Usai menjalankan kewajiban empat rokaat shalat dzuhur, aku pamit pada ibu yang masih duduk di sofa ruang tengah sembari menonton sinetron. Setelah itu, aku berangkat ke cafe Mas Eros dengan motor matic seperti biasanya. Aku pura-pura tak melihat dan tak peduli dengan tatapan sinis para tetangga yang bergerombol di rumah Bi Lastri. Mereka memang biasa berkumpul di sana untuk membahas banyak hal yang ujung-ujungnya akan menggunjing tetangga. Seperti saat ini kudengar mereka menyebut namaku. Tak terlalu keras memang, tapi cukup terdengar di telingaku yang masih normal. Tak menoleh, aku tetap fokus dengan laju motorku sendiri. Sekitar dua puluh menit aku sampai di cafe Mas Eros. Gegas kuparkirkan motor di tempat yang sudah disediakan. Suasana di cafe saat ini cukup ramai. Mungkin karena masih jam makan siang. Kulihat semua karyawan sibuk mengantar pesanan ke sana-sini. Kasir pun fokus dengan pembayaran para konsumen. Kulirik ruangan kecil yang dijadikan kantor dan tempat istirahat Mas E
POV : FIKA Aku tak menyangka jika Mas Eris memberikan jatah skincareku itu pada Hanin. Heran, kenapa dia bisa berubah perhatian sama mantan istrinya itu. Apa Mas Eris benar-benar jatuh hati pada Hanin sesuai dugaanku karena perempuan itu mulai cantik setelah berpisah dengan Mas Eris?Bukankah Hanin bukan tipe perempuan idaman Mas Eris, tapi kenapa sekarang dia berubah seperhatian itu? Sementara denganku yang biasanya penuh cinta, romantis dan perhatian, mendadak cuek dan dingin. Aku sempat protes, tapi dia justru semakin semena-mena. Teringat kejadian beberapa hari lalu yang membuat emosiku semakin memuncak. Mas Eris secara tak langsung memuji mantan istrinya itu dan membandingkannya denganku. Menyebalkan. Tak ada seorang pun istri yang rela dibanding-bandingkan dengan perempuan lain, apalagi dengan mantan madunya. "Aku sudah terlalu sering memanjakanmu, Fika. Tapi apa timbal baliknya? Kamu justru semakin ngelunjak dan semena-mena. Jarang masak, mulai sering keluar dengan teman-tem
"Apa maksudmu ngomong begitu, Fika?! Jangan terus memancing amarahku. Kamu juga tahu kalau aku dan Hanin sudah berpisah, kenapa terus mengaitkan dia dengan hubungan kita? Jika sekarang aku menghargainya, itu karena dia tamu di rumah ini. Bukan karena cinta. Kamu harusnya memahami itu, bukan terus menyudutkanku," ucap Mas Eris sembari membuang pandangan.Sikapnya kali ini benar-benar membuatku semakin curiga jika sebenarnya dia membenarkan apa yang kuucapkan. Aku selalu mengamati, ekspresinya berbeda tiap kali menyebut nama Hanin. "Omong kosong. Jangan sok cuek jika saat tak bersamaku kamu perhatian pada perempuan itu.""Kapan? Memangnya kamu lihat aku memperhatikan, Hanin? Apa kurang rasa perhatian dan sayangku padamu, sampai kamu securiga itu? Aku sudah memenuhi tanggungjawabku sebagai ayah dan suami. Semua kebutuhanmu aku penuhi. Baju, sepatu, kebutuhan dapur dan skincaremu semua kusiapkan dengan baik. Bahkan saat kamu habiskan tabunganku dan jual motor Edo, aku masih berusaha mema
"Makan ya? Belum makan siang kan?" Aku kembali menggeleng. "Kenapa? Kalau nggak mau makan di sini, kita cari cafe lain." Lagi-lagi aku menggeleng. "Geleng-geleng terus. Hmmm ... kalau kita segera menikah, gimana?" Kali ini aku terdiam, membuat laki-laki yang kini duduk di seberang meja itu terkekeh. Mendadak salah tingkah sebab dia menatapku sedari tadi sembari menyandarkan punggungnya ke kursi. Di ruangan yang tak terlalu luas ini, hanya ada aku dan dia. Dadaku masih saja berdebar tiap kali mengingat kejadian beberapa menit lalu di depan kasir saat tiga perempuan rese itu datang dengan angkuhnya. Mereka yang berusaha mempermalukanku, ternyata dipermalukan balik oleh Mas Eros. Sungguh tak pernah menyangka aku akan mengalami kejadian seperti tadi. Aku tak tahu harus senang atau sedih saat melihat bagaimana Mas Eros membelaku di depan banyak orang. Mala sempat berbisik jika Mas Eros tak pernah membawa gadis lain ke ruang kerjanya kecuali aku. Selama ini dia cukup tertutup dan kaku
Aku tercekat mendengar pertanyaan Mas Eros. Dia kembali menatapku beberapa saat, tapi aku masih bergeming dan tak menanggapi pertanyaannya. "Hemmm ... gimana, Nin? Sudah ada jawaban kan?" tanya Mas Eros sembari sedikit menaikkan dagunya ke arahku. Aku menghirup napas dalam lalu menghembuskannya panjang. "Aku tahu, pasti jawabannya iya kan?" Lagi-lagi Mas Eros mengangkat-angkat kedua alisnya begitu percaya diri sembari terkekeh. Aku hanya melirik sekilas lalu memijit kening pelan. "Kenapa begitu? Kamu terpesona dengan jambangku ini?" ucap Mas Eros lagi sembari mengusap jambang tipisnya. Dia mulai memberikan lawakan, mungkin agar aku tak terlalu kaku saat bersamanya. "Atau ... jangan-jangan kamu terpesona dengan rambutku?" Laki-laki itu menyugar rambutnya lalu menatapku beberapa saat. Aku menghela napas panjang. Tak kusangka jika Mas Eros bisa bertindak di luar kenormalannya. Biasanya dia masih menjaga image tiap kali bertemu denganku. Apa karena sekarang dia mulai merasa nyaman,
"Om Danang?" Laki-laki dewasa itu menatapku lekat. Dia pun sepertinya sama denganku yang shock bertemu di rumah ini. "Hanin? Kamu di sini?" Aku sedikit membungkukkan badan lalu tersenyum tipis."Papa kenal sama perempuan itu? Dia Hanin, yang sering aku ceritakan sama papa," ucap perempuan itu, Tania. Kekagetanku bertambah saat mendengar panggilan papa keluar dari bibirnya. "Ja-- jadi dia?" Om Danang menunjukku dengan jarinya. Lagi-lagi sepertinya dia masih nggak percaya jika akulah perempuan yang sering diceritakan anaknya. "Iya, Pa. Dia!" Tania menatapku tajam sembari menghela napas kasar. Tak ingin ada keributan di teras, ibu meminta kami masuk ke rumah semua. Tania dan papanya duduk di sofa seberang meja, sementara aku duduk di samping ibu dan Mas Eros."Tania dan papanya datang ke sini untuk bertemu denganmu, Ros. Mereka datang sekitar sepuluh menit yang lalu." Ibu kembali menjelaskan. Mas Eros pun manggut-manggut lalu menatap perempuan itu beberapa saat. "Tadi di cafe aku su
Pertanyaan Tania dari samping mobil papanya benar-benar membuatku tercekat. Ternyata dia pun heran, kenapa papanya bisa mengenal ibuku bahkan akhir-akhir ini Om Danang beberapa kali datang ke warung ibu. Entah apa yang mereka obrolkan, aku pun tak tahu. Namun, dalam hatiku juga yakin ada suatu rahasia yang masih berusaha mereka sembunyikan dan simpan rapat-rapat. "Kamu ngomong apa, Tania? Ibunya Hanin teman sekolah papa dulu. Apa salahnya tanya kabar? Sudah, masuk dulu. Kita bicarakan masalah kamu di rumah." Aku mengernyit. Mungkinkah mereka pernah berteman saat sekolah? Kenapa ibu tak pernah menceritakan namanya, padahal ibu sering menceritakan padaku tentang masa-masa sekolahnya dulu yang hanya tamat SMP. Lantas, Om Danang teman SD atau SMP ibu? Apa dia pindahan dari kota, jadi ibu tak terlalu lama mengenalnya bahkan tak pernah cerita tentang sosoknya? Sepertinya aku tanya pada ibu saja siapa sebenarnya Om Danang. Setelah berbagai perdebatan, kedua tamu ibu itu pulang. Tania tam
Persiapan lamaran sudah selesai. Ibu mengundang beberapa orang untuk ikut menghadiri acara bahagia ini. Tak terlalu banyak, sebagian besar kerabat dan tetangga dekat saja. Camilan dan minuman sudah disiapkan di ruang tengah dan ruang tamu secara lesehan. Beragam menu untuk makan besar pun siap. Jarum jam berputar dengan cepat. Beberapa tamu lelaki yang sudah datang, pamit ke masjid lebih dulu saat adzan isya berkumandang. Aku masih di kamar memakai gamis abu muda dengan hijab abu tua saat ibu masuk ke kamarku. "Akhirnya anak ibu akan dilamar." Wanita yang telah melahirkanku itu memegangi pundakku lalu menatapku dari cermin. "Kaya masih perawan saja sih, Bu. Hanin kan pernah dilamar sebelumnya." Aku membalas dengan senyum. "Beda dong. Kemarin lamaran yang salah, sementara ini InsyaAllah lamaran yang pas. Ibu akan selalu mendoakan kalian berdua.Lagi-lagi ibu mengusap kepalaku yang tertutup hijab secara perlahan. Kupegang punggung tangan ibu lalu mendongak. Mata ibu berkaca saat mel