Davin menghela napas panjang, menikmati cuaca yang sejuk sambil menggandeng tangan Naura erat saat mereka menyusuri kawasan perbelanjaan mewah yang gemerlap. Naura tampak ceria, meski wajahnya sedikit pucat. Dalam benaknya, Davin merasa lega karena akhirnya mereka jauh dari rutinitas dan pandangan menghakimi di kota tempat tinggal mereka. Di Kota New Capitol, mereka bebas.“Mungkin di sini, aku bisa lebih leluasa bersamamu, Sayang. Tanpa perlu khawatir siapa pun melihat,” gumam Davin sambil tersenyum kecil, memandangi Naura yang asyik memilih-milih barang di salah satu etalase.Namun, ia tidak menyadari bahwa di balik kebebasan ini, ada ancaman yang tak kasatmata. Di kejauhan, seorang pria dengan kamera telefoto sedang mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Dengan cekatan, pria itu memotret momen saat Davin dan Naura saling berpelukan, bahkan saat Naura mencium pipi Davin. Semua itu langsung dikirimkan ke ponsel Mamanya Davin.Di sisi lain, Naura mulai merasa tubuhnya semakin lemas.
Laura duduk di sofa ruang tengah, masih dengan ekspresi murka yang belum mereda. Tangannya menggenggam erat ponsel yang layarnya sudah pecah, sementara matanya terus menatap Anna yang duduk di seberangnya. Wanita muda itu hanya diam, menunggu Laura meredakan emosinya, meskipun dia tahu bahwa itu hampir mustahil.“Kamu dapat video ini dari mana, Sayang?” tanya Laura akhirnya, mencoba menormalkan nada suaranya meskipun jelas terdengar ketidaksenangannya.Anna menghela napas berat, berusaha tetap tenang meski hatinya ikut terbakar oleh rasa benci terhadap Naura. “Dari salah satu teman selebgramku, Tante. Dia ada di tempat yang sama dengan Davin dan perempuan sialan itu. Tapi Tante jangan khawatir, aku sudah memintanya untuk tidak menyebarkan foto dan video ini ke orang lain. Aku juga sudah memberinya uang tutup mulut, minimal sampai rencana kita selesai dilaksanakan,” jelas Anna dengan nada penuh keyakinan.Laura mengangguk, meskipun masih terlihat gusar. Sebelum sempat dia berbicara l
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan," gumam Naura, suaranya lirih di antara keheningan kamar mandi yang dipenuhi uap dari air hangat.Matanya terpejam erat, mencoba melawan rasa kalut yang menguasai hatinya. Tapi kenyataan itu terlalu nyata untuk diabaikan. Perlahan, air mata mengalir dari sudut matanya, bercampur dengan air yang menetes dari rambut basahnya. Tangannya gemetar saat menyentuh dinding kamar mandi untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas."Aku nggak mungkin menghancurkan rencana pernikahan mereka... Tapi aku juga nggak mungkin diam saja," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar di antara suara gemericik air.Hatinya berperang, antara cinta dan kenyataan pahit yang harus ia terima. "Pak Davin... dia berhak tahu..." Suaranya terhenti, berganti dengan isakan kecil. "Tentang... bayi ini," sambungnya sambil menyentuh perutnya dengan ragu.Tiba-tiba suara ketukan pintu menggema, membuat Naura terlonjak kecil. Ia buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha
Villa di sudut kota Sun City adalah salah satu proyek paling ambisius yang ia pimpin. Proyek itu tidak hanya melibatkan dana besar, tetapi juga reputasinya di mata investor dan klien.Hujan masih turun deras ketika Davin menyetir keluar dari garasi. Wiper mobil bekerja keras membersihkan kaca depan, tetapi pandangannya tetap terbatas oleh derasnya hujan. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus dipenuhi bayangan kehancuran Villa.“Aku seharusnya memeriksa kondisi tebing itu lebih awal,” gumamnya penuh penyesalan.Setelah hampir satu jam menyetir di bawah hujan deras, Davin akhirnya tiba di lokasi Villa. Lampu dari kendaraan tim dan petugas penyelamat menerangi kegelapan malam. Puing-puing bangunan tertimbun tanah dan batu besar terlihat jelas, menciptakan pemandangan yang memilukan.Bram langsung menghampiri ketika melihat Davin keluar dari mobil. Wajah Bram terlihat pucat, jelas bahwa ia juga merasa terbebani oleh situasi ini.“Pak Davin, kami sedang mengatur agar alat berat bisa masuk
Lampu di ruang tamu yang gelap menciptakan suasana tenang namun penuh ketegangan di antara Davin dan Naura. Keduanya tegang dan mendadak tak bergerak setelah pintu kamar terbuka.“Bu,” panggil Naura dengan suara pelan, berusaha tidak menimbulkan kecurigaan sang ibu.Dari balik pintu kamar, terdengar suara langkah kaki mendekat, diiringi suara lembut ibunya. “Nak Davin, masih di sini?” tanyanya dengan nada khawatir.Naura menelan ludah, mencoba mengendalikan rasa gugupnya. “Masih, Bu. Sudah tidur. Ini tidurnya di pangkuan Naura.” Naura terpaksa berbohong, tidak mungkin dia mengaku Davin dan dia sedang melakukan penyatuan.Mendengar itu, ibunya tidak berkata banyak. Ia hanya menarik napas pelan, lalu menanggapi dengan suara yang tetap lembut, “Oh, ya sudah. Ibu mau tidur lagi, ya. Kamu juga istirahat, Nak. Besok kan harus kerja.”“Iya, Bu,” jawab Naura singkat, menunggu sampai langkah-langkah kaki itu kembali menghilang ke dalam kamar dan pintu kamar kembali tertutup rapat.Begitu suasa
Ballroom hotel megah di pusat kota SunCity dipenuhi suasana tegang sejak pagi. Di ruangan yang biasa digunakan untuk perayaan mewah, kini hanya ada tatapan serius dari puluhan pria dan wanita bersetelan formal. Semua pandangan tertuju pada Davin, yang berdiri di depan panggung kecil dengan layar proyektor besar di belakangnya. Di sampingnya, Bram, tangan kanannya, memegang tablet yang menampilkan data penting.Suasana sunyi pecah ketika Davin membuka pertemuan. “Selamat pagi, para kolega dan investor. Saya tahu, semua dari kita tidak ingin berada di sini hari ini untuk membahas masalah seperti ini. Namun, saya pastikan bahwa kita akan menemukan solusi terbaik.”Suara Davin terdengar tegas, tetapi ada sedikit getaran yang sulit disembunyikan. Ia menatap wajah-wajah yang penuh ekspektasi itu satu per satu.Bram melangkah maju, menggantikan Davin untuk menyampaikan laporan awal. “Seperti yang telah diketahui, longsor yang terjadi akibat curah hujan ekstrem telah merusak total bangunan V
“Kenapa Anda menangis? Sepertinya Anda tidak bahagia dengan berita kehamilan ini?” tanya dokter dengan lembut, meskipun wajahnya terlihat sedikit khawatir.Naura tersentak dari lamunannya. Ia segera menyeka air mata yang tanpa sadar mengalir di pipinya. “Sa... saya bahagia, Dok,” jawabnya sambil memaksakan senyum. “Saya sudah menunggu lama untuk bisa punya anak.”Dokter mengangguk, tampak lega. “Syukurlah kalau begitu. Setelah suster membersihkan sisa gel di perut Anda, silahkan temui saya di meja saya untuk mendapatkan resep.”“Baik, Dokter. Terima kasih,” jawab Naura dengan suara pelan.Suster membantu membersihkan gel dari perutnya. Setelah itu, Naura merapikan pakaian dan berjalan ke meja kerja dokter. Kepalanya terasa berat, seperti dipenuhi beban yang sulit diungkapkan.“Apa Anda mengalami gejala ngidam atau keluhan lain?” tanya dokter sambil mengetik di komputer.“Akhir-akhir ini, saya sering mual, Dok. Beberapa hari lalu saya juga sempat demam tinggi,” jawab Naura. “Tapi saya
Tepat pukul 15.00 di Kota Suncity, Davin melangkah masuk ke kantor Abimanyu Group dengan wajah penuh ketegangan. Di sampingnya, Bram berjalan dengan ekspresi yang sama seriusnya, membawa tumpukan dokumen yang sebelumnya digunakan dalam pertemuan bersama para investor. Hari itu terasa begitu panjang bagi Davin; rapat tanpa henti sejak pagi, semua berkisar pada satu hal, kerugian besar yang dialami proyek villa mewah milik perusahaan akibat longsor yang terjadi beberapa hari lalu.Kerugian ini tidak hanya bernilai finansial, sekitar satu triliun, tetapi juga menyentuh inti dari nama baik dan reputasi Abimanyu Group sebagai salah satu perusahaan properti terkemuka di negeri ini. Longsor itu bukan hanya sebuah kecelakaan, melainkan pukulan telak yang mengguncang seluruh fondasi bisnis mereka.Setelah memberi salam singkat kepada beberapa staf di lobi, Davin langsung menuju ruang rapat di lantai atas. Tim inti sudah menunggu, termasuk Naura, yang duduk di sudut meja besar dengan tumpuka
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh
Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya lampu, memberikan kesan eksklusif dan profesional. Meja panjang sudah tertata rapi dengan dokumen-dokumen kerja sama yang siap untuk didiskusikan. Bram dan tiga orang timnya tiba lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah sesuai dengan kebutuhan presentasi Davin.Beberapa menit kemudian, Davin datang dengan setelan jas hitam yang sempurna, menampilkan sosoknya yang berwibawa sebagai Presiden Direktur Abimanyu Group. Matanya tajam, fokus pada pertemuan hari ini. Meskipun ia menyadari kehadiran Penelope, ia memilih untuk tidak memperhatikan wanita itu lebih dari yang diperlukan.Penelope melangkah masuk bersama Fernando dan timnya. Seperti biasa, wanita itu tampil memesona dengan gaun formal yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat matanya langsung tertuju pada Davin.“Selamat siang, Pak Davin.” Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ketertarikan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Selamat siang, Bu Penelope
Davin tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak mereka keluar dari restoran setelah pertemuan bisnis dengan Penelope, ekspresi Naura berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan Davin tidak akan membiarkan itu berlarut-larut.Begitu sampai di rumah, Davin turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi pintu mobil dan membukakannya untuk Naura. Dengan lembut, ia membantu sang istri turun dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.Naura tetap diam.Davin menghela napas. Setelah mereka tiba di ruang keluarga, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan istrinya.“Sayang,” panggil Davin lembut.Naura tidak merespons.Davin menatapnya dalam-dalam. Ia menyentuh jemari Naura dan menggenggamnya erat. “Kamu mau cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Naura masih tidak mengatakan apa pun.Davin menarik kedua alisnya. “Sayang, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bukan orang bodoh yang bisa dibohongi dengan diam seperti