"Hanin ... kamu di sini?" Laki-laki itu berdiri sembari menatapku lekat. Tak ingin kelihatan rapuh, gegas kuusap kedua pipiku yang basah. Jika dia terkejut aku sudah ada di sini, aku juga tak kalah terkejutnya mengapa dia juga berada di tempat ini. Laki-laki itu menyimpan kameranya lalu memasukkannya ke dalam tas. "Kamu tahu saudara kembarmu menikah lagi, Mas?" tanyaku lirih. "Maaf, Hanin. Aku tak tega memberitahumu soal itu, tapi kamu jangan salah paham. Aku tak berada di pihaknya, tapi berada di pihakmu. Sengaja menyimpan bukti itu jika sewaktu-waktu kamu butuhkan." Mas Eros menatapku sendu. "Ibu dan bapak tahu soal ini?" "Ibu tahu, tapi bapak nggak tahu." Air mataku kembali menetes. Pantas saja ibu bersikap aneh padaku sejak kemarin, ternyata ibu tahu jika anak lelakinya itu akan menikah lagi dengan mantan istrinya. "Aku tahu kamu perempuan kuat dan cerdik, Nin. Aku akan mendukungmu dengan caraku." Laki-laki itu kembali meyakinkan lalu mengangguk pelan. Tak ingin terus ngobr
"Berbahagialah dengan Fika, bukankah dia istri idamanmu selama ini? Perempuan seperti itu mungkin memang pantas bersanding denganmu, Ris. Kalian berdua serasi, sama-sama tak tahu diri. Jadi, kuharap kamu tak mengekang Hanin lagi. Kenapa terus mempertahankan Hanin jika dia bukanlah istri yang kamu impikan?" Mas Eros tak berhenti mencecar membuat wajah Mas Eris makin merah padam. "Kasihan ibu. Selama ini hanya bisa diam dan membiarkan rasa bencimu menjalar. Tak memberimu nasehat bukan karena tak cinta, tapi karena kamu tak pernah mau peduli dengan nasehat ibu. Kamu pikir ibu nggak sakit kepala melihat sikapmu yang semena-mena?" Laki-laki itu melemparkan jasnya ke sembarang arah lalu mencengkeram kerah baju Mas Eros. Bukannya melawan, laki-laki itu justru hanya diam seolah membiarkan saudara kembarnya melampiaskan amarahnya. "Lakukan apa yang kamu inginkan, Ris. Jika memang itu membuatmu puas dan lega, tapi setelah itu aku harap kamu menyadari kesalahan-kesalahanmu sendiri. Tak perlu k
"Jadi, kamu sudah memantapkan hati untuk berpisah dengan Eris, Nin?" tanya bapak dengan ekspresi shock setelah makan malam usai. "Iya, Pak. Hanin sudah yakin dengan keputusan ini. Maafkan Hanin yang nggak bisa menjadi menantu idaman bapak dan ibu. Maaf jika terlalu banyak kekurangan yang Hanin lakukan selama menjadi menantu di rumah ini." Tak terasa air mataku menetes perlahan ke pipi. Ibu hanya menghela napas panjang sembari menatapku lekat, sementara bapak masih terdiam di tempat. "Seharusnya bapak yang minta maaf sama kamu, Hanin. Bapak nggak bisa mendidik Eris menjadi suami yang baik, sampai dia mengabaikan istrinya sendiri." Aku mendongak sesaat lalu kembali menunduk. "Bukan salah bapak ataupun ibu. Mungkin memang sudah takdir dan Hanin yakin kelak akan ada hikmah yang bisa dipetik dari semua ini." Aku kembali mencoba tersenyum hanya agar ibu dan bapak tak terlalu mengkhawatirkan keadaanku. "Bapak nggak menyangka jika Eris benar-benar kembali dengan Fika. Padahal jelas perem
[Hari ini sidang perdana kita, Mas. Silakan datang jika kamu masih tak terima dengan gugatan ini. Kamu berhak melakukan pembelaan. Namun, aku harap kamu nggak datang supaya sidang lebih cepat kelar tanpa perlu mediasi. Aku sudah malas memperpanjang urusan kita.] Kukirimkan pesan singkat itu pada Mas Eris bakda subuh. Semoga saja dia segera membacanya agar dia tahu sebenarnya aku tak suka kedatangannya ke persidangan nanti. Aku berharap perceraian itu cepat usai dan nggak berlarut-larut. Rasanya sudah muak tiap kali mengingat sepak terjang laki-laki itu. Sejak akad nikahnya tiga hari lalu, Mas Eris benar-benar nggak pulang. Seolah sengaja agar aku meradang, padahal aku kini sudah mati rasa padanya. Detik ini aku kembali menata pakaian Mas Eris ke lemari. Beberapa stel baju dan celananya sudah nggak ada. Entah kapan dia mengambil pakaiannya. Mungkin saat aku berangkat ngajar dia pulang untuk membawa sebagian barang miliknya ke rumah perempuan itu. Entah. [Ternyata kamu benar-benar s
Suasana di rumah cukup ramai. Ada acara arisan keluarga besar yang diadakan sebulan sekali dan kebetulan rumah ibu sebagai tempat arisan kali ini. Saudara semata wayang bapak dan anak-anaknya semua lengkap, begitu pula dengan kedua adik ibu dan anak cucunya. Rumah benar-benar ramai dengan canda tawa dan celoteh riang anak-anak. Mereka bermain di halaman belakang saat aku menyiapkan hidangan di meja makan, sementara ibu masih menata ruang keluarga dengan menggelar karpet di sana. "Dengar-dengar Hanin sama Eris mau bercerai, Mbak? Seserius apa sih masalahnya mbak sampai mereka mau cerai segala." Pertanyaan adik perempuan ibu membuatku menghentikan langkah. Aku kembali ke dapur dan tak jadi ke kamar mandi saking penasaran apa yang akan mereka bicarakan selanjutnya. "Tahu darimana kamu, Yul?" tanya ibu yang menanggapinya dengan datar. Sepertinya ibu malas membahas masalah kabar perpisahanku itu, makanya suaranya terdengar lesu. "Banyak yang tahu soal itulah, Mbak. Kan waktu itu ada ya
Mas Eros datang dengan wajah kusut. Entah darimana dia sampai semurung dan seletih itu. Sepertinya sejak semalam dia nggak di rumah. Aku juga nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya sebab sejak pulang sidang kemarin aku langsung masuk kamar dan tak keluar lagi sampai pagi ini. "Hanin yang menggugat Eris. Dia yang menyerah menghadapi suaminya, kenapa bibi harus berada di pihaknya?" tanya Mas Eros kemudian."Apa bibi pura-pura nggak tahu kalau selama ini Eris sudah mengkhianati pernikahannya dengan Hanin? Eris terang-terangan berselingkuh dengan Fika bahkan sudah menikah lagi dengannya sebelum Hanin mengambil keputusan untuk menggugat dia, Bi. Bini tahu soal itu kan?" sambung Mas Eros kembali. Dia berusaha membuka pikiran bibi Yulia yang seolah menutup mata dan tak mau menerima kesalahan Mas Eris. Ibu terus berusaha menyudutkanku dengan alasan apapun."Sudah. Jangan diteruskan. Ini arisan keluarga. Kenapa jadi ajang ribut begini. Ibu nggak suka." Akhirnya ibu kembali menimpali.
Mas Eris benar-benar kelewat batas. Selain nggak tahu diri, ternyata dia juga nggak tahu malu. Sudah mencampakkanku begitu saja, kini kembali mengikatku hanya karena dendamnya. Aku yakin sekali dia sengaja melakukan ini agar Mas Eros sakit hati. Meski laki-laki itu tak mengatakan apapun padaku, tapi ucapan ibu dan bapak akhir-akhir ini cukup membuatku mengerti jika ada rasa yang dia simpan untukku selama ini. Rasa yang sudah hadir sejak lama bahkan sebelum aku menjadi adik iparnya. Aku sendiri tak ingat kapan pertama kali aku bertemu dengannya. Aku juga tak tahu mengapa dia membiarkanku menikah dengan saudara kembarnya jika dia memiliki rasa suka padaku lebih dulu. Apakah benar yang ibu bilang jika dia terlalu takut dan tak percaya diri untuk menyatakan cinta pada seseorang? Entah. Detik ini Mas Eris tersenyum sinis penuh kemenangan di depanku. Mungkin dia merasa aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mematahkan rencana buruknya itu. Padahal, aku punya cara tersendiri untuk membuatnya
"Diam kamu, Ris!" sentak Mas Eros dengan wajah memerah. Sepertinya dia semakin emosi saat mendengar ucapan Mas Eris yang terdengar begitu meremehkannya. Lebih tepatnya sengaja meremehkan cintanya. "Kenapa? Kamu malu karena sekarang Hanin tahu kalau kamu memang menyukainya sejak dulu? Dicintai lelaki pengecut yang nggak berani menyatakan isi hatinya sendiri. Apa sekarang kamu menyesal sudah melepaskan Hanin padaku?" ujar Mas Eris lagi. Dari sikapnya, laki-laki itu benar-benar menantang Mas Eros. Senyum mengejek kembali terlihat jelas di kedua sudut bibirnya. Aku yakin detik ini dia sengaja membuat saudara kembarnya itu malu dan emosi."Ingat, Ros. Jika saat ini Hanin menderita, semua itu karena ulahmu. Kamu penyebabnya. Jadi, salahkan saja dirimu jika melihatnya sengsara. Salahkan ketidakberanianmu menyatakan cinta dan ketidakbecusanmu untuk menjaganya. Sekarang dia menjadi istriku karena kamu tak pernah berniat melamarnya. Jadi, jangan salahkan aku jika memanfaatkan kepolosannya itu!
"Mas, boleh minta sesuatu?" tanya Hanin setelah terdiam beberapa saat. Eros begitu setia dan bersabar menunggu Hanin bicara. "Minta apapun boleh, Sayang. Apaa yang nggak buat kamu. Asalkan tak menyalahi aturanNya, InsyaAllah aku berusaha mewujudkan." Eros membingkai wajah istrinya lalu tersenyum tipis."Kita kembali ke makam Tania sebentar saja, boleh? Mumpung masih di sini," tanya Hanin dengan mengedipkan mata seolah memohon agar permintaannya dikabulkan. "Boleh." Eros membalas singkat dengan seulas senyum di kedua sudut bibirnya. "Makasih, Mas." Eros mengangguk lagi. Setelahnya membuka sabuk pengaman Hanin dan mengajaknya turun dari mobil. Sepasang suami istri itu kembali ke tempat semula. Mereka berdiri di depan sebuah makam yang telah berwarna-warni dengan taburan bunga. Hanin dan Eros jongkok di depan makam itu seperti yang dilakukannya beberapa menit lalu. Bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya saat mengusap nisan putih itu. Tania Putri Salsabila binti Danang Saputro.
"Hanin, Eros, kalian di sini?" tanya Delima saat melihat Hanin dan Eros di depan makam Tania. Hanin yang masih memejamkan mata sembari merapalkan doa pun mendongak. Dia menatap Delima yang sudah berdiri di sampingnya."Tante Delima ...." Hanin beranjak dari tempatnya berjongkok lalu menyalami Delima, sementara Eros sedikit membungkuk sebagai pengganti jabat tangan. Eros belajar banyak dari Hanin yang tak mau bersentuhan dengan non mahram. "Maafkan saya yang baru datang ke pemakaman Tania, Tante," lirih Hanin setelah kedua perempuan itu mengurai pelukan. Delima mengusap lengan Hanin pelan lalu menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Nin. Tante tahu kamu baru saja melahirkan. Pamali kalau datang ke pemakaman sebelum masa nifas usai. Hanin mengangguk sembari tersenyum tipis menatap Delima yang berkaca. "Om Danang nggak ikut, Tante?" tanya Hanin setelah menyadari jika Delima datang sendirian ke pemakaman ini. "Papanya Tania ke kantor, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kebetulan T
[Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan Tania sekarang?]Sudah tiga kali Hanin mengirimkan pesan yang sama pada ibunya, tapi sampai saat ini belum ada balasan apapun. Eros juga sudah menelepon Eris, tapi tak diangkat bahkan pesannya pun belum dibaca. Hanin dan Eros tak tenang. Mereka curiga ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Tania, tapi tak mungkin pergi sekarang karena Arkana baru saja aqiqah dan masih ada beberapa tamu di rumah. "Gimana, Mas?" tanya Hanin pada Eros yang baru masuk ke kamar mereka. Eros menggeleng pelan lalu mengusap lengan istrinya. "Nggak apa-apa, Sayang. Mungkin ibu sama Eris masih menjaga orang tua Tania. Jadi, mereka nggak sempat membuka handphone. Nanti kalau sudah longgar pasti menghubungi kita," ucap Eros dengan senyum tipisnya. Dia berusaha menenangkan Hanin yang terus gelisah. "Eros benar, Nin. Kamu tenang saja. Nanti ibu juga telepon," ucap Desy, kakak iparnya yang masuk kamar sembari menggendong Arkana. Desy tersenyum lalu menidurkan Arkan di
"Tania? Mana Tania, Del?" tanya Yuningsih mengikuti pandangan Delima ke area jalan raya. "Itu, Mbak. Dia tersenyum menatapku," balas Delima lagi. Salah satu jemarinya kembali menunjuk ke arah jalan. "Nggak ada, Del. Tania sudah pergi. Dia kembali ke pangkuanNya, Del. Ikhlaskan kepergiannya ya, supaya dia juga bisa tenang di sana." Yuningsih mengusap lengan Delima lalu kembali memeluknya. "Tania masih ada, Mbak. Dia bilang akan mengajakku dan Mas Danang jalan-jalan ke taman kota. Dia pasti sudah menunggu di rumah kan?" lirih Delima lagi. Air matanya masih bercucuran. Delima benar-benar belum bisa menerima kenyataan jika Tania telah tiada. Delima merasa jika anak angkatnya itu masih ada bersamanya bahkan kini menunggunya di rumah. Berulang kali Yuningsih menjelaskan, berulang kali pula Delima bersikukuh dengan ucapannya. "Tante, Tania sudah pergi. Om dan papa masih mengurus jenazahnya. Nanti kita makamkan bersama ya? Tak apa jika sekarang Tante belum bisa menerima ini semua, tapi k
Dokter Erwin keluar dari UGD. Dia mencari keluarga pasien yang ditanganinya saat ini. Danang dan Delima yang berada tak jauh dari ruangan itu pun saling tatap lalu buru-buru beranjak dari kursi. Mereka melangkah tergesa menghampiri sang dokter. Keduanya tak sabar ingin mendengar penjelasan dokter tentang keadaan Tania saat ini. "Keluarga pasien Tania?" tanya Dokter Erwin saat Danang dan Delima sampai di dekatnya. Sepasang suami istri itu mengangguk bersamaan. "Benar dokter. Kami orang tua Tania. Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" tanya Delima sedikit terbata. Dokter Erwin menghela napas panjang lalu menatap Danang dan Delima dengan sorot mata berbeda. Ada mendung di kedua matanya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, Bu, tapi Allah berkehendak lain," ucap dokter lirih, tapi cukup jelas terdengar. Delima shock. Dia tak sanggup mendengarkan ucapan dokter selanjutnya. Wanita itu menangis histeris. Tubuhnya lemas dan luruh di lantai begitu saja. Danang yang berada di samping
"Ya Allah Tania kenapa, Tante? Padahal tadi tampak bersemangat dan ceria. Kenapa mendadak seperti ini?" Hanin kembali gugup dan terkejut melihat perubahan drastis perempuan di sampingnya. Tania benar-benar tampak lemas dan tak berdaya. "Tania memang begitu, Nin. Dia selalu berusaha kuat dan baik-baik saja makanya selama ini Tante dan Om juga nggak tahu kalau sakitnya sudah separah ini. Dia pintar menyembunyikan semuanya dan tak ingin melihat orang lain kerepotan." Delima mengoles minyak angin di kening Tania, tapi tak ada efek apapun karena Tania tetap terdiam."Maafkan kami, Nin. Kami harus bawa Tania ke rumah sakit," ujar Danang kemudian.Hanin mengiyakan dan mendoakan yang terbaik untuk Tania. Eros dan Eris pun ikut membantu Danang membawa Tania ke mobilnya. Ahmad, Yuningsih dan Eris ikut mengantar Tania ke rumah sakit. Sementara Rukmini dan Eros tetap di rumah menemani Hanin. Bahkan Hana pun ingin menginap di rumah sahabatnya itu."Semoga Tania baik-baik saja," lirih Hanin saat m
Hari ini acara syukuran kelahiran Arkana Bima Atharrazka, anak pertama Hanin dan Eros. Bayi mungil itu tampan dan lucu. Dia begitu menggemaskan, membuat kedua orang tuanya semakin bahagia. Saat ini, dua keluarga berkumpul di rumah Eros, termasuk keluarga kakaknya Dani dari Semarang dan adiknya perempuannya, Ayu. Sejak pernikahan Eros dan Hanin, apalagi setelah Fika masuk penjara, Ayu tak kembali ikut campur masalah Hanin. Mungkin dia malu atau tak enak hati jika terus menghina kakak iparnya itu, apalagi setelah dia tahu jika ternyata kedua kakak kembarnya mencintai orang yang sama. Mereka sama-sama menyukai Hanin, perempuan yang selama ini dibenci dan selalu dihinanya. Bukan tanpa alasan Ayu selalu menyudutkan Hanin di setiap waktu dan kesempatan. Dia selalu berpikir jika Hanin tak pantas menjadi bagian dari keluarganya. "Selamat ya, Nin. Semoga jagoan kecil ini bisa menjadi anak yang shaleh dan sukses dunia akhirat. Mbak mendoakan yang terbaik buat kalian." Desy, istri Dani yang k
Waktu terus bergulir dan kini hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Hanin mulai kewalahan dengan perutnya yang membesar dan cukup susah untuk digerakkan. Dia sering begadang tiap malam karena susah tidur. Entah mengapa mata susah diajak kompromi. Rasanya nggak nyaman. Miring susah, terlentang nggak enak dan nggak mungkin tengkurap juga kan?Sudah tiga hari belakangan Eros tak memeriksa cafe maupun bisnis ekspedisinya. Dia ingin fokus mengurus dan menemani Hanin jika melahirkan sewaktu-waktu. Eros tak ingin kehilangan momen penting dalam hidupnya. Dia benar-benar berharap bisa menemani dan memberi dukungan pada Hanin saat persalinan nanti. "Istrimu lama sekali di kamar mandi, Ros. Cek sana. Ibu takut dia kepleset atau kenapa-kenapa. Perutnya sudah segede itu soalnya." Rukmini baru saja memerintah. Tak selang lama, suara Hanin dari kamar mandi membuat menantu dan mertua itu shock seketika. "Hanin!" teriak keduanya bersamaan lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Benar kata Rukmi
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan