Sementara itu, mobil Davin terparkir di basement apartemen Naura. Tidak ada kata-kata yang terucap sejak mereka meninggalkan pantai. Hanya suara detak jantung mereka masing-masing yang terasa lebih nyaring di tengah keheningan.Davin memegang setir dengan kedua tangan, menatap kosong ke depan, sementara Naura hanya menunduk, memainkan ujung syal yang melingkar di lehernya.“Sayang,” panggil Davin.“Iya, Pak,” jawab Naura.Davin akhirnya menghela napas panjang, memecah keheningan. “Aku tahu, Sayang. Semua ini pasti sangat berat untukmu,” ucapnya dengan suara yang serak.Naura tetap membisu, tetapi matanya perlahan berkaca-kaca. Ia tahu apa yang akan Davin katakan. Mereka telah melalui percakapan ini berulang kali, tetapi rasa sakitnya tetap sama.“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya lagi,” lanjut Davin, suaranya mulai bergetar. “Tapi aku butuh kamu. Aku tidak bisa menjalani hidup ini tanpamu, meskipun aku tahu aku tidak bisa memberimu kebahagiaan sepenuhnya.”Naura menoleh perlaha
Davin sedikit terkejut, namun segera menurunkan kaca jendelanya. Seorang petugas keamanan berdiri di samping mobilnya, dengan wajah penuh sopan santun."Ya, Pak? Ada apa?" tanya Davin, suaranya terdengar ramah meski lelah mulai menguasai raut wajahnya."Maaf, Pak," ucap petugas itu. "Saya hanya ingin memberi tahu kalau parkir mobil Anda sedikit miring. Takutnya nanti mobil lain kesulitan parkir di sebelah atau di belakangnya.""Oh, maaf ya, Pak. Saya hanya sebentar kok, sekarang mau langsung balik. Tadi saya mengantarkan calon istri saya pulang," jawab Davin sambil tersenyum kecil."Siap, Pak. Maaf mengganggu, ya." Petugas itu menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat."Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah memberitahu," sahut Davin sebelum menaikkan kembali kaca mobilnya.Setelah itu, Naura memandang Davin dengan senyum tipis, meski ada bayangan kesedihan di matanya. Ia mulai meraih tas dan barang-barangnya, bersiap untuk turun dari mobil."Saya turun ya, Pak. Kasihan Ibu, seh
“Pak, gantian dong. Saya gak kuat keburu keluar,” desah Naura. “Pak, kalau kita main di sini, apa gak ada yang liat?” tanya Naura gugup.Davin tersenyum, makannya jangan main buka aja sebelum ditutup,” ejek Davin. Naura hanya tertawa kecil, meski tampak masih terang ternyata ada kanopi yang bisa dibuka tutup di area balkon. Jadi orang lain tak akan bisa melihat aktifitas panas mereka di dalam kolam jacuzzi.“Ya udah, sini. Saya mau manjain Bapak juga,” ucap Naura. Davin duduk di pinggir kolam, Naura masih di dalam kolam setengah badannya. Tanpa ragu wanita itu mulai memasukkan benda berurat itu, ke dalam mulut, memberi gigitan kecil di sana. Hingga Davin yang kini giliran mendesah tanpa henti.“Lebih dalam lagi, sayaaaaang,” ucap Davin parau. Matanya telah berkabut hasrat. Nafsunya selalu besar setiap kali bersama Naura.Puas mengulum benda panjang berurat itu, Naura memainkan lidahnya di bagian bawah milik Davin, hingga pria itu kembali mengeluarkan suara desahan tanpa henti. Setia
“Tuan Davin dan wanita itu sedang pergi ke luar negeri. Katanya ada perjalanan bisnis,” ujar pria itu dengan suara datar.Laura menatap dengan penuh amarah ke layar ponselnya. Wajahnya memerah, dan napasnya memburu setelah menerima kabar bahwa Davin dan Naura sedang berada di luar negeri. Matanya membara ketika mendengar pria di ujung telepon melanjutkan laporannya.Laura mendengus keras, menahan amarah yang seolah ingin meledak. “Brengsek! Itu pasti alasan mereka saja! Awas saja kau, Naura! Kamu akan menyesal telah membodohi kami dengan wajah lugumu itu. Kau berani bermain-main denganku? Maka, sebelum kau benar-benar menyesal hidup di dunia ini, aku bersumpah tidak akan berhenti menyiksamu!” teriaknya dengan suara menggema di ruangan.Tunangan Davin, yang duduk di dekat Laura, memperhatikan wanita paruh baya itu dengan senyum penuh kemenangan. Matanya bersinar penuh dendam. Dia memegang sebuah foto Naura, lalu menatapnya dengan kebencian yang sama seperti calon ibu mertuanya.“Tant
Anna duduk santai di atas pangkuan pria matang yang telah menjadi selingkuhannya selama ini. Tangannya melingkar manja di leher pria itu, sementara senyumnya penuh makna, memperlihatkan betapa dirinya benar-benar menikmati permainan berbahaya ini."Kamu ini sangat licik, baby. Padahal kamu main sama aku, tapi kamu egois. Davin nggak boleh sama yang lain," ucap pria itu sambil menatap Anna dengan pandangan nakal namun penuh rasa ingin melucuti baju Anna sekarang juga.Anna tertawa kecil, nada suaranya tenang namun tajam. "Siapapun yang menghalangi harus dilenyapkan. Aku sudah berjuang sampai di titik ini, jadi tidak ada yang boleh mengganggu rencanaku. Apalagi, aku sudah di ambang memenangkan semuanya," ucapnya dengan penuh keyakinan, matanya bersinar dengan ambisi.Pria itu menatapnya kagum, meskipun di dalam hatinya ia tahu bahwa Anna jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia duga. Namun, pesona wanita ini terlalu kuat untuk diabaikan. Baginya, Anna adalah magnet yang tak bisa d
"Istri Om bener-bener keterlaluan ya. Mentang-mentang dia kaya raya, seenaknya saja bicara kasar sama suami sendiri yang harusnya dia hormati," ucap Anna, suaranya terdengar manja namun dengan nada mengejek yang jelas.Pria dewasa di hadapannya, mengenakan kemeja yang kusut akibat pergumulan mereka sebelumnya, menghela napas panjang. "Ya, begitulah, baby. Dia selalu merasa bahwa dia yang sudah menghidupi Om. Padahal, selama ini Om juga kerja di perusahaannya. Dan lagi, dia tak pernah hamil," balasnya, nada suaranya sedikit getir.Anna tertawa sinis. "Ya gimana mau hamil, Om? Kan dia sudah nenek-nenek," ujarnya dengan nada mengejek, membuat keduanya tertawa bersama. Tawa mereka seolah menjadi bukti betapa rendahnya rasa hormat yang tersisa dalam hubungan pria itu dengan istrinya.Pria itu mengusap dagunya sambil menatap Anna dengan pandangan penuh nafsu. "Om nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada kamu, baby. Kamu itu penyelamat Om."Anna tersenyum licik. "Udah, sana mandi dulu, Om. Na
Davin duduk cemas di samping Naura. Wanita yang ia cintai terlihat lemah, berusaha mengatur napas setelah muntah hebat yang membuat seluruh tubuhnya gemetar. Tanpa rasa jijik sedikit pun, Davin membantu Naura, memegang dahinya saat Naura duduk lemah mengeluarkan semua isi perutnya."Sayang, kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Davin dengan rasa penuh kekhawatiran. Wajahnya terlihat sangat panik yang sulit disembunyikan.Naura menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. "Tidak perlu, Pak. Saya hanya masuk angin. Maaf jadi merepotkan... dan muntah di sini."Davin mengerutkan kening, jelas-jelas tak setuju dengan alasan Naura. "Jangan bilang begitu, Sayang. Walaupun cuma masuk angin, aku nggak mau ambil risiko. Maafkan aku, mungkin aku terlalu memaksa setiap kali kita... berhubungan badan denganmu, aku terlalu memuaskan hasratku tanpa memikirkan kondisimu." Suaranya melemah, penuh rasa bersalah yang jelas tergambar di sana.Naura tersenyum samar, meski lemah, mencob
Naura segera membuka kancing depan piyamanya, selama di dalam kamar hotel Naura memang tidak diizinkan memakai bra oleh Davin. Sehingga begitu kancing piyama itu terlepas, dada besar sang sekretaris menyapu pandangan Davin.Tanpa menunggu lama, Davin mendekatkan bibirnya menyentuh aset kembar milik, Naura.“Kamu suka juga kan, sayang, kalau aku ngemut dadamu?” tanya Davin. Pria itu melepaskan bibirnya sejenak dari puncak dada sang sekretaris.“Suka banget, Pak. Tubuh saya seketika meremang,” jawab Naura.Davin tersenyum, maha karyanya di leher dan dada putih Naura, sangat banyak. Warnanya sudah berubah keunguan. “Kali ini, kamu cukup manjakan aku dengan dadamu, sayang. Selebihnya biar aku keluarkan pakai tangan,” ujar Davin.Bibir Naura mengerucut, “tapi saya juga mau, Pak.”Davin terkekeh, sekarang tak ada lagi Naura yang pemalu. Di hadapannya sudah ada Naura yang liar dan membalas nafsu Davin dengan nafsu yang sama.Permainan panas itu pun berlangsung di balkon kamar hotel. Meski k
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto