"Eh, kalian pergi kemana tadi?" Fika bertanya entah pada siapa. Aku sengaja cuek dan pura-pura tak mendengar pertanyaannya. "Kamu nggak tuli kan, Nin?" Pertanyaan Fika kali ini membuatku menoleh. Lagi-lagi dia perempuan itu tersenyum sinis ke arahku. "Oh, kamu tanya sama aku? Kupikir lagi ngobrol sama angin. Soalnya aku nggak merasa ditanya. Namaku Hanin, bukan Eh." Fika tersenyum sinis sembari memutar bola mata. Malas. Ibu dan bapak yang sudah duduk di jok belakang mobil Mas Eros pun membuka kaca jendela lalu melambaikan tangannya ke arahku. "Hanin, ayo pulang. Jangan bikin keributan lagi. Biar saja mereka kalau mau berdebat, kamu nggak usah ikutan." Ibu memintaku segera masuk mobil dan tak perlu meladeni mereka bertiga. Aku pun mengangguk saja lalu melangkah perlahan meninggalkan mereka. "Mobil baru, Ros?" Tania meneliti mobil milik Mas Eros sembari menurunkan kaca matanya. "Mas, kamu juga mau beliin mobil baru kan?" Mas Eris sedikit tersedak mendengar permintaan istrinya. Tib
[Nggak tahu malu. Sudah cerai sama anaknya kok masih tinggal di rumah mantan mertuanya. Katanya perempuan alim dan tahu agama, masa begitu saja nggak paham. Serumah sama ipar saja nggak boleh, ini mantan ipar malah tinggal satu atap. Sengaja ya, supaya mantan ipar tertarik?] Status WhatsApp Fika jelas tertuju padaku. Aku tak membalas, hanya membacanya sekilas. Daripada nambah pikiran, aku blokir saja nomornya. Kalau nanti dia kirim pesan dengan nomor baru lagi, aku pun akan memblokirnya lagi. Sudah dibilang aku di sini sampai masa iddah selesai, setelah itu akan balik ke rumah ibu. Dia tetap saja dengki. Mungkin nggak rela jika Mas Eros terang-terangan mendekatiku atau bisa jadi Fika iri karena lelaki yang mendekatiku jauh lebih baik dibandingkan suaminya itu. Iseng saja kubuat status di WhatsApp meski perempuan itu tak bisa membaca statusku karena sudah kublokir. Barang kali dibaca Mas Eris, biar dia sadar kalau sikapnya selama ini pada Mas Eros terlalu berlebihan dan tak dibenark
Dua koper sudah siap di samping pintu. Semua barang-barang yang kupunya lengkap di dalamnya. Beberapa barang tak terpakai pun sudah kumasukkan kresek besar untuk dibuang. Kamar ini terasa lengang. Hanya ada beberapa baju dan barang-barang milik Mas Eris yang tertinggal. Foto pernikahanku dengannya yang terpajang di dinding kamar pun sudah kuturunkan dan kumasukkan ke kresek agar bisa dibakar bapak. Kuhela napas panjang sembari meneliti kembali tiap sudut kamar yang menyimpan banyak kenangan sejak aku datang hingga detik ini. Meskipun kebanyakan kenangan pahit yang kuterima, setidaknya aku bisa belajar banyak hal dari tiap jengkalnya. "Hanin ... ibu mau bicara." Suara ketukan di pintu kamar membuatku terjaga. Entah apa yang akan dibicarakan ibu padaku. Mungkin permintaannya tentang Mas Eros lagi dan lagi. Aku memang mengagumi laki-laki itu, tapi untuk melangkah ke jenjang lebih lanjut aku masih ragu. Wajar bukan? Aku baru saja bercerai dan melepas masa iddah, masa iya langsung meni
Bapak memang tipe laki-laki yang jarang banyak bicara, tapi sekalinya bicara sangat tegas dan nggak mau dibantah. Anak-anaknya pun paham dan menghormati hingga semua diam seketika saat bapak mulai beraksi. "Ada masalah apa, Ris, Fika? Kenapa kalian ribut lagi? Seharusnya pernikahan kalian yang pertama itu dijadikan pengalaman dan pembelajaran di pernikahan kedua ini. Ambil hikmahnya, bukan malah dilanjutkan cekcoknya." Bapak menatap sepasang suami istri yang sudah duduk di sofa ruang tengah itu bergantian. Mereka kini menunduk dalam diam. "Menikah dengan siapapun pasti ada saja masalah yang datang. Jangan sampai tiap kali ada masalah dihadapi dengan pertengkaran dan perpisahan. Mau menikah sampai berapa kali kalau tiap ketidakcocokan diakhiri dengan selingkuh dan cerai?" Kalimat bapak cukup menohok, membuat keduanya tersentak lalu saling tatap. "Semua ini gara-gara Fika, Pak." Laki-laki itu menyahut dan menyalahkan istrinya. "Aku nggak akan begini kalau kamu bertanggungjawab sebag
"Kamu sudah lepas masa iddah kan, Nin? Kalau sudah lepas seharusnya pergi dari rumah ini dong, masa masih nongkrong di sini terus. Kamu kan bukan tanggungjawab bapak dan ibu lagi, jelas sudah orang lain," ujar Fika saat membantuku membereskan dapur. Belum sempat kujawab, ibu tiba-tiba muncul dari belakang. "Kenapa memangnya kalau Hanin masih tinggal di sini, Fik? Ibu yang minta dia untuk menginap di sini malam ini. Besok boleh pulang ke rumah," balas ibu cepat membuat wajah Fika memerah. "Tapi Hanin sudah bukan bagian dari keluarga ini loh, Bu. Nggak enak dilihat tetangga, masa sudah berpisah dengan anak lelaki ibu, tapi dia masih tinggal di sini." Fika kembali berkomentar dan berusaha mengelabuhi ibu. "Kalau ada yang komentar negatif soal Hanin, biar ibu yang balas. Dia juga ingin pergi, lihat itu kopernya di depan kamar, tapi ibu minta dia menginap malam ini saja. Jadi, kamu nggak perlu mengurusi soal Hanin, biar ibu saja yang urus." Ibu terlihat kesal mendengar pertanyaan Fika y
Aku memilih duduk di teras belakang sembari melihat kolam koi kecil di sana dibandingkan harus bertemu dengan Fika di ruang keluarga. Aku benar-benar malas selalu ribut dengan perempuan itu. Malu juga dilihat bapak dan ibu, seolah kami terlalu kekanak-kanakan. Mendadak teringat pesan ibu semalam yang akan menungguku pulang. Gegas kukirimkan pesan singkat untuknya. [Maaf, Bu. Hari ini Hanin nggak jadi pulang. Ibu dan bapak meminta Hanin untuk menginap di sini semalam saja. InsyaAllah besok mereka mengantar Hanin pulang. Sekalian ada yang akan mereka dibicarakan sama ibu, katanya] "Nin, jadi pulang besok kan?" Suara Mas Eros cukup mengagetkan. Aku mengangguk pelan, membiarkan laki-laki itu duduk di kursi rotan tak jauh dari tempat dudukku. Ada meja kecil di tengah sebagai pembatas antara aku dan dia. "Soal Fika, jangan terlalu dipikir pusing. Kamu pasti juga sudah hafal bagaimana karakternya kan?" ucap Mas Eros lagi. Aku kembali menoleh ke arahnya lalu tersenyum tipis. "Iya, Mas. Te
[Mau dibeliin apa, Nin? Kalau kubawain udang tepung, kepiting saos Padang, jus jambu dan jus alpukat mau, nggak? Atau pengin yang lain? Bilang saja, nanti aku bawakan] Pesan dari Mas Eros membuatku tersenyum. Nyaris semua makanan favoritku akan dibawanya. Memangnya aku serakus itu? Dasar laki-laki aneh. Dia sering kali menasehatiku agar banyak makan karena dia bilang aku semakin cantik jika pipiku chubby. Berbeda dengan saudara kembarnya yang selalu melarangku banyak makan karena takut kegendutan. Dia bahkan memintaku diet jika berat badan mulai naik. Mas Eris bilang, tipe perempuan idamannya yang cantik, semampai dan berambut panjang. Kadang, permintaan-permintaannya itu membuatku semakin insecure.[Kamu senang kalau aku gendut, Mas? Sampai beragam menu kamu tawarkan?] Hanya itu yang kukirimkan sebagai balasan. Kuhela napas panjang lalu kembali membaca pesan terbaru dari Mas Eros. [Gendut nggak apa-apa. Aku menerimamu apa adanya. Makin gendut, makin chubby pipimu, makin lucu. Gend
"Nin, kamu sudah tidur ya? Dari Maghrib kamu di dalam kamar terus. Nggak makan dulu?" Ibu mengetuk pintu kamar beberapa kali. "Belum tidur kok, Bu. Hanin nggak lapar." "Ibu sama bapak sudah makan. Sekarang mau istirahat, sepertinya bapak kecapekan. Kamu nanti makan malam sama Eros ya? Sebentar lagi dia pulang," pesan ibu kemudian. Ibu memang selalu begitu. Sejak tahu perasaan anak lelakinya itu padaku dan perlakuan mantan suamiku yang semena-mena, sikap ibu jauh berbeda. Kini dia mendukung Mas Eros untuk mendapatkan cintanya. "Mas Eros mungkin sudah makan, Bu. Jam segini belum pulang kok. Nggak apa, nanti kalau lapar Hanin bikin roti panggang saja.""Eros belum makan malam, Nin. Dia pengin makan sama kamu, tadi ibu bilang kalau kamu nggak keluar sejak maghrib." "Ibu ...." "Nggak apa-apa. Kamu sudah lepas masa iddah, lagipula Eris juga sudah sama Fika. Kamu berhak bahagia, Hanin. Ibu selalu mendoakan kebahagiaanmu dan kebahagiaan anak-anak ibu juga." Aku menghela napas panjang l