“Aaaah, Pak. Saya kecanduan dengan sentuhan panas ini. Bapak benar-benar berhasil membuat saya gila,” ujar Naura, di tengah desahannya.Davin tersenyum, bibirnya masih sibuk menikmati dada besar sang sekretaris cantik, sementara tangannya sibuk bermain di bagian intim Naura.“Aaaaaaah, Pak. Saya mau keluar,” kata Naura.Davin merengkuh tubuh Naura membawanya ke dalam ruangan pribadi Davin, yang ada di ruang kerjanya.Pria itu melucuti seluruh pakaian Naura dengan penuh nafsu. Beruntung baik Naura atau Davin sudah menyediakan pakaian ganti di ruangan ini.Tentu saja lemari itu terkunci agar tak sampai ada yang bisa membukanya termasuk sang mama dan Anna, bila mereka sedang ada di kantor Davin.“Sayaaaaaang, bau tubuhmu membuatku kecanduan juga,” balas Davin, yang saat ini sudah melakukan penyatuan.Dia menghentak tubuh Naura dengan lembut namun penuh nafsu.Tangannya meremas dua bagian menyembul yang membuatnya ingin selalu membenamkan bibir di puncaknya.“Aaaaaah, Paaaaaaaak” desah Na
Setelah sesi prewedding di pantai selesai, rombongan Davin bergerak menuju studio foto di pusat kota. Jalanan yang cukup lengang membuat perjalanan terasa singkat, tetapi suasana di dalam mobil masih dipenuhi keheningan. Anna tampak sibuk memeriksa hasil jepretan di ponselnya, senyum tipis terkembang di wajahnya. Mama Laura dan Papa William duduk berdampingan, sesekali membahas tentang tema berikutnya, sementara Davin hanya menatap lurus ke depan, tenggelam dalam pikirannya.Di kursi depan samping sopir, Naura duduk dengan sikap tenang. Meski berusaha menjaga ekspresi profesional, hatinya terasa berat. Melihat Davin dan Anna begitu dekat selama sesi di pantai tadi menyiksa batinnya, meskipun ia tahu itu semua hanyalah tuntutan situasi.Setibanya di studio foto, mereka disambut hangat oleh tim fotografer dan penata gaya yang sudah menunggu. Studio itu megah dengan desain interior elegan. Ada ruangan khusus untuk ganti pakaian, lengkap dengan deretan gaun pengantin dan jas mewah.“B
Suara ombak besar memecah keheningan sore di tepi pantai. Langit yang kelam karena mulai gelap semakin menambah kesan pilu pada suasana di antara Davin dan Naura.Angin yang dingin tak mampu menandingi dinginnya perasaan mereka berdua. Di tengah suasana itu, Davin berdiri mematung, wajahnya memandang ke arah gelombang laut yang ganas.Di tangannya tergenggam sebotol anggur, namun isinya tak lagi menarik perhatiannya. Di sebelahnya, Naura masih tampak gemetar.“Pak, tolong sadar,” suara Naura memecah kesunyian, penuh isak tangis. Tubuhnya mendekat, berusaha menjangkau pria yang menjadi pusat kehidupannya. “Bunuh diri adalah hal yang paling dibenci oleh Tuhan! Kita harus berdoa agar diberi umur panjang, bukan malah mengakhirinya seperti ini.”Air matanya deras mengalir. Tubuh kecilnya menggigil di tengah hembusan angin. Ia mencoba menahan dirinya agar tidak runtuh, namun suaranya pecah di setiap kata. “Dosa kita sudah terlalu banyak di muka bumi ini. Jangan menambahnya dengan cara kon
Anna berdiri mematung di tepi jalan, menatap dengan mata yang berkilat penuh amarah. Mobil Davin dan Naura perlahan menjauh, meninggalkan area pantai yang sebelumnya menjadi saksi pertemuan rahasia mereka.Dadanya terasa sesak, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena kemarahan dan rasa sakit yang bercampur menjadi satu.Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat di sisi tubuh, berusaha menahan diri agar tidak berteriak. “Aku tahu perasaanku tidak pernah salah. Mereka benar-benar ada hubungan. Sialan kamu, Naura,” ucapnya dengan suara rendah, penuh amarah. "Tunggu saja pembalasan dariku."Angin pantai meniup rambut panjangnya yang tergerai. Namun, Anna tidak memedulikannya. Ia menoleh ke arah tiga pria bertubuh besar yang berdiri beberapa langkah darinya. Mereka adalah orang-orang yang ia sewa untuk menyelidiki Davin dan Naura. Selama ini, Anna hanya memiliki kecurigaan tanpa bukti. Tetapi, hari ini, ia akhirnya mendapatkan apa yang ia cari.“Apa yang harus kami lakukan, Bos?” sa
Sementara itu, mobil Davin terparkir di basement apartemen Naura. Tidak ada kata-kata yang terucap sejak mereka meninggalkan pantai. Hanya suara detak jantung mereka masing-masing yang terasa lebih nyaring di tengah keheningan.Davin memegang setir dengan kedua tangan, menatap kosong ke depan, sementara Naura hanya menunduk, memainkan ujung syal yang melingkar di lehernya.“Sayang,” panggil Davin.“Iya, Pak,” jawab Naura.Davin akhirnya menghela napas panjang, memecah keheningan. “Aku tahu, Sayang. Semua ini pasti sangat berat untukmu,” ucapnya dengan suara yang serak.Naura tetap membisu, tetapi matanya perlahan berkaca-kaca. Ia tahu apa yang akan Davin katakan. Mereka telah melalui percakapan ini berulang kali, tetapi rasa sakitnya tetap sama.“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya lagi,” lanjut Davin, suaranya mulai bergetar. “Tapi aku butuh kamu. Aku tidak bisa menjalani hidup ini tanpamu, meskipun aku tahu aku tidak bisa memberimu kebahagiaan sepenuhnya.”Naura menoleh perlaha
Davin sedikit terkejut, namun segera menurunkan kaca jendelanya. Seorang petugas keamanan berdiri di samping mobilnya, dengan wajah penuh sopan santun."Ya, Pak? Ada apa?" tanya Davin, suaranya terdengar ramah meski lelah mulai menguasai raut wajahnya."Maaf, Pak," ucap petugas itu. "Saya hanya ingin memberi tahu kalau parkir mobil Anda sedikit miring. Takutnya nanti mobil lain kesulitan parkir di sebelah atau di belakangnya.""Oh, maaf ya, Pak. Saya hanya sebentar kok, sekarang mau langsung balik. Tadi saya mengantarkan calon istri saya pulang," jawab Davin sambil tersenyum kecil."Siap, Pak. Maaf mengganggu, ya." Petugas itu menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat."Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah memberitahu," sahut Davin sebelum menaikkan kembali kaca mobilnya.Setelah itu, Naura memandang Davin dengan senyum tipis, meski ada bayangan kesedihan di matanya. Ia mulai meraih tas dan barang-barangnya, bersiap untuk turun dari mobil."Saya turun ya, Pak. Kasihan Ibu, seh
“Pak, gantian dong. Saya gak kuat keburu keluar,” desah Naura. “Pak, kalau kita main di sini, apa gak ada yang liat?” tanya Naura gugup.Davin tersenyum, makannya jangan main buka aja sebelum ditutup,” ejek Davin. Naura hanya tertawa kecil, meski tampak masih terang ternyata ada kanopi yang bisa dibuka tutup di area balkon. Jadi orang lain tak akan bisa melihat aktifitas panas mereka di dalam kolam jacuzzi.“Ya udah, sini. Saya mau manjain Bapak juga,” ucap Naura. Davin duduk di pinggir kolam, Naura masih di dalam kolam setengah badannya. Tanpa ragu wanita itu mulai memasukkan benda berurat itu, ke dalam mulut, memberi gigitan kecil di sana. Hingga Davin yang kini giliran mendesah tanpa henti.“Lebih dalam lagi, sayaaaaang,” ucap Davin parau. Matanya telah berkabut hasrat. Nafsunya selalu besar setiap kali bersama Naura.Puas mengulum benda panjang berurat itu, Naura memainkan lidahnya di bagian bawah milik Davin, hingga pria itu kembali mengeluarkan suara desahan tanpa henti. Setia
“Tuan Davin dan wanita itu sedang pergi ke luar negeri. Katanya ada perjalanan bisnis,” ujar pria itu dengan suara datar.Laura menatap dengan penuh amarah ke layar ponselnya. Wajahnya memerah, dan napasnya memburu setelah menerima kabar bahwa Davin dan Naura sedang berada di luar negeri. Matanya membara ketika mendengar pria di ujung telepon melanjutkan laporannya.Laura mendengus keras, menahan amarah yang seolah ingin meledak. “Brengsek! Itu pasti alasan mereka saja! Awas saja kau, Naura! Kamu akan menyesal telah membodohi kami dengan wajah lugumu itu. Kau berani bermain-main denganku? Maka, sebelum kau benar-benar menyesal hidup di dunia ini, aku bersumpah tidak akan berhenti menyiksamu!” teriaknya dengan suara menggema di ruangan.Tunangan Davin, yang duduk di dekat Laura, memperhatikan wanita paruh baya itu dengan senyum penuh kemenangan. Matanya bersinar penuh dendam. Dia memegang sebuah foto Naura, lalu menatapnya dengan kebencian yang sama seperti calon ibu mertuanya.“Tant
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh
Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya lampu, memberikan kesan eksklusif dan profesional. Meja panjang sudah tertata rapi dengan dokumen-dokumen kerja sama yang siap untuk didiskusikan. Bram dan tiga orang timnya tiba lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah sesuai dengan kebutuhan presentasi Davin.Beberapa menit kemudian, Davin datang dengan setelan jas hitam yang sempurna, menampilkan sosoknya yang berwibawa sebagai Presiden Direktur Abimanyu Group. Matanya tajam, fokus pada pertemuan hari ini. Meskipun ia menyadari kehadiran Penelope, ia memilih untuk tidak memperhatikan wanita itu lebih dari yang diperlukan.Penelope melangkah masuk bersama Fernando dan timnya. Seperti biasa, wanita itu tampil memesona dengan gaun formal yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat matanya langsung tertuju pada Davin.“Selamat siang, Pak Davin.” Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ketertarikan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Selamat siang, Bu Penelope
Davin tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak mereka keluar dari restoran setelah pertemuan bisnis dengan Penelope, ekspresi Naura berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan Davin tidak akan membiarkan itu berlarut-larut.Begitu sampai di rumah, Davin turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi pintu mobil dan membukakannya untuk Naura. Dengan lembut, ia membantu sang istri turun dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.Naura tetap diam.Davin menghela napas. Setelah mereka tiba di ruang keluarga, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan istrinya.“Sayang,” panggil Davin lembut.Naura tidak merespons.Davin menatapnya dalam-dalam. Ia menyentuh jemari Naura dan menggenggamnya erat. “Kamu mau cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Naura masih tidak mengatakan apa pun.Davin menarik kedua alisnya. “Sayang, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bukan orang bodoh yang bisa dibohongi dengan diam seperti