Ibunya Naura memandang Davin dengan tatapan penuh harap, seolah mencari kepastian dari setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat diam, Davin akhirnya berbicara, suaranya bergetar pelan namun penuh keteguhan."Ibu tenang saja," ucap Davin sambil mengusap lembut lengan ibunya Naura. "Davin sangat mencintai Naura, lebih dari diri Davin sendiri. Ibu nggak perlu ragukan itu. Davin akan menjaganya dengan baik. Davin juga sangat menyayangi Ibu, maka Davin harap Ibu harus kuat agar terus sembuh dan panjang umur. Ibu pasti ingin melihat kami memiliki anak, ingin melihat cucu-cucu Ibu tumbuh besar kelak. Maka dari itu, Ibu harus berjuang untuk tetap sehat."Kata-kata itu seperti meluruhkan segala kegelisahan yang selama ini menghantui hati ibu Naura. Air mata menggenang di pelupuk matanya sebelum ia memeluk Davin dengan erat. Pelukan itu penuh kasih sayang dan rasa terima kasih, sementara Davin balas memeluknya dengan hangat. Tak kuasa menahan emosi, air mata pun jatuh
Di ruang kerja Davin yang tertutup rapat, suasana terasa begitu sunyi. Hanya isak tangis yang terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Davin masih berdiri memeluk Naura erat, seolah ia tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Namun, air matanya terus mengalir, menyuarakan rasa sakit yang tak mampu ia sampaikan dengan kata-kata."Kalau saja ada jalan lain untuk menghindari pernikahan itu, sudah aku lakukan demi kebahagiaan kita," ucap Davin lirih di sela tangisnya. Suaranya bergetar, penuh luka yang begitu dalam. "Tapi aku benar-benar tak bisa melakukannya. Aku bingung, kenapa Tuhan selalu seperti ini pada hidupku? Hidup sekali, tapi harus mengikuti kemauan orang tua. Benar-benar sakit."Naura yang berada dalam pelukannya tak sanggup menahan air matanya lagi. Isaknya tertahan, namun rasa sakitnya begitu nyata. Ia bisa merasakan betapa berat beban yang harus ditanggung Davin, pria yang begitu ia cintai. Namun, di balik rasa sedih itu, ada kesadaran yang perlahan m
Flashback Laura menatap putranya dengan wajah penuh harap. Di sebelahnya, Anna, duduk dengan canggung. Matanya terus mencuri pandang ke arah pria yang kini berdiri tegap dengan ekspresi dingin di depan mereka."Davin, Mama sudah bicara baik-baik. Kamu tahu, ini bukan hanya soal kamu dan Anna. Ini soal keluarga kita," ujar Laura dengan nada memohon.Davin menghela napas panjang, tangannya disilangkan di dada. "Mama, sudah berapa kali Davin bilang? Davin tidak mau melakukan pre-wedding ini. Davin tidak mencintai Anna. Hubungan kami hanya formalitas untuk memenuhi permintaan Mama," jawabnya tanpa emosi.Anna menunduk, mencoba menahan rasa sakit di hatinya. Ia sudah tahu sejak awal bahwa Davin tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Namun mendengar kata-kata itu diucapkan langsung di hadapan keluarganya membuatnya merasa semakin kecil."Davin," Papa William mencoba berbicara dengan nada lebih tegas. "Kamu pikir keputusan ini hanya soal perasaanmu? Bagaimana dengan nama baik keluarga? Ka
Suasana di kantor Abimanyu Group, masih dipenuhi aktivitas padat ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Para karyawan terlihat sibuk di meja masing-masing, menyiapkan laporan dan presentasi untuk meeting besar besok pagi. Di meja kerjanya, Naura masih sibuk mengetik laporan terakhir yang harus diselesaikan hari itu. Tangannya lincah bergerak di atas keyboard, sementara pikirannya fokus pada setiap detail pekerjaan.Ponselnya berdering pendek, memunculkan pesan masuk. Naura berhenti sejenak, meraih ponsel, dan membaca pesan itu dengan hati-hati."Naura, temui saya di Cafe Lion satu jam lagi. Terima kasih."Pesan dari Laura, mamanya Davin, membuatnya mengernyitkan dahi. "Ada apa lagi ya?" gumamnya pelan. Permintaan dari Laura hampir selalu berarti perintah, dan menolak bukanlah pilihan.Naura dengan cepat mengetik balasan: "Baik, Nyonya. Saya akan sampai di cafe dalam satu jam."Setelah pesan terkirim, ia meletakkan ponselnya di meja dan menghela napas panjang. Ia tahu,
Di tengah remang-remang kamar hotel yang dihiasi gemerlap balon berwarna pastel dan lilin-lilin kecil di setiap sudut, Naura berdiri mematung, matanya tak bisa lepas dari dekorasi romantis yang terhampar di depannya. Balon-balon dengan tulisan "Happy Birthday" menggantung di dinding, ranjang dihiasi kelopak mawar merah, dan di meja terdapat kue ulang tahun dengan lilin menyala.Davin, dengan senyumnya yang hangat, mulai menyanyikan lagu ulang tahun dengan suara lembut yang menggema di dalam ruangan.“Happy birthday to you... happy birthday to you... happy birthday, happy birthday... happy birthday, sayang.”Naura menutup mulutnya dengan tangan, air mata membasahi pipinya. “Pak, demi apapun, saya bahkan lupa kalau ini hari ulang tahun saya,” ucapnya dengan suara lirih.Davin mendekat, mengusap lembut pipinya yang basah. “Apa kamu menyukainya, sayang?” tanyanya, matanya menatap Naura penuh cinta.Naura hanya bisa mengangguk sambil mengusap air matanya. “Pak… saya tidak menyangka akan m
Davin sangat kesal. Rambutnya berantakan dan pakaiannya dikenakan asal-asalan. Matanya menatap pintu dengan kesal. Sementara itu, Naura memilih berlindung di balik selimut, matanya mengikuti Davin yang berjalan dengan langkah berat menuju pintu. Jantungnya ikut berdegup cepat, takut jika yang datang benar-benar orang yang mereka khawatirkan.Davin membuka pintu dengan gerakan cepat. Wajahnya yang tegang langsung berubah kesal ketika melihat siapa yang berdiri di depannya.“Bram? Demi apapun, kamu bikin jantungku hampir copot!” seru Davin, setengah membentak.Bram berdiri dengan senyum penuh kemenangan, tangannya memegang sebuah kotak. “Maaf, Pak. Saya hanya ingin memberikan kado ini untuk Naura. Tadi saya lupa menaruhnya di sini,” jawab Bram santai, menyerahkan kotak tersebut ke tangan Davin.Davin mendengus, menerima kotak itu dengan sedikit kasar. “Kamu ini bikin panik saja! Kukira Mama atau-” Ia menggigit bibirnya, enggan melanjutkan.Bram mengangkat alis, matanya berbinar menggo
“Ayo, Pak, sebaiknya kita pulang sekarang,” ujar Naura sambil merapikan pakaiannya.Davin mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia merapikan penampilannya dengan asal, pikirannya masih terjebak pada momen yang baru saja mereka lalui. Dalam diam, ia memikirkan bagaimana hidupnya akan terus berubah, terutama dengan situasi yang semakin rumit ini.Mereka membersihkan diri di kamar mandi hotel itu, berusaha menutupi jejak kebersamaan mereka. Naura selesai lebih dulu, dan dengan rapi ia melangkah keluar dari kamar, berjalan cepat menuju lobi. Namun, ia tetap berhati-hati agar tidak menarik perhatian. Naura melirik sekeliling sebelum masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, ia segera meninggalkan hotel tanpa menoleh ke belakang.Davin menunggu sekitar 10 menit sebelum menyusul. Ia sengaja tidak menggunakan jasa sopir kali ini, memilih untuk menyetir sendiri agar situasinya tetap aman. Ia tahu, jika seseorang mengenali mobilnya, kabar tentang dirinya dan Naura bisa menyebar dengan cepat.Setelah
"Jangan macam-macam, Om. Aku sebentar lagi akan menikah dan sudah tak sabar ingin menjadi Nyonya Muda Abimanyu. Aku akan menguasai seluruh harta milik Davin Abimanyu, tak peduli dia bersikap baik padaku atau tidak. Doakan ya semuanya berjalan lancar," begitu bunyi pesan yang ia kirimkan.Setelah menekan tombol kirim pada pesan yang ditujukan kepada pria yang selama ini selalu ada di sisinya, Anna meletakkan ponselnya di meja samping ranjang. Ia tersenyum tipis, matanya berbinar penuh ambisi.Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk. Tangan kirinya meraih selimut, sementara tatapannya menembus langit-langit kamar yang putih bersih. Pikirannya tidak bisa tenang, teralihkan oleh rasa penasaran yang semakin kuat tentang apa yang sebenarnya terjadi antara Davin dan sekretarisnya, Naura."Demi apapun, aku mencurigai sesuatu," gumam Anna dengan suara pelan namun penuh ketegasan. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat hingga kuku-kukunya nyaris melukai telapak tangannya sen
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh
Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya lampu, memberikan kesan eksklusif dan profesional. Meja panjang sudah tertata rapi dengan dokumen-dokumen kerja sama yang siap untuk didiskusikan. Bram dan tiga orang timnya tiba lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah sesuai dengan kebutuhan presentasi Davin.Beberapa menit kemudian, Davin datang dengan setelan jas hitam yang sempurna, menampilkan sosoknya yang berwibawa sebagai Presiden Direktur Abimanyu Group. Matanya tajam, fokus pada pertemuan hari ini. Meskipun ia menyadari kehadiran Penelope, ia memilih untuk tidak memperhatikan wanita itu lebih dari yang diperlukan.Penelope melangkah masuk bersama Fernando dan timnya. Seperti biasa, wanita itu tampil memesona dengan gaun formal yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat matanya langsung tertuju pada Davin.“Selamat siang, Pak Davin.” Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ketertarikan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Selamat siang, Bu Penelope
Davin tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak mereka keluar dari restoran setelah pertemuan bisnis dengan Penelope, ekspresi Naura berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan Davin tidak akan membiarkan itu berlarut-larut.Begitu sampai di rumah, Davin turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi pintu mobil dan membukakannya untuk Naura. Dengan lembut, ia membantu sang istri turun dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.Naura tetap diam.Davin menghela napas. Setelah mereka tiba di ruang keluarga, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan istrinya.“Sayang,” panggil Davin lembut.Naura tidak merespons.Davin menatapnya dalam-dalam. Ia menyentuh jemari Naura dan menggenggamnya erat. “Kamu mau cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Naura masih tidak mengatakan apa pun.Davin menarik kedua alisnya. “Sayang, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bukan orang bodoh yang bisa dibohongi dengan diam seperti
Sementara itu, sebuah mobil mewah dengan interior elegan melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit siang yang cerah. Jalanan kota tampak sibuk, namun di dalam kendaraan tersebut, suasana terasa lebih hening dibandingkan hiruk-pikuk di luar sana. Penelope duduk di kursi belakang dengan anggun, kedua kakinya yang jenjang disilangkan, sementara Fernando dengan tenang mengemudi di depan, memastikan perjalanan mereka berjalan lancar.Meskipun suasana di dalam mobil tampak tenang, pikiran Penelope justru sedang penuh dengan satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Sejak keluar dari restoran tempat pertemuan bisnisnya dengan Davin Abimanyu, benaknya dipenuhi oleh bayangan pria itu. Ketegasan dalam suaranya, cara ia membawa diri, serta tatapan tajam yang memancarkan kecerdasan dan kharisma yang begitu memikat.Dia sudah banyak bertemu pria sukses di dunia bisnis, tetapi tidak ada yang seperti Davin. Pria itu tidak hanya berwibawa dan cerdas, tetapi juga memiliki sesuatu yang lebih langk