Anna berdiri mematung di tepi jalan, menatap dengan mata yang berkilat penuh amarah. Mobil Davin dan Naura perlahan menjauh, meninggalkan area pantai yang sebelumnya menjadi saksi pertemuan rahasia mereka.Dadanya terasa sesak, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena kemarahan dan rasa sakit yang bercampur menjadi satu.Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat di sisi tubuh, berusaha menahan diri agar tidak berteriak. “Aku tahu perasaanku tidak pernah salah. Mereka benar-benar ada hubungan. Sialan kamu, Naura,” ucapnya dengan suara rendah, penuh amarah. "Tunggu saja pembalasan dariku."Angin pantai meniup rambut panjangnya yang tergerai. Namun, Anna tidak memedulikannya. Ia menoleh ke arah tiga pria bertubuh besar yang berdiri beberapa langkah darinya. Mereka adalah orang-orang yang ia sewa untuk menyelidiki Davin dan Naura. Selama ini, Anna hanya memiliki kecurigaan tanpa bukti. Tetapi, hari ini, ia akhirnya mendapatkan apa yang ia cari.“Apa yang harus kami lakukan, Bos?” sa
Sementara itu, mobil Davin terparkir di basement apartemen Naura. Tidak ada kata-kata yang terucap sejak mereka meninggalkan pantai. Hanya suara detak jantung mereka masing-masing yang terasa lebih nyaring di tengah keheningan.Davin memegang setir dengan kedua tangan, menatap kosong ke depan, sementara Naura hanya menunduk, memainkan ujung syal yang melingkar di lehernya.“Sayang,” panggil Davin.“Iya, Pak,” jawab Naura.Davin akhirnya menghela napas panjang, memecah keheningan. “Aku tahu, Sayang. Semua ini pasti sangat berat untukmu,” ucapnya dengan suara yang serak.Naura tetap membisu, tetapi matanya perlahan berkaca-kaca. Ia tahu apa yang akan Davin katakan. Mereka telah melalui percakapan ini berulang kali, tetapi rasa sakitnya tetap sama.“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya lagi,” lanjut Davin, suaranya mulai bergetar. “Tapi aku butuh kamu. Aku tidak bisa menjalani hidup ini tanpamu, meskipun aku tahu aku tidak bisa memberimu kebahagiaan sepenuhnya.”Naura menoleh perlaha
Davin sedikit terkejut, namun segera menurunkan kaca jendelanya. Seorang petugas keamanan berdiri di samping mobilnya, dengan wajah penuh sopan santun."Ya, Pak? Ada apa?" tanya Davin, suaranya terdengar ramah meski lelah mulai menguasai raut wajahnya."Maaf, Pak," ucap petugas itu. "Saya hanya ingin memberi tahu kalau parkir mobil Anda sedikit miring. Takutnya nanti mobil lain kesulitan parkir di sebelah atau di belakangnya.""Oh, maaf ya, Pak. Saya hanya sebentar kok, sekarang mau langsung balik. Tadi saya mengantarkan calon istri saya pulang," jawab Davin sambil tersenyum kecil."Siap, Pak. Maaf mengganggu, ya." Petugas itu menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat."Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah memberitahu," sahut Davin sebelum menaikkan kembali kaca mobilnya.Setelah itu, Naura memandang Davin dengan senyum tipis, meski ada bayangan kesedihan di matanya. Ia mulai meraih tas dan barang-barangnya, bersiap untuk turun dari mobil."Saya turun ya, Pak. Kasihan Ibu, seh
“Pak, gantian dong. Saya gak kuat keburu keluar,” desah Naura. “Pak, kalau kita main di sini, apa gak ada yang liat?” tanya Naura gugup.Davin tersenyum, makannya jangan main buka aja sebelum ditutup,” ejek Davin. Naura hanya tertawa kecil, meski tampak masih terang ternyata ada kanopi yang bisa dibuka tutup di area balkon. Jadi orang lain tak akan bisa melihat aktifitas panas mereka di dalam kolam jacuzzi.“Ya udah, sini. Saya mau manjain Bapak juga,” ucap Naura. Davin duduk di pinggir kolam, Naura masih di dalam kolam setengah badannya. Tanpa ragu wanita itu mulai memasukkan benda berurat itu, ke dalam mulut, memberi gigitan kecil di sana. Hingga Davin yang kini giliran mendesah tanpa henti.“Lebih dalam lagi, sayaaaaang,” ucap Davin parau. Matanya telah berkabut hasrat. Nafsunya selalu besar setiap kali bersama Naura.Puas mengulum benda panjang berurat itu, Naura memainkan lidahnya di bagian bawah milik Davin, hingga pria itu kembali mengeluarkan suara desahan tanpa henti. Setia
“Tuan Davin dan wanita itu sedang pergi ke luar negeri. Katanya ada perjalanan bisnis,” ujar pria itu dengan suara datar.Laura menatap dengan penuh amarah ke layar ponselnya. Wajahnya memerah, dan napasnya memburu setelah menerima kabar bahwa Davin dan Naura sedang berada di luar negeri. Matanya membara ketika mendengar pria di ujung telepon melanjutkan laporannya.Laura mendengus keras, menahan amarah yang seolah ingin meledak. “Brengsek! Itu pasti alasan mereka saja! Awas saja kau, Naura! Kamu akan menyesal telah membodohi kami dengan wajah lugumu itu. Kau berani bermain-main denganku? Maka, sebelum kau benar-benar menyesal hidup di dunia ini, aku bersumpah tidak akan berhenti menyiksamu!” teriaknya dengan suara menggema di ruangan.Tunangan Davin, yang duduk di dekat Laura, memperhatikan wanita paruh baya itu dengan senyum penuh kemenangan. Matanya bersinar penuh dendam. Dia memegang sebuah foto Naura, lalu menatapnya dengan kebencian yang sama seperti calon ibu mertuanya.“Tant
Anna duduk santai di atas pangkuan pria matang yang telah menjadi selingkuhannya selama ini. Tangannya melingkar manja di leher pria itu, sementara senyumnya penuh makna, memperlihatkan betapa dirinya benar-benar menikmati permainan berbahaya ini."Kamu ini sangat licik, baby. Padahal kamu main sama aku, tapi kamu egois. Davin nggak boleh sama yang lain," ucap pria itu sambil menatap Anna dengan pandangan nakal namun penuh rasa ingin melucuti baju Anna sekarang juga.Anna tertawa kecil, nada suaranya tenang namun tajam. "Siapapun yang menghalangi harus dilenyapkan. Aku sudah berjuang sampai di titik ini, jadi tidak ada yang boleh mengganggu rencanaku. Apalagi, aku sudah di ambang memenangkan semuanya," ucapnya dengan penuh keyakinan, matanya bersinar dengan ambisi.Pria itu menatapnya kagum, meskipun di dalam hatinya ia tahu bahwa Anna jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia duga. Namun, pesona wanita ini terlalu kuat untuk diabaikan. Baginya, Anna adalah magnet yang tak bisa d
"Istri Om bener-bener keterlaluan ya. Mentang-mentang dia kaya raya, seenaknya saja bicara kasar sama suami sendiri yang harusnya dia hormati," ucap Anna, suaranya terdengar manja namun dengan nada mengejek yang jelas.Pria dewasa di hadapannya, mengenakan kemeja yang kusut akibat pergumulan mereka sebelumnya, menghela napas panjang. "Ya, begitulah, baby. Dia selalu merasa bahwa dia yang sudah menghidupi Om. Padahal, selama ini Om juga kerja di perusahaannya. Dan lagi, dia tak pernah hamil," balasnya, nada suaranya sedikit getir.Anna tertawa sinis. "Ya gimana mau hamil, Om? Kan dia sudah nenek-nenek," ujarnya dengan nada mengejek, membuat keduanya tertawa bersama. Tawa mereka seolah menjadi bukti betapa rendahnya rasa hormat yang tersisa dalam hubungan pria itu dengan istrinya.Pria itu mengusap dagunya sambil menatap Anna dengan pandangan penuh nafsu. "Om nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada kamu, baby. Kamu itu penyelamat Om."Anna tersenyum licik. "Udah, sana mandi dulu, Om. Na
Davin duduk cemas di samping Naura. Wanita yang ia cintai terlihat lemah, berusaha mengatur napas setelah muntah hebat yang membuat seluruh tubuhnya gemetar. Tanpa rasa jijik sedikit pun, Davin membantu Naura, memegang dahinya saat Naura duduk lemah mengeluarkan semua isi perutnya."Sayang, kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Davin dengan rasa penuh kekhawatiran. Wajahnya terlihat sangat panik yang sulit disembunyikan.Naura menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. "Tidak perlu, Pak. Saya hanya masuk angin. Maaf jadi merepotkan... dan muntah di sini."Davin mengerutkan kening, jelas-jelas tak setuju dengan alasan Naura. "Jangan bilang begitu, Sayang. Walaupun cuma masuk angin, aku nggak mau ambil risiko. Maafkan aku, mungkin aku terlalu memaksa setiap kali kita... berhubungan badan denganmu, aku terlalu memuaskan hasratku tanpa memikirkan kondisimu." Suaranya melemah, penuh rasa bersalah yang jelas tergambar di sana.Naura tersenyum samar, meski lemah, mencob
Menyadari laki-laki muda itu sangat gugup, Laura pun menjauhkan tangannya dari paha pria itu."Apa kamu tidak pernah berhubungan dengan perempuan? Masa sih orang seusiamu mendengar kata-kata saya ini terlihat sangat gugup?" tanya Laura.Andi benar-benar kehilangan konsentrasinya. Dia harus fokus berkendara, namun pikirannya terganggu oleh pertanyaan ambigu yang dilayangkan oleh Laura.Usianya saat ini baru 25 tahun, namun postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuat wajah tampannya terlihat lebih tua dari usianya."Kamu yakin belum pernah melakukannya dengan kekasihmu atau perempuan lain?" tanya Laura lagi ketika pria itu benar-benar semakin salah tingkah."Demi Tuhan, Nyonya. Saya tidak pernah melakukan itu dengan siapapun. Saya benar-benar hanya fokus pada penyembuhan ibu saya. Hanya beliau satu-satunya orang yang saya miliki di dunia ini," jawab Andi, semakin membuat Laura tersenyum bahagia."Kalau begitu, aku akan memanjakanmu dengan uang yang aku miliki. Aku akan membelik
"Naura sayang," panggil sang Mama mertua."Ya, Ma," jawab Naura, lalu membuka pintu kamarnya untuk menanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh sang Mama mertua.Si kembar ikut keluar dan menyembulkan kepala mereka di balik pintu untuk melihat sang nenek. Saat ini, Naura dan si kembar baru saja selesai mandi setelah panen buah di kebun.Bahkan Raka dan Rania tubuhnya masih terlilit handuk, dan rambutnya masih setengah basah."Mama mau pergi sebentar ya, sayang," pamit sang Mama mertua pada Naura. Ia juga mengusap rambut kedua cucunya."Kenapa nenek tidak di lumah saja? Padahal kami mau pamel kado ulang tahun, loh. Nenek jangan pergi ya," bujuk Raka."Iya, nih! Nenek halus temenin kami buka kado!" Rania ikut merengek."Kalau kalian mau ditemani nenek, berarti Mommy yang akan pergi ke kantor. Gimana?" Naura memberi tawaran sambil menaik-turunkan alisnya ketika kedua anak kembarnya menatap ke arah Naura."Oh, tidak bisa, Nyonya!" jawab keduanya kompak, lalu memeluk sang Mommy."Ya udah
Esok harinya, semua sudah berkumpul di meja makan. Naura mengenakan pakaian rumahan, namun sudah wangi dan cantik. Cuti hari ini diberikan langsung oleh sang CEO, dan akan dimanfaatkan dengan baik menemani kedua buah hatinya seharian penuh di rumah.Rania dan Raka melirik menu di atas meja. Ada daging dan salad sayur, serta susu untuk keduanya. Segera mereka mengambil posisi di samping kanan dan kiri sang Daddy.Bram masuk ke rumah itu, dan melayangkan protes saat tempat duduk yang biasa ia tempati diambil oleh Raka.“Minggir,” kata Bram mengusir Raka.Segera Raka berpegangan pada lengan sang Daddy, dan kakinya melilit pada tiang meja.“Iiiih, apaan nih. Dasal tamu tak diundang, tak punya sopan, ya numpang makan di lumah olang,” omelnya.Davin hanya terkekeh, sambil mengecup wajah jagoannya, yang makin hari makin bawel.“Iiih, apaan nih. Dad, tolongin apa anaknya,” kata Raka lagi, saat Bram kembali berniat mengangkat tubuhnya.Laura bergabung dan menjewer Bram hingga membuat Rania dan
Rania dan Raka menajamkan telinganya, mereka seolah tahu yang datang itu kedua orang tuanya. Dan mereka sangat bahagia kalau sang mommy pulang sebelum makan malam.“Ayo tulun, mommy datang,” ucap Rania.Keduanya berjalan cepat menuruni anak tangga agar bisa membukakan pintu sang mommy. Keduanya bahkan mengabaikan panggilan sang nenek yang terus memanggilnya. Laura dan Dinda menyusul ke lantai bawah.“Mommyyyyyyy, yeeeeeee Mommy aku udah pulang.” Rani dan Rak masuk dalam dekapan sang mommy. Mencium wajah wanita yang melahirkannya bertubi-tubi. Naura sampai terkekeh melihat kelakuan anak kembarnya, sementara Davin yang berdiri di sampingnya malah dicuekin.“Aku curiga, kalau mereka ini hanya anaknya Naura. Kamu hanya mengakui secara catatan saja,” ejek Bram.Davin hanya tertawa sambil menggeleng.“Penculiiii, kau culi mommy kami sampai sole balu pulang,” ucap Rania, lalu terkekeh saat sang Daddy membuat tubuhnya melayang. “Aka mau, Dad,” ujar jagoannya.Davin merengkuh kedua anaknya, l
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le