Di ruang kerja Davin yang tertutup rapat, suasana terasa begitu sunyi. Hanya isak tangis yang terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Davin masih berdiri memeluk Naura erat, seolah ia tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Namun, air matanya terus mengalir, menyuarakan rasa sakit yang tak mampu ia sampaikan dengan kata-kata."Kalau saja ada jalan lain untuk menghindari pernikahan itu, sudah aku lakukan demi kebahagiaan kita," ucap Davin lirih di sela tangisnya. Suaranya bergetar, penuh luka yang begitu dalam. "Tapi aku benar-benar tak bisa melakukannya. Aku bingung, kenapa Tuhan selalu seperti ini pada hidupku? Hidup sekali, tapi harus mengikuti kemauan orang tua. Benar-benar sakit."Naura yang berada dalam pelukannya tak sanggup menahan air matanya lagi. Isaknya tertahan, namun rasa sakitnya begitu nyata. Ia bisa merasakan betapa berat beban yang harus ditanggung Davin, pria yang begitu ia cintai. Namun, di balik rasa sedih itu, ada kesadaran yang perlahan m
Flashback Laura menatap putranya dengan wajah penuh harap. Di sebelahnya, Anna, duduk dengan canggung. Matanya terus mencuri pandang ke arah pria yang kini berdiri tegap dengan ekspresi dingin di depan mereka."Davin, Mama sudah bicara baik-baik. Kamu tahu, ini bukan hanya soal kamu dan Anna. Ini soal keluarga kita," ujar Laura dengan nada memohon.Davin menghela napas panjang, tangannya disilangkan di dada. "Mama, sudah berapa kali Davin bilang? Davin tidak mau melakukan pre-wedding ini. Davin tidak mencintai Anna. Hubungan kami hanya formalitas untuk memenuhi permintaan Mama," jawabnya tanpa emosi.Anna menunduk, mencoba menahan rasa sakit di hatinya. Ia sudah tahu sejak awal bahwa Davin tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Namun mendengar kata-kata itu diucapkan langsung di hadapan keluarganya membuatnya merasa semakin kecil."Davin," Papa William mencoba berbicara dengan nada lebih tegas. "Kamu pikir keputusan ini hanya soal perasaanmu? Bagaimana dengan nama baik keluarga? Ka
Suasana di kantor Abimanyu Group, masih dipenuhi aktivitas padat ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Para karyawan terlihat sibuk di meja masing-masing, menyiapkan laporan dan presentasi untuk meeting besar besok pagi. Di meja kerjanya, Naura masih sibuk mengetik laporan terakhir yang harus diselesaikan hari itu. Tangannya lincah bergerak di atas keyboard, sementara pikirannya fokus pada setiap detail pekerjaan.Ponselnya berdering pendek, memunculkan pesan masuk. Naura berhenti sejenak, meraih ponsel, dan membaca pesan itu dengan hati-hati."Naura, temui saya di Cafe Lion satu jam lagi. Terima kasih."Pesan dari Laura, mamanya Davin, membuatnya mengernyitkan dahi. "Ada apa lagi ya?" gumamnya pelan. Permintaan dari Laura hampir selalu berarti perintah, dan menolak bukanlah pilihan.Naura dengan cepat mengetik balasan: "Baik, Nyonya. Saya akan sampai di cafe dalam satu jam."Setelah pesan terkirim, ia meletakkan ponselnya di meja dan menghela napas panjang. Ia tahu,
Di tengah remang-remang kamar hotel yang dihiasi gemerlap balon berwarna pastel dan lilin-lilin kecil di setiap sudut, Naura berdiri mematung, matanya tak bisa lepas dari dekorasi romantis yang terhampar di depannya. Balon-balon dengan tulisan "Happy Birthday" menggantung di dinding, ranjang dihiasi kelopak mawar merah, dan di meja terdapat kue ulang tahun dengan lilin menyala.Davin, dengan senyumnya yang hangat, mulai menyanyikan lagu ulang tahun dengan suara lembut yang menggema di dalam ruangan.“Happy birthday to you... happy birthday to you... happy birthday, happy birthday... happy birthday, sayang.”Naura menutup mulutnya dengan tangan, air mata membasahi pipinya. “Pak, demi apapun, saya bahkan lupa kalau ini hari ulang tahun saya,” ucapnya dengan suara lirih.Davin mendekat, mengusap lembut pipinya yang basah. “Apa kamu menyukainya, sayang?” tanyanya, matanya menatap Naura penuh cinta.Naura hanya bisa mengangguk sambil mengusap air matanya. “Pak… saya tidak menyangka akan m
Davin sangat kesal. Rambutnya berantakan dan pakaiannya dikenakan asal-asalan. Matanya menatap pintu dengan kesal. Sementara itu, Naura memilih berlindung di balik selimut, matanya mengikuti Davin yang berjalan dengan langkah berat menuju pintu. Jantungnya ikut berdegup cepat, takut jika yang datang benar-benar orang yang mereka khawatirkan.Davin membuka pintu dengan gerakan cepat. Wajahnya yang tegang langsung berubah kesal ketika melihat siapa yang berdiri di depannya.“Bram? Demi apapun, kamu bikin jantungku hampir copot!” seru Davin, setengah membentak.Bram berdiri dengan senyum penuh kemenangan, tangannya memegang sebuah kotak. “Maaf, Pak. Saya hanya ingin memberikan kado ini untuk Naura. Tadi saya lupa menaruhnya di sini,” jawab Bram santai, menyerahkan kotak tersebut ke tangan Davin.Davin mendengus, menerima kotak itu dengan sedikit kasar. “Kamu ini bikin panik saja! Kukira Mama atau-” Ia menggigit bibirnya, enggan melanjutkan.Bram mengangkat alis, matanya berbinar menggo
“Ayo, Pak, sebaiknya kita pulang sekarang,” ujar Naura sambil merapikan pakaiannya.Davin mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia merapikan penampilannya dengan asal, pikirannya masih terjebak pada momen yang baru saja mereka lalui. Dalam diam, ia memikirkan bagaimana hidupnya akan terus berubah, terutama dengan situasi yang semakin rumit ini.Mereka membersihkan diri di kamar mandi hotel itu, berusaha menutupi jejak kebersamaan mereka. Naura selesai lebih dulu, dan dengan rapi ia melangkah keluar dari kamar, berjalan cepat menuju lobi. Namun, ia tetap berhati-hati agar tidak menarik perhatian. Naura melirik sekeliling sebelum masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, ia segera meninggalkan hotel tanpa menoleh ke belakang.Davin menunggu sekitar 10 menit sebelum menyusul. Ia sengaja tidak menggunakan jasa sopir kali ini, memilih untuk menyetir sendiri agar situasinya tetap aman. Ia tahu, jika seseorang mengenali mobilnya, kabar tentang dirinya dan Naura bisa menyebar dengan cepat.Setelah
"Jangan macam-macam, Om. Aku sebentar lagi akan menikah dan sudah tak sabar ingin menjadi Nyonya Muda Abimanyu. Aku akan menguasai seluruh harta milik Davin Abimanyu, tak peduli dia bersikap baik padaku atau tidak. Doakan ya semuanya berjalan lancar," begitu bunyi pesan yang ia kirimkan.Setelah menekan tombol kirim pada pesan yang ditujukan kepada pria yang selama ini selalu ada di sisinya, Anna meletakkan ponselnya di meja samping ranjang. Ia tersenyum tipis, matanya berbinar penuh ambisi.Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk. Tangan kirinya meraih selimut, sementara tatapannya menembus langit-langit kamar yang putih bersih. Pikirannya tidak bisa tenang, teralihkan oleh rasa penasaran yang semakin kuat tentang apa yang sebenarnya terjadi antara Davin dan sekretarisnya, Naura."Demi apapun, aku mencurigai sesuatu," gumam Anna dengan suara pelan namun penuh ketegasan. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat hingga kuku-kukunya nyaris melukai telapak tangannya sen
“Saya siapkan ruang rapat dulu pak. Ini sarapan dari Ibu. Habiskan ya,” ucap Naura.OB datang membawakan kopi untuk Davin, “makasih mbak,” ucap Naura.“Sama-sama Bu. Saya ijin lanjutkan pekerjaan dulu, Pak, buk,” pamitnya.Naura mengangguk. Dia juga berpamitan untuk menyiapkan segala sesuatu di ruang meeting.Suasana ruang rapat utama di kantor pusat Abimanyu Group terasa begitu serius namun tetap penuh antusias. Para pimpinan divisi yang berada di bawah naungan Davin sudah berkumpul, menunggu kehadiran pemimpin muda mereka. Semua persiapan telah dilakukan dengan rapi. Layar proyektor telah menyala, memperlihatkan grafik-grafik yang menjadi inti pembahasan hari itu.Tepat pukul 08.10, Davin memasuki ruangan meeting diikuti oleh Bram.Pintu ruang rapat terbuka. Davin masuk dengan langkah tegas, mengenakan setelan jas hitam elegan. Aura kewibawaan dan ketegasannya segera memenuhi ruangan. Para pimpinan berdiri sejenak untuk memberi salam sebelum mereka kembali duduk."Selamat pagi, se
Menyadari laki-laki muda itu sangat gugup, Laura pun menjauhkan tangannya dari paha pria itu."Apa kamu tidak pernah berhubungan dengan perempuan? Masa sih orang seusiamu mendengar kata-kata saya ini terlihat sangat gugup?" tanya Laura.Andi benar-benar kehilangan konsentrasinya. Dia harus fokus berkendara, namun pikirannya terganggu oleh pertanyaan ambigu yang dilayangkan oleh Laura.Usianya saat ini baru 25 tahun, namun postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuat wajah tampannya terlihat lebih tua dari usianya."Kamu yakin belum pernah melakukannya dengan kekasihmu atau perempuan lain?" tanya Laura lagi ketika pria itu benar-benar semakin salah tingkah."Demi Tuhan, Nyonya. Saya tidak pernah melakukan itu dengan siapapun. Saya benar-benar hanya fokus pada penyembuhan ibu saya. Hanya beliau satu-satunya orang yang saya miliki di dunia ini," jawab Andi, semakin membuat Laura tersenyum bahagia."Kalau begitu, aku akan memanjakanmu dengan uang yang aku miliki. Aku akan membelik
"Naura sayang," panggil sang Mama mertua."Ya, Ma," jawab Naura, lalu membuka pintu kamarnya untuk menanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh sang Mama mertua.Si kembar ikut keluar dan menyembulkan kepala mereka di balik pintu untuk melihat sang nenek. Saat ini, Naura dan si kembar baru saja selesai mandi setelah panen buah di kebun.Bahkan Raka dan Rania tubuhnya masih terlilit handuk, dan rambutnya masih setengah basah."Mama mau pergi sebentar ya, sayang," pamit sang Mama mertua pada Naura. Ia juga mengusap rambut kedua cucunya."Kenapa nenek tidak di lumah saja? Padahal kami mau pamel kado ulang tahun, loh. Nenek jangan pergi ya," bujuk Raka."Iya, nih! Nenek halus temenin kami buka kado!" Rania ikut merengek."Kalau kalian mau ditemani nenek, berarti Mommy yang akan pergi ke kantor. Gimana?" Naura memberi tawaran sambil menaik-turunkan alisnya ketika kedua anak kembarnya menatap ke arah Naura."Oh, tidak bisa, Nyonya!" jawab keduanya kompak, lalu memeluk sang Mommy."Ya udah
Esok harinya, semua sudah berkumpul di meja makan. Naura mengenakan pakaian rumahan, namun sudah wangi dan cantik. Cuti hari ini diberikan langsung oleh sang CEO, dan akan dimanfaatkan dengan baik menemani kedua buah hatinya seharian penuh di rumah.Rania dan Raka melirik menu di atas meja. Ada daging dan salad sayur, serta susu untuk keduanya. Segera mereka mengambil posisi di samping kanan dan kiri sang Daddy.Bram masuk ke rumah itu, dan melayangkan protes saat tempat duduk yang biasa ia tempati diambil oleh Raka.“Minggir,” kata Bram mengusir Raka.Segera Raka berpegangan pada lengan sang Daddy, dan kakinya melilit pada tiang meja.“Iiiih, apaan nih. Dasal tamu tak diundang, tak punya sopan, ya numpang makan di lumah olang,” omelnya.Davin hanya terkekeh, sambil mengecup wajah jagoannya, yang makin hari makin bawel.“Iiih, apaan nih. Dad, tolongin apa anaknya,” kata Raka lagi, saat Bram kembali berniat mengangkat tubuhnya.Laura bergabung dan menjewer Bram hingga membuat Rania dan
Rania dan Raka menajamkan telinganya, mereka seolah tahu yang datang itu kedua orang tuanya. Dan mereka sangat bahagia kalau sang mommy pulang sebelum makan malam.“Ayo tulun, mommy datang,” ucap Rania.Keduanya berjalan cepat menuruni anak tangga agar bisa membukakan pintu sang mommy. Keduanya bahkan mengabaikan panggilan sang nenek yang terus memanggilnya. Laura dan Dinda menyusul ke lantai bawah.“Mommyyyyyyy, yeeeeeee Mommy aku udah pulang.” Rani dan Rak masuk dalam dekapan sang mommy. Mencium wajah wanita yang melahirkannya bertubi-tubi. Naura sampai terkekeh melihat kelakuan anak kembarnya, sementara Davin yang berdiri di sampingnya malah dicuekin.“Aku curiga, kalau mereka ini hanya anaknya Naura. Kamu hanya mengakui secara catatan saja,” ejek Bram.Davin hanya tertawa sambil menggeleng.“Penculiiii, kau culi mommy kami sampai sole balu pulang,” ucap Rania, lalu terkekeh saat sang Daddy membuat tubuhnya melayang. “Aka mau, Dad,” ujar jagoannya.Davin merengkuh kedua anaknya, l
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le