"Diam kamu, Ris!" sentak Mas Eros dengan wajah memerah. Sepertinya dia semakin emosi saat mendengar ucapan Mas Eris yang terdengar begitu meremehkannya. Lebih tepatnya sengaja meremehkan cintanya. "Kenapa? Kamu malu karena sekarang Hanin tahu kalau kamu memang menyukainya sejak dulu? Dicintai lelaki pengecut yang nggak berani menyatakan isi hatinya sendiri. Apa sekarang kamu menyesal sudah melepaskan Hanin padaku?" ujar Mas Eris lagi. Dari sikapnya, laki-laki itu benar-benar menantang Mas Eros. Senyum mengejek kembali terlihat jelas di kedua sudut bibirnya. Aku yakin detik ini dia sengaja membuat saudara kembarnya itu malu dan emosi."Ingat, Ros. Jika saat ini Hanin menderita, semua itu karena ulahmu. Kamu penyebabnya. Jadi, salahkan saja dirimu jika melihatnya sengsara. Salahkan ketidakberanianmu menyatakan cinta dan ketidakbecusanmu untuk menjaganya. Sekarang dia menjadi istriku karena kamu tak pernah berniat melamarnya. Jadi, jangan salahkan aku jika memanfaatkan kepolosannya itu!
POV : FIKAAku sengaja memilih dress putih bermotif bunga di bagian bawah sebagai lambang keceriaan dan kebahagiaan, persis yang kurasakan detik ini. Di depan cermin jelas kulihat wajah ini berbinar dengan senyum mengembang sempurna. Aku memang patut bahagia karena telah memenangkan tantangan kecil ini. Sesuatu yang harus kurayakan sebab berhasil merebut Mas Eris kembali. Dia yang dulu kupikir sudah jijik dan muak padaku karena pengkhianatan itu, ternyata tak seperti yang kubayangkan. Cintanya padaku terlampau dalam bahkan sampai hati menikahi gadis lain hanya untuk pelampiasan kekesalan dan kecemburuannya padaku. Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Eris begitu mudah memaafkan kesalahan fatalku itu bahkan kini dia mau kembali bersamaku untuk mengukir janji setia di depanNya. Keputusan yang jelas sangat ditentang keluarganya, tapi tetap dia pilih demi bukti cintanya padaku. Dia tak peduli sekalipun berulang kali diingatkan tentang masa lalu pahit itu. Di saat aku meninggalkannya y
POV : FIKASaat awal-awal menikah dengan Mas Eris dulu aku sering sekali mengikuti acara bulanan keluarga besar atau arisan rutin antar kerabat. Semua kulakukan bukan tanpa alasan dan tujuan. Aku cukup matang dalam mempersiapkan diri menjadi istri Mas Eris, termasuk saat berusaha keras mencuri perhatian dan pujian keluarga besarnya. Aku tak ingin dikucilkan, ingin dihargai dan diterima dengan hangat oleh mereka. Karena itu pula aku sering membawa beragam camilan untuk hidangan saat acara keluarga berlangsung. Alhasil apa yang aku harapkan pun benar-benar terwujud. Mereka menerimaku dengan baik. Sebagian besar dari mereka bahkan bilang jika Mas Eris sangat beruntung mendapatkan aku yang cantik, menarik, memiliki karir yang bagus dan berpendidikan. Pujian-pujian mereka tak urung membuat Mas Eris bangga memilikiku. Aku pun cukup bersyukur diterima oleh mereka meski harus pamer ini itu. Acara keluarga seperti itu memang sering kali dijadikan ajang pamer antar saudara. Jadi, wajar jika s
"Aku nanti tidur di bawah nggak apa-apa, Mas. Kamu di ranjang." Mas Eris meletakkan kembali cangkir kopinya ke meja. "Takut hamil kamu, Nin?" tanyanya santai lalu tersenyum tipis menatapku. "Dulu aku memang berharap bisa mendapatkan keturunan darimu, Mas. Tapi sekarang nggak lagi. Kasihan anakku kalau punya ayah dzalim sepertimu." "Hanin!" Mas Eris menggebrak meja saking geramnya. Apakah kata yang kuucapkan keliru? Kurasa nggak. Wajar jika aku tak lagi menginginkan keturunan dari suami seperti Mas Eris bukan? "Ibu dan bapak sedang pergi. Jadi, kamu jangan berbuat aneh-aneh, Mas." "Aneh-aneh apanya? Jelas kamu masih sah menjadi istriku. Wajar jika suami istri tidur bersama. Kamu yang aneh, Nin. Bukan aku." Aku sengaja terkekeh. Geli mendengar ucapannya yang terdengar lucu di telinga. "Kesalahan apa yang dilakukan Mas Eros sampai membuatmu sebenci itu padanya, Mas?" Lagi-lagi Mas Eris menatapku geram. "Maksudmu apa? Tak perlu ikut campur masalahku dengan Eros. Kamu tak akan paha
"Urusan apa sih, Mas? Apa keinginanmu soal keturunan dariku?" Aku memancing emosi keduanya lagi. Mungkin aku memang berdosa karena cukup senang melihat pertengkaran mereka. Namun, bukankah itu tak sebanding dengan luka dan air mata yang mereka berikan padaku? Jika saat ini aku bahagia, anggap saja sebagai balasan karena mereka sempat membuatku terluka. "Hanin!" Lagi-lagi Mas Eris memanggilku dengan sedikit penekanan. "Jadi benar kalau kamu memang berniat memiliki keturunan dari perempuan itu, Mas? Kamu ingin Hanin hamil sebelum kalian sah bercerai? Kamu nggak ikhlas dengan gugatan cerainya? Apa sebenarnya kamu memang nggak berniat berpisah dengannya, Mas? Jawab!" Fika mulai terbakar cemburu dan emosi. "Fika! Apa-apaan kamu ini!" sentak Mas Eris sembari menepis tangan Fika yang terus memu kulinya. Lucu. Seharusnya aku yang cemburu jika suamiku bersama sang pelakor. Namun, keadaannya justru berbalik. Dia yang awalnya begitu bangga dan jumawa bisa mendapatkan Mas Eris kembali tentu
Pov : ERIS "Apa-apaan kamu, Fika? Kenapa mengancamku seperti itu? Harusnya kamu bersyukur, aku sudah memaafkan pengkhianatanmu waktu itu. Bahkan aku tetap mau menikahimu lagi dan memberimu kebebasan memakai ATMku." Fika agak shock mendengar suaraku yang meninggi. Tak ingin dia terus protes, kutarik lengannya agar masuk ke mobil. Tak butuh waktu lama kutinggalkan rumah minimalis bapak dan ibu itu begitu saja. Hanin yang biasanya selalu menungguku di teras tiap kali aku keluar rumah, sekarang dia seolah tak peduli. Dia cuek dan memasabodohkan. Entah mengapa mendadak rindu dengan perhatian dan kesetiaannya seperti dulu, sekalipun aku tak pernah menganggapnya ada. "Aku memang bersyukur, Mas. Siapa bilang aku tak bersyukur? Aku hanya mengingatkanmu dengan janji-janjimu sendiri sebelum melamarku kembali." Fika memanyunkan bibirnya. Seperti biasa tiap kali aku marah, justru dia ikut merajuk. "Janji apalagi? Untuk mencintaimu sepenuh hati? Aku sudah lakukan itu. Jangan-jangan justru kamu
POV : ERIS"Hanin itu istimewa, Ris. Dia tipe istri penurut, setia dan tak neko-neko. Dia tak pernah menuntut suaminya dan selalu menerima berapapun nafkah yang diberikan padanya. Coba kamu pikir, apa pernah dia tanya berapa gajimu dan kamu pakai untuk apa saja gajimu? Nggak kan? Dia terlalu patuh dan menerima berapapun pemberianmu. Kamu pasti akan menyesal jika suatu saat nanti berpisah dengannya karena Fika tak akan pernah mungkin bisa sepertinya. Fika terlalu materialistis. Dia memang cantik karena kamu selalu memberikan fasilitas kecantikan untuknya. Kamu jatah skincare, uang salon dan asisten rumah tangga. Sementara Hanin? Apa kamu sudah menyediakan hal yang sama?" Kalimat panjang yang pernah diucapkan Eros kala itu kembali terngiang di benak, membuatku benar-benar tak fokus menyetir. "Mas! Jangan ngelamun terus." Omelan Fika kembali terdengar membuat dadaku berdebar karena nyaris menabrak trotoar. Kuhentikan mobil sejenak ke area parkir mini market. Aku akan membeli minuman di
POV : ERIS"Bawa sini, Fika!" Perempuan cantik dengan dress putih berbunga itu pun kembali tersentak lalu buru-buru memberikan handphone kesayangannya itu padaku. "Telepon dari siapa? Kamu sudah hapus semua data panggilan hari ini?" Fika kembali terdiam lalu mengambil handphonenya kembali. Tak selang lama, dia memperlihatkan WhatsApp dari mama untukku. [Fika, bibi mau operasi usus buntu sama bayar hutang almarhum papamu di tempat haji Abdullah. Totalnya 30 juta, Fik. Kamu minta tolong suamimu saja. Dia pasti punya banyak uang. Maaf kalau bibi merepotkanmu] "Bibi yang minta?" Fika mengangguk. "Kenapa nggak bilang dari awal kalau bibi minta uang segitu? Dia bilang ada hutang almarhum papa, berapa?" Fika kembali menghela napas lalu menggeleng pelan. "Aku takut bilang sama kamu duluan, Mas. Takutnya kamu nggak izinkan aku transfer uang segitu banyak buat bibi, makanya saat kamu pergi ke rumah ibu langsung aku transfer saja ke rekeningku dulu. Soal hutang almarhum papa aku nggak tahu