"Apa kamu lupa kalau dulu selalu bilang bahwa mawar merah dan kado merah jambu yang ditemukan ibu di depan warungnya itu adalah milikmu? Padahal semua itu Mas Eros yang kirim, bukan kamu!" Kedua saudara kembar itu tersentak bersamaan. Mereka saling tatap lalu sama-sama mengalihkan pandangannya padaku. "Kenapa? Kaget kalau aku tahu semua itu, Mas? Shock karena aku sudah tahu semua kebohonganmu?!" Mas Eris menatapku beberapa saat lalu menghela napas kasar. "Asal kamu tahu ya, Mas. Kalau bukan karena kebohonganmu itu, ibu tak akan mungkin menjodohkanku denganmu." "Semua sudah takdir, Nin. Kamu nggak bisa mengelak takdirNya!" Mas Eris sedikit membentak. "Aku nggak pernah menyalahkan takdirNya, tapi aku menyalahkan kebohonganmu. Ibu menjodohkanku denganmu karena dia pikir kamu yang mengirimkan bunga dan kado-kado itu. Ibu kira kamu yang selalu memperhatikanku dan mencintaiku tulus, padahal bukan kamu yang seharusnya mendapatkan restu ibuku. Tak hanya aku yang kamu dzalim Mas, tapi saud
Kulihat jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh. Aku ke kamar mandi sekadar membersihkan wajah dan mencuci kaki. Setelah melakukan rutinitas sebelum tidur, aku kembali beranjak ke ranjang. Perlahan memejamkan mata. Rencananya nanti malam mau bangun untuk shalat istikharah sekalian shalat malam. Semoga jawaban terbaik segera kudapatkan. Aku harus bisa melupakan masa lalu yang pahit itu untuk menyambut masa depanku yang lebih bahagia. Bagaimanapun jawabanNya nanti akan kuterima. Aku yakin akan ada kebahagiaan setelah berbagai kepedihan dan akan ada kemudahan setelah beragam kesulitan. Sengaja kuatur alarm jam dua dan tiga dini hari. Setelah mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur yang temaram, aku mulai memejamkan mata. Semoga saja aku terjaga sesuai jam yang sudah kuatur di alarm. Malam ini, aku tidur cukup nyenyak. Jam dua lebih sepuluh menit aku baru membuka mata. Kukucek kedua mata perlahan lalu menyibak selimut. Hening. Tak ada suara apapun yang terdengar kecuali detak
Malam ini benar-benar membuatku nano-nano. Kedua saudara kembar itu semakin lama semakin aneh. Mas Eris juga berubah, entah apalagi rencana busuknya, sementara Mas Eros mulai terang-terangan tentang perasaannya padaku. Dia merasa bebas mengungkapkan isi hatinya selama ini karena aku telah sah berpisah dengan saudara kembarnya. Untuk mengusir galau, aku lebih memilih mengambil wudhu lalu bersujud di hadapanNya. Semua kupasrahkan padaNya karena kutahu apapun yang DIA goreskan akan selalu yang terbaik untukku. Aku tak pernah tahu seperti apa takdir yang telah digoreskannya untukku. Aku tak tahu siapa jodohku yang sebenarnya maupun bagaimana kehidupanku di masa mendatang.Jika memang Mas Eros adalah laki-laki yang tepat dan sesuai yang tertulis di Lauh MahfuzNya, aku berharap Allah semakin mendekatkanku dengannya dan segera mengikat kami dalam kehalalan. Aku tak ingin terjebak dalam fitnah. Namun, jika dia bukan jodohku lebih baik segera berpisah dengan cara yang baik daripada harus saki
Bakda shalat subuh, aku menata kamar Mas Eros seperti semula. Kubuka daun jendela lalu menghirup udara di pagi hari yang begitu sejuk dan menenangkan. Semua barang yang tercecer sudah lengkap dan tertata rapi di koper. Ibu bilang akan mengantarku pulang sekitar jam delapan. "Hanin, kamu sudah bangun?" Suara ibu dan ketukan di pintu terdengar perlahan. Gegas kubuka pintu lalu menyambut ibu yang tersenyum tipis. "Mau masak ya, Bu? Masak apa biar Hanin bantu." Ibu tak membalas, hanya mengusap lenganku pelan lalu menatapku lekat. "Hari ini kamu akan pulang. Jadi, ibu nggak akan merepotkanmu, Nin," ujarnya dengan mata berkaca. "Masak itu hal yang menyenangkan kok, Bu. Bukan hal yang merepotkan." Ibu kembali tersenyum. "Ibu sudah pesan makanan matang dari rumah Bu RT. Ini ada opor ayam, lontong, kerupuk sama sate ayam. Sebelum pulang, kamu harus kenyang." Aku terkekeh mendengar ucapan ibu. "Nanti ibu kena omel besan ... mantan besan maksud ibu, kalau sampai kamu kurus dan kelaparan."
"Mas Eris! Kamu ngapain di situ sih?!" ulang Fika dengan ekspresi merah padam, sementara Mas Eris mendadak salah tingkah. Dia menatapku beberapa saat lalu menatap istrinya yang jelas ketara menahan amarah yang membuncah. Perempuan itu meminta anak lelakinya untuk masuk rumah lantas dia menghampiri suaminya yang masih mematung di depan jendela kamar Mas Eros. Aku menatapnya santai sembari tersenyum sinis, persis seperti dia saat berhasil merebut hati Mas Eris beberapa minggu lalu. "Kenapa menatapku begitu? Sorry ya, bukan aku yang sengaja mengganggu suami kamu, tapi suami kamu sendiri yang datang ke sini memberikan hadiah itu. Kamu lihat sendiri kan? Dia yang datang, bukan aku yang sengaja mendatanginya. Jadi, jangan salahkan aku. Salahkan saja suamimu kenapa masih memperhatikanku, padahal statusku sudah menjadi mantan." Aku menunjuk paper bag yang masih di tangan Mas Eris. Tatapan Fika yang sebelumnya tertuju padaku pindah ke tangan Mas Eris. Dia mulai menatapku tajam lalu menunjuk
Mobil Mas Eros terhenti di depan rumah. Derap langkah laki-laki itu pun terdengar memasuki garasi lalu ke teras. Dia muncul dengan beberapa kantong plastik di tangannya. "Oleh-oleh buat ibu." Mas Eros tersenyum sembari menyodorkan bawaannya. "Ngapain dibawa ke sini, Ros? Kan nanti ditaruh mobil juga." Ibu menyahut. Mas Eros garuk-garuk kepala sembari meringis kecil."Iya juga ya, Bu. Ngapain dibawa ke sini? Maaf, Bu. Refleks aja tadi." Ibu geleng-geleng melihat aksi anak lelakinya. Ada tiga kantong kresek yang dibawa Mas Eros. Salah satunya berisi buah-buahan sementara yang lain kotak kue lapis dan bika kesukaan ibu. Entah darimana dia tahu jika ibu sangat menyukai bika seperti itu. Jangan-jangan dia juga yang dulu sering mengirimkan bika seperti itu lewat kurir. Duh, Mas Eros. Kamu memang misterius. Tak membuang waktu, akhirnya mereka benar-benar mengantarku pulang. Aku diminta ibu untuk duduk di samping Mas Eros. Sementara bapak duduk di kursi belakang bersama ibu. Mereka mulai
Dua minggu berturut-turut menjalankan istikharah, rasanya sudah cukup membuatku yakin jika Mas Eros memang lelaki yang tepat untukku. Aku yakin dia bisa mendampingiku dalam suka dan duka, bisa menjadi tempatku berkeluh kesah dan menjadi tempatku berbagi cinta hingga menua bersama. Aku semakin yakin jika dia berbeda dengan saudara kembarnya. Entah mengapa hatiku terasa lebih tenang saat bersamanya. Sikap dan perhatiannya selama ini lebih mengena dan erasa tulusnya. Berbeda dengan Mas Eris yang memang terasa hambar sejak awal menikah. Hanya saja, dulu aku berusaha untuk menikmatinya meski terkesan terpaksa dan dipaksa. Ah sudahlah. Aku tak ingin mengungkitnya lagi karena semua sudah usai. Dua minggu belakangan, aku memang sengaja meminta Mas Eros untuk tak menghubungiku, baik via handphone ataupun pesan di sosial media. Aku dan dia tak bertemu apalagi bertukar kabar. Benar-benar hening tanpa ada sapa dan tanya apalagi obrolan seperti biasanya. Semua kulakukan agar lebih fokus berdoa
Usai menjalankan kewajiban empat rokaat shalat dzuhur, aku pamit pada ibu yang masih duduk di sofa ruang tengah sembari menonton sinetron. Setelah itu, aku berangkat ke cafe Mas Eros dengan motor matic seperti biasanya. Aku pura-pura tak melihat dan tak peduli dengan tatapan sinis para tetangga yang bergerombol di rumah Bi Lastri. Mereka memang biasa berkumpul di sana untuk membahas banyak hal yang ujung-ujungnya akan menggunjing tetangga. Seperti saat ini kudengar mereka menyebut namaku. Tak terlalu keras memang, tapi cukup terdengar di telingaku yang masih normal. Tak menoleh, aku tetap fokus dengan laju motorku sendiri. Sekitar dua puluh menit aku sampai di cafe Mas Eros. Gegas kuparkirkan motor di tempat yang sudah disediakan. Suasana di cafe saat ini cukup ramai. Mungkin karena masih jam makan siang. Kulihat semua karyawan sibuk mengantar pesanan ke sana-sini. Kasir pun fokus dengan pembayaran para konsumen. Kulirik ruangan kecil yang dijadikan kantor dan tempat istirahat Mas E