nantinya saat akan menikah." 

Akting pria tua ini benar-benar buruk, rasanya ingin kupukul dia dengan keras, lebih keras dari pukulanku kepada Dante tadi. Tapi saat ini, kebohongannya adalah jalan yang terbaik agar tidak menyakiti hati ibuku.

"Mama, jangan khawatir. Setiap bulan Ruby akan datang menemui mama. Mama tenang saja, Ruby pasti bisa mandiri," jawabku sambil memeluk ibuku tersayang.

"Kau benar, ini untuk kebaikan kita semua. Kalau papamu tetap tinggal di kota ini, pada akhirnya dia hanya akan menghancurkan keluarga kita karena kebiasaan berjudinya itu. Untunglah dia mendapat pekerjaan di luar kota. Semoga dia berubah menjadi lebih bertanggung jawab," sahut ibuku, menyindir suaminya.

"Kapan mama berangkat?"

"Setelah selesai mengepak barang-barang kami, bagaimana denganmu? Apakah kau akan tidur sendirian dirumah ini malam ini?" 

"Aku datang untuk mengambil barang-barangku. Mama tenanglah, malam ini aku tidak akan tidur sendirian," jawabku sambil tersenyum, mama mengangguk dan segera menemaniku masuk ke dalam kamar.

"Jadi, bagaimana asramanya? Andai kami tidak harus berangkat hari ini, mama ingin ikut membereskan kamarmu dan berterimakasih kepada kampusmu karena sudah memberikan fasilitas asrama gratis untukmu."

"Ma, tidak usah mengkhawatirkan itu. Kampus memberiku asrama gratis karena mereka tidak mau kehilangan mahasiswi beprestasi sepertiku," jawabku berbohong.

Mama memelukku dengan erat, aku bisa mendengarnya menangis. Aku menarik napas dalam agar tidak ikut menangis, karena kalau aku kuat, dia pasti lebih tenang berpisah denganku. Hari ini untuk pertama kalinya aku tidak akan tidur dengan mama dan aku tidak bisa membayangkan kesepian yang akan aku rasakan.

"Setidaknya papamu menunjukkan usaha untuk berubah dengan mendapatkan pekerjaan di luar kota. Kali ini mama harus mendukungnya sekuat tenaga, agar dia bisa kembali menjadi pria yang dulu mama nikahi. Mama mau di masa depan kau bangga dengan kami orangtuamu, bukan merasa malu seperti sekarang."

"Ma, aku tidak pernah malu. Aku hanya kesal karena papa menyia-nyiakan hidupnya. Tapi sepertinya sekarang dia mulai berubah, jadi tentu saja mama harus berada di sisinya," jawabku berbohong.

Aku bukan saja malu tapi marah karena lahir dari seorang ayah seperti papaku. Andai aku bisa memilih, maka aku lebih memilih lahir sebagai binatang atau tumbuhan yang hari ini mekar lalu besok layu diterpa hujan, daripada menjadi putri dari pria seperti ayahku.

"Mama percaya suatu hari nanti. Saat waktunya kau menikah, papa yang mengantarmu menemui calon suamimu adalah papa yang membanggakanmu. Jadi kau juga harus bersemangat dan percaya kepada kami," ucap mama menguatkanku sambil membelai kepalaku dengan lembut.

Mama, hatinya benar-benar baik dan tulus. Andai dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku yakin hati malaikatnya itu pasti akan hancur berkeping-keping, tapi aku tidak akan membiarkannya.

***

"Silakan masuk, Nona," ucap si pria seram yang sampai sekarang belum aku ketahui namanya.

"Dimana ini?" tanyaku bingung.

Tadinya aku berpikir dia akan membawaku ke rumah tua, berantakan yang dipenuhi penjahat, seperti rumah preman yang sering aku lihat di film. Tapi kenapa kami masuk ke rumah mewah yang lebih mirip rumah konglomerat ini? 

"Ini rumah Tuan Dante," jawab pria seram itu.

"Ha?" reaksiku kaget. Wajahku pasti sangat aneh hingga pria seram itu terkikik, membuat wajahnya yang seram jadi tampak lucu.

"Kau jadi mirip panda, tertawa seperti itu," ucapku kesal karena ditertawakan.

"Nama panggilanku memang panda, bagaimana anda tahu?" jawabnya dengan mata berbinar-binar, dia bahkan tidak merasa terhina. Aku hanya menggelengkan kepala.

Aku menatap halaman depan yang sangat luas. Di tengahnya ada air mancur kecil yang tampak seperti rumah selebritis yang ada televisi. Bagaimana Dante bisa memiliki rumah seperti ini? Dia pasti bukan bandar judi kecil. Aku yakin dia pasti bandar judi internasional, karena itu dia bisa tinggal di istana ini.

"Nona, ayo masuk. Tuan Dante sudah menunggu di dalam," ajak si panda yang kali ini sudah tidak tampak seseram saat kami pertama kali bertemu.

Aku masuk dan lebih kaget lagi melihat bagian dalam rumahnya. Ini ruang tamu atau ruang pernikahan? Apakah ada ratusan orang yang tinggal di rumah ini, hingga mereka membutuhkan ruang tamu sebesar ini? 

"Apa kau sudah menghapal semua peraturannya?" tanya Dante yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Hapal? Untuk apa menghapalnya?"

"Agar kau tidak lupa!"

"Dan ini, hal yang terpenting. Bila kau berhasil, maka aku akan memberikan bonus uang yang cukup besar untukmu." 

Dante memberikan selembar kertas lagi kepadaku.

"Bonus? Apa kau lupa kalau ayahku berhutang padamu? Apa kau mau membuat hutang keluarga kami menumpuk supaya tidak bisa lepas dari jeratmu?" tanyaku sinis.

"Kau benar-benar cerewet! Anggap saja ini pekerjaan tambahan untukmu dan tidak ada hubungannya dengan hutang ayahmu!" bentaknya sambil memberi tanda kepada panda.

Panda langsung mengajakku masuk dan mengantarku ke sebuah kamar.

"Nona, silakan hapalkan di dalam kamar. Bila sudah selesai tolong berikan kertasnya untuk saya bakar," ucap panda sambil tersenyum.

Aku membaca kertas yang baru saja diberikan Dante.

[Kau harus bisa meyakinkan kakekku kalau kita benar-benar menikah karena cinta. Bila berhasil aku akan memberikan bonus 100 juta dan melepaskan keluargamu dari semua beban hutang setelah 8 bulan.]

Aku tersenyum lebar. Ini pekerjaan mudah, hanya 8 bulan, kalau berhasil aku bisa mendapatkan 100 juta, lalu membawa ibuku pergi jauh dari kota ini dan dari ayahku.

Untuk pertama kalinya aku cukup senang karena ayahku kalah berjudi dan meminjam uang. Aku bahkan senang dia menjualku kepada pria jahat tapi bodoh seperti Dante. Pria itu bahkan memintaku agar tidak melakukan kontak fisik dengannya dan akan memberikan bonus hanya untuk meyakinkan kakeknya. Ditambah lagi aku hanya perlu melakukannya selama 8 bulan, setelah itu aku akan menjadi gadis bebas yang kaya.

"Nona, apakah anda sudah selesai?" panggil si panda, sepertinya dia mendengar aku tertawa cukup keras karena uang 100 juta tadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 5

    Aku menyerahkan semua kertas peraturan itu, setelah mengambil gambarnya. Aku tidak mau Dante berkelit karena tidak ada bukti. Jangan sampai 100 jutaku melayang, hanya karena dia sudah memusnahkan semua kertas-kertas ini."Nona, silakan beristirahat. Nanti saya akan kembali," ucap si panda dengan sopan.Aku kembali masuk ke dalam kamar besar yang sama besarnya dengan seluruh rumahku. Kamar ini tampak sangat indah. Seperti inilah kamar yang selalu aku impikan sejak kecil, ironisnya aku mendapatkan kamar impianku setelah dijual oleh ayahku.Mama, aku lupa aku harus memberitahunya kalau aku sudah sampai dan baik-baik saja.Aku mencoba menghubungi mama tapi teleponnya tidak aktif. Ada apa ini? Tidak biasanya mama mematikan teleponnya, apalagi saat dia menunggu kabarku.Apa jangan-jangan .... Aku segera keluar kamar dan berlari ke ruang tamu mencari Dante. Untungnya dia sedang duduk di ruang tamu sambil memeriksa telepon genggamnya."Dimana orangtuaku? Dimana ibuku? Kau sudah berjanji tida

    Last Updated : 2024-09-29
  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 6

    "Kakek, ini tidak seperti yang kakek pikirkan, dia berbeda," jawab Dante mencoba meyakinkan kakeknya. Aku diam saja, aku perlu menganalisis keadaannya sebelum mengambil sikap."Sudahlah, kita bicarakan nanti saja setelah makan.""Yes!" jawabku senang lalu menyadari kalau suaraku terlalu kuat hingga semua orang menatapku dengan kaget."Selamat makan," ucapku lembut sambil tersenyum canggung dan mengangguk perlahan. Aku melihat kakek menggelengkan kepalanya. Sepertinya aku kehilangan satu poin.Makanannya sangat enak, ini bahkan lebih enak dari makanan yang disajikan saat tetanggaku menikah beberapa hari yang lalu. Aku yakin ini pasti dimasak dengan bahan-bahan terbaik dan oleh koki yang sangat handal."Nona, apa anda masih lapar?" tanya Pedro kepadaku sambil memberi tanda yang tidak aku mengerti.Aku menatap sekelilingku, semua orang sudah berhenti makan. Lalu aku melihat makanan di atas meja, masih ada beberapa potong daging dan salad sayur yang tersisa. Mungkin Pedro bermaksud memin

    Last Updated : 2024-09-29
  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 7

    "Ka ... kakek menerimaku?" seruku senang."Kakek tidak akan menyesali keputusan kakek itu, mulai hari ini aku akan menjadi cucu menantu yang baik!" seruku bersemangat karena berhasil mendapatkan 100 juta ku."Sudahlah, hentikan semua omong kosongmu itu. Keluarlah dari ruanganku, aku butuh bicara dengan cucuku," jawabnya tampak tidak tertarik dengan dedikasiku."Baiklah, aku juga mau tidur karena besok harus ke kampus," jawabku kesal, benar-benar pria tua yang sombong.Aku berjalan keluar, menutup pintu lalu segera menempelkan telingaku ke pintu. Aku penasaran, mengapa tadi semua orang tampak mengkhawatirkan Dante. Aku mencoba menguping tapi tidak bisa mendengar apapun. Sepertinya pintu ini terbuat dari kayu yang sangat tebal.Sudahlah! Lebih baik aku beristirahat, besok akting yang sesungguhnya akan dimulai. Aku harus mencatat kebohongan apa saja yang akan aku katakan kepada teman-temanku, agar di masa depan aku tidak lupa dengan kata-kataku sendiri.***Aku terbangun sebelum matahari

    Last Updated : 2024-10-08
  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 8

    "Tidak usah, aku sedang ingin berjalan kaki," jawabku sambil melirik ke belakang.Aku bisa melihat supir Dante masih memperhatikanku. Dia bisa saja mengadu kepada Dante dan membuat 100 jutaku melayang."Kenapa? Apa kau menunggu seseorang?" tanya Joshua sambil mengikuti pandanganku."Tidak. Aku hanya ... sedang berusaha untuk berolahraga lebih banyak," jawabku lagi-lagi berbohong."Baiklah, kalau begitu aku duluan."Joshua segera memacu motor besarnya menuju ke kampus. Sementara aku menatap punggungnya dengan perasaan kesal. Andai supir itu tidak mengawasi, aku pasti sedang berada di atas motor besar milik Joshua. Aku kembali melangkahkan kakiku dengan lunglai.Aku tiba di kampus tepat waktu untuk kuliah pertama hari ini. "Ruby, kenapa terlambat? Aku sudah lama menunggumu. Katamu akan datang lebih pagi hari ini," gerutu sahabatku Dora begitu melihatku masuk kelas."Maaf, tadi aku berjalan kaki cukup jauh," jawabku sambil duduk di kursi yang berada di samping Dora."Kenapa? Bus mu mogo

    Last Updated : 2024-10-09
  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 9

    "Ruby, ada apa?" bisik Rahul sambil mencolek tanganku."Ha?" tanyaku bingung."Mengapa wajahmu tiba-tiba pucat seperti orang ketakutan?"Aku memaksa bibirku untuk tersenyum."Perutku sakit, karena ada yang harus aku setor ke toilet, " bisikku berpura-pura."Sial!" makinya dengan wajah jijik."Sekarang silakan nona yang berbaju pink," panggil Joshua."Namaku Naomi, kak," jawab Naomi sambil berdiri dan memainkan rambut panjangnya."Ayo bersiap untuk menerima pertanyaan aneh dan tidak masuk akal yang dia tanyakan hanya untuk mencari perhatian," bisik Rahul diikuti anggukan kepalaku dan Dora."Bagaimana dengan pernikahan untuk membayar hutang? Misalnya seseorang berhutang dan memberikan putrinya sebagai bayaran dan dinikahkan dengan orang yang memberinya hutang? Apa pendapat kalian dan bagaimana aturan hukumnya?"Dora melirikku meminta aku menjawab, tapi aku diam saja. Tiba-tiba kepalaku kosong, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. "Tentu saja itu bertentangan dengan hukum. Itu bi

    Last Updated : 2024-10-09
  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 10

    "A ... apa? Jatuh cinta? Apa maksud kakek? Bukankah kakek tidak menyukaiku? Mengapa menginginkan Dante jatuh cinta kepadaku?""Jadi, kau mau menerima tawaranku atau tidak?" Pria tua ini tidak menjawab pertanyaanku. Apa mungkin telinganya sudah mulai bermasalah karena usianya? Atau dia sengaja tidak ingin menjawab?"Bolehkah aku memikirkannya?" tanyaku acuh."Silakan, aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Besok pagi berikan jawabanmu. Sekarang, silakan keluar, aku harus bekerja."Aku segera berdiri dan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Orang-orang di rumah ini sepertinya memang terlahir kasar dan tidak sopan!"Apa yang kau lakukan di ruang kerja kakek?" tanya Dante yang baru pulang.Ada apa dengan pakaiannya? Mengapa dia memakai setelah rapi dan sepatu formil seakan-akan dia seorang CEO atau pengacara atau seorang aktor. Dia hanya seorang bandar judi, mengapa harus tampil setampan itu?"Ada sesuatu yang kami bicarakan," jawabku acuh lalu segera meninggalkannya dan berjalan m

    Last Updated : 2024-10-10
  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 11

    "Itu ... aku-" "Siapa yang mengantarmu? Mengapa berhenti begitu jauh dari kampus?" Benar dugaanku, dia melihatku keluar dari mobil Dante."Itu pamanku. Dia harus segera berangkat ke kantor, jadi dia hanya bisa mengantarku sampai di sini," jawabku berbohong."Apakah kau akan berjalan kaki lagi ke kampus? Atau mau ikut denganku?" tanya Joshua yang sepertinya percaya dengan jawabanku."Kalau kakak tidak keberatan aku akan ikut, karena sepertinya aku akan terlambat kalau berjalan kaki," ucapku malu-malu."Pakai helm ini dan naiklah!"Aku mengangguk dan segera naik sambil tersenyum bahagia. Setidaknya dibalik semua persoalanku ada pelangi tipis yang muncul dan memberikanku harapan dan sukacita. Joshua, dialah pelangiku."Ruby!" teriak Dora dan Rahul bersamaan saat mereka melihatku turun dari motor Joshua."Terima kasih untuk tumpangannya, ka," ucapku begitu turun lalu segera berlari menemui Dora dan Rahul."Apa aku tidak salah lihat? Kau naik motor Joshua? Apa yang terjadi?" cecar Dora

    Last Updated : 2024-10-11
  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 12

    "Nona Ruby, makan malam sudah siap," panggil Myrna sambil mengetuk pintu kamarku. Aku tidak menjawabnya. Aku sudah duduk diam di atas tempat tidurku sejak aku mengeluarkan amarahku, mungkin sekitar dua jam yang lalu. Aku tidak tahu nasib apa yang menungguku di luar.Mulutku ini memang tidak bisa kompromi, dia akan langsung mengeluarkan apa saja yang ada di dalam hatiku. Kenapa dia mendengarkan hatiku dan bukan otakku? Bukankah seharusnya otak yang memerintahkan bagian-bagian tubuh untuk melakukan sesuatu? "Nona Ruby, apakah anda akan makan malam?" tanya Myrna sekali lagi. Aku rasa dia akan terus disana kalau aku tidak menjawabnya. Aku berjalan ke pintu dan membukanya."Aku belum mandi, jadi aku tidak bisa makan malam sekarang," jawabku sambil menunjukkan pakaianku."Biarkan saja mereka makan malam duluan. Kalau lapar, aku akan makan sendiri nanti," lanjutku sebelum menutup pintu.Aku kembali duduk di atas tempat tidur sambil memukuli dada dan mulutku."Bodoh! Kalian benar-benar bod

    Last Updated : 2024-10-12

Latest chapter

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 99

    "Ha? Aku?" tanyaku bingung.Kenapa dia tiba-tiba muncul dan mengajakku masuk ke mobilnya? Apa yang perlu kami bicarakan hingga dia menemuiku seperti ini?"Ya, kau! Cepat masuk!" jawab Dante terburu-buru.Aku tersadar, dia pasti ingin membicarakan tentang perceraian kami. Aku langsung menggangguk dan masuk ke dalam mobilnya.Dante melajukan mobilnya, tapi tidak berkata apapun."Apa yang akan kita bicarakan?" tanyaku tidak nyaman dengan suasana sunyi ini."Kita akan tiba sebentar lagi. Mari bicara disana saja," jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari jalanan.Aku tidak menanggapi, lalu suasana kembali hening. Jalanan yang kami lewati tampak akrab. Aku mengenali jalan ini, karena ini adalah jalan menuju ... rumah kakek."Apa kita akan ke rumah kakek?" tanyaku panik."Ya," jawab Dante singkat."Untuk apa kesana? Bukankah kita akan bercerai?""Kakek ingin menemuimu. Kita bicara setelah kau menemui kakek," ucapnya santai, seakan-akan ini bukan masalah besar."Apa maksudmu kakek ingin bic

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 98

    "Ini Dante, dia sudah pernah mengajar di kelas khusus, kau pasti sudah mengenalnya. Yang satu lagi Felix, dia akan mulai mengajar kelas khusus, bergantian dengan Tuan Dante. Dia adalah seorang jaksa," jelas dekan berapi-api.Aku mengangguk sopan."Dante, Felix. Ini Ruby, dia adalah mahasiswa beprestasi, dan sangat cerdas. Karena kecerdasannya itu, dia mendapatkan beasiswa penuh. Dia belum pernah membayar apapun sejak masuk ke kampus kita. Kalian berdua juga sangat pintar, tapi kalian harus tahu kalau kalian kuliah bersamanya, kalian pasti tidak ada apa-apanya," puji dekan sambil tertawa, membuatku merasa tidak nyaman."Tapi kita semua juga tahu, nilai kuliah sama sekali bukan patokan kesuksesan seseorang. Karena bisa saja gadis secerdas ini pada akhirnya akan berakhir tanpa karir apapun," sahut Dante tiba-tiba.Suasana menjadi canggung karena komentar kejamnya itu."Kau ada benarnya. Kalau begitu ingat Ruby! Bila kau ingin menikah, carilah pria yang akan mendukung masa depanmu dan men

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 97

    Setelah keluar dari rumah sakit, Dora memaksaku untuk tinggal di rumahnya."Aku masih punya cukup uang untuk menyewa tempat. Dante memberikan uang sebagai bayaran menjadi istrinya beberapa bulan ini," tolakku saat itu, tapi dia memaksa."Kau pikir pengeluaranmu hanya sewa tempat? Bagaimana dengan uang makan? Transportasi? Belum lagi kalau kau membutuhkan uang untuk perlengkapan kuliah. Lalu bagaimana kalau kau sakit? Kau bahkan tidak memiliki asuransi," paksa Dora membuatku menyerah. Dia benar, setidaknya aku harus punya pemasukkan untuk tinggal sendirian."Baiklah, tapi aku akan tinggal di rumahmu hanya selama aku belum mendapatkan pekerjaan. Setelah aku mendapat pekerjaan, aku akan menyewa tempat," jawabku yang langsung disetujui oleh Dora.***"Nona Ruby, tumben anda makan sedikit. Seingat saya anda sangat suka makan," komentar pembantu Dora yang sudah tinggal di rumah itu sejak Dora kecil."Aku sedang diet," dalihku, dia hanya tersenyum lalu masuk."Ayo kita ke kampus sekarang. K

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 96

    Matahari masuk ke dalam kamar hotelku dari sela-sela tirai yang tidak tertutup rapat. Aku juga bisa mendengar suara riuh dari jalanan yang sibuk. Semua berjalan seperti biasa bagi orang-orang yang ada di luar sana, tapi tidak bagiku.Sejak semalam, aku duduk di tempat tidur, sambil menatap tumpukan uang, yang tadinya berceceran di atas tempat tidur dan lantai, sebelum aku kumpulkan. Mataku sama sekali tidak bisa tertutup. Aku pikir aku akan menangis tersedu-sedu saat berpisah dengan Dante, tapi herannya tak satupun air mata menetes ke pipiku. Padahal biasanya aku adalah seorang wanita yang sangat cengeng."Jadi beginilah akhirnya," gumamku sambil menatap ke arah jendela yang tertutup tirai.Sekarang aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan, semua terasa gelap. Padahal kemarin aku sudah merencanakan masa depanku setelah berpisah dari Dante. Tapi nyatanya tidak semudah itu.Aku meringkuk di atas tempat tidur lalu mulai memejamkan mataku. Aku lelah, sangat lelah, mataku mulai ter

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 95

    Apa yang harus aku lakukan? Sebaiknya aku mengacuhkannya saja. Toh dia tidak tahu pasti apakah aku benar-benar ada disini atau tidak.Lalu pesan lain masuk, ternyata itu adalah sebuah pesan ancaman yang dikirim oleh Dante.[Kalau kau tidak keluar sekarang. Aku akan membuat kekacauan dan memeriksa setiap kamar di hotel ini sampai menemukanmu!]Oh, pria ini benar-benar keterlaluan! Apa maunya? Kenapa dia harus menggangguku? Benar-benar mengesalkan.Aku segera mengganti pakaianku dan keluar dengan wajah marah. Aku berlari ke lobi dan menemukan Dante sedang duduk tenang sambil memegang telepon genggamnya."Bagaimana kau bisa tahu aku disini?" tanyaku tanpa basa-basi begitu aku sampai di hadapan Dante."Kau membayar dengan kartu kreditku," jawab Dante pelan sambil berdiri.Aku mengepalkan tanganku dengan kesal."Tunggu disini, aku akan mengembalikannya kepadamu!" sahutku lalu berlari ke kamarku.Aku masuk dan langsung membongkar tasku, mengeluarkan kartu kredit Dante dan semua uang yang ad

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 94

    Aku segera membalikkan badanku, lalu berjalan perlahan ke arah pintu keluar. Rasanya menyakitkan melihat Dante seputus asa itu. Tapi yang lebih menyakitkan lagi adalah menyadari kalau bukan aku yang menemaninya di titik terendahnya. Bukan aku yang menyeka air mata juga menggenggam tangannya, dan bukan aku yang dia inginkan untuk membagi rasa sakitnya."Ayo kita pulang," perintahku kepada supir yang menungguku di depan gedung.Perjalanan pulang terasa sangat panjang, meski jalanan sesepi dan selancar tadi tapi rasanya mobil ini bergerak sangat lambat. Aku menatap keluar jendela dan tanpa terasa airmataku menetes perlahan, membasahi pipiku. Dasar cengeng!***"Selamat pagi, kek. Ayo sarapan," sapaku dengan ramah."Kenapa kau terus menggangguku? Tinggalkan saja disana. Nanti aku akan memakannya," jawab kakek ketus."Maaf kek. Tapi aku akan menyuapimu dan baru akan keluar setelah kau selesai makan dan minum obat," sahutku tidak peduli dengan sikap kasarnya."Aku bukan bayi, tidak perlu me

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 93

    "Dia tahu? Apa anda yang memberitahunya?""Tidak! Dia tidak sengaja mendengarnya, ketika kakek memberitahu semuanya kepadaku," jawabku cepat."Oh sial!" maki Pedro, lalu segera meminta maaf begitu menyadari aku ada di hadapannya."Memangnya kenapa kakek harus merahasiakan begitu banyak hal dari Dante?" tanyaku penasaran."Maaf Nona, saya harus pergi memeriksa kakek. Saya sudah memberikan penjelasan yang lebih dari cukup. Kalau masih ada yang ingin anda ketahui, bertanyalah langsung pada kakek." Pedro berdiri dan sudah membuka pintu masuk ke rumah saat aku memanggilnya."Pedro, kenapa kau membantuku dan keluarga angkatku?"Dia berbalik dan menatapku cukup lama sebelum menjawab dengan pelan."Aku hanya membayar hutang orangtuaku."Pedro langsung meninggalkanku setelah menjawab dengan tegas. Aku terdiam, sambil menatap punggung Pedro.Mengapa hidupku harus serumit ini? Kenapa aku tidak bisa hidup tenang saja bersama keluargaku, dan menjalani hari-hari normal dengan persoalan-persoalan y

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 92

    Dante menarik tanganku dan berjalan dengan cepat menuju ke kamar kami. Sesampainya di kamar, dia melepaskan tanganku lalu menatapku dengan emosional."Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanyanya pelan.Aku menghela napas sambil terus menatapnya."Aku akan keluar dari rumah ini. Bagaimana denganmu?" jawabku pasrah.Dante mundur lalu punggungnya menabrak dinding, hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Lalu bersandar disana, tanpa mengatakan apa-apa."Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir. Tadi dia tampak biasa saja, tapi kenapa wajahnya tiba-tiba memucat?"Ya," jawabnya pelan.Aku rasa dia mencoba menahan semuanya. Rasa terkejutnya, kecewa, takut, dan malu. Dia mencoba menutupinya, tapi pasti tidak semudah itu. Kenyataan pasti sangat berat baginya.Aku mendekatinya. Lalu entah apa yang merasukiku, aku meraih tubuhnya lalu memeluknya dengan erat. Dante diam saja, aku bisa merasakan tubuhnya yang tegang."Aku akan menemanimu menghadapi semuanya," bisikku sambil membelai pungggungnya

  • SENTUHAN PANAS PERTAMA TUAN DANTE   BAB 91

    "Berani sekali kau berkata seperti itu. Dasar kurang ajar!" bentak kakek sambil berdiri dan menunjuk wajahku dengan marah."Siapa kau berani mengancam akan membunuh putraku di hadapanku? Apa kau tahu kalau aku bisa membunuhmu sekarang juga?" Wajah kakek terlihat sangat menakutkan. Jantungku berdetak sangat kencang dan tanganku mulai merasa dingin, lututku lemas tiba-tiba. Tapi entah mengapa mulut dan otakku sama sekali tidak selaras dengan bagian tubuhku yang lain."Dan membiarkan Dante kembali terpuruk? Silakan bunuh aku dan saksikan Dante yang kembali menjadi pria aneh yang ketakutan terhadap wanita!" balasku dengan keberanian yang entah muncul dari mana."Kau benar-benar merasa besar kepala hanya karena bisa menyentuh Dante! Kau tahu kau bukan satu-satunya! Ada Naomi, wanita yang lebih pantas menjadi masa depan Dante dari pada kau!""Apa kakek tahu, sekarang bukan cuma kami berdua tapi Dante sudah bisa mengendalikan serangan paniknya terhadap wanita manapun. Dan itu karena aku, ka

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status