Setelah menutup pintu apartemen, Naura melepas napas panjang. Malam itu begitu berat, pikirannya bercampur aduk antara rasa lelah dan beban emosi. Namun langkahnya terhenti ketika mendapati sang ibu masih terjaga, duduk di sofa dengan televisi yang menyala tanpa suara.“Di mana Nak Davin?” tanya ibunya, menatap Naura dengan mata penuh selidik.Naura terkejut, tak menyangka ibunya masih terbangun pada jam sepuluh malam ini. Ia segera merapikan ekspresinya, berusaha terlihat tenang. “Tadi nganterin Naura sampai di bawah, Bu. Naura pikir Ibu sudah tidur. Besok katanya mau ke sini untuk sarapan bersama,” jawab Naura sambil tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perhatian ibunya.Namun, ibunya tetap menatapnya tajam. “Ibu tidak percaya begitu saja,” ujar sang ibu sambil memicingkan mata, memperhatikan wajah anaknya yang tampak lelah. “Kenapa matamu sembab, Nak? Apa yang terjadi? Apa kamu ribut dengan Nak Davin?”Pertanyaan itu membuat Naura gugup. Ia tak menduga ibunya begitu jeli memperha
Sinar matahari lembut menembus tirai kamar Naura, memaksa matanya untuk terbuka. Ia meregangkan otot-ototnya yang kaku dan dengan perlahan menyentuh sisi tempat tidur sang ibu. Kosong. Pikirannya langsung bertanya-tanya, namun samar-samar, ia mendengar suara gemerincing panci dari arah dapur. Naura menarik napas panjang, bangkit dari tempat tidur, dan melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.Setelah menyegarkan diri, ia berjalan ke dapur, mengikuti suara itu. Di sana, terlihat sang ibu yang tengah sibuk memasak. Aroma harum masakan langsung memenuhi ruangan itu, mengingatkan Naura pada pagi-pagi penuh cinta yang selalu diberikan ibunya.“Bu,” panggil Naura pelan, langkahnya mendekat.Tanpa menunggu balasan, Naura memeluk ibunya dari belakang, pelukan hangat yang terasa begitu nyaman.“Anak Ibu sudah bangun,” jawab ibunya lembut sambil menoleh sedikit.Naura tersenyum, meski ada semburat kesedihan di matanya. “Kenapa Ibu masak jam segini? Kok banyak banget m
Ibunya Naura memandang Davin dengan tatapan penuh harap, seolah mencari kepastian dari setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat diam, Davin akhirnya berbicara, suaranya bergetar pelan namun penuh keteguhan."Ibu tenang saja," ucap Davin sambil mengusap lembut lengan ibunya Naura. "Davin sangat mencintai Naura, lebih dari diri Davin sendiri. Ibu nggak perlu ragukan itu. Davin akan menjaganya dengan baik. Davin juga sangat menyayangi Ibu, maka Davin harap Ibu harus kuat agar terus sembuh dan panjang umur. Ibu pasti ingin melihat kami memiliki anak, ingin melihat cucu-cucu Ibu tumbuh besar kelak. Maka dari itu, Ibu harus berjuang untuk tetap sehat."Kata-kata itu seperti meluruhkan segala kegelisahan yang selama ini menghantui hati ibu Naura. Air mata menggenang di pelupuk matanya sebelum ia memeluk Davin dengan erat. Pelukan itu penuh kasih sayang dan rasa terima kasih, sementara Davin balas memeluknya dengan hangat. Tak kuasa menahan emosi, air mata pun jatuh
Di ruang kerja Davin yang tertutup rapat, suasana terasa begitu sunyi. Hanya isak tangis yang terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Davin masih berdiri memeluk Naura erat, seolah ia tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Namun, air matanya terus mengalir, menyuarakan rasa sakit yang tak mampu ia sampaikan dengan kata-kata."Kalau saja ada jalan lain untuk menghindari pernikahan itu, sudah aku lakukan demi kebahagiaan kita," ucap Davin lirih di sela tangisnya. Suaranya bergetar, penuh luka yang begitu dalam. "Tapi aku benar-benar tak bisa melakukannya. Aku bingung, kenapa Tuhan selalu seperti ini pada hidupku? Hidup sekali, tapi harus mengikuti kemauan orang tua. Benar-benar sakit."Naura yang berada dalam pelukannya tak sanggup menahan air matanya lagi. Isaknya tertahan, namun rasa sakitnya begitu nyata. Ia bisa merasakan betapa berat beban yang harus ditanggung Davin, pria yang begitu ia cintai. Namun, di balik rasa sedih itu, ada kesadaran yang perlahan m
Flashback Laura menatap putranya dengan wajah penuh harap. Di sebelahnya, Anna, duduk dengan canggung. Matanya terus mencuri pandang ke arah pria yang kini berdiri tegap dengan ekspresi dingin di depan mereka."Davin, Mama sudah bicara baik-baik. Kamu tahu, ini bukan hanya soal kamu dan Anna. Ini soal keluarga kita," ujar Laura dengan nada memohon.Davin menghela napas panjang, tangannya disilangkan di dada. "Mama, sudah berapa kali Davin bilang? Davin tidak mau melakukan pre-wedding ini. Davin tidak mencintai Anna. Hubungan kami hanya formalitas untuk memenuhi permintaan Mama," jawabnya tanpa emosi.Anna menunduk, mencoba menahan rasa sakit di hatinya. Ia sudah tahu sejak awal bahwa Davin tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Namun mendengar kata-kata itu diucapkan langsung di hadapan keluarganya membuatnya merasa semakin kecil."Davin," Papa William mencoba berbicara dengan nada lebih tegas. "Kamu pikir keputusan ini hanya soal perasaanmu? Bagaimana dengan nama baik keluarga? Ka
Suasana di kantor Abimanyu Group, masih dipenuhi aktivitas padat ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Para karyawan terlihat sibuk di meja masing-masing, menyiapkan laporan dan presentasi untuk meeting besar besok pagi. Di meja kerjanya, Naura masih sibuk mengetik laporan terakhir yang harus diselesaikan hari itu. Tangannya lincah bergerak di atas keyboard, sementara pikirannya fokus pada setiap detail pekerjaan.Ponselnya berdering pendek, memunculkan pesan masuk. Naura berhenti sejenak, meraih ponsel, dan membaca pesan itu dengan hati-hati."Naura, temui saya di Cafe Lion satu jam lagi. Terima kasih."Pesan dari Laura, mamanya Davin, membuatnya mengernyitkan dahi. "Ada apa lagi ya?" gumamnya pelan. Permintaan dari Laura hampir selalu berarti perintah, dan menolak bukanlah pilihan.Naura dengan cepat mengetik balasan: "Baik, Nyonya. Saya akan sampai di cafe dalam satu jam."Setelah pesan terkirim, ia meletakkan ponselnya di meja dan menghela napas panjang. Ia tahu,
Di tengah remang-remang kamar hotel yang dihiasi gemerlap balon berwarna pastel dan lilin-lilin kecil di setiap sudut, Naura berdiri mematung, matanya tak bisa lepas dari dekorasi romantis yang terhampar di depannya. Balon-balon dengan tulisan "Happy Birthday" menggantung di dinding, ranjang dihiasi kelopak mawar merah, dan di meja terdapat kue ulang tahun dengan lilin menyala.Davin, dengan senyumnya yang hangat, mulai menyanyikan lagu ulang tahun dengan suara lembut yang menggema di dalam ruangan.“Happy birthday to you... happy birthday to you... happy birthday, happy birthday... happy birthday, sayang.”Naura menutup mulutnya dengan tangan, air mata membasahi pipinya. “Pak, demi apapun, saya bahkan lupa kalau ini hari ulang tahun saya,” ucapnya dengan suara lirih.Davin mendekat, mengusap lembut pipinya yang basah. “Apa kamu menyukainya, sayang?” tanyanya, matanya menatap Naura penuh cinta.Naura hanya bisa mengangguk sambil mengusap air matanya. “Pak… saya tidak menyangka akan m
Davin sangat kesal. Rambutnya berantakan dan pakaiannya dikenakan asal-asalan. Matanya menatap pintu dengan kesal. Sementara itu, Naura memilih berlindung di balik selimut, matanya mengikuti Davin yang berjalan dengan langkah berat menuju pintu. Jantungnya ikut berdegup cepat, takut jika yang datang benar-benar orang yang mereka khawatirkan.Davin membuka pintu dengan gerakan cepat. Wajahnya yang tegang langsung berubah kesal ketika melihat siapa yang berdiri di depannya.“Bram? Demi apapun, kamu bikin jantungku hampir copot!” seru Davin, setengah membentak.Bram berdiri dengan senyum penuh kemenangan, tangannya memegang sebuah kotak. “Maaf, Pak. Saya hanya ingin memberikan kado ini untuk Naura. Tadi saya lupa menaruhnya di sini,” jawab Bram santai, menyerahkan kotak tersebut ke tangan Davin.Davin mendengus, menerima kotak itu dengan sedikit kasar. “Kamu ini bikin panik saja! Kukira Mama atau-” Ia menggigit bibirnya, enggan melanjutkan.Bram mengangkat alis, matanya berbinar menggo
"Naura sayang," panggil sang Mama mertua."Ya, Ma," jawab Naura, lalu membuka pintu kamarnya untuk menanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh sang Mama mertua.Si kembar ikut keluar dan menyembulkan kepala mereka di balik pintu untuk melihat sang nenek. Saat ini, Naura dan si kembar baru saja selesai mandi setelah panen buah di kebun.Bahkan Raka dan Rania tubuhnya masih terlilit handuk, dan rambutnya masih setengah basah."Mama mau pergi sebentar ya, sayang," pamit sang Mama mertua pada Naura. Ia juga mengusap rambut kedua cucunya."Kenapa nenek tidak di lumah saja? Padahal kami mau pamel kado ulang tahun, loh. Nenek jangan pergi ya," bujuk Raka."Iya, nih! Nenek halus temenin kami buka kado!" Rania ikut merengek."Kalau kalian mau ditemani nenek, berarti Mommy yang akan pergi ke kantor. Gimana?" Naura memberi tawaran sambil menaik-turunkan alisnya ketika kedua anak kembarnya menatap ke arah Naura."Oh, tidak bisa, Nyonya!" jawab keduanya kompak, lalu memeluk sang Mommy."Ya udah
Esok harinya, semua sudah berkumpul di meja makan. Naura mengenakan pakaian rumahan, namun sudah wangi dan cantik. Cuti hari ini diberikan langsung oleh sang CEO, dan akan dimanfaatkan dengan baik menemani kedua buah hatinya seharian penuh di rumah.Rania dan Raka melirik menu di atas meja. Ada daging dan salad sayur, serta susu untuk keduanya. Segera mereka mengambil posisi di samping kanan dan kiri sang Daddy.Bram masuk ke rumah itu, dan melayangkan protes saat tempat duduk yang biasa ia tempati diambil oleh Raka.“Minggir,” kata Bram mengusir Raka.Segera Raka berpegangan pada lengan sang Daddy, dan kakinya melilit pada tiang meja.“Iiiih, apaan nih. Dasal tamu tak diundang, tak punya sopan, ya numpang makan di lumah olang,” omelnya.Davin hanya terkekeh, sambil mengecup wajah jagoannya, yang makin hari makin bawel.“Iiih, apaan nih. Dad, tolongin apa anaknya,” kata Raka lagi, saat Bram kembali berniat mengangkat tubuhnya.Laura bergabung dan menjewer Bram hingga membuat Rania dan
Rania dan Raka menajamkan telinganya, mereka seolah tahu yang datang itu kedua orang tuanya. Dan mereka sangat bahagia kalau sang mommy pulang sebelum makan malam.“Ayo tulun, mommy datang,” ucap Rania.Keduanya berjalan cepat menuruni anak tangga agar bisa membukakan pintu sang mommy. Keduanya bahkan mengabaikan panggilan sang nenek yang terus memanggilnya. Laura dan Dinda menyusul ke lantai bawah.“Mommyyyyyyy, yeeeeeee Mommy aku udah pulang.” Rani dan Rak masuk dalam dekapan sang mommy. Mencium wajah wanita yang melahirkannya bertubi-tubi. Naura sampai terkekeh melihat kelakuan anak kembarnya, sementara Davin yang berdiri di sampingnya malah dicuekin.“Aku curiga, kalau mereka ini hanya anaknya Naura. Kamu hanya mengakui secara catatan saja,” ejek Bram.Davin hanya tertawa sambil menggeleng.“Penculiiii, kau culi mommy kami sampai sole balu pulang,” ucap Rania, lalu terkekeh saat sang Daddy membuat tubuhnya melayang. “Aka mau, Dad,” ujar jagoannya.Davin merengkuh kedua anaknya, l
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le
“Aaaaaaah, baby. Hisap lebih dalam.” Dinda melumat milik Bram penuh dengan hasrat, Dia sangat senang sekali kalau disuruh ngemut permen kulit satu ini. Tangan berantak tinggal diam dia meremas dada Dinda dan tangan yang satunya masih bermain di area kewanitaan Dinda. Dinda mempercepat gerakannya, semakin cepat gerakan itu, semakin sering desahan keluar dari mulut Bram yang berhasil membangkitkan gairah liar keduanya. Bahkan mereka benar-benar sudah kecanduan satu sama lain, dimanapun Bram berada permainan panas dengan Dinda selalu memenuhi benaknya. Setelah selesai perjalanan bisnisnya lalu mereka berlibur di atas kapal pesiar, Bram bersumpah tidak akan membiarkan Dinda nganggur sedikitpun. “Cium aku, baby,” kata Bram dengan mata sayu. Dinda melepaskan mulutnya dari benda yang sudah berdiri dengan tegak, lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Bram. Mereka saling mendekat satu sama lain, lidahnya saling membelit satu sama lain seolah kegiatan panas ini tidak pernah membuat mereka