Pov : ERIS "Apa-apaan kamu, Fika? Kenapa mengancamku seperti itu? Harusnya kamu bersyukur, aku sudah memaafkan pengkhianatanmu waktu itu. Bahkan aku tetap mau menikahimu lagi dan memberimu kebebasan memakai ATMku." Fika agak shock mendengar suaraku yang meninggi. Tak ingin dia terus protes, kutarik lengannya agar masuk ke mobil. Tak butuh waktu lama kutinggalkan rumah minimalis bapak dan ibu itu begitu saja. Hanin yang biasanya selalu menungguku di teras tiap kali aku keluar rumah, sekarang dia seolah tak peduli. Dia cuek dan memasabodohkan. Entah mengapa mendadak rindu dengan perhatian dan kesetiaannya seperti dulu, sekalipun aku tak pernah menganggapnya ada. "Aku memang bersyukur, Mas. Siapa bilang aku tak bersyukur? Aku hanya mengingatkanmu dengan janji-janjimu sendiri sebelum melamarku kembali." Fika memanyunkan bibirnya. Seperti biasa tiap kali aku marah, justru dia ikut merajuk. "Janji apalagi? Untuk mencintaimu sepenuh hati? Aku sudah lakukan itu. Jangan-jangan justru kamu
POV : ERIS"Hanin itu istimewa, Ris. Dia tipe istri penurut, setia dan tak neko-neko. Dia tak pernah menuntut suaminya dan selalu menerima berapapun nafkah yang diberikan padanya. Coba kamu pikir, apa pernah dia tanya berapa gajimu dan kamu pakai untuk apa saja gajimu? Nggak kan? Dia terlalu patuh dan menerima berapapun pemberianmu. Kamu pasti akan menyesal jika suatu saat nanti berpisah dengannya karena Fika tak akan pernah mungkin bisa sepertinya. Fika terlalu materialistis. Dia memang cantik karena kamu selalu memberikan fasilitas kecantikan untuknya. Kamu jatah skincare, uang salon dan asisten rumah tangga. Sementara Hanin? Apa kamu sudah menyediakan hal yang sama?" Kalimat panjang yang pernah diucapkan Eros kala itu kembali terngiang di benak, membuatku benar-benar tak fokus menyetir. "Mas! Jangan ngelamun terus." Omelan Fika kembali terdengar membuat dadaku berdebar karena nyaris menabrak trotoar. Kuhentikan mobil sejenak ke area parkir mini market. Aku akan membeli minuman di
POV : ERIS"Bawa sini, Fika!" Perempuan cantik dengan dress putih berbunga itu pun kembali tersentak lalu buru-buru memberikan handphone kesayangannya itu padaku. "Telepon dari siapa? Kamu sudah hapus semua data panggilan hari ini?" Fika kembali terdiam lalu mengambil handphonenya kembali. Tak selang lama, dia memperlihatkan WhatsApp dari mama untukku. [Fika, bibi mau operasi usus buntu sama bayar hutang almarhum papamu di tempat haji Abdullah. Totalnya 30 juta, Fik. Kamu minta tolong suamimu saja. Dia pasti punya banyak uang. Maaf kalau bibi merepotkanmu] "Bibi yang minta?" Fika mengangguk. "Kenapa nggak bilang dari awal kalau bibi minta uang segitu? Dia bilang ada hutang almarhum papa, berapa?" Fika kembali menghela napas lalu menggeleng pelan. "Aku takut bilang sama kamu duluan, Mas. Takutnya kamu nggak izinkan aku transfer uang segitu banyak buat bibi, makanya saat kamu pergi ke rumah ibu langsung aku transfer saja ke rekeningku dulu. Soal hutang almarhum papa aku nggak tahu
Pov : ERIS[Sayang, aku pulang sore. Kamu masak di rumah kan? Sudah lama nggak makan masakan kamu, aku kangen] Kukirimkan pesan itu pada Fika. Sejak menikah denganku, aku memang memintanya resign. Berharap dia bisa fokus mengurus Edo dan aku saat di rumah. Sayangnya, keasyikan menjadi wanita karir membuatnya lupa dengan tugas seorang istri untuk membuat suaminya nyaman di rumah. Kupikir saat asisten rumah tangganya pamit pulang kampung dan berhenti bekerja bulan lalu menjadi kesempatan Fika untuk fokus di rumah, tapi ternyata dugaanku salah. Dia memang patuh dengan perintahku untuk resign, tapi tetap nggak mau mengurus rumah dan lebih memilih mencari asisten pengganti. Dia lebih asyik dengan dunianya sendiri dibandingkan dunia nyata di depan mata. [Aku nggak masak, Mas. Mbak Marni sudah masak, ngapain aku repot-repot masak juga? Kalau mau makan, masakan Mbak Marni sudah ada di meja makan. Aku lagi arisan sama temen-temen, pulang agak malam ya, Mas. Edo ada di rumah bibi sama Mbak
Hari ini sidang terakhir. Aku berharap perempuan itu bisa diajak kerja sama lagi seperti sidang-sidang sebelumnya. Nggak ada mediasi, banding dan lain sebagainya karena Mas Eris memang nggak pernah datang ke pengadilan. Aku sengaja membuat Fika kepanasan. Oleh karena itulah dia berusaha keras membuat Mas Eris lupa dengan sidangnya meski berulang kali bilang akan datang dan meminta ajukan banding dan tak memudahkan gugatanku. Nyatanya semua berjalan lancar dan kini tinggal menunggu keputusan cerai saja. [Hari ini sidang terakhirku, Fik. Seperti biasa, kuharap suamimu nggak hadir dalam sidang ini. Terserah bagaimana caramu mencegahnya yang penting sidangku berjalan lancar tanpa hambatan. Aku sudah nggak betah berstatus sebagai madumu] Kembali kukirimkan pesan itu pada Fika agar dia bisa menahan kehadiran Mas Eris dalam sidang terakhir ini. Sejak kemarin Mas Eris memberondongiku beragam pesan yang menanyakan soal gugatan, tapi sengaja tak kubalas dengan jelas agar dia tak bersikeras d
"Bu, sepertinya Hanin mau cari kerja supaya ada kegiatan setiap hari. Bair waktunya lebih bermanfaat daripada di rumah terus nggak ada kerjaan kan?" ,Aku mengawali obrolan saat membantu ibu meracik bumbu untuk memasak tumis kangkung. Ibu menghentikan aktivitasnya sejenak saat mencuci sayuran di wastafel lalu menoleh ke arahku."Kamu kan sudah ngajar les, Nin. Mau cari kerja apalagi memangnya?" Wanita lebih dari setengah abad itu tersenyum saat bersitatap denganku. Wajah teduhnya membuatku merasa lebih tenang dan nyaman saat bersamanya. "Les cuma sore, Bu. Mau cari kerja yang dari pagi sampai sore saja, biar ada kegiatan dan nggak bosen di rumah. Sekarang kan sudah nggak repot nyiapin sarapan atau bekal di pagi hari dan nunggu suami pulang kerja." Ibu kembali menoleh lalu tersenyum tipis. "Maafkan ibu ya, Nin." Ibu menghela napas panjang lalu kembali mencuci sayuran. "Nggak ada yang salah dari ibu, jadi nggak ada yang perlu dimaafkan juga." Aku membalas senyum tipisnya. "Anak ibu
Pagi ini suasana di rumah ibu cukup berbeda. Namun, aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja meski dalam hati tak nyaman. Kedatangan Mas Eris dan Fika membuat ruangan terasa sedikit memanas, apalagi kutahu pere.puan itu memang sengaja membuat suasana semakin panas. Selain itu, Mas Eris dan Mas Eros juga masih saling sikut. Keduanya nyaris tak pernah akur saat bertemu. Meski kembar, sikap kedua laki-laki itu seolah bertolak belakang. Yang satu lebih senang begini, yang satu lebih suka begitu. Mereka kembar, tapi tak sama di banyak hal. Mas Eris sering kali mengusik hidup saudara kembarnya karena dia masih tak terima jika Mas Eros jauh lebih sukses dibandingkan dirinya. Beragam cara dia lakukan untuk menjatuhkan saudaranya. Kedengkian laki-laki itu begitu ketara, membuatku terus beristighfar karena tak menyangka jika Mas Eris setakbahagia itu melihat saudaranya lebih baik darinya. "Bukannya kamu buka angkringan juga, Ros?" tanya Mas Eris setelah sarapan pagi ini usai. "Nggak, Ris.
Seminggu pasca perceraianku dengan Mas Eris, Mas Dani dan keluarga kecilnya datang dari Semarang. Istrinya, Mbak Desy dan anak semata wayang mereka Nora menyalami ibu dan bapak lalu memelukku erat. Sebagai sesama ipar, Mbak Desy memang terang-terangan lebih membelaku dibandingkan Fika. Berbeda dengan adik iparku, Ayu. Dia terlihat jelas lebih menyukai Fika dibandingkan aku, sekalipun dulu perempuan itu sudah mengkhianati kakak kandungnya sendiri. Ayu memang berbeda. Dari ketiga iparku, hanya dia saja yang tak menyukaiku entah apa alasannya. Mas Dani dan Mas Eros lebih terbuka padaku, tapi Ayu ipar Perempuanku satu-satunya justru begitu tertutup dan terlihat menjauh tiap kali aku berusaha mendekatinya. Ibu sempat bilang jika dulu Fika sering memanjakan Ayu dengan barang-barang branded. Mungkin karena itu pula akhirnya mereka dekat dan Ayu selalu termakan ucapan manis Fika sampai detik ini. Aku baru sadar jika Ayu tak pernah mau mengakrabkan diri denganku. Mungkin salah satunya karen
"Mas, boleh minta sesuatu?" tanya Hanin setelah terdiam beberapa saat. Eros begitu setia dan bersabar menunggu Hanin bicara. "Minta apapun boleh, Sayang. Apaa yang nggak buat kamu. Asalkan tak menyalahi aturanNya, InsyaAllah aku berusaha mewujudkan." Eros membingkai wajah istrinya lalu tersenyum tipis."Kita kembali ke makam Tania sebentar saja, boleh? Mumpung masih di sini," tanya Hanin dengan mengedipkan mata seolah memohon agar permintaannya dikabulkan. "Boleh." Eros membalas singkat dengan seulas senyum di kedua sudut bibirnya. "Makasih, Mas." Eros mengangguk lagi. Setelahnya membuka sabuk pengaman Hanin dan mengajaknya turun dari mobil. Sepasang suami istri itu kembali ke tempat semula. Mereka berdiri di depan sebuah makam yang telah berwarna-warni dengan taburan bunga. Hanin dan Eros jongkok di depan makam itu seperti yang dilakukannya beberapa menit lalu. Bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya saat mengusap nisan putih itu. Tania Putri Salsabila binti Danang Saputro.
"Hanin, Eros, kalian di sini?" tanya Delima saat melihat Hanin dan Eros di depan makam Tania. Hanin yang masih memejamkan mata sembari merapalkan doa pun mendongak. Dia menatap Delima yang sudah berdiri di sampingnya."Tante Delima ...." Hanin beranjak dari tempatnya berjongkok lalu menyalami Delima, sementara Eros sedikit membungkuk sebagai pengganti jabat tangan. Eros belajar banyak dari Hanin yang tak mau bersentuhan dengan non mahram. "Maafkan saya yang baru datang ke pemakaman Tania, Tante," lirih Hanin setelah kedua perempuan itu mengurai pelukan. Delima mengusap lengan Hanin pelan lalu menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Nin. Tante tahu kamu baru saja melahirkan. Pamali kalau datang ke pemakaman sebelum masa nifas usai. Hanin mengangguk sembari tersenyum tipis menatap Delima yang berkaca. "Om Danang nggak ikut, Tante?" tanya Hanin setelah menyadari jika Delima datang sendirian ke pemakaman ini. "Papanya Tania ke kantor, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kebetulan T
[Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan Tania sekarang?]Sudah tiga kali Hanin mengirimkan pesan yang sama pada ibunya, tapi sampai saat ini belum ada balasan apapun. Eros juga sudah menelepon Eris, tapi tak diangkat bahkan pesannya pun belum dibaca. Hanin dan Eros tak tenang. Mereka curiga ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Tania, tapi tak mungkin pergi sekarang karena Arkana baru saja aqiqah dan masih ada beberapa tamu di rumah. "Gimana, Mas?" tanya Hanin pada Eros yang baru masuk ke kamar mereka. Eros menggeleng pelan lalu mengusap lengan istrinya. "Nggak apa-apa, Sayang. Mungkin ibu sama Eris masih menjaga orang tua Tania. Jadi, mereka nggak sempat membuka handphone. Nanti kalau sudah longgar pasti menghubungi kita," ucap Eros dengan senyum tipisnya. Dia berusaha menenangkan Hanin yang terus gelisah. "Eros benar, Nin. Kamu tenang saja. Nanti ibu juga telepon," ucap Desy, kakak iparnya yang masuk kamar sembari menggendong Arkana. Desy tersenyum lalu menidurkan Arkan di
"Tania? Mana Tania, Del?" tanya Yuningsih mengikuti pandangan Delima ke area jalan raya. "Itu, Mbak. Dia tersenyum menatapku," balas Delima lagi. Salah satu jemarinya kembali menunjuk ke arah jalan. "Nggak ada, Del. Tania sudah pergi. Dia kembali ke pangkuanNya, Del. Ikhlaskan kepergiannya ya, supaya dia juga bisa tenang di sana." Yuningsih mengusap lengan Delima lalu kembali memeluknya. "Tania masih ada, Mbak. Dia bilang akan mengajakku dan Mas Danang jalan-jalan ke taman kota. Dia pasti sudah menunggu di rumah kan?" lirih Delima lagi. Air matanya masih bercucuran. Delima benar-benar belum bisa menerima kenyataan jika Tania telah tiada. Delima merasa jika anak angkatnya itu masih ada bersamanya bahkan kini menunggunya di rumah. Berulang kali Yuningsih menjelaskan, berulang kali pula Delima bersikukuh dengan ucapannya. "Tante, Tania sudah pergi. Om dan papa masih mengurus jenazahnya. Nanti kita makamkan bersama ya? Tak apa jika sekarang Tante belum bisa menerima ini semua, tapi k
Dokter Erwin keluar dari UGD. Dia mencari keluarga pasien yang ditanganinya saat ini. Danang dan Delima yang berada tak jauh dari ruangan itu pun saling tatap lalu buru-buru beranjak dari kursi. Mereka melangkah tergesa menghampiri sang dokter. Keduanya tak sabar ingin mendengar penjelasan dokter tentang keadaan Tania saat ini. "Keluarga pasien Tania?" tanya Dokter Erwin saat Danang dan Delima sampai di dekatnya. Sepasang suami istri itu mengangguk bersamaan. "Benar dokter. Kami orang tua Tania. Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" tanya Delima sedikit terbata. Dokter Erwin menghela napas panjang lalu menatap Danang dan Delima dengan sorot mata berbeda. Ada mendung di kedua matanya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, Bu, tapi Allah berkehendak lain," ucap dokter lirih, tapi cukup jelas terdengar. Delima shock. Dia tak sanggup mendengarkan ucapan dokter selanjutnya. Wanita itu menangis histeris. Tubuhnya lemas dan luruh di lantai begitu saja. Danang yang berada di samping
"Ya Allah Tania kenapa, Tante? Padahal tadi tampak bersemangat dan ceria. Kenapa mendadak seperti ini?" Hanin kembali gugup dan terkejut melihat perubahan drastis perempuan di sampingnya. Tania benar-benar tampak lemas dan tak berdaya. "Tania memang begitu, Nin. Dia selalu berusaha kuat dan baik-baik saja makanya selama ini Tante dan Om juga nggak tahu kalau sakitnya sudah separah ini. Dia pintar menyembunyikan semuanya dan tak ingin melihat orang lain kerepotan." Delima mengoles minyak angin di kening Tania, tapi tak ada efek apapun karena Tania tetap terdiam."Maafkan kami, Nin. Kami harus bawa Tania ke rumah sakit," ujar Danang kemudian.Hanin mengiyakan dan mendoakan yang terbaik untuk Tania. Eros dan Eris pun ikut membantu Danang membawa Tania ke mobilnya. Ahmad, Yuningsih dan Eris ikut mengantar Tania ke rumah sakit. Sementara Rukmini dan Eros tetap di rumah menemani Hanin. Bahkan Hana pun ingin menginap di rumah sahabatnya itu."Semoga Tania baik-baik saja," lirih Hanin saat m
Hari ini acara syukuran kelahiran Arkana Bima Atharrazka, anak pertama Hanin dan Eros. Bayi mungil itu tampan dan lucu. Dia begitu menggemaskan, membuat kedua orang tuanya semakin bahagia. Saat ini, dua keluarga berkumpul di rumah Eros, termasuk keluarga kakaknya Dani dari Semarang dan adiknya perempuannya, Ayu. Sejak pernikahan Eros dan Hanin, apalagi setelah Fika masuk penjara, Ayu tak kembali ikut campur masalah Hanin. Mungkin dia malu atau tak enak hati jika terus menghina kakak iparnya itu, apalagi setelah dia tahu jika ternyata kedua kakak kembarnya mencintai orang yang sama. Mereka sama-sama menyukai Hanin, perempuan yang selama ini dibenci dan selalu dihinanya. Bukan tanpa alasan Ayu selalu menyudutkan Hanin di setiap waktu dan kesempatan. Dia selalu berpikir jika Hanin tak pantas menjadi bagian dari keluarganya. "Selamat ya, Nin. Semoga jagoan kecil ini bisa menjadi anak yang shaleh dan sukses dunia akhirat. Mbak mendoakan yang terbaik buat kalian." Desy, istri Dani yang k
Waktu terus bergulir dan kini hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Hanin mulai kewalahan dengan perutnya yang membesar dan cukup susah untuk digerakkan. Dia sering begadang tiap malam karena susah tidur. Entah mengapa mata susah diajak kompromi. Rasanya nggak nyaman. Miring susah, terlentang nggak enak dan nggak mungkin tengkurap juga kan?Sudah tiga hari belakangan Eros tak memeriksa cafe maupun bisnis ekspedisinya. Dia ingin fokus mengurus dan menemani Hanin jika melahirkan sewaktu-waktu. Eros tak ingin kehilangan momen penting dalam hidupnya. Dia benar-benar berharap bisa menemani dan memberi dukungan pada Hanin saat persalinan nanti. "Istrimu lama sekali di kamar mandi, Ros. Cek sana. Ibu takut dia kepleset atau kenapa-kenapa. Perutnya sudah segede itu soalnya." Rukmini baru saja memerintah. Tak selang lama, suara Hanin dari kamar mandi membuat menantu dan mertua itu shock seketika. "Hanin!" teriak keduanya bersamaan lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Benar kata Rukmi
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan