Davin sangat kesal. Rambutnya berantakan dan pakaiannya dikenakan asal-asalan. Matanya menatap pintu dengan kesal. Sementara itu, Naura memilih berlindung di balik selimut, matanya mengikuti Davin yang berjalan dengan langkah berat menuju pintu. Jantungnya ikut berdegup cepat, takut jika yang datang benar-benar orang yang mereka khawatirkan.Davin membuka pintu dengan gerakan cepat. Wajahnya yang tegang langsung berubah kesal ketika melihat siapa yang berdiri di depannya.“Bram? Demi apapun, kamu bikin jantungku hampir copot!” seru Davin, setengah membentak.Bram berdiri dengan senyum penuh kemenangan, tangannya memegang sebuah kotak. “Maaf, Pak. Saya hanya ingin memberikan kado ini untuk Naura. Tadi saya lupa menaruhnya di sini,” jawab Bram santai, menyerahkan kotak tersebut ke tangan Davin.Davin mendengus, menerima kotak itu dengan sedikit kasar. “Kamu ini bikin panik saja! Kukira Mama atau-” Ia menggigit bibirnya, enggan melanjutkan.Bram mengangkat alis, matanya berbinar menggo
“Ayo, Pak, sebaiknya kita pulang sekarang,” ujar Naura sambil merapikan pakaiannya.Davin mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia merapikan penampilannya dengan asal, pikirannya masih terjebak pada momen yang baru saja mereka lalui. Dalam diam, ia memikirkan bagaimana hidupnya akan terus berubah, terutama dengan situasi yang semakin rumit ini.Mereka membersihkan diri di kamar mandi hotel itu, berusaha menutupi jejak kebersamaan mereka. Naura selesai lebih dulu, dan dengan rapi ia melangkah keluar dari kamar, berjalan cepat menuju lobi. Namun, ia tetap berhati-hati agar tidak menarik perhatian. Naura melirik sekeliling sebelum masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, ia segera meninggalkan hotel tanpa menoleh ke belakang.Davin menunggu sekitar 10 menit sebelum menyusul. Ia sengaja tidak menggunakan jasa sopir kali ini, memilih untuk menyetir sendiri agar situasinya tetap aman. Ia tahu, jika seseorang mengenali mobilnya, kabar tentang dirinya dan Naura bisa menyebar dengan cepat.Setelah
"Jangan macam-macam, Om. Aku sebentar lagi akan menikah dan sudah tak sabar ingin menjadi Nyonya Muda Abimanyu. Aku akan menguasai seluruh harta milik Davin Abimanyu, tak peduli dia bersikap baik padaku atau tidak. Doakan ya semuanya berjalan lancar," begitu bunyi pesan yang ia kirimkan.Setelah menekan tombol kirim pada pesan yang ditujukan kepada pria yang selama ini selalu ada di sisinya, Anna meletakkan ponselnya di meja samping ranjang. Ia tersenyum tipis, matanya berbinar penuh ambisi.Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk. Tangan kirinya meraih selimut, sementara tatapannya menembus langit-langit kamar yang putih bersih. Pikirannya tidak bisa tenang, teralihkan oleh rasa penasaran yang semakin kuat tentang apa yang sebenarnya terjadi antara Davin dan sekretarisnya, Naura."Demi apapun, aku mencurigai sesuatu," gumam Anna dengan suara pelan namun penuh ketegasan. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat hingga kuku-kukunya nyaris melukai telapak tangannya sen
“Saya siapkan ruang rapat dulu pak. Ini sarapan dari Ibu. Habiskan ya,” ucap Naura.OB datang membawakan kopi untuk Davin, “makasih mbak,” ucap Naura.“Sama-sama Bu. Saya ijin lanjutkan pekerjaan dulu, Pak, buk,” pamitnya.Naura mengangguk. Dia juga berpamitan untuk menyiapkan segala sesuatu di ruang meeting.Suasana ruang rapat utama di kantor pusat Abimanyu Group terasa begitu serius namun tetap penuh antusias. Para pimpinan divisi yang berada di bawah naungan Davin sudah berkumpul, menunggu kehadiran pemimpin muda mereka. Semua persiapan telah dilakukan dengan rapi. Layar proyektor telah menyala, memperlihatkan grafik-grafik yang menjadi inti pembahasan hari itu.Tepat pukul 08.10, Davin memasuki ruangan meeting diikuti oleh Bram.Pintu ruang rapat terbuka. Davin masuk dengan langkah tegas, mengenakan setelan jas hitam elegan. Aura kewibawaan dan ketegasannya segera memenuhi ruangan. Para pimpinan berdiri sejenak untuk memberi salam sebelum mereka kembali duduk."Selamat pagi, se
“Aaaah, Pak. Saya kecanduan dengan sentuhan panas ini. Bapak benar-benar berhasil membuat saya gila,” ujar Naura, di tengah desahannya.Davin tersenyum, bibirnya masih sibuk menikmati dada besar sang sekretaris cantik, sementara tangannya sibuk bermain di bagian intim Naura.“Aaaaaaah, Pak. Saya mau keluar,” kata Naura.Davin merengkuh tubuh Naura membawanya ke dalam ruangan pribadi Davin, yang ada di ruang kerjanya.Pria itu melucuti seluruh pakaian Naura dengan penuh nafsu. Beruntung baik Naura atau Davin sudah menyediakan pakaian ganti di ruangan ini.Tentu saja lemari itu terkunci agar tak sampai ada yang bisa membukanya termasuk sang mama dan Anna, bila mereka sedang ada di kantor Davin.“Sayaaaaaang, bau tubuhmu membuatku kecanduan juga,” balas Davin, yang saat ini sudah melakukan penyatuan.Dia menghentak tubuh Naura dengan lembut namun penuh nafsu.Tangannya meremas dua bagian menyembul yang membuatnya ingin selalu membenamkan bibir di puncaknya.“Aaaaaah, Paaaaaaaak” desah Na
Setelah sesi prewedding di pantai selesai, rombongan Davin bergerak menuju studio foto di pusat kota. Jalanan yang cukup lengang membuat perjalanan terasa singkat, tetapi suasana di dalam mobil masih dipenuhi keheningan. Anna tampak sibuk memeriksa hasil jepretan di ponselnya, senyum tipis terkembang di wajahnya. Mama Laura dan Papa William duduk berdampingan, sesekali membahas tentang tema berikutnya, sementara Davin hanya menatap lurus ke depan, tenggelam dalam pikirannya.Di kursi depan samping sopir, Naura duduk dengan sikap tenang. Meski berusaha menjaga ekspresi profesional, hatinya terasa berat. Melihat Davin dan Anna begitu dekat selama sesi di pantai tadi menyiksa batinnya, meskipun ia tahu itu semua hanyalah tuntutan situasi.Setibanya di studio foto, mereka disambut hangat oleh tim fotografer dan penata gaya yang sudah menunggu. Studio itu megah dengan desain interior elegan. Ada ruangan khusus untuk ganti pakaian, lengkap dengan deretan gaun pengantin dan jas mewah.“B
Suara ombak besar memecah keheningan sore di tepi pantai. Langit yang kelam karena mulai gelap semakin menambah kesan pilu pada suasana di antara Davin dan Naura.Angin yang dingin tak mampu menandingi dinginnya perasaan mereka berdua. Di tengah suasana itu, Davin berdiri mematung, wajahnya memandang ke arah gelombang laut yang ganas.Di tangannya tergenggam sebotol anggur, namun isinya tak lagi menarik perhatiannya. Di sebelahnya, Naura masih tampak gemetar.“Pak, tolong sadar,” suara Naura memecah kesunyian, penuh isak tangis. Tubuhnya mendekat, berusaha menjangkau pria yang menjadi pusat kehidupannya. “Bunuh diri adalah hal yang paling dibenci oleh Tuhan! Kita harus berdoa agar diberi umur panjang, bukan malah mengakhirinya seperti ini.”Air matanya deras mengalir. Tubuh kecilnya menggigil di tengah hembusan angin. Ia mencoba menahan dirinya agar tidak runtuh, namun suaranya pecah di setiap kata. “Dosa kita sudah terlalu banyak di muka bumi ini. Jangan menambahnya dengan cara kon
Anna berdiri mematung di tepi jalan, menatap dengan mata yang berkilat penuh amarah. Mobil Davin dan Naura perlahan menjauh, meninggalkan area pantai yang sebelumnya menjadi saksi pertemuan rahasia mereka.Dadanya terasa sesak, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena kemarahan dan rasa sakit yang bercampur menjadi satu.Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat di sisi tubuh, berusaha menahan diri agar tidak berteriak. “Aku tahu perasaanku tidak pernah salah. Mereka benar-benar ada hubungan. Sialan kamu, Naura,” ucapnya dengan suara rendah, penuh amarah. "Tunggu saja pembalasan dariku."Angin pantai meniup rambut panjangnya yang tergerai. Namun, Anna tidak memedulikannya. Ia menoleh ke arah tiga pria bertubuh besar yang berdiri beberapa langkah darinya. Mereka adalah orang-orang yang ia sewa untuk menyelidiki Davin dan Naura. Selama ini, Anna hanya memiliki kecurigaan tanpa bukti. Tetapi, hari ini, ia akhirnya mendapatkan apa yang ia cari.“Apa yang harus kami lakukan, Bos?” sa
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto