"Bu, sepertinya Hanin mau cari kerja supaya ada kegiatan setiap hari. Bair waktunya lebih bermanfaat daripada di rumah terus nggak ada kerjaan kan?" ,Aku mengawali obrolan saat membantu ibu meracik bumbu untuk memasak tumis kangkung. Ibu menghentikan aktivitasnya sejenak saat mencuci sayuran di wastafel lalu menoleh ke arahku."Kamu kan sudah ngajar les, Nin. Mau cari kerja apalagi memangnya?" Wanita lebih dari setengah abad itu tersenyum saat bersitatap denganku. Wajah teduhnya membuatku merasa lebih tenang dan nyaman saat bersamanya. "Les cuma sore, Bu. Mau cari kerja yang dari pagi sampai sore saja, biar ada kegiatan dan nggak bosen di rumah. Sekarang kan sudah nggak repot nyiapin sarapan atau bekal di pagi hari dan nunggu suami pulang kerja." Ibu kembali menoleh lalu tersenyum tipis. "Maafkan ibu ya, Nin." Ibu menghela napas panjang lalu kembali mencuci sayuran. "Nggak ada yang salah dari ibu, jadi nggak ada yang perlu dimaafkan juga." Aku membalas senyum tipisnya. "Anak ibu
Pagi ini suasana di rumah ibu cukup berbeda. Namun, aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja meski dalam hati tak nyaman. Kedatangan Mas Eris dan Fika membuat ruangan terasa sedikit memanas, apalagi kutahu pere.puan itu memang sengaja membuat suasana semakin panas. Selain itu, Mas Eris dan Mas Eros juga masih saling sikut. Keduanya nyaris tak pernah akur saat bertemu. Meski kembar, sikap kedua laki-laki itu seolah bertolak belakang. Yang satu lebih senang begini, yang satu lebih suka begitu. Mereka kembar, tapi tak sama di banyak hal. Mas Eris sering kali mengusik hidup saudara kembarnya karena dia masih tak terima jika Mas Eros jauh lebih sukses dibandingkan dirinya. Beragam cara dia lakukan untuk menjatuhkan saudaranya. Kedengkian laki-laki itu begitu ketara, membuatku terus beristighfar karena tak menyangka jika Mas Eris setakbahagia itu melihat saudaranya lebih baik darinya. "Bukannya kamu buka angkringan juga, Ros?" tanya Mas Eris setelah sarapan pagi ini usai. "Nggak, Ris.
Seminggu pasca perceraianku dengan Mas Eris, Mas Dani dan keluarga kecilnya datang dari Semarang. Istrinya, Mbak Desy dan anak semata wayang mereka Nora menyalami ibu dan bapak lalu memelukku erat. Sebagai sesama ipar, Mbak Desy memang terang-terangan lebih membelaku dibandingkan Fika. Berbeda dengan adik iparku, Ayu. Dia terlihat jelas lebih menyukai Fika dibandingkan aku, sekalipun dulu perempuan itu sudah mengkhianati kakak kandungnya sendiri. Ayu memang berbeda. Dari ketiga iparku, hanya dia saja yang tak menyukaiku entah apa alasannya. Mas Dani dan Mas Eros lebih terbuka padaku, tapi Ayu ipar Perempuanku satu-satunya justru begitu tertutup dan terlihat menjauh tiap kali aku berusaha mendekatinya. Ibu sempat bilang jika dulu Fika sering memanjakan Ayu dengan barang-barang branded. Mungkin karena itu pula akhirnya mereka dekat dan Ayu selalu termakan ucapan manis Fika sampai detik ini. Aku baru sadar jika Ayu tak pernah mau mengakrabkan diri denganku. Mungkin salah satunya karen
"Coba bilang sekali lagi?!" Fika bersedekap sembari menatap tajam Mbak Desy yang masih bergeming di tempat duduknya. "Yakin mau dengar lagi?!" tanya perempuan itu santai, tanpa menoleh. Belum sempat menjawab, Mbak Desy beranjak dari kursi lalu menatap balik Fika yang semakin tersulut emosi. "Dengar baik-baik, Nyonya Fika yang konon perempuan cantik dan smart. Menurutku, perempuan cantik, sukses dan smart itu bukan perebut laki orang, tapi dia yang bisa menjaga harga dirinya sendiri. Jangan pernah bangga disebut smart karena kamu nggak pantas mendapatkan gelar itu. Statusmu sebagai pelakor tak akan pernah lenyap sampai kamu tutup usia. Paham?!" Mbak Desy mendorong pelan bahu Fika dengan telunjuknya, sementara tangan kirinya menyangga siku. Beberapa tamu yang sudah datang kembali berbisik. Mereka menatapku dan Fika bergantian. Sepertinya mulai paham jika Mas Eris adalah mantan suamiku yang kini kembali bersama Fika. "Keterlaluan kamu, Des!" sentak perempuan itu nyaris menampar pipi
"Tania?" Mas Eros memanggil nama perempuan itu. Perempuan bernama Tania itupun menoleh lalu tersenyum tipis menatap Mas Eros. Tanpa basa basi dan tanpa malu langsung cipika-cipiki dengan lelaki di sampingku itu di depan banyak orang. Mungkin hal itu sudah lumrah dilakukannya, tapi bagiku tidak. Mereka bukan mahram dan itu jelas dilarang dalam agama. Aku hanya menghela napas panjang tanpa bisa berbuat apapun karena bukan ranahku. "Tan." Mas Eros berusaha mendorong tubuh perempuan itu saat aku mengalihkan pandangan. Mungkin Mas Eros sadar jika aku tak suka dengan cara salam seperti itu. Mas Eros sedikit canggung saat menatapku, tapi aku pura-pura tak melihat dan lebih memilih untuk membalas pertanyaan Mbak Desy di sampingku. Mantan kakak iparku itu tahu apa yang kurasakan, makanya gegas mengambil tindakan. Dia menarikku kembali ke kursi lalu mengajakku foto bersama seolah tak terjadi apa-apa. "Kamu mantan kekasih Eros? Sejak kapan, kok Eros nggak pernah cerita sama ibu." Aku tak me
"Kamu nggak apa-apa, Nin?" Mas Eros mengajakku duduk di taman yang tak jauh dari tempat resepsi pernikahan Feni. Ada bangku panjang di sana. Sepertinya menjadi tempat nongkrong anak-anak muda. "Nggak kok, Mas. Sejak dulu, aku terbiasa dihina seperti itu. Rasanya sudah kebal. Sebenarnya aku cuma nggak suka jadi pusat perhatian orang banyak saja. Malu." Aku mencoba tersenyum meski dalam hati rasa sakit itu tetap ada, apalagi yang menghinaku justru mantan suamiku sendiri. "Yakin?" tanya Mas Eros dengan tatapan tajamnya. Aku kembali mengangguk. "Tunggu di sini sebentar ya?" "Mau kemana, Mas?" Aku ikut beranjak dari bangku saat Mas Eros melangkah tergesa ke seberang jalan."Tunggu di situ saja. Nggak akan lama," ujarnya sembari melambaikan tangannya ke arahku. Tak ingin membantah, aku pun mengiyakan saja. Kembali duduk di bangku sembari memeriksa handphone. Ada banyak pesan terkirim ke WhatsApp. Salah satunya dari perempuan yang sudah merebut suamiku itu. Aku tak membacanya, entah ump
"Eh, kalian pergi kemana tadi?" Fika bertanya entah pada siapa. Aku sengaja cuek dan pura-pura tak mendengar pertanyaannya. "Kamu nggak tuli kan, Nin?" Pertanyaan Fika kali ini membuatku menoleh. Lagi-lagi dia perempuan itu tersenyum sinis ke arahku. "Oh, kamu tanya sama aku? Kupikir lagi ngobrol sama angin. Soalnya aku nggak merasa ditanya. Namaku Hanin, bukan Eh." Fika tersenyum sinis sembari memutar bola mata. Malas. Ibu dan bapak yang sudah duduk di jok belakang mobil Mas Eros pun membuka kaca jendela lalu melambaikan tangannya ke arahku. "Hanin, ayo pulang. Jangan bikin keributan lagi. Biar saja mereka kalau mau berdebat, kamu nggak usah ikutan." Ibu memintaku segera masuk mobil dan tak perlu meladeni mereka bertiga. Aku pun mengangguk saja lalu melangkah perlahan meninggalkan mereka. "Mobil baru, Ros?" Tania meneliti mobil milik Mas Eros sembari menurunkan kaca matanya. "Mas, kamu juga mau beliin mobil baru kan?" Mas Eris sedikit tersedak mendengar permintaan istrinya. Tib
[Nggak tahu malu. Sudah cerai sama anaknya kok masih tinggal di rumah mantan mertuanya. Katanya perempuan alim dan tahu agama, masa begitu saja nggak paham. Serumah sama ipar saja nggak boleh, ini mantan ipar malah tinggal satu atap. Sengaja ya, supaya mantan ipar tertarik?] Status WhatsApp Fika jelas tertuju padaku. Aku tak membalas, hanya membacanya sekilas. Daripada nambah pikiran, aku blokir saja nomornya. Kalau nanti dia kirim pesan dengan nomor baru lagi, aku pun akan memblokirnya lagi. Sudah dibilang aku di sini sampai masa iddah selesai, setelah itu akan balik ke rumah ibu. Dia tetap saja dengki. Mungkin nggak rela jika Mas Eros terang-terangan mendekatiku atau bisa jadi Fika iri karena lelaki yang mendekatiku jauh lebih baik dibandingkan suaminya itu. Iseng saja kubuat status di WhatsApp meski perempuan itu tak bisa membaca statusku karena sudah kublokir. Barang kali dibaca Mas Eris, biar dia sadar kalau sikapnya selama ini pada Mas Eros terlalu berlebihan dan tak dibenark