Bakda shalat subuh, aku menata kamar Mas Eros seperti semula. Kubuka daun jendela lalu menghirup udara di pagi hari yang begitu sejuk dan menenangkan. Semua barang yang tercecer sudah lengkap dan tertata rapi di koper. Ibu bilang akan mengantarku pulang sekitar jam delapan. "Hanin, kamu sudah bangun?" Suara ibu dan ketukan di pintu terdengar perlahan. Gegas kubuka pintu lalu menyambut ibu yang tersenyum tipis. "Mau masak ya, Bu? Masak apa biar Hanin bantu." Ibu tak membalas, hanya mengusap lenganku pelan lalu menatapku lekat. "Hari ini kamu akan pulang. Jadi, ibu nggak akan merepotkanmu, Nin," ujarnya dengan mata berkaca. "Masak itu hal yang menyenangkan kok, Bu. Bukan hal yang merepotkan." Ibu kembali tersenyum. "Ibu sudah pesan makanan matang dari rumah Bu RT. Ini ada opor ayam, lontong, kerupuk sama sate ayam. Sebelum pulang, kamu harus kenyang." Aku terkekeh mendengar ucapan ibu. "Nanti ibu kena omel besan ... mantan besan maksud ibu, kalau sampai kamu kurus dan kelaparan."
"Mas Eris! Kamu ngapain di situ sih?!" ulang Fika dengan ekspresi merah padam, sementara Mas Eris mendadak salah tingkah. Dia menatapku beberapa saat lalu menatap istrinya yang jelas ketara menahan amarah yang membuncah. Perempuan itu meminta anak lelakinya untuk masuk rumah lantas dia menghampiri suaminya yang masih mematung di depan jendela kamar Mas Eros. Aku menatapnya santai sembari tersenyum sinis, persis seperti dia saat berhasil merebut hati Mas Eris beberapa minggu lalu. "Kenapa menatapku begitu? Sorry ya, bukan aku yang sengaja mengganggu suami kamu, tapi suami kamu sendiri yang datang ke sini memberikan hadiah itu. Kamu lihat sendiri kan? Dia yang datang, bukan aku yang sengaja mendatanginya. Jadi, jangan salahkan aku. Salahkan saja suamimu kenapa masih memperhatikanku, padahal statusku sudah menjadi mantan." Aku menunjuk paper bag yang masih di tangan Mas Eris. Tatapan Fika yang sebelumnya tertuju padaku pindah ke tangan Mas Eris. Dia mulai menatapku tajam lalu menunjuk
Mobil Mas Eros terhenti di depan rumah. Derap langkah laki-laki itu pun terdengar memasuki garasi lalu ke teras. Dia muncul dengan beberapa kantong plastik di tangannya. "Oleh-oleh buat ibu." Mas Eros tersenyum sembari menyodorkan bawaannya. "Ngapain dibawa ke sini, Ros? Kan nanti ditaruh mobil juga." Ibu menyahut. Mas Eros garuk-garuk kepala sembari meringis kecil."Iya juga ya, Bu. Ngapain dibawa ke sini? Maaf, Bu. Refleks aja tadi." Ibu geleng-geleng melihat aksi anak lelakinya. Ada tiga kantong kresek yang dibawa Mas Eros. Salah satunya berisi buah-buahan sementara yang lain kotak kue lapis dan bika kesukaan ibu. Entah darimana dia tahu jika ibu sangat menyukai bika seperti itu. Jangan-jangan dia juga yang dulu sering mengirimkan bika seperti itu lewat kurir. Duh, Mas Eros. Kamu memang misterius. Tak membuang waktu, akhirnya mereka benar-benar mengantarku pulang. Aku diminta ibu untuk duduk di samping Mas Eros. Sementara bapak duduk di kursi belakang bersama ibu. Mereka mulai
Dua minggu berturut-turut menjalankan istikharah, rasanya sudah cukup membuatku yakin jika Mas Eros memang lelaki yang tepat untukku. Aku yakin dia bisa mendampingiku dalam suka dan duka, bisa menjadi tempatku berkeluh kesah dan menjadi tempatku berbagi cinta hingga menua bersama. Aku semakin yakin jika dia berbeda dengan saudara kembarnya. Entah mengapa hatiku terasa lebih tenang saat bersamanya. Sikap dan perhatiannya selama ini lebih mengena dan erasa tulusnya. Berbeda dengan Mas Eris yang memang terasa hambar sejak awal menikah. Hanya saja, dulu aku berusaha untuk menikmatinya meski terkesan terpaksa dan dipaksa. Ah sudahlah. Aku tak ingin mengungkitnya lagi karena semua sudah usai. Dua minggu belakangan, aku memang sengaja meminta Mas Eros untuk tak menghubungiku, baik via handphone ataupun pesan di sosial media. Aku dan dia tak bertemu apalagi bertukar kabar. Benar-benar hening tanpa ada sapa dan tanya apalagi obrolan seperti biasanya. Semua kulakukan agar lebih fokus berdoa
Usai menjalankan kewajiban empat rokaat shalat dzuhur, aku pamit pada ibu yang masih duduk di sofa ruang tengah sembari menonton sinetron. Setelah itu, aku berangkat ke cafe Mas Eros dengan motor matic seperti biasanya. Aku pura-pura tak melihat dan tak peduli dengan tatapan sinis para tetangga yang bergerombol di rumah Bi Lastri. Mereka memang biasa berkumpul di sana untuk membahas banyak hal yang ujung-ujungnya akan menggunjing tetangga. Seperti saat ini kudengar mereka menyebut namaku. Tak terlalu keras memang, tapi cukup terdengar di telingaku yang masih normal. Tak menoleh, aku tetap fokus dengan laju motorku sendiri. Sekitar dua puluh menit aku sampai di cafe Mas Eros. Gegas kuparkirkan motor di tempat yang sudah disediakan. Suasana di cafe saat ini cukup ramai. Mungkin karena masih jam makan siang. Kulihat semua karyawan sibuk mengantar pesanan ke sana-sini. Kasir pun fokus dengan pembayaran para konsumen. Kulirik ruangan kecil yang dijadikan kantor dan tempat istirahat Mas E
POV : FIKA Aku tak menyangka jika Mas Eris memberikan jatah skincareku itu pada Hanin. Heran, kenapa dia bisa berubah perhatian sama mantan istrinya itu. Apa Mas Eris benar-benar jatuh hati pada Hanin sesuai dugaanku karena perempuan itu mulai cantik setelah berpisah dengan Mas Eris?Bukankah Hanin bukan tipe perempuan idaman Mas Eris, tapi kenapa sekarang dia berubah seperhatian itu? Sementara denganku yang biasanya penuh cinta, romantis dan perhatian, mendadak cuek dan dingin. Aku sempat protes, tapi dia justru semakin semena-mena. Teringat kejadian beberapa hari lalu yang membuat emosiku semakin memuncak. Mas Eris secara tak langsung memuji mantan istrinya itu dan membandingkannya denganku. Menyebalkan. Tak ada seorang pun istri yang rela dibanding-bandingkan dengan perempuan lain, apalagi dengan mantan madunya. "Aku sudah terlalu sering memanjakanmu, Fika. Tapi apa timbal baliknya? Kamu justru semakin ngelunjak dan semena-mena. Jarang masak, mulai sering keluar dengan teman-tem
"Apa maksudmu ngomong begitu, Fika?! Jangan terus memancing amarahku. Kamu juga tahu kalau aku dan Hanin sudah berpisah, kenapa terus mengaitkan dia dengan hubungan kita? Jika sekarang aku menghargainya, itu karena dia tamu di rumah ini. Bukan karena cinta. Kamu harusnya memahami itu, bukan terus menyudutkanku," ucap Mas Eris sembari membuang pandangan.Sikapnya kali ini benar-benar membuatku semakin curiga jika sebenarnya dia membenarkan apa yang kuucapkan. Aku selalu mengamati, ekspresinya berbeda tiap kali menyebut nama Hanin. "Omong kosong. Jangan sok cuek jika saat tak bersamaku kamu perhatian pada perempuan itu.""Kapan? Memangnya kamu lihat aku memperhatikan, Hanin? Apa kurang rasa perhatian dan sayangku padamu, sampai kamu securiga itu? Aku sudah memenuhi tanggungjawabku sebagai ayah dan suami. Semua kebutuhanmu aku penuhi. Baju, sepatu, kebutuhan dapur dan skincaremu semua kusiapkan dengan baik. Bahkan saat kamu habiskan tabunganku dan jual motor Edo, aku masih berusaha mema
"Makan ya? Belum makan siang kan?" Aku kembali menggeleng. "Kenapa? Kalau nggak mau makan di sini, kita cari cafe lain." Lagi-lagi aku menggeleng. "Geleng-geleng terus. Hmmm ... kalau kita segera menikah, gimana?" Kali ini aku terdiam, membuat laki-laki yang kini duduk di seberang meja itu terkekeh. Mendadak salah tingkah sebab dia menatapku sedari tadi sembari menyandarkan punggungnya ke kursi. Di ruangan yang tak terlalu luas ini, hanya ada aku dan dia. Dadaku masih saja berdebar tiap kali mengingat kejadian beberapa menit lalu di depan kasir saat tiga perempuan rese itu datang dengan angkuhnya. Mereka yang berusaha mempermalukanku, ternyata dipermalukan balik oleh Mas Eros. Sungguh tak pernah menyangka aku akan mengalami kejadian seperti tadi. Aku tak tahu harus senang atau sedih saat melihat bagaimana Mas Eros membelaku di depan banyak orang. Mala sempat berbisik jika Mas Eros tak pernah membawa gadis lain ke ruang kerjanya kecuali aku. Selama ini dia cukup tertutup dan kaku