"Tania?" Mas Eros memanggil nama perempuan itu. Perempuan bernama Tania itupun menoleh lalu tersenyum tipis menatap Mas Eros. Tanpa basa basi dan tanpa malu langsung cipika-cipiki dengan lelaki di sampingku itu di depan banyak orang. Mungkin hal itu sudah lumrah dilakukannya, tapi bagiku tidak. Mereka bukan mahram dan itu jelas dilarang dalam agama. Aku hanya menghela napas panjang tanpa bisa berbuat apapun karena bukan ranahku. "Tan." Mas Eros berusaha mendorong tubuh perempuan itu saat aku mengalihkan pandangan. Mungkin Mas Eros sadar jika aku tak suka dengan cara salam seperti itu. Mas Eros sedikit canggung saat menatapku, tapi aku pura-pura tak melihat dan lebih memilih untuk membalas pertanyaan Mbak Desy di sampingku. Mantan kakak iparku itu tahu apa yang kurasakan, makanya gegas mengambil tindakan. Dia menarikku kembali ke kursi lalu mengajakku foto bersama seolah tak terjadi apa-apa. "Kamu mantan kekasih Eros? Sejak kapan, kok Eros nggak pernah cerita sama ibu." Aku tak me
"Kamu nggak apa-apa, Nin?" Mas Eros mengajakku duduk di taman yang tak jauh dari tempat resepsi pernikahan Feni. Ada bangku panjang di sana. Sepertinya menjadi tempat nongkrong anak-anak muda. "Nggak kok, Mas. Sejak dulu, aku terbiasa dihina seperti itu. Rasanya sudah kebal. Sebenarnya aku cuma nggak suka jadi pusat perhatian orang banyak saja. Malu." Aku mencoba tersenyum meski dalam hati rasa sakit itu tetap ada, apalagi yang menghinaku justru mantan suamiku sendiri. "Yakin?" tanya Mas Eros dengan tatapan tajamnya. Aku kembali mengangguk. "Tunggu di sini sebentar ya?" "Mau kemana, Mas?" Aku ikut beranjak dari bangku saat Mas Eros melangkah tergesa ke seberang jalan."Tunggu di situ saja. Nggak akan lama," ujarnya sembari melambaikan tangannya ke arahku. Tak ingin membantah, aku pun mengiyakan saja. Kembali duduk di bangku sembari memeriksa handphone. Ada banyak pesan terkirim ke WhatsApp. Salah satunya dari perempuan yang sudah merebut suamiku itu. Aku tak membacanya, entah ump
"Eh, kalian pergi kemana tadi?" Fika bertanya entah pada siapa. Aku sengaja cuek dan pura-pura tak mendengar pertanyaannya. "Kamu nggak tuli kan, Nin?" Pertanyaan Fika kali ini membuatku menoleh. Lagi-lagi dia perempuan itu tersenyum sinis ke arahku. "Oh, kamu tanya sama aku? Kupikir lagi ngobrol sama angin. Soalnya aku nggak merasa ditanya. Namaku Hanin, bukan Eh." Fika tersenyum sinis sembari memutar bola mata. Malas. Ibu dan bapak yang sudah duduk di jok belakang mobil Mas Eros pun membuka kaca jendela lalu melambaikan tangannya ke arahku. "Hanin, ayo pulang. Jangan bikin keributan lagi. Biar saja mereka kalau mau berdebat, kamu nggak usah ikutan." Ibu memintaku segera masuk mobil dan tak perlu meladeni mereka bertiga. Aku pun mengangguk saja lalu melangkah perlahan meninggalkan mereka. "Mobil baru, Ros?" Tania meneliti mobil milik Mas Eros sembari menurunkan kaca matanya. "Mas, kamu juga mau beliin mobil baru kan?" Mas Eris sedikit tersedak mendengar permintaan istrinya. Tib
[Nggak tahu malu. Sudah cerai sama anaknya kok masih tinggal di rumah mantan mertuanya. Katanya perempuan alim dan tahu agama, masa begitu saja nggak paham. Serumah sama ipar saja nggak boleh, ini mantan ipar malah tinggal satu atap. Sengaja ya, supaya mantan ipar tertarik?] Status WhatsApp Fika jelas tertuju padaku. Aku tak membalas, hanya membacanya sekilas. Daripada nambah pikiran, aku blokir saja nomornya. Kalau nanti dia kirim pesan dengan nomor baru lagi, aku pun akan memblokirnya lagi. Sudah dibilang aku di sini sampai masa iddah selesai, setelah itu akan balik ke rumah ibu. Dia tetap saja dengki. Mungkin nggak rela jika Mas Eros terang-terangan mendekatiku atau bisa jadi Fika iri karena lelaki yang mendekatiku jauh lebih baik dibandingkan suaminya itu. Iseng saja kubuat status di WhatsApp meski perempuan itu tak bisa membaca statusku karena sudah kublokir. Barang kali dibaca Mas Eris, biar dia sadar kalau sikapnya selama ini pada Mas Eros terlalu berlebihan dan tak dibenark
Dua koper sudah siap di samping pintu. Semua barang-barang yang kupunya lengkap di dalamnya. Beberapa barang tak terpakai pun sudah kumasukkan kresek besar untuk dibuang. Kamar ini terasa lengang. Hanya ada beberapa baju dan barang-barang milik Mas Eris yang tertinggal. Foto pernikahanku dengannya yang terpajang di dinding kamar pun sudah kuturunkan dan kumasukkan ke kresek agar bisa dibakar bapak. Kuhela napas panjang sembari meneliti kembali tiap sudut kamar yang menyimpan banyak kenangan sejak aku datang hingga detik ini. Meskipun kebanyakan kenangan pahit yang kuterima, setidaknya aku bisa belajar banyak hal dari tiap jengkalnya. "Hanin ... ibu mau bicara." Suara ketukan di pintu kamar membuatku terjaga. Entah apa yang akan dibicarakan ibu padaku. Mungkin permintaannya tentang Mas Eros lagi dan lagi. Aku memang mengagumi laki-laki itu, tapi untuk melangkah ke jenjang lebih lanjut aku masih ragu. Wajar bukan? Aku baru saja bercerai dan melepas masa iddah, masa iya langsung meni
Bapak memang tipe laki-laki yang jarang banyak bicara, tapi sekalinya bicara sangat tegas dan nggak mau dibantah. Anak-anaknya pun paham dan menghormati hingga semua diam seketika saat bapak mulai beraksi. "Ada masalah apa, Ris, Fika? Kenapa kalian ribut lagi? Seharusnya pernikahan kalian yang pertama itu dijadikan pengalaman dan pembelajaran di pernikahan kedua ini. Ambil hikmahnya, bukan malah dilanjutkan cekcoknya." Bapak menatap sepasang suami istri yang sudah duduk di sofa ruang tengah itu bergantian. Mereka kini menunduk dalam diam. "Menikah dengan siapapun pasti ada saja masalah yang datang. Jangan sampai tiap kali ada masalah dihadapi dengan pertengkaran dan perpisahan. Mau menikah sampai berapa kali kalau tiap ketidakcocokan diakhiri dengan selingkuh dan cerai?" Kalimat bapak cukup menohok, membuat keduanya tersentak lalu saling tatap. "Semua ini gara-gara Fika, Pak." Laki-laki itu menyahut dan menyalahkan istrinya. "Aku nggak akan begini kalau kamu bertanggungjawab sebag
"Kamu sudah lepas masa iddah kan, Nin? Kalau sudah lepas seharusnya pergi dari rumah ini dong, masa masih nongkrong di sini terus. Kamu kan bukan tanggungjawab bapak dan ibu lagi, jelas sudah orang lain," ujar Fika saat membantuku membereskan dapur. Belum sempat kujawab, ibu tiba-tiba muncul dari belakang. "Kenapa memangnya kalau Hanin masih tinggal di sini, Fik? Ibu yang minta dia untuk menginap di sini malam ini. Besok boleh pulang ke rumah," balas ibu cepat membuat wajah Fika memerah. "Tapi Hanin sudah bukan bagian dari keluarga ini loh, Bu. Nggak enak dilihat tetangga, masa sudah berpisah dengan anak lelaki ibu, tapi dia masih tinggal di sini." Fika kembali berkomentar dan berusaha mengelabuhi ibu. "Kalau ada yang komentar negatif soal Hanin, biar ibu yang balas. Dia juga ingin pergi, lihat itu kopernya di depan kamar, tapi ibu minta dia menginap malam ini saja. Jadi, kamu nggak perlu mengurusi soal Hanin, biar ibu saja yang urus." Ibu terlihat kesal mendengar pertanyaan Fika y
Aku memilih duduk di teras belakang sembari melihat kolam koi kecil di sana dibandingkan harus bertemu dengan Fika di ruang keluarga. Aku benar-benar malas selalu ribut dengan perempuan itu. Malu juga dilihat bapak dan ibu, seolah kami terlalu kekanak-kanakan. Mendadak teringat pesan ibu semalam yang akan menungguku pulang. Gegas kukirimkan pesan singkat untuknya. [Maaf, Bu. Hari ini Hanin nggak jadi pulang. Ibu dan bapak meminta Hanin untuk menginap di sini semalam saja. InsyaAllah besok mereka mengantar Hanin pulang. Sekalian ada yang akan mereka dibicarakan sama ibu, katanya] "Nin, jadi pulang besok kan?" Suara Mas Eros cukup mengagetkan. Aku mengangguk pelan, membiarkan laki-laki itu duduk di kursi rotan tak jauh dari tempat dudukku. Ada meja kecil di tengah sebagai pembatas antara aku dan dia. "Soal Fika, jangan terlalu dipikir pusing. Kamu pasti juga sudah hafal bagaimana karakternya kan?" ucap Mas Eros lagi. Aku kembali menoleh ke arahnya lalu tersenyum tipis. "Iya, Mas. Te
"Mas, boleh minta sesuatu?" tanya Hanin setelah terdiam beberapa saat. Eros begitu setia dan bersabar menunggu Hanin bicara. "Minta apapun boleh, Sayang. Apaa yang nggak buat kamu. Asalkan tak menyalahi aturanNya, InsyaAllah aku berusaha mewujudkan." Eros membingkai wajah istrinya lalu tersenyum tipis."Kita kembali ke makam Tania sebentar saja, boleh? Mumpung masih di sini," tanya Hanin dengan mengedipkan mata seolah memohon agar permintaannya dikabulkan. "Boleh." Eros membalas singkat dengan seulas senyum di kedua sudut bibirnya. "Makasih, Mas." Eros mengangguk lagi. Setelahnya membuka sabuk pengaman Hanin dan mengajaknya turun dari mobil. Sepasang suami istri itu kembali ke tempat semula. Mereka berdiri di depan sebuah makam yang telah berwarna-warni dengan taburan bunga. Hanin dan Eros jongkok di depan makam itu seperti yang dilakukannya beberapa menit lalu. Bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya saat mengusap nisan putih itu. Tania Putri Salsabila binti Danang Saputro.
"Hanin, Eros, kalian di sini?" tanya Delima saat melihat Hanin dan Eros di depan makam Tania. Hanin yang masih memejamkan mata sembari merapalkan doa pun mendongak. Dia menatap Delima yang sudah berdiri di sampingnya."Tante Delima ...." Hanin beranjak dari tempatnya berjongkok lalu menyalami Delima, sementara Eros sedikit membungkuk sebagai pengganti jabat tangan. Eros belajar banyak dari Hanin yang tak mau bersentuhan dengan non mahram. "Maafkan saya yang baru datang ke pemakaman Tania, Tante," lirih Hanin setelah kedua perempuan itu mengurai pelukan. Delima mengusap lengan Hanin pelan lalu menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Nin. Tante tahu kamu baru saja melahirkan. Pamali kalau datang ke pemakaman sebelum masa nifas usai. Hanin mengangguk sembari tersenyum tipis menatap Delima yang berkaca. "Om Danang nggak ikut, Tante?" tanya Hanin setelah menyadari jika Delima datang sendirian ke pemakaman ini. "Papanya Tania ke kantor, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kebetulan T
[Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan Tania sekarang?]Sudah tiga kali Hanin mengirimkan pesan yang sama pada ibunya, tapi sampai saat ini belum ada balasan apapun. Eros juga sudah menelepon Eris, tapi tak diangkat bahkan pesannya pun belum dibaca. Hanin dan Eros tak tenang. Mereka curiga ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Tania, tapi tak mungkin pergi sekarang karena Arkana baru saja aqiqah dan masih ada beberapa tamu di rumah. "Gimana, Mas?" tanya Hanin pada Eros yang baru masuk ke kamar mereka. Eros menggeleng pelan lalu mengusap lengan istrinya. "Nggak apa-apa, Sayang. Mungkin ibu sama Eris masih menjaga orang tua Tania. Jadi, mereka nggak sempat membuka handphone. Nanti kalau sudah longgar pasti menghubungi kita," ucap Eros dengan senyum tipisnya. Dia berusaha menenangkan Hanin yang terus gelisah. "Eros benar, Nin. Kamu tenang saja. Nanti ibu juga telepon," ucap Desy, kakak iparnya yang masuk kamar sembari menggendong Arkana. Desy tersenyum lalu menidurkan Arkan di
"Tania? Mana Tania, Del?" tanya Yuningsih mengikuti pandangan Delima ke area jalan raya. "Itu, Mbak. Dia tersenyum menatapku," balas Delima lagi. Salah satu jemarinya kembali menunjuk ke arah jalan. "Nggak ada, Del. Tania sudah pergi. Dia kembali ke pangkuanNya, Del. Ikhlaskan kepergiannya ya, supaya dia juga bisa tenang di sana." Yuningsih mengusap lengan Delima lalu kembali memeluknya. "Tania masih ada, Mbak. Dia bilang akan mengajakku dan Mas Danang jalan-jalan ke taman kota. Dia pasti sudah menunggu di rumah kan?" lirih Delima lagi. Air matanya masih bercucuran. Delima benar-benar belum bisa menerima kenyataan jika Tania telah tiada. Delima merasa jika anak angkatnya itu masih ada bersamanya bahkan kini menunggunya di rumah. Berulang kali Yuningsih menjelaskan, berulang kali pula Delima bersikukuh dengan ucapannya. "Tante, Tania sudah pergi. Om dan papa masih mengurus jenazahnya. Nanti kita makamkan bersama ya? Tak apa jika sekarang Tante belum bisa menerima ini semua, tapi k
Dokter Erwin keluar dari UGD. Dia mencari keluarga pasien yang ditanganinya saat ini. Danang dan Delima yang berada tak jauh dari ruangan itu pun saling tatap lalu buru-buru beranjak dari kursi. Mereka melangkah tergesa menghampiri sang dokter. Keduanya tak sabar ingin mendengar penjelasan dokter tentang keadaan Tania saat ini. "Keluarga pasien Tania?" tanya Dokter Erwin saat Danang dan Delima sampai di dekatnya. Sepasang suami istri itu mengangguk bersamaan. "Benar dokter. Kami orang tua Tania. Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" tanya Delima sedikit terbata. Dokter Erwin menghela napas panjang lalu menatap Danang dan Delima dengan sorot mata berbeda. Ada mendung di kedua matanya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, Bu, tapi Allah berkehendak lain," ucap dokter lirih, tapi cukup jelas terdengar. Delima shock. Dia tak sanggup mendengarkan ucapan dokter selanjutnya. Wanita itu menangis histeris. Tubuhnya lemas dan luruh di lantai begitu saja. Danang yang berada di samping
"Ya Allah Tania kenapa, Tante? Padahal tadi tampak bersemangat dan ceria. Kenapa mendadak seperti ini?" Hanin kembali gugup dan terkejut melihat perubahan drastis perempuan di sampingnya. Tania benar-benar tampak lemas dan tak berdaya. "Tania memang begitu, Nin. Dia selalu berusaha kuat dan baik-baik saja makanya selama ini Tante dan Om juga nggak tahu kalau sakitnya sudah separah ini. Dia pintar menyembunyikan semuanya dan tak ingin melihat orang lain kerepotan." Delima mengoles minyak angin di kening Tania, tapi tak ada efek apapun karena Tania tetap terdiam."Maafkan kami, Nin. Kami harus bawa Tania ke rumah sakit," ujar Danang kemudian.Hanin mengiyakan dan mendoakan yang terbaik untuk Tania. Eros dan Eris pun ikut membantu Danang membawa Tania ke mobilnya. Ahmad, Yuningsih dan Eris ikut mengantar Tania ke rumah sakit. Sementara Rukmini dan Eros tetap di rumah menemani Hanin. Bahkan Hana pun ingin menginap di rumah sahabatnya itu."Semoga Tania baik-baik saja," lirih Hanin saat m
Hari ini acara syukuran kelahiran Arkana Bima Atharrazka, anak pertama Hanin dan Eros. Bayi mungil itu tampan dan lucu. Dia begitu menggemaskan, membuat kedua orang tuanya semakin bahagia. Saat ini, dua keluarga berkumpul di rumah Eros, termasuk keluarga kakaknya Dani dari Semarang dan adiknya perempuannya, Ayu. Sejak pernikahan Eros dan Hanin, apalagi setelah Fika masuk penjara, Ayu tak kembali ikut campur masalah Hanin. Mungkin dia malu atau tak enak hati jika terus menghina kakak iparnya itu, apalagi setelah dia tahu jika ternyata kedua kakak kembarnya mencintai orang yang sama. Mereka sama-sama menyukai Hanin, perempuan yang selama ini dibenci dan selalu dihinanya. Bukan tanpa alasan Ayu selalu menyudutkan Hanin di setiap waktu dan kesempatan. Dia selalu berpikir jika Hanin tak pantas menjadi bagian dari keluarganya. "Selamat ya, Nin. Semoga jagoan kecil ini bisa menjadi anak yang shaleh dan sukses dunia akhirat. Mbak mendoakan yang terbaik buat kalian." Desy, istri Dani yang k
Waktu terus bergulir dan kini hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Hanin mulai kewalahan dengan perutnya yang membesar dan cukup susah untuk digerakkan. Dia sering begadang tiap malam karena susah tidur. Entah mengapa mata susah diajak kompromi. Rasanya nggak nyaman. Miring susah, terlentang nggak enak dan nggak mungkin tengkurap juga kan?Sudah tiga hari belakangan Eros tak memeriksa cafe maupun bisnis ekspedisinya. Dia ingin fokus mengurus dan menemani Hanin jika melahirkan sewaktu-waktu. Eros tak ingin kehilangan momen penting dalam hidupnya. Dia benar-benar berharap bisa menemani dan memberi dukungan pada Hanin saat persalinan nanti. "Istrimu lama sekali di kamar mandi, Ros. Cek sana. Ibu takut dia kepleset atau kenapa-kenapa. Perutnya sudah segede itu soalnya." Rukmini baru saja memerintah. Tak selang lama, suara Hanin dari kamar mandi membuat menantu dan mertua itu shock seketika. "Hanin!" teriak keduanya bersamaan lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Benar kata Rukmi
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan