POV : ERIS"Bawa sini, Fika!" Perempuan cantik dengan dress putih berbunga itu pun kembali tersentak lalu buru-buru memberikan handphone kesayangannya itu padaku. "Telepon dari siapa? Kamu sudah hapus semua data panggilan hari ini?" Fika kembali terdiam lalu mengambil handphonenya kembali. Tak selang lama, dia memperlihatkan WhatsApp dari mama untukku. [Fika, bibi mau operasi usus buntu sama bayar hutang almarhum papamu di tempat haji Abdullah. Totalnya 30 juta, Fik. Kamu minta tolong suamimu saja. Dia pasti punya banyak uang. Maaf kalau bibi merepotkanmu] "Bibi yang minta?" Fika mengangguk. "Kenapa nggak bilang dari awal kalau bibi minta uang segitu? Dia bilang ada hutang almarhum papa, berapa?" Fika kembali menghela napas lalu menggeleng pelan. "Aku takut bilang sama kamu duluan, Mas. Takutnya kamu nggak izinkan aku transfer uang segitu banyak buat bibi, makanya saat kamu pergi ke rumah ibu langsung aku transfer saja ke rekeningku dulu. Soal hutang almarhum papa aku nggak tahu
Pov : ERIS[Sayang, aku pulang sore. Kamu masak di rumah kan? Sudah lama nggak makan masakan kamu, aku kangen] Kukirimkan pesan itu pada Fika. Sejak menikah denganku, aku memang memintanya resign. Berharap dia bisa fokus mengurus Edo dan aku saat di rumah. Sayangnya, keasyikan menjadi wanita karir membuatnya lupa dengan tugas seorang istri untuk membuat suaminya nyaman di rumah. Kupikir saat asisten rumah tangganya pamit pulang kampung dan berhenti bekerja bulan lalu menjadi kesempatan Fika untuk fokus di rumah, tapi ternyata dugaanku salah. Dia memang patuh dengan perintahku untuk resign, tapi tetap nggak mau mengurus rumah dan lebih memilih mencari asisten pengganti. Dia lebih asyik dengan dunianya sendiri dibandingkan dunia nyata di depan mata. [Aku nggak masak, Mas. Mbak Marni sudah masak, ngapain aku repot-repot masak juga? Kalau mau makan, masakan Mbak Marni sudah ada di meja makan. Aku lagi arisan sama temen-temen, pulang agak malam ya, Mas. Edo ada di rumah bibi sama Mbak
Hari ini sidang terakhir. Aku berharap perempuan itu bisa diajak kerja sama lagi seperti sidang-sidang sebelumnya. Nggak ada mediasi, banding dan lain sebagainya karena Mas Eris memang nggak pernah datang ke pengadilan. Aku sengaja membuat Fika kepanasan. Oleh karena itulah dia berusaha keras membuat Mas Eris lupa dengan sidangnya meski berulang kali bilang akan datang dan meminta ajukan banding dan tak memudahkan gugatanku. Nyatanya semua berjalan lancar dan kini tinggal menunggu keputusan cerai saja. [Hari ini sidang terakhirku, Fik. Seperti biasa, kuharap suamimu nggak hadir dalam sidang ini. Terserah bagaimana caramu mencegahnya yang penting sidangku berjalan lancar tanpa hambatan. Aku sudah nggak betah berstatus sebagai madumu] Kembali kukirimkan pesan itu pada Fika agar dia bisa menahan kehadiran Mas Eris dalam sidang terakhir ini. Sejak kemarin Mas Eris memberondongiku beragam pesan yang menanyakan soal gugatan, tapi sengaja tak kubalas dengan jelas agar dia tak bersikeras d
"Bu, sepertinya Hanin mau cari kerja supaya ada kegiatan setiap hari. Bair waktunya lebih bermanfaat daripada di rumah terus nggak ada kerjaan kan?" ,Aku mengawali obrolan saat membantu ibu meracik bumbu untuk memasak tumis kangkung. Ibu menghentikan aktivitasnya sejenak saat mencuci sayuran di wastafel lalu menoleh ke arahku."Kamu kan sudah ngajar les, Nin. Mau cari kerja apalagi memangnya?" Wanita lebih dari setengah abad itu tersenyum saat bersitatap denganku. Wajah teduhnya membuatku merasa lebih tenang dan nyaman saat bersamanya. "Les cuma sore, Bu. Mau cari kerja yang dari pagi sampai sore saja, biar ada kegiatan dan nggak bosen di rumah. Sekarang kan sudah nggak repot nyiapin sarapan atau bekal di pagi hari dan nunggu suami pulang kerja." Ibu kembali menoleh lalu tersenyum tipis. "Maafkan ibu ya, Nin." Ibu menghela napas panjang lalu kembali mencuci sayuran. "Nggak ada yang salah dari ibu, jadi nggak ada yang perlu dimaafkan juga." Aku membalas senyum tipisnya. "Anak ibu
Pagi ini suasana di rumah ibu cukup berbeda. Namun, aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja meski dalam hati tak nyaman. Kedatangan Mas Eris dan Fika membuat ruangan terasa sedikit memanas, apalagi kutahu pere.puan itu memang sengaja membuat suasana semakin panas. Selain itu, Mas Eris dan Mas Eros juga masih saling sikut. Keduanya nyaris tak pernah akur saat bertemu. Meski kembar, sikap kedua laki-laki itu seolah bertolak belakang. Yang satu lebih senang begini, yang satu lebih suka begitu. Mereka kembar, tapi tak sama di banyak hal. Mas Eris sering kali mengusik hidup saudara kembarnya karena dia masih tak terima jika Mas Eros jauh lebih sukses dibandingkan dirinya. Beragam cara dia lakukan untuk menjatuhkan saudaranya. Kedengkian laki-laki itu begitu ketara, membuatku terus beristighfar karena tak menyangka jika Mas Eris setakbahagia itu melihat saudaranya lebih baik darinya. "Bukannya kamu buka angkringan juga, Ros?" tanya Mas Eris setelah sarapan pagi ini usai. "Nggak, Ris.
Seminggu pasca perceraianku dengan Mas Eris, Mas Dani dan keluarga kecilnya datang dari Semarang. Istrinya, Mbak Desy dan anak semata wayang mereka Nora menyalami ibu dan bapak lalu memelukku erat. Sebagai sesama ipar, Mbak Desy memang terang-terangan lebih membelaku dibandingkan Fika. Berbeda dengan adik iparku, Ayu. Dia terlihat jelas lebih menyukai Fika dibandingkan aku, sekalipun dulu perempuan itu sudah mengkhianati kakak kandungnya sendiri. Ayu memang berbeda. Dari ketiga iparku, hanya dia saja yang tak menyukaiku entah apa alasannya. Mas Dani dan Mas Eros lebih terbuka padaku, tapi Ayu ipar Perempuanku satu-satunya justru begitu tertutup dan terlihat menjauh tiap kali aku berusaha mendekatinya. Ibu sempat bilang jika dulu Fika sering memanjakan Ayu dengan barang-barang branded. Mungkin karena itu pula akhirnya mereka dekat dan Ayu selalu termakan ucapan manis Fika sampai detik ini. Aku baru sadar jika Ayu tak pernah mau mengakrabkan diri denganku. Mungkin salah satunya karen
"Coba bilang sekali lagi?!" Fika bersedekap sembari menatap tajam Mbak Desy yang masih bergeming di tempat duduknya. "Yakin mau dengar lagi?!" tanya perempuan itu santai, tanpa menoleh. Belum sempat menjawab, Mbak Desy beranjak dari kursi lalu menatap balik Fika yang semakin tersulut emosi. "Dengar baik-baik, Nyonya Fika yang konon perempuan cantik dan smart. Menurutku, perempuan cantik, sukses dan smart itu bukan perebut laki orang, tapi dia yang bisa menjaga harga dirinya sendiri. Jangan pernah bangga disebut smart karena kamu nggak pantas mendapatkan gelar itu. Statusmu sebagai pelakor tak akan pernah lenyap sampai kamu tutup usia. Paham?!" Mbak Desy mendorong pelan bahu Fika dengan telunjuknya, sementara tangan kirinya menyangga siku. Beberapa tamu yang sudah datang kembali berbisik. Mereka menatapku dan Fika bergantian. Sepertinya mulai paham jika Mas Eris adalah mantan suamiku yang kini kembali bersama Fika. "Keterlaluan kamu, Des!" sentak perempuan itu nyaris menampar pipi
"Tania?" Mas Eros memanggil nama perempuan itu. Perempuan bernama Tania itupun menoleh lalu tersenyum tipis menatap Mas Eros. Tanpa basa basi dan tanpa malu langsung cipika-cipiki dengan lelaki di sampingku itu di depan banyak orang. Mungkin hal itu sudah lumrah dilakukannya, tapi bagiku tidak. Mereka bukan mahram dan itu jelas dilarang dalam agama. Aku hanya menghela napas panjang tanpa bisa berbuat apapun karena bukan ranahku. "Tan." Mas Eros berusaha mendorong tubuh perempuan itu saat aku mengalihkan pandangan. Mungkin Mas Eros sadar jika aku tak suka dengan cara salam seperti itu. Mas Eros sedikit canggung saat menatapku, tapi aku pura-pura tak melihat dan lebih memilih untuk membalas pertanyaan Mbak Desy di sampingku. Mantan kakak iparku itu tahu apa yang kurasakan, makanya gegas mengambil tindakan. Dia menarikku kembali ke kursi lalu mengajakku foto bersama seolah tak terjadi apa-apa. "Kamu mantan kekasih Eros? Sejak kapan, kok Eros nggak pernah cerita sama ibu." Aku tak me