"Nin, kamu sudah tidur ya? Dari Maghrib kamu di dalam kamar terus. Nggak makan dulu?" Ibu mengetuk pintu kamar beberapa kali. "Belum tidur kok, Bu. Hanin nggak lapar." "Ibu sama bapak sudah makan. Sekarang mau istirahat, sepertinya bapak kecapekan. Kamu nanti makan malam sama Eros ya? Sebentar lagi dia pulang," pesan ibu kemudian. Ibu memang selalu begitu. Sejak tahu perasaan anak lelakinya itu padaku dan perlakuan mantan suamiku yang semena-mena, sikap ibu jauh berbeda. Kini dia mendukung Mas Eros untuk mendapatkan cintanya. "Mas Eros mungkin sudah makan, Bu. Jam segini belum pulang kok. Nggak apa, nanti kalau lapar Hanin bikin roti panggang saja.""Eros belum makan malam, Nin. Dia pengin makan sama kamu, tadi ibu bilang kalau kamu nggak keluar sejak maghrib." "Ibu ...." "Nggak apa-apa. Kamu sudah lepas masa iddah, lagipula Eris juga sudah sama Fika. Kamu berhak bahagia, Hanin. Ibu selalu mendoakan kebahagiaanmu dan kebahagiaan anak-anak ibu juga." Aku menghela napas panjang l
"Apa kamu lupa kalau dulu selalu bilang bahwa mawar merah dan kado merah jambu yang ditemukan ibu di depan warungnya itu adalah milikmu? Padahal semua itu Mas Eros yang kirim, bukan kamu!" Kedua saudara kembar itu tersentak bersamaan. Mereka saling tatap lalu sama-sama mengalihkan pandangannya padaku. "Kenapa? Kaget kalau aku tahu semua itu, Mas? Shock karena aku sudah tahu semua kebohonganmu?!" Mas Eris menatapku beberapa saat lalu menghela napas kasar. "Asal kamu tahu ya, Mas. Kalau bukan karena kebohonganmu itu, ibu tak akan mungkin menjodohkanku denganmu." "Semua sudah takdir, Nin. Kamu nggak bisa mengelak takdirNya!" Mas Eris sedikit membentak. "Aku nggak pernah menyalahkan takdirNya, tapi aku menyalahkan kebohonganmu. Ibu menjodohkanku denganmu karena dia pikir kamu yang mengirimkan bunga dan kado-kado itu. Ibu kira kamu yang selalu memperhatikanku dan mencintaiku tulus, padahal bukan kamu yang seharusnya mendapatkan restu ibuku. Tak hanya aku yang kamu dzalim Mas, tapi saud
Kulihat jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh. Aku ke kamar mandi sekadar membersihkan wajah dan mencuci kaki. Setelah melakukan rutinitas sebelum tidur, aku kembali beranjak ke ranjang. Perlahan memejamkan mata. Rencananya nanti malam mau bangun untuk shalat istikharah sekalian shalat malam. Semoga jawaban terbaik segera kudapatkan. Aku harus bisa melupakan masa lalu yang pahit itu untuk menyambut masa depanku yang lebih bahagia. Bagaimanapun jawabanNya nanti akan kuterima. Aku yakin akan ada kebahagiaan setelah berbagai kepedihan dan akan ada kemudahan setelah beragam kesulitan. Sengaja kuatur alarm jam dua dan tiga dini hari. Setelah mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur yang temaram, aku mulai memejamkan mata. Semoga saja aku terjaga sesuai jam yang sudah kuatur di alarm. Malam ini, aku tidur cukup nyenyak. Jam dua lebih sepuluh menit aku baru membuka mata. Kukucek kedua mata perlahan lalu menyibak selimut. Hening. Tak ada suara apapun yang terdengar kecuali detak
Malam ini benar-benar membuatku nano-nano. Kedua saudara kembar itu semakin lama semakin aneh. Mas Eris juga berubah, entah apalagi rencana busuknya, sementara Mas Eros mulai terang-terangan tentang perasaannya padaku. Dia merasa bebas mengungkapkan isi hatinya selama ini karena aku telah sah berpisah dengan saudara kembarnya. Untuk mengusir galau, aku lebih memilih mengambil wudhu lalu bersujud di hadapanNya. Semua kupasrahkan padaNya karena kutahu apapun yang DIA goreskan akan selalu yang terbaik untukku. Aku tak pernah tahu seperti apa takdir yang telah digoreskannya untukku. Aku tak tahu siapa jodohku yang sebenarnya maupun bagaimana kehidupanku di masa mendatang.Jika memang Mas Eros adalah laki-laki yang tepat dan sesuai yang tertulis di Lauh MahfuzNya, aku berharap Allah semakin mendekatkanku dengannya dan segera mengikat kami dalam kehalalan. Aku tak ingin terjebak dalam fitnah. Namun, jika dia bukan jodohku lebih baik segera berpisah dengan cara yang baik daripada harus saki
Bakda shalat subuh, aku menata kamar Mas Eros seperti semula. Kubuka daun jendela lalu menghirup udara di pagi hari yang begitu sejuk dan menenangkan. Semua barang yang tercecer sudah lengkap dan tertata rapi di koper. Ibu bilang akan mengantarku pulang sekitar jam delapan. "Hanin, kamu sudah bangun?" Suara ibu dan ketukan di pintu terdengar perlahan. Gegas kubuka pintu lalu menyambut ibu yang tersenyum tipis. "Mau masak ya, Bu? Masak apa biar Hanin bantu." Ibu tak membalas, hanya mengusap lenganku pelan lalu menatapku lekat. "Hari ini kamu akan pulang. Jadi, ibu nggak akan merepotkanmu, Nin," ujarnya dengan mata berkaca. "Masak itu hal yang menyenangkan kok, Bu. Bukan hal yang merepotkan." Ibu kembali tersenyum. "Ibu sudah pesan makanan matang dari rumah Bu RT. Ini ada opor ayam, lontong, kerupuk sama sate ayam. Sebelum pulang, kamu harus kenyang." Aku terkekeh mendengar ucapan ibu. "Nanti ibu kena omel besan ... mantan besan maksud ibu, kalau sampai kamu kurus dan kelaparan."
"Mas Eris! Kamu ngapain di situ sih?!" ulang Fika dengan ekspresi merah padam, sementara Mas Eris mendadak salah tingkah. Dia menatapku beberapa saat lalu menatap istrinya yang jelas ketara menahan amarah yang membuncah. Perempuan itu meminta anak lelakinya untuk masuk rumah lantas dia menghampiri suaminya yang masih mematung di depan jendela kamar Mas Eros. Aku menatapnya santai sembari tersenyum sinis, persis seperti dia saat berhasil merebut hati Mas Eris beberapa minggu lalu. "Kenapa menatapku begitu? Sorry ya, bukan aku yang sengaja mengganggu suami kamu, tapi suami kamu sendiri yang datang ke sini memberikan hadiah itu. Kamu lihat sendiri kan? Dia yang datang, bukan aku yang sengaja mendatanginya. Jadi, jangan salahkan aku. Salahkan saja suamimu kenapa masih memperhatikanku, padahal statusku sudah menjadi mantan." Aku menunjuk paper bag yang masih di tangan Mas Eris. Tatapan Fika yang sebelumnya tertuju padaku pindah ke tangan Mas Eris. Dia mulai menatapku tajam lalu menunjuk
Mobil Mas Eros terhenti di depan rumah. Derap langkah laki-laki itu pun terdengar memasuki garasi lalu ke teras. Dia muncul dengan beberapa kantong plastik di tangannya. "Oleh-oleh buat ibu." Mas Eros tersenyum sembari menyodorkan bawaannya. "Ngapain dibawa ke sini, Ros? Kan nanti ditaruh mobil juga." Ibu menyahut. Mas Eros garuk-garuk kepala sembari meringis kecil."Iya juga ya, Bu. Ngapain dibawa ke sini? Maaf, Bu. Refleks aja tadi." Ibu geleng-geleng melihat aksi anak lelakinya. Ada tiga kantong kresek yang dibawa Mas Eros. Salah satunya berisi buah-buahan sementara yang lain kotak kue lapis dan bika kesukaan ibu. Entah darimana dia tahu jika ibu sangat menyukai bika seperti itu. Jangan-jangan dia juga yang dulu sering mengirimkan bika seperti itu lewat kurir. Duh, Mas Eros. Kamu memang misterius. Tak membuang waktu, akhirnya mereka benar-benar mengantarku pulang. Aku diminta ibu untuk duduk di samping Mas Eros. Sementara bapak duduk di kursi belakang bersama ibu. Mereka mulai
Dua minggu berturut-turut menjalankan istikharah, rasanya sudah cukup membuatku yakin jika Mas Eros memang lelaki yang tepat untukku. Aku yakin dia bisa mendampingiku dalam suka dan duka, bisa menjadi tempatku berkeluh kesah dan menjadi tempatku berbagi cinta hingga menua bersama. Aku semakin yakin jika dia berbeda dengan saudara kembarnya. Entah mengapa hatiku terasa lebih tenang saat bersamanya. Sikap dan perhatiannya selama ini lebih mengena dan erasa tulusnya. Berbeda dengan Mas Eris yang memang terasa hambar sejak awal menikah. Hanya saja, dulu aku berusaha untuk menikmatinya meski terkesan terpaksa dan dipaksa. Ah sudahlah. Aku tak ingin mengungkitnya lagi karena semua sudah usai. Dua minggu belakangan, aku memang sengaja meminta Mas Eros untuk tak menghubungiku, baik via handphone ataupun pesan di sosial media. Aku dan dia tak bertemu apalagi bertukar kabar. Benar-benar hening tanpa ada sapa dan tanya apalagi obrolan seperti biasanya. Semua kulakukan agar lebih fokus berdoa
"Mas, boleh minta sesuatu?" tanya Hanin setelah terdiam beberapa saat. Eros begitu setia dan bersabar menunggu Hanin bicara. "Minta apapun boleh, Sayang. Apaa yang nggak buat kamu. Asalkan tak menyalahi aturanNya, InsyaAllah aku berusaha mewujudkan." Eros membingkai wajah istrinya lalu tersenyum tipis."Kita kembali ke makam Tania sebentar saja, boleh? Mumpung masih di sini," tanya Hanin dengan mengedipkan mata seolah memohon agar permintaannya dikabulkan. "Boleh." Eros membalas singkat dengan seulas senyum di kedua sudut bibirnya. "Makasih, Mas." Eros mengangguk lagi. Setelahnya membuka sabuk pengaman Hanin dan mengajaknya turun dari mobil. Sepasang suami istri itu kembali ke tempat semula. Mereka berdiri di depan sebuah makam yang telah berwarna-warni dengan taburan bunga. Hanin dan Eros jongkok di depan makam itu seperti yang dilakukannya beberapa menit lalu. Bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya saat mengusap nisan putih itu. Tania Putri Salsabila binti Danang Saputro.
"Hanin, Eros, kalian di sini?" tanya Delima saat melihat Hanin dan Eros di depan makam Tania. Hanin yang masih memejamkan mata sembari merapalkan doa pun mendongak. Dia menatap Delima yang sudah berdiri di sampingnya."Tante Delima ...." Hanin beranjak dari tempatnya berjongkok lalu menyalami Delima, sementara Eros sedikit membungkuk sebagai pengganti jabat tangan. Eros belajar banyak dari Hanin yang tak mau bersentuhan dengan non mahram. "Maafkan saya yang baru datang ke pemakaman Tania, Tante," lirih Hanin setelah kedua perempuan itu mengurai pelukan. Delima mengusap lengan Hanin pelan lalu menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Nin. Tante tahu kamu baru saja melahirkan. Pamali kalau datang ke pemakaman sebelum masa nifas usai. Hanin mengangguk sembari tersenyum tipis menatap Delima yang berkaca. "Om Danang nggak ikut, Tante?" tanya Hanin setelah menyadari jika Delima datang sendirian ke pemakaman ini. "Papanya Tania ke kantor, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kebetulan T
[Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan Tania sekarang?]Sudah tiga kali Hanin mengirimkan pesan yang sama pada ibunya, tapi sampai saat ini belum ada balasan apapun. Eros juga sudah menelepon Eris, tapi tak diangkat bahkan pesannya pun belum dibaca. Hanin dan Eros tak tenang. Mereka curiga ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Tania, tapi tak mungkin pergi sekarang karena Arkana baru saja aqiqah dan masih ada beberapa tamu di rumah. "Gimana, Mas?" tanya Hanin pada Eros yang baru masuk ke kamar mereka. Eros menggeleng pelan lalu mengusap lengan istrinya. "Nggak apa-apa, Sayang. Mungkin ibu sama Eris masih menjaga orang tua Tania. Jadi, mereka nggak sempat membuka handphone. Nanti kalau sudah longgar pasti menghubungi kita," ucap Eros dengan senyum tipisnya. Dia berusaha menenangkan Hanin yang terus gelisah. "Eros benar, Nin. Kamu tenang saja. Nanti ibu juga telepon," ucap Desy, kakak iparnya yang masuk kamar sembari menggendong Arkana. Desy tersenyum lalu menidurkan Arkan di
"Tania? Mana Tania, Del?" tanya Yuningsih mengikuti pandangan Delima ke area jalan raya. "Itu, Mbak. Dia tersenyum menatapku," balas Delima lagi. Salah satu jemarinya kembali menunjuk ke arah jalan. "Nggak ada, Del. Tania sudah pergi. Dia kembali ke pangkuanNya, Del. Ikhlaskan kepergiannya ya, supaya dia juga bisa tenang di sana." Yuningsih mengusap lengan Delima lalu kembali memeluknya. "Tania masih ada, Mbak. Dia bilang akan mengajakku dan Mas Danang jalan-jalan ke taman kota. Dia pasti sudah menunggu di rumah kan?" lirih Delima lagi. Air matanya masih bercucuran. Delima benar-benar belum bisa menerima kenyataan jika Tania telah tiada. Delima merasa jika anak angkatnya itu masih ada bersamanya bahkan kini menunggunya di rumah. Berulang kali Yuningsih menjelaskan, berulang kali pula Delima bersikukuh dengan ucapannya. "Tante, Tania sudah pergi. Om dan papa masih mengurus jenazahnya. Nanti kita makamkan bersama ya? Tak apa jika sekarang Tante belum bisa menerima ini semua, tapi k
Dokter Erwin keluar dari UGD. Dia mencari keluarga pasien yang ditanganinya saat ini. Danang dan Delima yang berada tak jauh dari ruangan itu pun saling tatap lalu buru-buru beranjak dari kursi. Mereka melangkah tergesa menghampiri sang dokter. Keduanya tak sabar ingin mendengar penjelasan dokter tentang keadaan Tania saat ini. "Keluarga pasien Tania?" tanya Dokter Erwin saat Danang dan Delima sampai di dekatnya. Sepasang suami istri itu mengangguk bersamaan. "Benar dokter. Kami orang tua Tania. Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" tanya Delima sedikit terbata. Dokter Erwin menghela napas panjang lalu menatap Danang dan Delima dengan sorot mata berbeda. Ada mendung di kedua matanya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, Bu, tapi Allah berkehendak lain," ucap dokter lirih, tapi cukup jelas terdengar. Delima shock. Dia tak sanggup mendengarkan ucapan dokter selanjutnya. Wanita itu menangis histeris. Tubuhnya lemas dan luruh di lantai begitu saja. Danang yang berada di samping
"Ya Allah Tania kenapa, Tante? Padahal tadi tampak bersemangat dan ceria. Kenapa mendadak seperti ini?" Hanin kembali gugup dan terkejut melihat perubahan drastis perempuan di sampingnya. Tania benar-benar tampak lemas dan tak berdaya. "Tania memang begitu, Nin. Dia selalu berusaha kuat dan baik-baik saja makanya selama ini Tante dan Om juga nggak tahu kalau sakitnya sudah separah ini. Dia pintar menyembunyikan semuanya dan tak ingin melihat orang lain kerepotan." Delima mengoles minyak angin di kening Tania, tapi tak ada efek apapun karena Tania tetap terdiam."Maafkan kami, Nin. Kami harus bawa Tania ke rumah sakit," ujar Danang kemudian.Hanin mengiyakan dan mendoakan yang terbaik untuk Tania. Eros dan Eris pun ikut membantu Danang membawa Tania ke mobilnya. Ahmad, Yuningsih dan Eris ikut mengantar Tania ke rumah sakit. Sementara Rukmini dan Eros tetap di rumah menemani Hanin. Bahkan Hana pun ingin menginap di rumah sahabatnya itu."Semoga Tania baik-baik saja," lirih Hanin saat m
Hari ini acara syukuran kelahiran Arkana Bima Atharrazka, anak pertama Hanin dan Eros. Bayi mungil itu tampan dan lucu. Dia begitu menggemaskan, membuat kedua orang tuanya semakin bahagia. Saat ini, dua keluarga berkumpul di rumah Eros, termasuk keluarga kakaknya Dani dari Semarang dan adiknya perempuannya, Ayu. Sejak pernikahan Eros dan Hanin, apalagi setelah Fika masuk penjara, Ayu tak kembali ikut campur masalah Hanin. Mungkin dia malu atau tak enak hati jika terus menghina kakak iparnya itu, apalagi setelah dia tahu jika ternyata kedua kakak kembarnya mencintai orang yang sama. Mereka sama-sama menyukai Hanin, perempuan yang selama ini dibenci dan selalu dihinanya. Bukan tanpa alasan Ayu selalu menyudutkan Hanin di setiap waktu dan kesempatan. Dia selalu berpikir jika Hanin tak pantas menjadi bagian dari keluarganya. "Selamat ya, Nin. Semoga jagoan kecil ini bisa menjadi anak yang shaleh dan sukses dunia akhirat. Mbak mendoakan yang terbaik buat kalian." Desy, istri Dani yang k
Waktu terus bergulir dan kini hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Hanin mulai kewalahan dengan perutnya yang membesar dan cukup susah untuk digerakkan. Dia sering begadang tiap malam karena susah tidur. Entah mengapa mata susah diajak kompromi. Rasanya nggak nyaman. Miring susah, terlentang nggak enak dan nggak mungkin tengkurap juga kan?Sudah tiga hari belakangan Eros tak memeriksa cafe maupun bisnis ekspedisinya. Dia ingin fokus mengurus dan menemani Hanin jika melahirkan sewaktu-waktu. Eros tak ingin kehilangan momen penting dalam hidupnya. Dia benar-benar berharap bisa menemani dan memberi dukungan pada Hanin saat persalinan nanti. "Istrimu lama sekali di kamar mandi, Ros. Cek sana. Ibu takut dia kepleset atau kenapa-kenapa. Perutnya sudah segede itu soalnya." Rukmini baru saja memerintah. Tak selang lama, suara Hanin dari kamar mandi membuat menantu dan mertua itu shock seketika. "Hanin!" teriak keduanya bersamaan lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Benar kata Rukmi
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan